Pagi itu, matahari baru saja naik ketika Ghenadie melangkah keluar dari rumahnya, pikirannya dipenuhi oleh rasa cemas dan kebingungan. Ia masih belum percaya dengan apa yang terjadi kemarin.
Pertemuan tak terduga dengan seorang lelaki bernama Pak Andri ketika dirinya mau pulang dari berjualan bakso mengubah segalanya. Pak Andri, yang saat itu tampak lelah dan terluka, menyuruhnya datang ke sebuah perusahaan besar dengan janji bahwa direktur perusahaan itu mencarinya.
"Kalau begitu, besok kamu datanglah ke perusahaan, bertemu dengan direktur kami," kata pak Andri kemarin sambil menahan rasa sakit di rusuknya.
“Baik,” jawab Ghenadie, yang saat itu juga sama-sama terluka setelah kejadian diserang orang suruhan Joko.
Cuma sayangnya, karena waktu malam dan minimnya penerangan, Joko dan Lina sewaktu itu berada dari kejauhan dan cuaca mulai gelap, mereka tidak mengenal pak Andri yang terlempar jauh.
Sementera meskipun masih bingung dan ragu, Ghenadie setuju. Tetapi ada satu hal yang membuat pikirannya terus berputar, pernyataan pak Andri bahwa ia akan diangkat sebagai direktur baru di perusahaan tersebut.
Tes DNA akan dilakukan sebagai bagian dari proses tersebut. Ghenadie hampir tidak bisa percaya mendengar kata-kata itu. Meskipun tanpa Ghenadie sadari, pak Andri secara diam-diam telah melakukan tes DNA.
Selama ini, Ghenadie hidup sebagai anak miskin dan ayahnya dikatakan sudah meninggal, tanpa tahu siapa orang tuanya sebenarnya. Dan sekarang, ada kemungkinan bahwa ia adalah pewaris sah dari perusahaan besar itu?
Pikiran ini masih berkecamuk di kepalanya ketika ia akhirnya tiba di gedung yang disebutkan oleh pak Andri.
Bangunan itu tinggi dan megah, dengan dinding-dinding kaca yang memantulkan cahaya pagi. Ghenadie merasa kecil di hadapan bangunan tersebut, seperti ikan kecil yang terjebak di lautan besar.
“Ini benar-benar terjadi,” gumamnya sambil menatap gedung megah itu.
Dengan langkah ragu, ia memasuki bagian depan lobi utama. Mata-mata pekerja kantoran yang berkeliaran sedikit meliriknya dengan tatapan penasaran, mungkin karena penampilannya yang tidak seformal para pekerja di sana.
Karena sewaktu datang Ghenadie memakai sepeda dan pakaiannya jauh dari dikatakan formal seperti para pekerja kantor itu.
Ghenadie berjalan ke meja resepsionis dan memberikan namanya.
"Selamat pagi, apa Anda ada janji?" tanya resepsionis dengan sopan.
“Saya diminta bertemu dengan Pak Andri,” jawab Ghenadie sambil menyerahkan kartu nama yang diberikan Andri kepadanya semalam.
Resepsionis itu memeriksa kartu tersebut dan kemudian tersenyum tipis. "Anda bisa langsung ke lantai dua, menghadap ruang manager SDM terlebih dulu."
Ghenadie mengangguk, merasa sedikit lega. Setelah menanyakan arah naik, dia berjalan menuju ke arah lift dan menekan tombol lift dan pintu terbuka, jantungnya kembali berdegup kencang.
Bagaimana jika semua ini hanya kesalahpahaman? Bagaimana jika dia sebenarnya tidak diinginkan di sini? Pikiran-pikiran itu terus mengganggunya saat lift naik menuju lantai dua.
Ketika pintu lift terbuka, Ghenadie melangkah keluar dan mulai mencari ruang manager SDM. Tetapi tiba-tiba, ia melihat sosok yang sangat dikenalnya.
“Joko?” gumamnya tanpa sadar.
Di ujung koridor, berdiri Joko, seseorang yang telah merebut kekasihnya, Lina. Joko memang terlihat sangat berbeda, gaya hidupnya jelas lain lah dibandingkan dengan dirinya.
Mengenakan jas rapi dengan sikap angkuh, Joko tampak seperti seseorang yang sangat berkuasa.
“Ghenadie?” Joko menoleh, terkejut melihat Ghenadie di sini.
Namun, keterkejutan itu hanya berlangsung sesaat sebelum senyumnya berubah sinis. “Apa yang kamu lakukan di sini?”
Ghenadie bingung harus menjawab apa. Ia tidak menyangka akan bertemu Joko di tempat ini, apalagi dalam posisi seperti ini.
“Aku... Aku diminta datang ke sini,” jawab Ghenadie singkat.
Joko tertawa kecil. "Jangan bercanda, apa kamu datang ke sini untuk mencari Lina lagi, kan? Apa kamu belum kapok akan kejadian semalam? Jangan harap kamu bisa mendekatinya lagi," ujar Joko sinis.
Nama itu, Lina, langsung memunculkan rasa tak nyaman di dalam diri Ghenadie. Lina, kekasihnya yang hubungan mereka berakhir buruk. Sebelum Ghenadie bisa menjawab, suara langkah kaki mendekat, dan Lina sendiri tiba-tiba muncul dari arah kiri kantor.
Ia tampak terkejut melihat Ghenadie di sana, tetapi tak lama setelah itu, ekspresinya berubah menjadi dingin.
"Ghenadie?" Lina bertanya dengan nada yang tidak terlalu ramah. "Apa yang kamu lakukan di sini?"
"Anjing kurap ini mungkin mencarimu," ujar Joko sinis.
Lina menatap Ghenadie dengan jijik dan memandang rendah, memang kondisi Ghenadie jauh di bilang hidup berkecukupan. Bajunya saja lebih cocok sebagai kain lap.
Sebelum Ghenadie bisa memberikan penjelasan, seseorang lain masuk ke dalam percakapan. Seorang pria tua dengan penampilan angkuh dan kaku, Pak Budi, manajer SDM perusahaan dan paman kandung Joko.
Wajahnya memperlihatkan ketidakpercayaan saat melihat seorang Ghenadie berdiri di lobi kantor. Apa lagi dengan penampilan lusuh dan pakaian seadanya. “Siapa kamu?” tanya dengan kata-kata yang merendahkan.
“Saya Ghenadie, pak. Saya di suruh pak Andri menghadap.”
“Mustahil pak Andri kenal dengan pecundang sepertimu. Kamu datang ke sini untuk mengganggu saja, kan? Tidak ada tempat bagimu di sini, Ghenadie," kata Pak Budi dengan nada menghina.
Pak Budi berkata begitu, karena sedikit banyak telah dari mendengar cerita dari Joko, keponakannya. "Kau pikir dengan datang ke perusahaan besar ini, kau bisa mendapatkan sesuatu? Kau mungkin hanya ingin mengganggu Lina."
Ghenadie menelan ludah, berusaha menahan amarah yang mulai membakar di dalam dirinya. Semua tuduhan ini, semua hinaan ini, salah. Ia tidak datang untuk Lina. Ia tidak datang untuk membuat masalah.
***
Langit di atas markas bawah tanah perlahan kehilangan warnanya.Biru berganti putih, lalu transparan, dan akhirnya... hanya kilatan lembut, seolah realitas memilih untuk menjadi hambar agar bisa dimulai ulang.Symon berdiri di pusat simpul dimensi. Tubuhnya tak lagi anak-anak, tapi juga belum sepenuhnya dewasa. Ia bukan manusia, bukan ayam kuno, bukan mesin. Ia adalah titik tengah.“Apa yang akan kau lakukan sekarang?” tanya Razak, yang kini duduk di ambang ruang pelindung waktu.Symon menatap ayahnya. Sorot matanya tenang, tapi jauh. “Aku bisa membuka segalanya. Tapi jika kulakukan... waktu akan kehilangan makna. Tidak akan ada lagi 'sekarang'. Tidak akan ada masa lalu untuk belajar, atau masa depan untuk berharap. Semua... menjadi satu.”Ena-4 bicara pelan, “Itu... bisa jadi akhir dari semua konflik. Atau awal dari kehampaan abadi.”Kembalinya DindaSinar keemasan menyembur dari belakang simpul.Dan dari dalam celah dimensi, Dinda melangkah keluar—masih dengan gaun lapuk dari Dimens
Pagi itu, Symon berdiri di tengah panggung gravitasi nol, membentuk simpul dimensi pertama, suatu titik pusat yang menyatukan tujuh arah waktu, sembilan lapisan realita, dan dua jenis kesadaran.Dari luar, markas bawah tanah berubah menjadi seperti bunga tak kasat mata: memekarkan kelopak-kelopak cahaya ke berbagai penjuru galaksi.Ena-4 berkata dengan suara gemetar, “Jika simpul ini berhasil stabil selama 72 jam… maka tidak akan ada lagi monopoli waktu. Konsorsium akan runtuh… karena dimensi tak bisa mereka kunci lagi.”Kaenra memperingatkan, “Tapi itulah yang membuat mereka nekat. Mereka akan mengerahkan apa pun untuk menghentikan ini… termasuk mengaktifkan sang pendiri yang mereka kubur sendiri.”Mereka akan berupaya dengan segala cara dan kemungkinan, tak peduli seberapa besar rintangan yang menghadang. Dalam diam, tekad itu tumbuh, menguat setiap kali harapan nyaris padam.Mereka sadar, jalan di depan tak mudah—penuh risiko, penuh tantangan. Namun, menyerah bukan pilihan. Mereka
Suasana markas kembali senyap.Tapi bukan damai.Telur kristal yang diberikan Dinda kini diletakkan di dalam kubah waktu-biologis, ruangan berbentuk setengah bola yang mampu mempercepat pertumbuhan sambil menjaga stabilitas energi. Namun apa yang terjadi justru di luar ekspektasi siapapun.Telur itu... tidak statis.Warnanya berubah-ubah setiap detik: biru seperti langit prasejarah, merah seperti plasma dimensi, ungu seperti tinta pemikiran. Dan setiap perubahan warna, seluruh sistem sensorik di markas berkedip.Ena-4 memutar alat pemindai.“Makhluk di dalam telur ini... tidak memiliki bentuk yang tetap. Ia beradaptasi dengan pikiran kita. Jika kita takut, ia akan menjadi bentuk yang kita takuti.”Dia bukan makhluk biasa. Ia seperti bayangan yang bisa mencium rasa takut dan membaca isi pikiranmu. Semakin kau berpikir tentangnya, semakin jelas wujudnya terbentuk.Bila kau takut, ia akan menjelma sebagai horor tergelap dari mimpimu. Tapi jika kau berharap, ia akan menampakkan diri sebag
Tiga hari telah berlalu sejak kejadian di Node Detonasi Sistemik.Seluruh kapsul klon telah mendarat dengan selamat di titik-titik penyamaran. Di antara puing sistem jaringan Konsorsium yang kini mulai kacau, kode empati buatan Razak terus menyebar, menginfeksi pikiran-pikiran dingin yang selama ini hanya mengenal perintah dan data.Namun ketenangan itu retak ketika frekuensi anomali ditangkap oleh Kaenra.“Ini... bukan interferensi biasa,” katanya malam itu. Suara monitornya bergema di ruangan pusat observasi. “Sinyalnya sangat kuno. Seperti berasal dari dimensi yang sudah dikunci 19 tahun lalu.”Itu adalah dunia antah berantah, bukan sekadar asing, tapi tak terlukiskan oleh logika maupun imajinasi. Tak ada peta, tak ada arah mata angin, hanya kabut misteri yang melayang tanpa ujung.Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang disembunyikan semesta. Tapi mereka tak punya pilihan. Untuk menemukan kebenaran, mereka harus masuk ke sana. Menembus kekacauan, menantang absurditas.Karena ter
Ruang kendali pusat markas bawah tanah berkedip merah.Ena-4 menjatuhkan stylus logamnya. “Waktunya tinggal dua menit lima belas detik. Jika detonasi dimulai, setiap kapsul klon akan hancur dalam atmosfer. Tidak akan ada bukti yang tersisa... seolah mereka tak pernah ada.”Razak tak bicara. Ia hanya menatap layar hologram yang menampilkan posisi lima belas kapsul pengangkut klon yang meluncur ke berbagai titik dimensi. Salah satu di antaranya membawa Mina-7.Ia menatap dengan senyum damai saat mengirim transmisi terakhirnya. Di balik sinyal cahaya yang merambat di angkasa hampa, tersembunyi perpisahan yang tak terucapkan.Keenam klone lainnya, yang selama ini berbagi kesadaran dan misi dengannya, juga melakukan hal yang sama — saling menatap, saling memahami, saling mengucap selamat tinggal tanpa kata. Mereka tahu, ini akhir dari kebersamaan mereka sebagai satu kesatuan pikiran.Tapi tidak ada ratapan, hanya keheningan agung dan senyum tulus yang menyiratkan penerimaan. Dalam kedamaia
Di tengah malam yang sunyi, di bawah gua berlapis obsidian transdimensional, Razak berdiri seorang diri.RZK-V tidak ikut.Ena-4 dan Kaenra pun menunggu dari jarak jauh.Malam itu bukan untuk para strategis. Bukan untuk para algoritma. Tapi untuk jiwa-jiwa rusak yang telah dibuang sejarah.Di sekeliling Razak, perlahan mulai bermunculan siluet tubuh-tubuh cacat: ada yang memiliki tangan tambahan, sayap yang sobek, mata yang tak bisa fokus, kulit yang terbakar akibat percobaan dimensi.Mereka adalah klon gagal.Dan dulu, di masa eksperimen Konsorsium... mereka dianggap sampah biologis.Namun malam ini, satu suara menggema:“Kalian pernah dilahirkan... bukan karena pilihan. Tapi sekarang, aku ingin menawarkan pilihan yang bahkan mereka tak bisa bayangkan: kebebasan dengan harga kehormatan.”Para Klon yang HilangKlon bernama KZ-011, separuh wajahnya berkulit ayam, separuhnya terbakar asam, berdiri dan bertanya:“Kenapa kau di sini, Razak? Bukankah kau sempurna? Bukankah kau anak sang pa