Ah, untuk apa memikirkan hal yang tak penting untuk sekarang ini, rumah tanggaku saja dalam masalah. Malah memikirkan story Egi yang tidak ada hubungannya dengan rumah tanggaku.
"Ihh, keren semalam kayaknya dia makan malam di restoran di tepi pantai yang harga makanannya selangit itu, aku mau dong ke sana,," ungkap Mela kemudian. "Lihat Mel?" Ungkapku sambil melihat ponsel Mela, Mela menunjukkan padaku. Aku jadi ingat semalam Mas Dimas juga mengunggah story nya sedang makan malam di restoran itu. Mengapa kebetulan sama dengan story Egi? "Mas Dimas juga makan malam di situ semalam Mel," ucapku. Tapi, Mas Dimas makan malam bareng Rendy dan Bosnya. Apa Mas Dimas tidur bareng Rendi juga ya? Ah...pikiran apa pula ini. Apa mungkin aku terlalu berlebihan, terlalu overthinking karena saat ini pikiranku sedang sangat kacau. "Jangan-jangan mereka ketemu lagi Nay. Mas Dimas dan Egi saling kenal kan?" Aku mengangguk dan hanya tersenyum getir dan menepis semua prasangka buruk ku. "Seru ya? Tapi Betewe Lo kok nggak ikut Nay?" tanya Mela penasaran. "Mas Dimas kan kerja Nay, bukan untuk pergi liburan, nanti lain kali kami atur waktu untuk bulan madu," ungkapku pada Mela. Bulan madu seperti apa? Bahkan untuk merasakan malam pertama saja tak bisa. Setelah berbicara beberapa saat aku pun memutuskan untuk pulang ke rumah, begitu juga dengan Mela yang katanya ingin segera tiba di rumah dan beristirahat, karena besok kami harus bekerja kembali seperti biasa. ~~~ Mas Dimas pulang, setelah tiga malam di Bali, ia tampak lelah, namun terlihat sangat bahagia. Aku bisa melihat saat ia senyum-senyum sendiri. "Bahagia banget kayaknya Mas," tegurku. Ia tersenyum dan memelukku. "Bahagia dong, karena aku udah ketemu kamu," ucapnya. Aku tersenyum dan tersipu-sipu malu. "Oh ya?" Tanyaku tak yakin. "Iya dong!" Sahutnya sambil mengecup keningku. Sesaat kami terdiam, mas Dimas kembali sibuk dengan ponselnya. "Emm, Mas kapan kita pergi ke pengobatan, aku udah ketemu lho pengobatan alternatifnya, katanya di sana banyak yang bisa sembuh Mas," ungkapku. "Ya, nantilah kapan-kapan kita ke sana," Ungkapnya dengan nada malas. "Kok gitu? Mas udah janji mau berobat, sekarang kok nggak mau!" Ucapku mulai tersulut emosi. "Aku capek Nay, aku baru saja pulang, bukannya disambut dengan baik, malah ngomongin yang nggak penting!" Ucap Mas Dimas. "Apa kata Mas? Nggak penting? Nggak penting? Ini demi rumah tangga kita, demi kelanjutan rumah tangga kita, Mas. Bisa-bisanya kamu bilang nggak penting," ungkapku dengan nada kesal. "Tapi nggak dalam waktu dekat ini dong. Aku sibuk, aku banyak pekerjaan!" Ungkapnya dengan nada marah. "Iya aku tahu, setidaknya kamu bilang iya aja, apa susahnya sih!" Ia menarik nafas dan mendengus kesal, kemudian ia menatapku dengan tatapan tajam sambil menahan amarahnya yang hendak meledak. "Cukup! Aku nggak mau berdebat denganmu, aku capek!" Ungkapnya dengan nada pelan namun penuh penekanan. "Aku mau mandi!" Ia pun berlalu ke kamar mandi dan meninggalkan aku begitu saja. Aku terduduk di ranjang, menghela nafas berat, aku berharap Mama dan papa tak mendengarkan pertengkaran kami ini. Padahal baru saja dia minta maaf dan berjanji akan melakukan pengobatan untuk kesembuhannya, sekarang ia malah tak mau. Setelah ia pulang dari Bali, kehidupan kami sebagai sepasang suami istri terasa hambar. Tak ada peluk cium seperti biasanya, apa lagi lebih dari itu. Mas Dimas juga selalu pulang malam, dengan alasan lembur dan lembur. Jika sudah di rumah ia akan langsung mandi dan kemudian tidur. Mas Dimas baru saja selesai mandi, tadi aku menawarkan untuk makan malam, namun ia mengatakan sudah makan di luar. Setelah mengeringkan rambutnya dengan handuk Mas Dimas merebahkan tubuhnya di sampingku. "Mas kamu dari mana?!" Tanyaku pada Mas Dimas dengan nada datar, hari ini Sabtu ia keluar dari siang sampai malam. "Kenapa sih kamu bawel banget!!" Sentaknya tiba-tiba. "Mas aku kan nanyak kamu dari mana, masak karena itu pun kamu marah," ungkapku dengan nada lembut. "Aku dari kafe nongkrong-nongkrong bareng teman-teman aku, nggak boleh? Selama aku menikah dengan mu, semua kamu selidiki, aku seperti menikah dengan penyidik saja, bawel banget," ucapnya sinis. "Aku ini istrimu Mas, aku berhak tau kemana kamu pergi. Akhir-akhir ini juga, kamu selalu saja pulang malam, Mas kemana aja sih? Masak iya selalu lembur," ungkapku mengeluarkan isi hatiku yang selalu aku pendam. Sampai-sampai orang tuaku bertanya mengapa Mas Dimas selalu saja pulang malam. Berbagai alasan aku utarakan agar Mama dan Papaku tak mengetahui perubahan sikap Mas Dimas. "Kamu nggak percaya!? Harus ya saat aku sedang bekerja di kantor aku kontenin agar kamu percaya? Heran, kamu bawel banget tahu nggak jadi istri," ucapnya dengan nada marah. Ia merebahkan tubuhnya dan tidur membelakangiku. Hanya bertanya dia pulang dari mana saja, aku dibilang bawel. Aku hanya bisa menghela nafas berat, menyaksikan kehidupan pernikahan yang aku impikan sempurna, sekarang berantakan seperti ini. Aku seperti menikah untuk mengubah status saja. Tak bisa mendapatkan hak ku sebagai istri. Apa aku harus memberitahu adik Mas Dimas atau orang tuanya?? Entahlah. Aku merasa pernikahan yang aku impikan sempurna dan bahagia, kini sirna. Mas Dimas yang tak pernah marah padaku, dari mulai mengenalnya kini telah berubah. Aku juga merasa Mas Dimas seperti menutupi sesuatu, tapi entah apa. Semalaman aku tak tak bisa tidur, namun Mas Dimas tidur nyenyak Hinga dengkuran halusnya Terdengar ke telingaku. Apa dia tak merasa bersalah sedikitpun?? *** Bersambung!Aku kaget saat Zayn tiba-tiba bersikap seperti pasanganku dan membelaku. Bukannya aku tersanjung tapi aku merasa risih karenanya. “Zayn?? “ “Jangan salahkan Naya Ma, dia nggak salah, aku yang terlalu mengharapkan Naya. Bukan dia yang mendekati aku, “ ucap Zayn membelaku. “Terserah siapa yang mendekati siapa, tapi Mama tidak setuju jika kamu ingin bersama dia. Bebet, bobotnya nggak jelas tiba-tiba mau dijadikan istri. Jangan seperti dia karyawan baru entah dari mana asalnya tiba-tiba mau jadi menantu, “ ungkap Bu Eva. Darahku mendidih saat Bu Eva merendahkan aku seperti itu, seolah aku ini adalah pengemis cinta Zayn. “Bu Eva saya memang karyawan baru di sini. Saya juga tidak bersedia dijadikan istri oleh anak ibu, apa lagi menjadi menantu ibu,” ucapku. Zayn panik karena aku terlalu berani untuk melawan mamanya. Aku tak takut jika aku benar, aku bukan wanita murahan yang gampang jatuh cinta. “Berani nya kamu,” ucap Bu Eva sambil mengepalkan tangannya kesal. Aku mendekati B
Aku menunggu jawaban dari Barra, namun saat aku akan mengalihkan panggilan vedio, tiba saja dia berseru, “Naya.. Nanti aku telpon lagi mendadak aku mulas nih! “Mendadak panggilan terputus, Barra agak mencurigakan kali ini, aku yakin sepertinya Barra dan Keivandra itu adalah orang yang sama. Aku hanya bisa menghela nafas. “Sepertinya aku harus mencari tahu tentang hal ini, “ ungkapku dalam hati. Hari berlalu, Pak Zayn kini terang-terangan menunjukkan perasaan nya padaku. Ia selalu menghubungiku dan memberikan perhatian lebih dari seorang karyawan dan atasan. Teror demi teror aku Terima, entah itu secara langsung atau melalui telepon. Pagi ini aku datang lebih cepat ke kantor, rencananya ingin menemui Pak Zayn. Aku ingin agar dia bersikap bisa saja baik itu di kantor atau di luar kantor. Namun saat kemarin aku meminta untuk menjauhiku Pak Zayn mengatakan hal yang membuat aku tak percaya.“Aku nggak bisa Nay.. Aku jatuh cinta saat melihat mu pada pandangan pertama, saat kamu masuk
“Oh ini rupanya anak baru yang diajak makan oleh Zayn?? “ Ucap seorang wanita cantik, dia Katerina. Ia sedang memoles bibirnya dengan lipstik. “Maaf.. “ ucapku sambil tersenyum. Kemudian ia menghentikan aktivitasnya dan menatap ke arahku. “Nggak usah sok lugu lah, kamu kan orangnya? Kamu kan yang sudah mendekati Zayn?” ungkap wanita itu dengan mata melotot. Aku tersenyum dan berusaha untuk tenang, sepertinya kabar aku makan bersama Pak Zayn sudah tersebar. Pantes saja Gaby yang satu ruangan denganku, agak sedikit memperlihatkan raut wajah masam padaku.“Kalau yang diajak makan oleh Pak Zayn memang saya, tapi kalau saya mendekati Pak Zayn itu tidak benar, Mbak.. Katerina, “ ucapku tegas. Bisa-bisanya aku mendapatkan masalah seperti ini, sementara aku tak tertarik sedikit pun untuk mendekati Pak Zayn. “Dasar munafik, tak ada satu orang pun yang tak suka pada Pak Zayn. Bohong! Apa lagi kamu yang Cuma karyawan biasa di sini. Pakai pelet apa kamu tiba-tiba Pak Zayn apa kamu, ha??”Aku
Aku menunggu ponselnya berdering. Namun hingga beberapa saya lamanya menunggu, tak ada bunyi dering yang berasal dari ponsel nya. Aku kembali menghubungi nomor Barra tapi tetap saja tak diangkat namun Kay yang ada di depanku juga terlihat santai dan ponselnya juga tak berdering. “Kenapa melihat saya terus? “ tanyanya. Aku kaget dan hampir saja ponselku terjatuh ke lantai. “Eh, eh maaf... pak., “ ucapku agak kikuk dan segera memutar tubuhku agar tak menghadap ke arah Kay. “Kenapa? “ tanyanya lagi dingin sambil terus menatap layar ponsel nya. “Em, saya pikir Bapak mirip seseorang, teman saya, “ ungkapku. “Oh ya? Jadi karena itu kamu terus memperhatikan saya? “ tanyanya. “I-iya Pak! “jawabku lagi agak kikuk. “Em.. Boleh saya bertanya? “ tanyaku hati-hati. “Ya.” Ia mengangkat kepalanya dan menatapku lama. Sorot mata itu, persis seperti Barra. Sangat mirip. “Apa kah Pak Kay punya suadara kembar?” tahyaku penasaran. “Tidak.” Aku mengangguk-angguk mengerti. Sepertinya Kay memang ta
Ah, untuk apa pusing memikirkan urusan petinggi-petinggi perusahaan ini, toh aku hanya karyawan biasa, karyawan baru pula. Aku juga belum terlalu paham tentang masalah internal perusahaan ini. Lagi pula siapa yang akan menggantikan Pak Wijaya tak menjadi masalah bagiku. Yang paling penting adalah bekerja dengan baik, hitung-hitung bisa jadi pegawai terbaik, siapa tahu akhir tahun dapat bonus. Pikirku sambil tersenyum. “Hai.. Senyum-senyum aja, nggak lapar?? “ Tiba-tiba Mbak Maya menepuk pundakku sehingga membuat aku kaget dan terlonjak. “Ya Allah Mbak Maya aku sampai kaget lho.. “ Mbak Maya dan Eli tertawa geli melihat aku kaget dan memekik. “Lagi mikirin Pak Zayn ya.. Jangan dek ya.. Jangan ..Mamanya seram, lagi pula si centil Katerina itu memang naksir berat sama Zayn. Kemudian di ruangan ini, tuh si Gaby juga naksir banget sama Pak Zayn, banyak saingan..“ ungkap Mbak Maya sambil menujuk ke arah Gaby yang memang cantik dan stylish. Aku tertawa lebar. “Enggaklah Mbak, ngapain mi
Aku menganggukkan kepalaku dan masuk ke dalam, menutup pintu ruangan dengan pelan dan kemudian berdiri di dekat sofa mereka duduk. Pak Zayn melihat ke arahku dan tersenyum. “Duduk aja, nggak apa-apa, “ ungkapnya. Aku duduk di sofa di antara mereka berdua dengan perasaan canggung yang amat sangat. Mereka kembali melanjutkan perbincangan. Aku hanya duduk diam dan menunggu Pak Zayn selesai bicara. “Seharusnya kamu segera mundur dan sadar diri. Kami tidak menerima yang bukan anggota keluarga, “ ungkap Pak Zayn. “Ya, aku tahu dan cukup sadar diri. Kamu nggak usah memberitahu aku, Zayn. “ Aku kaget saat mendengar suara itu, suara itu persis seperti suara Barra. Tak ada bedanya. “Bagus kalau kamu sadar. Biar aku dan Axel saja yang bersaing untuk mendapatkan perhatian dari kakek, aku harap kamu mendukungku, Kay. “ ungkap Pak Zayn. “Pasti! “ Nah.. Benar namanya bukan Barra tapi Kay. Jadi dugaanku ternyata memang salah. Mengetahui nama pria yang agak mirip Barra ini membuat aku sed