Di restoran bawah laut yang memukau di Maldives, Henry dan Eva duduk di meja yang dikelilingi oleh dinding kaca transparan.Eva tersenyum memandang ikan-ikan yang berenang dengan lincah. Sejenak, keindahan itu membuatnya terpesonaNamun, melihat ikan-ikan itu, pikirannya melayang kembali ke rumah tangganya yang penuh ketidakpastian.Betapa indahnya mereka. Mereka bebas, tidak terikat apapun. Sementara aku terjebak dalam proses yang seolah tidak pernah ada ujungnya. Kenapa semuanya harus begitu rumit?Dia merasakan berat di dadanya, mengingat semua perdebatan dan kesedihan yang menggelayutinya.Saat Eva tersenyum kecil memandang ikan-ikan itu, Henry mengecek ponselnya yang sudah tiga hari ini dia biarkan tergeletak begitu saja.Dia membaca pesan-pesan yang masuk. Namun di saat dia melihat pesan dari Julia, tiba-tiba saja wajahnya berubah.Eva yang melihat ekspresi Henry itu merasa hatinya menyempit. โAda apa?โHenry tidak menjawab, justru dia menempelkan ponselnya di telinga kanannya.
Saat tiba di rumah sakit, Henry melangkah terburu-buru menuju ruang yang ditempati oleh Julia. Dia mendorong pintu dan masuk.Julia menoleh ketika pintu ruangan terbuka, dia tersenyum tipis melihat kedatangan Henry. โHenry? Kau sudah pulang?โ Julia bangun, mengubah posisi duduknya dengan sempurna. Henry menyahut dengan paniknya, โBagaimana keadaanmu sekarang? Dan apa yang terjadi?โJulia berdehem pelan, menutupi senyum kemenangan yang nyaris tak bisa ia sembunyikan. โItu hanya gerd-ku saja yang kambuh.โHenry mendekat dengan cemas, duduk di sebelah brankar memeriksa kondisi Julia. "Kau benar-benar membuatku khawatir, Julia. Harusnya kau menurut dengan ucapanku waktu itu untuk memeriksakan kondisimu.โMendengar itu, Julia tertawa pelan, tapi wajahnya tetap menunjukkan ekspresi lemah. โaku sudah jauh lebih baik sekarang.โ Henry menghela napas, tampak lega. โSyukurlah. Aku akan tetap di sini untuk memastikan kau pulih sepenuhnya.โSenyum Julia semakin lebar, rencananya untuk menarik
Eva menarik napas dalam-dalam, mencari kata-kata yang tepat. โSebenarnya, aku ingin menyiapkan uang itu jika sewaktu-waktu mataku memerlukan penanganan lebih lanjut.โLuna mengernyit, sedikit merasa curiga. Benarkah biaya pengobatan matanya sebanyak itu? โApa sebanyak itu?" tanyanya, nada suaranya lembut tapi penuh kehati-hatian.Eva mengangguk, ia menatap Luna, berusaha mengatur ekspresinya lebih tenang. Kemudian melanjutkan, โItu adalah perkiraan semuanya yang aku butuhkan. Aku hanya ingin memastikan semuanya tersedia dan tidak membebani banyak orang.โAkhirnya Luna mengangguk, dia mengerti kondisi Eva. Mungkin benar yang dikatakan Eva. Semua harus dipersiapkan, biaya perawatan mata itu pasti sangat mahal.โAku mengerti, Eva.โ Luna menyentuh pundak Eva. โUang 50 juta dollar memang sangat banyak, tapi jika untuk kesehatanmu itu sangat wajar.โEva bernapas lega. Namun kebohongan yang dia lakukan tetap saja membebaninya. Sementara di rumah sakit, Julia tampak duduk di brankar terseny
Malam hari di kafe yang tenang, Eva dan Samuel duduk berhadapan, secangkir kopi hangat di depan mereka. Meskipun suasana santai, wajah Eva tampak serius. Dia mengaduk kopinya tanpa henti, berpikir mengenai apa yang akan dia katakan.โSamuel, aku ingin bicara tentang pekerjaan sampingan milik Temanmu waktu itu. Apa pekerjaan itu masih berlaku?โ tanya Eva pelan, menatap Samuel dengan penuh harapan. Samuel mengerutkan keningnya sejenak, tak lama kemudian dia teringat. โAh, pekerjaan itu? Tentu, Temanku masih membutuhkan orang untuk membantu pekerjaannya.โEva berkata dengan ragu-ragu, โBolehkah aku mengambilnya kembali? Aku berpikir, mengenai semua biaya yang harus aku tanggung, aku harus mengumpulkan uang lebih cepat.โโApa terjadi sesuatu? Berapa jumlah uang yang kau butuhkan?โ tanya Samuel, memastikan. โMungkin aku bisa membantumu jika itu mendesak.โDia memandang Eva dengan perasaan khawatir. โAku butuh 50 juta dollar,โ kata Eva pelan.Samuel membulatkan kedua matanya lebar-lebar.
Martin mencondongkan tubuhnya ke depan sambil memijat keningnya pelan. Lima menit yang lalu, dia mendengar kabar dari orang-orang suruhannya bahwa Henry telah kembali dari Maldives lebih cepat dari yang dijadwalkan.Semua rencana liburan yang telah dia siapkan kini terasa sia-sia. Rasa geram meluap dalam dirinya saat memikirkan alasan di balik kepulangan Henry.โJadi, dia memilih kembali hanya karena Julia,โ gumam Martin, tak percaya. Rasa kesal ini semakin membara saat dia membayangkan betapa bodohnya pola pikir putranya.โSepertinya yang jadi masalah di sini bukanlah Julia, tapi Henry juga.โ Martin berdesis pelan, kemudian melanjutkan, โApa karena alasan ini Eva mengajukan gugatan cerai?โDia menjadi teringat dengan pengajuan gugatan cerai Eva pada Henry. Setelah dipikir-pikir, tidak mungkin Eva mengajukan perceraian tanpa alasan yang jelas.โAku tidak akan membiarkan ini, mereka tidak akan berpisah.โMartin berusaha meredakan emosi dan mencari seribu cara agar Eva dan Henry tidak m
Henry menambah kecepatan langkah kakinya berniat mengejar Eva.Namun, Eva semakin jauh dari jangkauannya. Henry menatap punggung Eva yang semakin lama semakin menjauh.Dia berpikir apakah Eva tahu jika dia berada di rumah sakit ini? Dan apa yang dilakukan Eva di sini.Pandangannya beralih memandang ke ruangan yang baru saja didatangi oleh Eva. Keningnya kembali berkerut, ternyata ruangan itu spesialis dokter mata. Dia berbalik, kakinya menuju ke ruang pemeriksaan yang beberapa waktu lalu didatangi oleh Eva. Henry menatap gagang pintu yang dingin dengan ekspresi penuh tanya. Saat tangannya terangkat hendak meraih gagang pintu, poselnya berdering. Dia menurunkan tangannya yang masih mengambang di udara. Pandangan matanya menuju ke layar ponsel, nama Julia terpampang di sana. โHalo.โ Suaranya terdengar halus.Suara Julia terdengar di ujung telepon, โKapan kau kembali, Henry? Aku sudah lama menunggumu. Dokter juga di sini menunggumu datang sebelum aku benar-benar pulang.โHenry tersad
Henry berdiri tegak di depan jendela besar kantornya, dia memandangi pemandangan kota yang sibuk di bawah sana. Suara klakson dan hiruk-pikuk kota bergema hingga ke atas, namun Henry tenggelam dalam pikirannya sendiri.Pikirannya kembali pada Eva dan Samuel. Kedekatan mereka begitu jelas di depan matanya, setiap tawa mereka, setiap percakapan hangat yang mereka bagi. Henry merasa seolah ada dinding tak kasat mata yang memisahkannya. Dia sadar jika dirinya tidak mencintai Eva, tidak seharusnya merasa seperti ini, rasa tidak terima itu terus menghantui hatinya. Setiap kali dia melihat Eva tersenyum pada Samuel, ada rasa tidak terima yang menyelimuti hatinya.Dia menarik napas dalam-dalam, mencoba meredakan emosi yang terus mengganggu. โKenapa aku harus peduli?โ gumamnya pelan, bertanya pada dirinya sendiri. Namun seberapa keras pun dia mencoba menyangkal, rasa tidak terima itu sudah berakar kuat. Matahari siang yang menyengat hanya menambah panas di hatinya, membuat perasaannya sema
Henry melangkah masuk ke restoran, alisnya terangkat saat melihat suasana romantis di sana. Lampu-lampu redup dan lilin-lilin menyala lembut menciptakan suasana hangat.Restoran itu juga tampak sepi, semua kursi kosong seolah semuanya sudah diatur. โKenapa seperti ini?โ pikirnya, kedua matanya menyusuri setiap sudut. Dia melirik ke arah Ryan, berharap mendapat penjelasan. Namun Ryan hanya nyengir kuda di hadapannya. Henry memutar kedua matanya malas, sudah dia duga jika semua suasana romantis di sana adalah ulah Ryan.Ryan beralibi, โSaya hanya menjalankan tugas dari Tuan Besar, Tuan.โTuan Besar? Kening Henry berkerut bingung, antara percaya dan tidak. Henry menatap Ryan dengan tatapan tajam. โKau mengatakannya pada Papa?โRyan mengangguk, tetapi anggukan kepala berubah menjadi gelengan dalam waktu singkat. โSebenarnya Tuanmu itu siapa? Kenapa kau menuruti ucapan Papa?โ Henry berkata dengan sedikit ketus.โDi atas Tuan โkan masih ada Tuan Besar. Siapa tahu kalau nanti saya mend
Perlahan, Eva mengerjap. Dia tak tahu sudah berapa lama tertidur. Cahaya senja masuk melalui celah tirai, menandakan waktu sore. Sudah sore?Seketika, mata Eva terbuka lebar. Ternyata, dia tertidur dalam waktu yang lama. Dia berniat untuk bangun, tapi gerakannya terhenti saat menyadari ada tangan kekar yang melingkar di pinggangnya. Dia menoleh perlahan dan melihat sosok di sampingnya. Sudah pulang? Sunyi beberapa saat.Dia memerhatikan wajah Henry yang masih tidur dengan napas teratur dan wajah tenang. Pria itu masih mengenakan baju kantornya, dengan kancing kemeja atasnya terbuka. Saat tidur, pria ini begitu pulas seperti bayi, tapi saat terbangun, sikapnya begitu menyebalkan. Entah mengapa, pria ini membingungkan, terkadang tak masuk akal bahwa ada orang sepertinya di dunia ini. Masih dengan mata terpejam, Henry bergumam, suaranya serak khas seseorang yang baru bangun tidur. โApa kau selalu menatapku diam-diam seperti itu?โEva terkejut, tidak menyangka jika pria itu sudah ban
Ryan meringis, lalu menjawab, โTuan โฆ apakah Anda tahu berapa banyak laporan yang saya kerjakan saat Anda liburan?โHenry menatapnya datar. โItukan memang tugasmu sebagai Asisten,โ jawabnya santai dan bodo amat. โBerarti saya tidak bermalas-malasan, Tuan โฆ.โ Ryan menjawab dengan suara merendah. โKalau tidak malas, kenapa dokumen ini masih menumpuk di mejaku?โ Henry ngotot menyalahkannya.Ahirnya Ryan terdiam sejanak, meratapi nasibnya. Dalam lubuk hatinya, dia bertanya-tanya, kenapa hari ini Henry begitu menyebalkan? Biasanya, bosnya itu biasa saja mengatasi semua dokumen itu dan asik tenggelam dalam pekerjaannya. Namun, kenapa hari ini berbeda sekali? Dia seperti serba salah di mata Henry. Pasti gara-gara tadi pagi aku menerornya!Tapi, itukan karena Nyonya Besar. Kenapa tidak marah saja padanya? โBaiklah, maafkan saya, Tuan,โ katanya pasrah.Tak ada yang menang berdebat dengan Henry. Henry menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi. Matanya melirik ke arah ponselnya yang ada di s
โKurang ajar sekali mereka mengganggu waktuku!โ gerutunya, di selah-selah memasang dasinya. Waktu paginya yang indah itu terganggu, semua orang menghubunginya dengan hal-hal yang tidak penting menurutnya. Dia merasa belum puas menghabiskan waktu bersama Eva.Benar-benar menyebalkan!Eva mendekat, mengambil alih untuk mengikat dasinya. โMungkin ada hal yang benar-benar mendesak,โ katanya dengan suara menenangkan. Pandangan matanya turun menatap Eva. Dia meletakkan tangannya di pinggang istrinya dengan nyaman. Hanya butuh satu menit dasi itu terpasang dengan rapi. Eva mendongak, matanya bertemu mata gelap Henry. โJangan terlalu keras pada dirimu, kau baru saja sembuh,โ katanya penuh perhatian. Henry menarik napas panjang. โKau tidak mau menahanku?โEva memandangnya malas. Pria ini mulai bersikap dramatis. โUntuk apa?โSeketika Henry memasang wajah serius. โKau benar-benar tidak peka dengan keadaan.โEva mengedipkan matanya cepat. โMemangnya apa yang harus kulakukan?โ Wajah Henry s
Pagi menyapa dengan cahaya lembut menyusup dari celah gorden. Henry dan Eva masih tertidur pulas. Kehangatan masih terasa di antara mereka, sisa dari kebersamaan yang baru saja terjadi semalam. Eva membuka matanya perlahan, mengerjap beberapa kali sebelum akhirnya dia benar-benar terbangun. Kedua matanya mencerna suasana kamar yang begitu asing. Di mana ini?Dia belum sepenuhnya sadar. Hingga dia merasakan tangan kekar memeluk tubuhnya. Dia menoleh. Di sampingnya, Henry masih tertidur pulas. Deru napasnya terdengar begitu teratur. Henry? Butuh tiga detik untuk mencerna hingga dia benar-benar sadar dengan kejadian semalam. Dia mengangkat selimut dan melihat ke dalamnya. Rona merah mulai terlihat di pipinya. Dia malu, dan segera menarik selimut untuk membungkus kepalanya. Pergerakannya itu membuat Henry terbangun. Mata Henry masih setengah terpejam, ekspresi khas seseorang yang baru saja terbangun. Dengan mata setengah terbuka itu, dia bisa melihat gundukan selimut di depannya.
Dengan satu gerakan cepat, Henry mengangkat tubuh Eva, merasakan betapa ringannya tubuh itu dalam dekapannya. Eva begitu terkejut ketika tubuhnya terangkat begitu saja. Matanya menatap Henry dengan penuh kebingungan. โApa yang sedang kau lakukan?โ โYang kulakukan โฆ?โ Henry tersenyum penuh makna. Tanpa menjawab lagi, dia membawanya menuju tempat tidur. Henry membaringkan tubuh Eva perlahan. Eva merasakan jantungnya mulai berdetak lebih kencang saat ini. Suasana hening sejenak sebelum akhirnya Henry meraup bibir Eva. Awalnya ragu-ragu, tapi semakin lama, semakin dalam dan penuh hasrat. Tindakan itu begitu cepat. Eva yang sedikit terkejut kini memejamkan kedua matanya, merasakan gelombang hasrat yang Henry ciptakan. Kali ini, Henry seperti tidak memberikan ruang lagi untuk mereka berjarak. Kemudian, bibirnya turun perlahan menyentuh leher Eva.Eva bisa merasakan hembusan napas berat menyentuh kulitnya. Dia mencoba mendorong tubuh Henry, tetapi, Henry menarik tangannya ke atas kep
Eva membalas dengan tatapan bingung. โKenapa? Apa kau perlu sesuatu?โHenry hanya diam, dan tatapan mata yang masih tertuju pada Eva.Dia kenapa? Apa ada yang salah?Eva berdehem pelan. โAku ambilkan makan malam untukmu.โ Dia bersiap untuk bangkit dari duduknya.Namun, dengan gerakan cepat, Henry menariknya, membuatnya terduduk kembali. Akan tetapi, kali ini ia terduduk di pangkuan Henry. Saat itu, jantungnya berdetak lebih kencang, antara rasa terkejut dan tatapan dalam suaminya padanya. โKenapa kau buru-buru sekali?โ Suaranya pelan dan sedikit serak. โAku hanya ingin mengambilkan makanan untukmu.โ Eva sedikit gugup dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. โJangan seperti ini. Tidak enak jika pelayan melihatnya.โ Dia berusaha bangkit, tapi tangan Henry menekan pinggangnya, memaksanya untuk tetap tinggal. โMemangnya kenapa jika mereka melihat?โ jawabnya dengan acuh tak acuh. โMereka tahu kalau kau Istriku.โ Eva menoleh.Pria ini memang benar-benar keras kepala dan tidak ped
โAyolah โฆ tidak ada yang salah jika kita melakukannya. Kenapa wajahmu seperti itu? Kau bahkan sering menuntut lebih,โ ucapnya dengan penuh percaya diri.Tatapan mata Eva menjadi tajam. Pria ini benar-benar tidak punya malu dan terlalu percaya diri!Pintar sekali membalikkan fakta!โRacun itu bersarang di perutmu, tapi kenapa jadi otakmu yang bermasalah?โ Kata-kata itu terlontar begitu saja dari mulut Eva. Ekspresinya yang datar dan tanpa emosi itu membuat setiap kata yang diucapkan terdengar lebih tajam dan menusuk. Henry tidak mau kalah. Dia terus melayangkan serangannya menggoda Eva. โAku hanya bicara sesuai fakta.โ Eva membantah cepat, โTapi fakta yang kau katakan justru sebaliknya.โ โCoba katakan di mana kebohongannya? Setiap kau membalas, aku selalu kuwalahan.โ Eva terdiam. Melihat wajah dan senyum nakal Henry itu membuatnya semakin jengkel. Rasanya dia ingin keluar dan mengambil sesuatu untuk memukul kepalanya yang sedang bermasalah. Dasar pria mesum!โAku rasa, racun itu
Dua hari kemudian.Lawson menutup teleponnya, lalu mengambil mantel panjangnya dengan tergesa-gesa. Sophia mendekat, memasang wajah penasaran. โPapa mau ke mana? Ada kabar apa?โGerakannya saat memakai mantel tampak terburu-buru. โPapa mau ke Dermaga. Kepala Koki menjadi tersangka dari insiden kemarin.โโKepala Koki?โ Mata Sophia terbelalak lebar. โPapa pergi dulu, ya.โโMama ikut!โ Sophia menyambar tas, kemudian berlari mengejar langkah suaminya. ****Dermaga. Di tengah suasana tegang, kepala koki itu terlihat berlutut, dengan suara gemetar. Dia menahan tangis, dan memohon ampunan di depan orang-orang yang berjejer penuh kekuasaan, memandang ke atas dengan tatapan penuh harap. โSaya berani bersumpah, saya tidak pernah melakukannya.โ Salah satu tim keamanan itu menjawab dengan penuh otoriter, โSimpan semua jawabanmu itu, kita tunggu Tuan Lawson datang.โ Kepala koki memegang ujung bajunya dengan tangan gemetar, dia terus memohon, tetapi tak ada seorang pun yang bergeming, maupun
โItu โฆ.โ Dengan sekuat tenaga, Henry mengangkat kepala, mendekat, lalu menempelkan bibirnya di atas bibir Eva, memberikan ciuman yang lembut tanpa terburu-buru atau memaksa. Dia memberikan jeda satu detik. Namun, detik berikutnya dia sedikit menekan kepala Eva.Ciuman yang semula lembut itu perlahan semakin dalam. Eva yang mencoba mengimbangi irama Henry itu kini dibuat kuwalahan. Tangannya bergerak, mencengkeram baju yang dikenakan oleh Henry. Suasana di antara mereka semakin memanas, bukan sekedar hasrat, tetapi seperti pengakuan diam-diam tentang rindu yang tertahan, luka yang perlahan sembuh dalam pelukan. Ruangan itu hanya berisi helaan napas yang mulai tak beraturan, dan ciuman itu masih terus berlanjut, menghapus batas logika di antara keduanya. Henry melupakan kondisinya. Yang ada dalam pikirannya saat ini adalah, menciptakan momen bersama istrinya. Dia menginginkan lebih. Ciuman itu bergerak perlahan ke leher Eva. Namun, tidak lama ciumannya terhenti karena Eva menarik