Seorang wanita berambut panjang tampak gelisah menatap ponselnya sedari tadi. Panggilan telpon berulang kali ia lakukan, namun tak sekalipun mendapatkan jawaban."Di mana dia?" gumamnya kesal.Langit mulai menggelap, menyisakan semburat jingga di ufuk barat. Suara kendaraan yang lalu-lalang tak mampu mengusir kegelisahan di wajahnya. Ia menggenggam ponsel lebih erat, seolah berharap benda itu bisa memberinya jawaban."Aneh, tak biasanya dia susah dihubungi. Sudah dua hari dia tak menjawab teleponku?"Kegelisahan kini menyelimuti seorang wanita berbaju seksi tersebut. Langkah-langkah kecilnya berputar-putar dalam ruangan kecil itu.Telunjuk rampingnya mengetuk bibir, namun tak seirama dengan detak jantungnya yang semakin tak menentu. Ia berhenti di bawah lampu yang menyala redup, memandangi layar ponsel yang kini hanya menampilkan nomor kontak yang sedari tadi tak dapat dihubunginya.Matanya menatap kosong ke dinding, ke arah jam yang tengah berdetak pelan. Ada sesuatu yang tak beres.
"Lepaskan Bintang!" teriak Liliana lantang. Tangannya berusaha meraih bocah lelaki yang kini berada dalam dekapan Silvia. Silvia yang berpenampilan sederhana tersenyum miring, matanya yang dingin berkilat penuh kemenangan. Tubuh kecil Bintang meronta, wajahnya memerah karena tangis yang tertahan. "Jangan coba-coba mendekat, wanita tua!" suara Silvia serak, tapi tegas, seakan setiap katanya menusuk tajam ke udara. Tangannya mencengkeram bahu Bintang lebih erat, membuat bocah itu mengaduh pelan. Liliana melangkah maju, hatinya diguncang antara marah dan tak tega melihat wajah Bintang yang bersimbah air mata dengan tubuh yang gemetar karena ketakutan. "Lepaskan dia! Kau tidak berhak membawanya pergi!" suara Liliana pecah, penuh emosi yang menekan dada. Silvia terkekeh lirih, lalu semakin menarik tubuh Bintang untuk mendekat padanya. "Dia anakku, kenapa aku tidak boleh membawanya pergi?" Bintang m
Liliana menatap Nirwan heran, lelaki yang kini tengah duduk bergabung untuk sarapan bersama itu tampak terlihat berbeda. Stelan santai melekat di tubuhnya yang kurus, senyum tipis sesekali terukir di wajah cekungnya. Persis seperti bunga yang baru saja tersiram air segar setelah hampir gersang dan mati. "Kamu tidak kerja hari ini, Nak?" Suara Liliana terdengar lembut."Hari Minggu," sahut Nirwan santai. "Mama tahu sekarang hari Minggu, tapi biasanya hari raya besar pun kamu tak pernah libur. Apa ada yang membuatmu senang?" balas Liliana semakin menyelidik. Bukannya ia tak senang dengan sedikit perubahan putranya yang tiba-tiba tersebut, hanya saja ia sedikit penasaran.Hal apa yang mampu membuat wajah putranya yang begitu suram bisa kembali berseri. Liliana menatap putranya lebih lama, mencoba mencari celah untuk memahami. Ada sesuatu yang berbeda pada sorot mata Nirwan kali ini—lebih terang, meski masih samar, seperti sinar mentari pagi yang malu-malu menembus tirai tipis.Nirwan
Sartika menarik napas pelan. Ia meletakkan cangkir tehnya ke atas meja, lalu menatap putrinya dalam-dalam.“Kadang, apa yang terlihat di luar bisa sangat berbeda dengan kenyataan di dalam, Nak. Dunia bisnis itu keras. Banyak yang terlihat mengagumkan, tapi rapuh di dalam. Bisa jadi dia mengambil risiko yang terlalu besar atau terlalu cepat berekspansi tanpa fondasi yang cukup kuat.”Nadira mengangguk pelan, menyimak setiap kata. Tapi pikirannya tetap berputar pada satu hal ketidakwajaran dari kejatuhan perusahaan tersebut, secepat itu, tanpa tanda-tanda sebelumnya.“Apa kamu sudah cek semua laporan keuangannya? Laporan audit terakhir?” tanya Sartika lebih serius.“Sudah dan di sanalah masalahnya. Laporan keuangan terlihat rapi, terlalu rapi bahkan. Nyaris sempurna. Tapi saat aku minta detail transaksi, ada beberapa dokumen yang belum bisa mereka tunjukkan. Katanya sedang direkap ulang,” jelas Nadira, menekankan nada curiga di akhir kalimatnya.
Mentari pagi yang terbit membawa cahayanya yang terasa hangat masuk ke dalam kamar melalui celah-celah jendela. Nadira berdiri di balkon menatap ke arah jalan raya, banyak anak-anak yang berlalu-lalang dengan seragam yang melekat di badan. Ada yang jalan santai sambil membaca buku, ada juga yang terlihat berbincang dengan teman jalannya dan ada juga yang tengah berlari seakan sedang dikejar sesuatu. Dering ponsel memanggil dirinya. Nadira mendengus kasar kemudian berbalik memasuki kamar. Ia meraih ponsel yang tergeletak di atas ranjang. Ia melihat ke layar, melihat nomor siapa yang tengah menelponnya. Senyum di bibirnya seketika terkembang. Satu nomor yang telah ia nantikan sejak kemarin. "Devan," serunya bahagia setelah mengangkat telpon tersebut. Suara tawa terdengar begitu nyaring dari balik telepon. "Nadira, akhirnya kamu angkat juga. Kupikir kamu masih marah," ujar suara di seberang sana, hangat dan sedikit menggoda.
Silvia pulang ke rumah dengan hati yang bahagia. Namun senyum di bibirnya seketika surut saat mendapati sosok lelaki berjaket coklat yang masih duduk di atas motor yang terparkir di teras rumahnya. "Ngapain kamu ke sini?" Kesal Silvia. Lelaki yang seharusnya tak lagi muncul dalam hidupnya, tiga bulan ini tiba-tiba hadir seperti parasit yang menghisap darahnya secara perlahan. "Gak perlu galak-galak begitu pada ayah anakmu ini," ujar lelaki itu santai sembari turun dari motornya. Ia mengikuti Silvia dari belakang untuk masuk ke dalam rumah. Di ruang tamu, lelaki itu langsung merampas tas yang Silvia pegang. Tentu saja Silvia tak tinggal diam. Tubuh kecilnya tak menjadi halangan untuk ia melawan. Namun sayang, nyali dan kenyataan tak lah sesuai. Silvia kalah setelah lelaki itu memberi sedikit sentakan hingga tas yang diperebutkan dapat di ambil. Silvia terdiam. Matanya menatap tajam ke arah lelaki itu yang kini membuka tasnya tanpa rasa bersalah sedikit pun. "Kembalikan