Pintu depan tertutup perlahan setelah Bu Ratna dan Rizka keluar, meninggalkan Juned dan Dinda dalam keheningan yang berat. Dua pengawal hitam masuk tanpa suara, mengangkat jenazah Sugeng dengan efisien seolah hanya memindahkan barang, bukan seorang yang baru saja kehilangan nyawa. Dalam hitungan menit, semua bukti mulai lenyap—bau obat bius disapu, noda di lantai dibersihkan, bahkan sisa-sisa pertarungan diatur ulang seolah tak pernah terjadi. Dan kemudian mereka pun pergi, meninggalkan Juned dan Dinda sendirian. Udara terasa pengap. Juned menatap Dinda, melihat betapa gadis itu gemetar, matanya kosong. “Aku... minta maaf,” suara Juned parau, pecah oleh rasa bersalah. “Aku cuma ingin balas dendam pada orang-orang yang telah menghancurkan hidupku. Aku tak tahu akan berujung seperti ini—melibatkan Bu Ratna hingga sampai orang yang bernama Nyonya Lim.”Dinda menggosok lengannya sendiri, seperti mencoba menghangatkan diri meski udara tidak dingin. “Kita sudah melangkah terlalu ja
Juned mengeraskan tinjunya, otot-ototnya mengencang seperti baja yang terlatih. “Aku sudah hancurkan Sugeng. Anton berikutnya. Apa lagi yang harus kutakutkan?” Bu Ratna menghela napas panjang, matanya tiba-tiba menunjukkan kedalaman yang mengerikan. “Kau dan aku, Juned... kita hanya bermain di pinggiran arena. Ada seseorang yang jauh lebih berbahaya di balik semua ini.” Dia melangkah mendekati jendela, menatap matahari yang bersembunyi di balik awan hitam. “Ibu angkat Anton... Nyonya Lim. Perempuan itu bukan manusia biasa. Dia memakan Pil Kuno peninggalan Dinasti Ming—Pil Kebebasan yang konon memberi pemakannya kekuatan di luar logika.”Rizka terkesiap. “Ibu tidak pernah cerita tentang ini!”“Karena ini bukan dongeng pengantar tidur, Nak,” Bu Ratna membelalak. “Nyonya Lim bisa merasakan niat buruk dari jarak kilometer. Gerakannya lebih cepat dari peluru. Dan yang paling berbahaya—dia bisa melepaskan diri dari kenyataan, membuatnya mustahil dilukai.”Juned menelan ludah. “Lalu ke
Rizka membeku. “Ibu... hamil?” Suaranya serak. Juned tersentak, wajahnya pucat. “Tunggu—itu... Pasti kesalahan... aku cuma sekali—” Bu Ratna mengetuk-ngetuk kuku merahnya di lengan sofa. “Dan itu cukup, Juned. Lebih dari cukup." Matanya berpindah ke Rizka. “Jadi kau lihat, Nak? Ibu tidak perlu bergantung pada rahimmu atau kegagalan Sugeng. Cakra Buana akan tetap memiliki penerus darah langsung.”Kesunyian yang mematikan menyergap ruangan. Di lantai, Sugeng tiba-tiba tertawa histeris. “Kalian semua sama! Gila kekuasaan! Juned... selamat ya, sekarang kau jadi ayah dan calon suami dari ibu dan anak—”PLAK!Dinda yang tadi diam tiba-tiba menampar Sugeng hingga terdiam. “Dasar pecundang! Setidaknya Juned bisa menghamili wanita dalam satu kali tendangan, tidak seperti kau yang butuh waktu lama hanya bisa ngocok di kamar mandi!”Bu Ratna mengambil langkah anggun mendekati Juned. “Tenang, Sayang. Ini urusan bisnis semata. Kau bebas tetap bersama Rizka... asalkan tidak mengganggu janin i
Juned mengangkat alis. “Jadi kita akan berhadapan dengan sang Ratu Cakra Buana?” Dinda yang sedang bersandar di dinding tiba-tiba tegang. “Aku sebaiknya pergi. Urusan keluarga—”“Tidak!” Rizka menggenggam tangan Dinda. “Kau bagian dari ini sekarang. Karena bantuanmu, aku jadi tahu siapa Sugeng sebenarnya. Ibu perlu tahu siapa yang akan menjadi tante dari calon penerus perusahaannya.”“Tante?” Dinda mengernyitkan dahi, matanya berputar ke segala arah. “Apa maksud ucapanmu, Mbak?” “Atas jasa yang telah kau lakukan. Mulai saat ini, aku menganggapmu sebagai saudaraku sendiri.” Rizka menggenggam tangan Dinda dengan lembut. “Kita juga telah berbagi cairan yang sama dari seorang pria.”Dinda sempat menoleh sejenak ke arah Juned yang mengangguk. “Kau harus menjamin keselamatanku.” Dinda mulai tersenyum meski dia tak banyak mengerti tujuan Rizka sebenarnya.Tak lama kemudian terdengar suara pintu depan terbuka dengan kasar. Bu Ratna berdiri di ambang pintu dengan balutan jas hitam, ma
Juned berjongkok di depan Sugeng yang terpuruk, menangkap dagunya yang basah dengan air mata dengan genggaman kasar. “Dengarkan baik-baik, Sugeng...” bisiknya, nafasnya masih berat. “Ibumu yang kau banggakan itu? Aku sudah menidurinya kemarin saat kau sibuk dengan pelacur-pelacurmu.”Sugeng membelalak. “B-Bohong...!” Juned mengeluarkan telepon, memperlihatkan foto Bu Ningsih tidur tanpa busana di ranjang sebuah hotel “Dia bahkan lebih liar dari sekedar wanita bermartabat, Sugeng. Lima kali klimaks dalam satu malam.”Rizka tertawa geli sambil memainkan rambut Dinda. “Oh jadi kamu mewarisi sifat ibumu yang suka jajan di luar?” Juned menepuk pipi Sugeng. “Sekarang kau mengerti? Ini bukan sekadar perselingkuhan... Ini pembalasan sempurna.” Di sudut ruangan, Sugeng menyusut dengan tubuh menggigil seperti anak kecil. Matanya kosong menyadari kini harga dirinya hancur berkeping-keping.“Besok,” Juned berdiri, “kita akan mulai babak baru. Kau akan menyaksikan istrimu mengandung anakku
Sugeng menggeleng liar, tapi tubuhnya berbohong. Dinda tertawa pendek, lalu memandang Rizka—yang saat itu sedang terengah-engah di pelukan Juned. “Mbak, boleh aku pinjam suamimu sebentar?” Dinda menjilat bibir. “Dia kelihatan lapar.” Rizka, tanpa melepas pandangan dari Juned, hanya melambai tangan acuh. “Lakukan apa saja. Aku sudah selesai dengannya.” Juned tertawa kasar, menggigit bahu Rizka. “Dengar itu, Sugeng? Kau barang bekas sekarang.”Dinda tak membuang waktu. Dengan gerakan cepat, dia membalikkan posisi Sugeng, menekannya ke lantai. “Jangan khawatir,” bisik Dinda sambil membuka kancing celana Sugeng, “aku juga akan memberimu sebanyak yang Juned beri ke istrimu.”Sugeng terisak, tapi tubuhnya menyerah. “Lihat mereka, Sugeng,” Dinda mendesis, tangan bergerak cepat. “Lihat bagaimana istrimu menikmati diri sendiri—sementara kau tak bisa melakukannya.” Sugeng menggigit tangannya sendiri untuk menahan erangan—tapi Dinda menarik tangan itu. “Jangan. Aku mau dengar.”