“Kami... eh—”Tania tersedak malu. Sinta sengaja membalikkan roti di piring dengan garpu. “Oh, jangan malu-malu. Aku sudah dewasa,” ujarnya sambil menyipitkan mata melihat bekas gigitan di bahu Juned. “Dagingnya empuk?” Juned tersedak minumannya sementara Tania meraih bantal untuk menyembunyikan wajahnya yang merah padam. Sinta akhirnya tak tahan dan tertawa lepas, “Santai saja! Ini rumah liburan, bukan seminari.” Dia sengaja meninggalkan nampan dan berjalan kembali ke dapur. “Aku lupa sesuatu... kalian berbenah dulu sebelum kita makan bersama.”Sinta menghilang kembali ke dapur, pintu tertutup perlahan di belakangnya dengan sengaja meninggalkan celah kecil. Sementara di ruang tengah, Tania mengumpulkan pakaian yang terserak, wajahnya masih merah saat menemukan tanktop hitamnya teronggok di bawah meja kopi. - Juned melemparkan kaus oblong yang sudah robek ke arah keranjang cucian, lalu mengganti celana pendeknya dengan santai. “Kau benar-benar terlalu santai di depannya.”
Juned menghela napas. “Baru mau paham alur ceritanya...” Tanpa peringatan, Tania melemparkan remote dan langsung melompat ke pangkuan Juned, membuat sofa berderit protes. “Kalau memang baru paham alurnya...” bisiknya di telinga Juned sambil memainkan kerah baju Juned, “...harusnya kamu sudah tahu apa yang terjadi di adegan selanjutnya.”Juned tersedak ludahnya sendiri, tapi tangannya otomatis merangkul pinggang Tania. “aku pikir kita sedang... merayakan kemenangan Sinta?” “Dan cara terbaik merayakannya...” Tania mencuri menarik kaos Juned ke atas, “...adalah dengan menikmati waktu yang kita miliki.”Juned menatap Tania yang masih bertengger di pangkuannya: "Kau sengaja pilih film itu dari awal, ya?" Tania hanya tersenyum licik sambil memencet tombol pada remote. Layar TV kembali menayangkan adegan panas menjadi background yang sempurna.Sementara di dapur masih bergemuruh dengan suara tumisan bawang putih dan letupan minyak zaitun. Sinta asyik mengocok telur untuk carbona
Sinta hanya tersenyum sambil memandang ke arah luar jendela.Mobil meluncur di jalan tol yang sepi, diterangi lampu jalan yang berjarak seperti kunang-kunang. Juned sesekali melirik kaca spion, mengawasi Sinta yang mulai mengantuk di kursi belakang. “Kalian berdua sebaiknya tidur saja,” bisik Juned sambil mengecilkan volume musik. “Masih setengah jam lagi.”Tania yang duduk di sampingnya menguap lebar. “Tanpa disuruh aku akan tidur,” ujarnya sambil memutar lagu nostalgia tahun 80-an Dari belakang, Bu Sinta tiba-tiba bersuara lirih “Dulu... waktu pacaran dengan Heru, kami sering ke bukit ini.” Tangannya menunjuk jalan berkelok di kejauhan. “Dia selalu bilang ingin punya vila di sini suatu hari nanti.” Terdengar decak kecil dari Tania. “Dan sekarang, pria itu bakal tak punya apa-apa tanpa Bu Sinta. Ironi sekali” Juned mengetuk-ngetuk setir dengan jari. “Kita tak perlu membicarakan dia malam ini. Ini hari kebebasan Bu Sinta.” “Tidak, Juned,” Bu Sinta tersenyum di kaca spion. “Aku
Saat Sinta masuk ke bilik ganti sebelah kanan, Tania juga masuk ke bilik di sebelah kiri. Hanya sekat kayu tipis yang memisahkan mereka. Juned masih asyik memilih kaos di rak depan, tak menyadari percakapan yang akan terjadi. “Tan... Apa kau di sebelah?” suara Sinta terdengar pelan melalui sekat. “Iya, Bu Sinta. Aku di sini,” jawab Tania sambil melepas kaus hitamnya. “Tadi... maafkan aku.” Terdengar hentakan kecil di sekat, seperti Tania menempelkan telapak tangan di kayu. “Untuk apa? Aku yang harus minta maaf. Aku terlalu—”“Tidak,” sela Sinta. Suara resleting rok mini yang dibuka terdengar jelas. “Aku harus berterima kasih. Kau membuatku berani mencoba hal baru... meski akhirnya bukan untukku.” Di bilik sebelah, Tania terdiam. Bajunya yang baru tergantung tak tersentuh. “Kau tahu?” bisik Tania akhirnya. “Aku kagum padamu. Kau berani berdamai dengan dirimu sendiri. Aku... aku merasa senang dapat membantu wanita sepertimu.”Pintu ruang ganti terbuka hampir bersamaan. Sinta
“Selesai!” Suara stylist memecah kesunyian. Juned dan Tania mengangkat kepala dari ponsel mereka—dan terpana. Sinta berdiri di depan cermin, memutar perlahan untuk memperlihatkan penampilan rambut baru yang kini pendek sebahu, dipotong layer dengan gradasi warna cokelat madu yang memantulkan cahaya. Dipadu dengan riasan natural namun elegan, eyeliner sayap tipis yang mempertegas tatapannya.Juned perlahan berdiri, kopinya yang sudah dingin terlupakan. "Astaga..." Tania, yang biasanya tak pernah kehilangan kata-kata, justru diam. Matanya berbinar. "Aku... tidak terlihat konyol, kan?" tanya Sinta gugup, tangannya meraba-raba rambut barunya yang tak lagi sampai punggung. Tania bangkit dengan gerakan cepat, langsung memeluk Sinta erat. “Kau terlihat... lebih muda dari sebelumnya," bisiknya parau.Mereka melangkah keluar dari salon. Sinta berhenti sejenak, menengadah ke langit biru—seolah merasakan kebebasan untuk pertama kalinya. "Sekarang," ujarnya sambil mengeluarkan kartu
“Besok pagi, ini akan sampai ke Kepala Divisi Propam. Dan aku—“ Sinta menarik napas panjang, “sudah tanda tangani surat gugatan cerai dengan tuntutan 80% hartamu. Termasuk villa di Bali yang kau kira aku tak tahu.”Tania tersenyum, mengambil langkah mundur. “Kami hanya alat, Komandan Heru. Musuh terbesarmu ternyata ada di ranjangmu sendiri selama ini.”“Kami akan pergi sekarang,” ucap Sinta dengan suara dingin, merapikan blusnya yang kusut. “Silahkan nikmati momen terakhirmu bersama istri mudamu.” Dia melangkah ke pintu, lalu berhenti sejenak tanpa menoleh. “Besok pagi, bersiaplah menerima panggilan yang akan mengakhiri karirmu. Dan aku sudah kirim salinannya ke semua grup istri pejabat.” Tania melemparkan pandangan terakhir ke Heru yang terpaku di lantai. “Kau punya waktu 24 jam sebelum seluruh negeri tahu siapa kau sebenarnya.” Juned membuka pintu, membiarkan Sinta dan Tania keluar lebih dulu. Pintu kamar hotel tertutup perlahan, meninggalkan Heru yang terpaku di lantai dan