Share

Xia Lian

"Maaf, Tuan. Kasih saya tempo, saya belum ada uang untuk mencicil utang-utang bulan ini. Kebutuhan saya terlalu banyak," ujar Xia Lian. 

Xia Lian (39 Tahun) ibu dari Xiu Juan, wanita yang sudah menjada sekitar lima tahun lalu. Dia terpaksa berhutang pada bosnya yang bernama Jingmi, pemilik toko kelontong terbesar di kota itu. Jingmi (49 Tahun)  yang memiliki dua istri. 

"Tempo lagi, tempo lagi. Kapan kamu bisa bayar, hah?" ujar Jingmi yang merasa kesal. Lelaki itu memperhatikan Lian yang mempunyai paras cantik. "Kamu ingin semuanya berakhir? Semua hutang beserta bunganya akan aku nyatakan lunas, asal--" katanya terjeda. 

"Asal apa, Tuan?" tanya Lian.

"Asal kamu mau menjadi istri ketigaku," ujar Jingmi dengan senyum nakal. 

Ya Tuhan, aku harus bagaimana? Satu sisi aku ingin melunasi hutang itu, tapi dengan cara apa? Apa iya aku harus menerima pinangan dari Tuan Jingmi yang sepertinya hiper sex? Batin Lian bergejolak untuk mengambil keputusan. 

"Jangan, Ma!" Tiba-tiba saja bantahan lantang terucap dari bibir seorang perempuan. Kedua pasang mata menoleh ke pintu.

"Xiu?" ujar Lian. 

Jingmi memandang wanita muda yang berdiri di depan pintu. Wow, barang bagus, lebih bagus lagi daripada ibunya, dia lebih fress karena masih muda. Batin Jingmi ketika melihat Xiu. 

"Mama jangan mau hidup sama dia, apalagi kata Mama dia itu mempunyai dua istri. Mama mau jadi istri ketiganya?" ujar Xiu lantang. 

Lian bangkit dari kursi, dia menyeret putrinya ke kamar setelah sadar melihat Jingmi yang seolah terpikat pada putri cantiknya. 

"Kenapa kamu muncul disaat seperti ini, Xiu?" tanya Lian yang lalu mengunci pintu kamar. 

"Loh, dari mana Xiu tau ada orang itu di sini? Lagian, kenapa juga harus menagih utang hingga ke rumah, Ma?"

"Ini semua salah Mama karena sampai detik ini, Mama belum bisa mencicil utang padanya," lirih Lian dengan pandangan yang merunduk lesu. 

Xiu menghela napas, dia merasa sedih karena tidak dapat membantu ibunya. Apalagi, ketika Jingmi meminta ibunya untuk menjadi istri ketiganya. Xiu merasa sangat merutuk dirinya sendiri karena tidak dapat berbuat apa-apa. 

"Lalu? Apa yang mau Mama lakuin?"

"Tidak ada cara lain lagi selain menerima pinangan dari Tuan Jingmi," lirih Lian disertai air mata yang menetes. 

Lian sangat mencintai almarhum suaminya. Dari lubuk hati terdalam, dia tidak ingin menikah lagi dengan pria manapun. Tetapi keadaan yang memaksanya untuk melakukan itu semua. Melihat Lian seperti itu, Xiu hanya bisa memeluk untuk menenangkan sang ibu. 

"Lian!" pekik Jingmi dari luar. 

"Iya, sebentar!" jawab Lian dalam kamar, air mata yang membasahi pipi pun dia usap untuk menutupi kesedihannya. Dia bangkit dari tepi ranjang kemudian berjalan menuju pintu kamar. 

"Ma?" panggil Xiu ketika Lian membuka kunci pintu. 

Lian menoleh dengan mata sembab. 

"Mama yakin?" tanya Xiu sambil menyipitkan matanya yang memang sudah sipit semakin tak terlihat. 

Lian mengangguk. Wanita itu bergegas menemui Jingmi di ruang tamu. Lelaki itu tampak bahagia, entah apalagi yang ada dalam pikiran lelaki ini.

"Iya, Tuan," jawab Lian kala sudah berada di ruang tamu, "saya bersedia menerima pinangan Tuan Jingmi."

Lelaki itu tersenyum. 

"Tapi sayang, aku sudah tidak tertarik padamu. Aku jauh lebih tertarik pada putrimu yang lebih menggoda," jawab Jingmi menyeringai. 

Lian mendongak. 

"Jangan, Tuan. Dia masih kuliah, masih ingin meraih masa depannya. Saya bersedia menjadi istri Tuan agar hutang-hutang saya lunas," bantah Lian. 

Jingmi menggeleng. 

"Tidak ada cara lain selain dari putrimu yang menikah denganku. Kalau tidak seperti itu, maaf. Hutang-hutangmu akan semakin besar dan aku yakin, kalian tidak akan mampu untuk mengganti utang kalian, bunganya pun pasti tidak akan bisa dilunasi," ujar Jingmi, "pikirkan tawaran itu baik-baik!" 

Jingmi bangkit dari kursi yang sudah tua karena Lian tidak sanggup untuk membeli yang baru. Bagaimana memikirkan kursi/sofa baru? Untuk biaya kuliah dan hidup mereka saja, Lian sudah sangat kebingungan. 

Lian hanya dapat melihat Jingmi yang keluar dari pintu rumahnya hingga lelaki tiu tidak terlihat dari pandangan, Lian pun terduduk lemas di kursi yang sedikit reot. 

Karena khawatir, Xiu keluar dari kamar. Dia melihat Lian yang sudah berderai air mata. Gadis cantik itu menghampiri kemudian menyeka air yang membasahi pipi ibunya. 

"Xiu...." Hanya kata itu yang meluncur di bibir Lian, dia memeluk putrinya erat. 

Hening. 

Hanya ada air mata yang tertumpah dari pipi Lian, dia terlalu bingung untuk menyampaikan kabar buruk untuk putrinya. 

*** 

Malam menjelang, Lii hanya berbaring dan menscroll ponsel yang ada di genggamannya. Hanya saja ada rasa yang berbeda, lelaki ini masih terbayang wajah cantik seseorang yang menjatuhkan kameranya. 

"Kasihan juga sih dia, kalau harus mengganti kamera digitalku. Apalagi rumahnya kecil dan tidak layak menurutku." Lelaki itu lemah ketika mengingat kejadian tadi siang. 

Lagi-lagi lelaki itu terbayang wajah cantik itu walau dia tidak mengetahui nama gadis yang baru saja menyita perhatiannya. 

Nama? Siapa nama gadis itu? Batin Lii. 

Lii segera mengambil dompet kemudian menarik kartu pengenal mahasiswi miliknya. "Xiu Juan? Nama yang indah. Sesuai dengan wajahnya, cantik." Spontan, Lii berucap tanpa dia sadar telah mengagumi seseorang. 

Lii memandang foto kecil yang ada di kartu mahasiswa gadis itu. Entah disengaja atau tidak, dia membidiknya dengan kamera ponsel. Lii tersadar ketika ada panggilan masuk di ponselnya. 

"Sialan!" ketusnya sambil membuka layar ponsel yang terkunci. 

"Halo?"

"Lii, lu ada di mana? Kita udah ada di Club tempat biasa," jawab seseorang dari dalam ponsel. 

"Lagi malas keluar, gue di rumah aja."

"Ah, gak asik, lo! Cepat ke sini, gue ada kawan baru, cantik."

"Udah gue bilang, gue gak mau pacaran. Secantik apa sih cewek yang lu bawa?"

"Makanya ke sini, nanti lu liat sendiri, bodynya, wuuiiihhhh gak nahan!" seru lelaki itu dengan menggebu. 

Walaupun malas, Lii akhirnya bangkit dari ranjang king size ternyamannya. Dia meraih jaket berbahan jeans warna biru, tidak lupa dia mengikat rambut panjangnya. Lii meraih kunci mobil dan dompet, kemudian melesat di bawah langit gelap. 

Setelah perjalanan yang cukup jauh, akhirnya mobil itu terparkir di samping club. Lelaki jangkung itu turun dari mobil kemudian memasuki tempat gelap yang hanya diterangi oleh kerlip lampu-lampu kecil sebagai penerangannya. 

Di sana sudah terlihat dua orang sahabatnya, sahabat semasa kuliah yang dulu sempat lose contek. Ada yang berbeda, di sana mereka ditemani oleh wanita-wanita yang dia tidak kenal. Lii pun menghampiri. 

"Hai...." sapa seorang perempuan yang tidak dia kenal. 

Lii mengernyit. 

"Ini dia si Gondrong Ganteng kawan kita udah datang," ujar sahabatnya. "kenalin, Li, ini Rere yang gue bilang tadi ditelpon."

"Hai, Lii. Aku Rere." Gadis itu mengulurkan tangannya yang disambut oleh Lii. Mereka berjabat tangan. 

Semuanya larut dalam pekat malam yang dihibur oleh wanita dan juga minuman yang memabukkan di meja. Kedua sahabatnya sudah hilang kesadaran, entah dengan cara apa mereka berdua pulang. Tetapi tidak dengan Lii, lelaki ini terlalu kuat hanya dengan minum beberapa gelas wine. 

"Balik, yuk?" ajak Lii pada Rere. 

"Oke!" jawabnya santai. 

Mereka berdua masuk ke mobil kemudian melesat menjelang pagi. 

"Lii, kok kamu enggak mabuk? Sementara kedua sahabatmu saja sudah mabuk sedari tadi," tanya Rere yang heran pada Lii. 

Lii tersenyum kecut. "Sudah biasa," jawabnya singkat. 

Dingin sekali lelaki ini, kaya sih kaya. Kalau dinginnya mengalahkan es balok bahkan kutub utara pun takluk melihat sikapnya, keluh Rere dalam batinnya. Dia merasa sulit untuk memenangkan hati Lii. 

Jangankan memenangkan, respek saja tidak ada dalam ekspresi wajah lelaki tampan ini. 

*** 

Xiu tidak menyangka ketika Lian memberitahu kabar kemarin tentang Jingmi. 

"Aku gak mau nikah sama Tuan Jingmi, Ma," ujar Xiu.

"Mama pun tidak ingin kamu menikah dengan dia, Xiu. Hanya saja kita bayar dengan cara apa? Sementara bunganya saja tiap hari semakin bertambah besar. Bisa-bisa rumah ini pun tidak dapat menutupi untuk jaminan bunganya saja."

Hening. 

Bagaimana ini? Aku tidak mau kalau sampai menikah dengan Tuan Jingmi. Aku pun harus membayar kamera digital milik Kak--Kak siapa namanya, ya? Batin Xiu. 

Walaupun gundah, Xiu memutuskan untuk pergi ke kampus, siapa tahu kawan-kawannya bisa membantunya, entah dengan cara apa. 

"Ma, nanti kita bahas lagi, ya? Tapi Xiu tidak mau kalau harus menikah dengan Tuan Jingmi. Lebih baik Xiu mencicil uang walau mungkin harua seumur hidup!" tegas Xiu. 

Gadis itu berangkat ke kampus dengan perasaan campur aduk, dia berjalan ke halte bus dengan langkah gontai karena pikirannya menerawang entah ke mana. Terlalu banyak yang dia pikirkan, antara hutang ibunya, juga dirinya pada seorang laki-laki yang entah namanya siapa. 

"Xiu?" panggil seorang lelaki. 

Xiu menolah, "Hyun?" 

"Kamu kenapa? Tumben, masih pagi udah ngampus? Ada kuis?"

Xiu menggeleng. 

"Lalu?"

"Aku ada masalah," lirih gadis yang biasanya ceria. 

"Masalah apa kalau boleh tau?"

"Panjang ceritanya, yang jelas aku lagi butuh uang, Hyun."

"Gitu, ya? Rencanamu apa?"

"Aku ingin kerja paruh waktu, tapi mana ada pekerjaan seperti itu? Atau, aku stop dulu kuliah, ya? Biar bisa fokus nyari duit," ujar Xiu yang sudah sangat pusing. 

"Jangan, sayang dong kalau kuliahnya pending? Kalau mau, aku akan carikan pekerjaan. Di tempat kerjaku kebetulan lagi buka lowongan pekerjaan, nanti aku bantu agar kamu bisa bekerja tanpa mengganggu kuliah, mau?"

Sepasang mata sipit itu membulat. Binar bahagia terpancar dari raut wajah cantik Xiu Juan. "Beneran?"

"Iya. Tapi mungkin posisinya rendah, seperti aku yang hanya seorang office boy," ujar Lii. 

"Gak papa, aku mau kok. Makasih, ya, Hyun?"

"Untuk apa?"

"Untuk semuanya. Kamu mau bantu aku, makasih!" Xiu menggenggam tangan sahabatnya dia terlampau bahagia mendengar sahabatnya mau mencarikan pekerjaan untuknya. Namun, hal itu malah dipandang berbeda oleh Hyun, lelaki ini malah semakin bergetar karena grogi. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status