POV Author.Tsabit memasuki rumahnya dengan tergesa-gesa. Saat ia masuk, Tsabit disambut Mbok Nah yang berlari tergopoh-gopoh menyongsong juragannya. Wanita itu terlihat merasa bersalah karena terlambat membukakan pintu padahal Tsabit memang sengaja gak mau membangunkan Mbok Nah. Terutama, dia sudah membawa kunci sendiri."Loh kok Mbok bangun? Sudah tidur lagi aja," titah Tsabit pengertian. Dia paham betul kalau usia Mbok Nah sebentar lagi mau enam puluh tahun, dia tidak mau banyak merepotkan."Iya Den, soalnya takut Den Tsabit mau makan," jawab Mbok Nah sambil membetulkan dasternya yang kebesaran. Tsabit tersenyum masygul. "Nggak kok Mbok. Tidur lagi aja silahkan. Oh ya, Hana ada di kamarnya, kan?"Mbok Nah mengangguk. "Iya Den."Tsabit langsung meluncur ke kamar untuk menemui istrinya. Hasrat ingin memeluk Hana begitu meletup-letup dalam dirinya. Tak dipungkiri, setelah kejadian Tari yang memeluk Tsabit dengan menggunakan pakaian teramat minim, hormon Feromon Tsabit seolah berkali
Mataku mengerjap pelan sambil sedikit menggeliat, entah mengapa baru saja terbangun rasanya aku ingin tidur lagi, sumpah mata ini ngantuk banget. Namun, mengingat sebentar lagi subuh aku mencoba mempertahankan mataku yang belo ini untuk tetap terbuka.Perlahan. aku melirik nakas yang ada di samping ranjang untuk melihat jam, alhamdullilah masih jam 4.00 pagi, masih ada waktu untuk bersiap-siap untuk mandi dan shalat subuh. Alamak! Capek banget rasanya. Tak kusangka yang namanya Tsabit itu emang kekuatannya bukan kaleng-kaleng. Meski sempat aku cakar punggungnya saat ia memasukkan senjatanya ke dalam gawangku karena sakit, ternyata tenaganya sama sekali gak surut. Dia terus bersemangat menyemai benih hingga aku pasrah dan terkulai tak berdaya.Sungguh, saat ini badanku terasa lemas sekali seolah tak punya energi untuk pergi. Begini nih kalau kelamaan puasa sekalinya diijinkan berbuat ternyata sang jantan minta keterusan alhasil seorang Hana yang telah hilang selaput dara-nya ini jadi
Sudah sejam berlalu tapi rasanya percuma, ikut kuliah karyawan pun pikiranku sedang tak berada di tempatnya. Harusnya saat ini aku fokus karena ini kali pertama aku masuk kuliah setelah sekian lama mangkir dengan berbagai alasan tapi nyatanya aku malah gagal fokus."Agh, payah!"Aku mendesah sambil menelungkupkan kepala di atas meja. Sepertinya aku sudah tidak perduli lagi dengan apa yang dibicarakan oleh Pak Candra dosen yang sedang mengajar di depan sana, benakku sudah dipenuhi oleh masalahku sendiri. Sepertinya otakku yang jarang dipakai ini menolak untuk berpikir tentang Biologi karena konsentrasiku hanya untuk Tsabit, Tsabit dan Tsabit. Terlebih usai Tsabit marah-marah dan memecat Teh Tari tadi pagi, hatiku semakin gak nyaman dan kepikiran tentang apa yang akan dilakukan Teh Tari pada Tsabit sehingga suamiku semurka itu.Aneh, kenapa Tsabit tidak mau memberitahuku apa yang terjadi? Terus kenapa Ocim dan Momod seolah susah dihubungi? Kenapa aku merasa kalut di saat ancaman Teh Ta
POV AUTHORTsabit terbangun dengan kepala yang terasa berat. Tanpa sadar dia sudah tertidur di ruang kerja rahasianya yang hanya dia dan orang kepercayaannya yang tahu. Pria itu membangkitkan dirinya untuk duduk, lalu meringis karena kepalanya terasa sangat pusing. Ia memijat pelipisya sembari melihat ke arah jam dinding, siapa sangka ternyata hari sudah sore.Dia mendecak pelan, merasa menyesal. Dikarenakan kelelahan dan kurang tidur dia jadi tidak sadar kalau sudah terlelap cukup lama. Tiba-tiba dia teringat belum menghubungi Hana. Dia berjanji pada dirinya sendiri untuk menjemput Hana di kampus dan berencana mengajaknya untuk pergi kencan sebagai ganti tak mengantarkannya ke kampus tadi pagi. Tanpa pikir panjang, lelaki itu gegas berdiri dan menuju ke kamar mandi. Wudhu lalu melaksanakan shalat ashar. Setelah shalat, dia menatap pantulan bayangannya di cermin. Jelas sekali kalau saat ini wajahnya sangat pucat, kepalanya pun berdenyut sekali. Sebenarnya, ingin sekali Tsabit berist
"Dan terjadi lagi. Kisah lama yang terulang kembaliKau terluka lagi. Dari cinta rumit yang kau jalani."Lirik lagu Noah yang terus menerus mendayu di telinga via ear phone seolah meng-isyaratkan apa yang kurasa selama ini. Jujur, aku berharap Mas Tsabit-lah yang menyanyikan lagu itu sekarang.Sebagai wanita yang terlihat kuat di luar tapi kenyal di dalam, aku juga punya sisi melow yang harus diperhatikan seorang pria. Aku ingin sekarang Tsabit menhiburku dengan suaranya yang khas itu karena seharusnya dialah satu-satunya orang yang memahami betapa hancurnya perasaanku.Aku tidak tahu mengapa kisah cintaku selalu tak menguntungkan, dulu aku memendam rasa pada Surya sekarang suamiku malah difitnah meniduri wanita lain. "Haaaaah!"Aku menghela napas pelan seraya berjalan gontai menuju ke kamar apartemen milik Tsania. Malam ini aku merasa sangat penat dan ingin beristirahat. Tsania yang baik telah meminjamkannya selama aku bermasalah dengan Tsabit.Setelah kejadian penyebaran gosip yang
Sembari memeluk bantal karena sedang sakit, tak henti pikiran Hana melayang ke kejadian kemarin saat dia dengan teganya mengusir Tsabit akibat marah pada suaminya tersebut. Hana yang gak terima Tsabit membela Tari, menyangka kalau Tsabit sengaja membiarkan Tari lolos padahal itu adalah moment yang tepat untuk Hana balas dendam.Dalam pikiran Hana, seharusnya Tsabit membiarkan Hana menghajar Tari biar tahu rasa tapi sebaliknya Tsabit yang lebih berpikir menggunakan logika berpendapat kalau Hana bersikap bar-bar bisa jadi memperuncing masalah karena itu hanya akan dijadikan Tari alasan untuk menyerang mereka.Mulanya, Hana sulit memahami jalan pikiran Tsabit tapi setelah dipikir-pikir Tsabit ada benarnya. Tari itu licik, dia pasti akan melaporkan Hana pada Polisi dengan pengaduan kekerasan pada ibu hamil padahal dia sendiri yang berbuat jahat. Menimbang itu, Hana sangat kesal. Kalau begini, dia jadi ingin hamil karena mau diakui atau tidak, posisi Hana saat ini memang tidak menguntung
Sebagai presdir sebuah perusahaan, Tsabit sudah terbiasa menghadapi banyak orang jahat, dari mulai orang licik sampai ke orang yang oportunis pernah Tsabit hadapi. Namun, semenjak masuk ke dalam masalah keluarga Hana, Tsabit jadi lebih banyak pertimbangan tidak bermain asal hajar karena bagaimana pun keluarga Hana itu beda. Entah mengapa Tsabit merasa keburukan keluarga Hana itu another level. Memang mereka terlihat adem ayem di luar tapi ternyata di dalamnya begitu banyak kekecewaan yang mengandung kemunafikan. Setelah diselidiki, ternyata Mamak dan Tari lebih banyak menyerang untuk menghancurkan mental istrinya yang dalam pandangan Tsabit terlalu berlebihan.Hana yang terbiasa dikucilkan oleh keluarga harus bertahan di tengah kesendiriannya yang lebih banyak mengalah. Tsabit sangat kagum pada Hana yang masih bisa berusaha bersikap waras sampai sekarang dan tidak memilih bunuh diri. Andai, Tsabit yang memiliki ibu semacam almarhum Mamak dan kakak tiri semacam Tari mungkin dia sudah
Sekian menit berlalu tanpa arti, keheningan masih setia menyelimuti kami. Aku dan Tsabit seakan sibuk dengan pikiran masing-masing tanpa ada yang berani memulai. Dari mulai aku duduk di depan Tsabit, aku hanya bisa melihat lelaki di depanku ini sibuk memutar-mutar pulpen yang ada di tangannya seolah sedang berpikir.Aku mulai bosan tapi juga takut membuka suara lebih dulu. Jika kami terus seperti ini, bisa-bisa aku akan ketiduran sebelum memberi penjelasan. Sejujurnya, sebagai orang yang bersalah sebaiknya aku memulai percakapan lebih dulu tapi aku bingung bagaimana cara memulainya. Alhasil aku memilih bungkam karena di sisi ini akulah yang sedang diinterogasi. "Eheum!" Tsabit berdehem untuk mencairkan suasana canggung di antara kami. "Jadi ... apa alasan kamu merahasiakan hal sepenting itu dari saya? Dan kenapa harus disembunyikan?" tanya Tsabit dengan nada berat.Aku mendongak, menatap tepat ke netranya yang memerah. Sepasang mata itu memandangku lekat seolah mau memakanku bulat-