Logan diam, memandang ke arah Martin. Wajah pria paruh baya itu tampak tenang, tetapi sorot matanya tidak bisa berbohong. Meski Logan tak menunjukkan banyak emosi, tapi ada sesuatu dalam sorot matanya yang mengatakan bahwa dia bisa merasakan kesedihan yang dirasakan Martin. Suasana di sekitar mereka kembali hening, seolah waktu berhenti sejenak, membiarkan setiap orang tenggelam dalam perasaan masing-masing. Di sisi lain kota, Julia dan Elise duduk di meja kecil elegan, ditemani hiruk-pikuk percakapan dari meja-meja lain di Restoran mewah di tengah kota. Aroma truffle dan masakan mewah lainnya menguar di udara, menciptakan suasana yang menyatu dengan kota yang tidak pernah tidur itu. Julia menyentuh gelas campagne-nya, menatapnya sejenak kemudian meneguknya perlahan. Sementara Elise, yang duduk di seberang, memotong daging steak dengan gerakan elegan. Julia kembali meletakkan gelasnya, dengan suara tenang dia berkata, “Apa Aunty tahu kabar terbaru?” Elise menatapnya, wajahnya ta
Ibu dan anak ternyata sama saja!” Elise berujar dengan nada sedikit meninggi, tampak kesal.Julia menatap dengan bingung, alisnya berkerut. “Ibu dan anak … sama saja?” ulangnya dengan nada penasaran. “Maksudnya bagaimana, Aunty?” Elise mendadak diam, sadar jika dia salah berucap. Wajahnya seketika berubah, ekspresi kesalnya itu berganti canggung. Dia menatap Julia yang penuh kebingungan, mencoba mencerna apa yang baru saja dia ucapkan.“Ah, haha … tidak … kau hanya salah dengar tadi,” ucapnya, diikuti dengan nada penuh candaan. “Sudah, ayo habiskan makananmu.” Elise kembali menikmati makanan miliknya, berusaha menghindari pertanyaan dari Julia.Julia bertanya-tanya dalam hati, merasa penasaran. Matanya bergerak mengikuti pergerakan Elise, seolah mencari jawaban yang tersembunyi. “Aku yakin tidak salah dengar. Sepertinya ada sesuatu yang tidak aku ketahui. Jika aku tidak diberitahu, maka aku akan mencari tahu sendiri,” katanya dalam hati. Langit siang mulai beranjak senja, dengan s
Elise tercengang. “Apa katamu?” Dia memastikan jika indera pendengarannya tidak salah dengar, jika putranya itu membela menantu miskinnya. “Apa perkataan Henry kurang jelas?” tegasnya, di dalam matanya menunjukkan amarah. Gigi Elise gemertak. Dia tidak percaya jika putranya yang selalu menuruti ucapannya kini berani melawannya. Tak ada yang istimewa dan bisa dibanggakan dari menantunya, untuk apa putranya itu membelanya? Apa yang sudah wanita itu berikan pada putranya hingga berani melawan dan berbicara nada tinggi. “Untuk apa kau membelanya, Henry?” Suaranya meninggi, hingga urat di lehernya terlihat. “Wanita itu hanya mendatangkan kesialan di keluarga kita! Untuk apa masih dibiarkan saja?”Henry ingin meledakkan emosinya, tetapi dia harus bisa menahan di depan orang tuanya agar tidak meledak. Entah bagaimana dalam hatinya itu seperti tidak terima mendengar setiap perkataan mamanya.Akhirnya dia pun bersuara dengan tegas, “Sudah cukup, Ma! Jangan sampai Henry melaporkan ini pada
Tiga hari kemudian, suasana di rumah sakit tampak lebih tenang. Kondisi Eva jauh lebih baik dari kondisi sebelumnya. Begitu dengan Samuel, pemulihannya begitu cepat, karena imun tubuhnya sangat kuat. Meski masih sedikit merasakan sakit di bagian tertentu. Di ruang konferensi medis, Henry kembali melakukan pertemuan dengan beberapa dokter yang akan terlibat dengan operasi Eva. Dalam pertemuan itu, Samuel juga ikut turut andil. Di balik ketenangan mereka, para dokter mencoba bersikap normal. Namun sebenarnya, jantung mereka terpacu saat melihat ketegasan wajah Henry. “Aku rasa tidak ada lagi waktu untuk menunda operasi. Bagaimana dengan persiapan kalian?” ucapnya, memandang satu persatu dokter di ruangan itu. Dan seperti biasa, Dokter Collins yang menjawab, “Kami mempersiapkan sebaik mungkin, Tuan. Tapi-”“Tidak ada tapi-tapian!” Henry memotong dengan cepat, tahu apa yang akan dikatakan oleh Dokter Collins padanya. “Aku tidak menerima alasan dalam bentuk apapun. Yang aku butuhkan
Eva tertegun sejenak, mencerna ucapan Henry. Chicago? Kenapa dia tiba-tiba pergi ke sana? Namun, dia Menyadari kembali bahwa Henry adalah seorang CEO, penerus perusahaan milik Kakek Buyutnya. Sudah biasa dia datang dan pergi secara tiba-tiba. “Apa kau melakukan perjalanan bisnis ke sana?” Eva bertanya dengan pelan. Henry mengangguk, meski Eva tidak melihatnya. “Ya, aku melakukan perjalanan bisnis ke sana.”“Kalau kau menugaskan Asisten Ryan di sini, kau akan pergi dengan siapa?” Eva kembali bertanya dengan penasaran. Pasti dia pergi bersama Julia. Eva bisa menebaknya. Dua orang itu memang tidak akan bisa terpisahkan. Tak bisa disangkal jika hubungan mereka semakin dekat dan intim. Mengenai kedekatan Henry dan Julia tak memengaruhinya lagi. Seiring berjalannya waktu, dia menyadari jika cemburu hanya membuang-buang tenaganya. Dia sadar, jika kehidupan tak selalu seperti yang dia inginkan. Dulu, setiap kali dia melihat kedekatan Julia dan Henry, hatinya terasa sesak. Apalagi keny
Eva membeku, menyadari ada yang salah dengan ucapannya. Dia sedikit tergeragap. Bukan seperti itu yang dia maksud. “Aku hanya … tidak suka merasa terkurung!” jawabnya dengan tegas dan sedikit meninggi. Henry terkekeh pelan saat melihat Eva tampak kikuk. Sementara Eva berdecih kesal, pasti pria itu tersenyum penuh kemenangan dan begitu percaya diri. Dia sendiri juga bingung, bagaimana bisa orang itu bisa memiliki tingkat percaya diri tinggi sekali. Alias, narsis. Dengan cepat dia melanjutkan, “Jangan terlalu percaya diri! Aku berbicara seperti itu karena memang merasa tidak masuk akal. Kau bisa pergi sesuka hati, sementara aku …?” Eva menunjuk diri sendiri dengan ekspresi penuh ketidaksetujuan. “Harus terkurung di rumah sakit!”Henry tersenyum tipis. Meskipun suasana hatinya sedikit kesal dan cemas, tetapi dia tidak bisa menahan senyumnya. Dia merasa terhibur dengan sikap Eva yang menunjukkan ketidaksetujuan.Dengan suara melunak dia menjawab, “Kau benar, memang terasa tidak masuk
Bandara Newark Liberty International. Christian berdiri di depan Henry dengan napas terengah-engah. “Maaf keterlambatan saya, Tuan,” ujarnya, dengan napas masih terengah-engah akibat berlari. Henry yang berdiri di depannya mengernyit bingung. “Kenapa denganmu?” “I-itu … kata Asisten Ryan, Anda sudah menunggu saya di bandara, jadi saya datang buru-buru, takut Anda menunggu lama.” Henry hanya menatapnya dengan wajah datar. “Kalau begitu cepatlah, sebelum aku potong gajimu.” Dia mulai melangkahkan kaki diikuti Christian di belakang. Punggungnya tampak tegak dan kokoh. Langkah kakinya terlihat tegas, dan suara pantofel yang terbentur di lantai bagaikan irama mengiringi setiap langkahnya. Mereka berdua segera memasuki ruang pemeriksaan sebelum keberangkatan berlangsung. Karena jarak antara Manhattan dan Chicago cukup jauh, Henry memilih menggunakan pesawat untuk mempersingkat waktu. Dia berada di bandara lebih awal sebelum malam menjelang. Setelah melewati serangkaian pemeriksaan,
Henry berubah? Tidak mungkin. Pria itu terlalu arogan, terlalu keras kepala untuk sekedar melirik perubahan. Bahkan jika dia bersikap lebih lembut sekarang, apa itu tulus? Atau hanya karena papa? Eva tidak percaya begitu saja. Henry bukan tipe orang yang tiba-tiba menjadi baik tanpa alasan.Hingga suara Samuel mampu membuyarkan semua pikirannya, “Jangan terlalu dipikirkan. Aku datang ke sini ingin menyampaikan kabar baik untukmu.” Eva memasang wajah penasaran. “Kabar baik? Apa itu? Apa aku boleh pulang?”Setiap perubahan wajah Eva, Samuel mengamatinya. Wajah polos dan naturalnya itu tampak memikatnya lebih dalam. Namun dengan cepat dia mengusir perasaan itu. Dia pun berkata, “Bukan.”Tampak Eva tengah mengerutkan keningnya bingung. “Jika bukan, lalu apa?”“Aku dan Tim Dokter kembali membicarakannya, dan kami memutuskan jika besok adalah jadwal operasi kedua matamu dilakukan.” Eva terdiam sejenak, matanya melebar tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. “Operasi? Besok
“Kurang ajar sekali mereka mengganggu waktuku!” gerutunya, di selah-selah memasang dasinya. Waktu paginya yang indah itu terganggu, semua orang menghubunginya dengan hal-hal yang tidak penting menurutnya. Dia merasa belum puas menghabiskan waktu bersama Eva.Benar-benar menyebalkan!Eva mendekat, mengambil alih untuk mengikat dasinya. “Mungkin ada hal yang benar-benar mendesak,” katanya dengan suara menenangkan. Pandangan matanya turun menatap Eva. Dia meletakkan tangannya di pinggang istrinya dengan nyaman. Hanya butuh satu menit dasi itu terpasang dengan rapi. Eva mendongak, matanya bertemu mata gelap Henry. “Jangan terlalu keras pada dirimu, kau baru saja sembuh,” katanya penuh perhatian. Henry menarik napas panjang. “Kau tidak mau menahanku?”Eva memandangnya malas. Pria ini mulai bersikap dramatis. “Untuk apa?”Seketika Henry memasang wajah serius. “Kau benar-benar tidak peka dengan keadaan.”Eva mengedipkan matanya cepat. “Memangnya apa yang harus kulakukan?” Wajah Henry s
Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. “Apa yang sedang kau lakukan?” “Yang kulakukan …?” Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep
Eva membalas dengan tatapan bingung. “Kenapa? Apa kau perlu sesuatu?”Henry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. “Aku ambilkan makan malam untukmu.” Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. “Kenapa kau buru-buru sekali?” Suaranya pelan dan sedikit serak. “Aku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.” Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. “Jangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.” Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. “Memangnya kenapa jika mereka melihat?” jawabnya dengan acuh tak acuh. “Mereka tahu kalau kau Istriku.” Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped
“Ayolah … tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,” ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!“Racun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?” Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. “Aku hanya bicara sesuai fakta.” Eva membantah cepat, “Tapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.” “Coba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.” Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!“Aku rasa, racun itu
Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. “Papa mau ke mana? Ada kabar apa?”Gerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. “Papa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.”“Kepala Koki?” Mata Sophia terbelalak lebar. “Papa pergi dulu, ya.”“Mama ikut!” Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. “Saya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.” Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, “Simpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.” Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
“Itu ….” Dengan sekuat tenaga, Henry mengangkat kepala, mendekat, lalu menempelkan bibirnya di atas bibir Eva, memberikan ciuman yang lembut tanpa terburu-buru atau memaksa. Dia memberikan jeda satu detik. Namun, detik berikutnya dia sedikit menekan kepala Eva.Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin dalam. Eva yang mencoba mengimbangi irama Henry itu kini dibuat kuwalahan. Tangannya bergerak, mencengkeram baju yang dikenakan oleh Henry. Suasana di antara mereka semakin memanas, bukan sekedar hasrat, tetapi seperti pengakuan diam-diam tentang rindu yang tertahan, luka yang perlahan sembuh dalam pelukan. Ruangan itu hanya berisi helaan napas yang mulai tak beraturan, dan ciuman itu masih terus berlanjut, menghapus batas logika di antara keduanya. Henry melupakan kondisinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, menciptakan momen bersama istrinya. Dia menginginkan lebih. Ciuman itu bergerak perlahan ke leher Eva. Namun, tidak lama ciumannya terhenti karena Eva menarik
“Kenapa kau menempatkan Istrimu seperti seorang Penjahat yang tidak memiliki hati?” Eva melayangkan protesnya cepat. Henry terkekeh pelan, sedikit terhibur. Entah kenapa hati istrinya begitu sensitif sekarang. “Memeluk Istriku sendiri membuatku harus memohon. Aku heran, dunia apa yang sebenarnya kita jalani saat ini?” Henry menjawab dengan sindiran khasnya. “Kau benar-benar membiarkan Suamimu memohon?” Dia tak mau menghentikannya.Eva masih berpikir. Saat ini mereka di rumah sakit, bagaimana jika seseorang melihatnya? Pasti sangat memalukan. Henry memandang wajahnya dengan tatapan sayu. Dia tahu apa yang ada di pikiran istrinya. Dia mendengus. Sementara Eva menggigit bibir bawahnya, apakah dia harus menuruti permintaan Henry? Bagaimana jika ada yang tiba-tiba masuk? Henry masih menatapnya dengan raut sedikit cemberut, menunggu bagaimana reaksi Eva. “Sudahlah. Sebaiknya aku kembali tidur,” katanya dengan sedikit tidak suka dan pasrah. Henry mengembalikan posisi kepalanya menja
Sophia juga merasakan kelegaan, karena akhirnya ada perkembangan keadaan Henry. Dia ikut menyimak setiap penjelasan yang dokter katakan. Dan ketika dokter keluar dari ruangan, dia berpesan pada Eva. “Sekarang sebaiknya kau istirahat dulu, kau sudah berjaga sampai hampir pagi.” Yang Eva rasakan saat ini adalah mengantuk, tetapi dia menggelengkan kepala. “Aku takut jika nanti Henry membutuhkan sesuatu. Sebaiknya kau lanjut istirahat.” Sophia mendengus. Ternyata Eva memiliki sikap sedikit keras. Dia hanya tidak ingin wanita itu juga tumbang. Dia kembali mengingatkan dengan nada sabarnya, “Perhatikan juga kondisimu, Eva. Bagaimana kalau nanti Henry terbangun tapi justru kau yang jatuh sakit?”Eva terdiam, merenungi perkataan Sophia. Yang dikatakan wanita itu memang benar. Matanya beralih ke arah Henry. Dia pun tersenyum ke arah Sophia, lalu mengangguk. “Baiklah. Aku akan tidur sebentar saja.” Sophia mengangguk tidak mempermasalahkan. “Tidurlah sekarang. Aku keluar sebentar memberit