LOGINWarning 21+ Cataleya begitu bahagia dengan pernikahannya walau belum juga dikaruniai keturunan di tahun kedua pernikahannya. Namun kebahagiaan itu hancur seketika setelah mendapati perselingkuhan sang suami di hari spesial yang dia siapkan. Dan ternyata selingkuhan suaminya adalah ....
View More~ PASANGAN BERZ!N4 ~
Rintik hujan yang turun tak menyurutkan hati seorang Cataleya untuk bertemu pujaan hatinya. Seminggu tak bertemu seperti sewindu saja rasanya. Setelah dua jam mengendarai mobil hitam yang menjadi teman setia akhirnya Leya sampai juga di dalam garasi rumah minimalis miliknya. Senyum ceria tak henti-henti terukir di wajahnya. "Mas Abram pasti senang dengan kejutanku ini, untung saja Mbak Sofa bisa diajak kerja sama. Jadi aku bisa izin pulang lebih cepat," gumam Leya sembari menggapai paperbag yang berisi cake kesukaan suaminya. Tak lupa sebuah buket rangkaian bunga Lili putih yang indah melambangkan kesetiaan. Hujan kembali menggelegar, kilatnya menyambar-nyambar seakan tengah murka pada dunia. "Astaghfirullah, kenapa cuaca semakin buruk sekali. Sepanjang jalan hujan saja, tapi untung aku sudah di rumah. Tapi ... apa mungkin Mas Abram sedang tidur?" Kening Leya terlipat dalam melihat suasana rumahnya yang tampak begitu sepi seakan tak berpenghuni. Dia mengeluarkan kunci dari dalam tas yang terlampir di bahunya. Dengan langkah pelan dia melangkah masuk ke dalam rumah yang minim pencahayaan. Leya tak ada niat untuk memanggil nama suaminya ataupun penghuni rumah yang lainnya. Dia ingin membuat kejutan spesial untuk suaminya di hari anniversary pernikahan mereka. Sebagai wanita karier yang memiliki kedudukan cukup tinggi di perusahaan mengharuskan dirinya selalu siap ditugaskan ke mana saja. Satu minggu Leya tak pulang ke rumah, dia harus menghandle anak cabang perusahaan di luar kota. Leya terus melangkah ke kamar dengan perasaan yang berdebar. Terbayang dalam benaknya saat ini bagaimana ekspresi sang suami yang terkejut dan bahagia. "Ahhh!" Suara rintihan terdengar sayup-sayup dari balik pintu membuat tubuh Leya terpaku sesaat. Dadanya berdesir dengan sejuta tanda tanya di dalam benaknya. Di balik pintu itu adalah ranjang peraduan miliknya dan juga Abram. Jika dia berada di sini lalu siapa yang ada di dalam sana? Suara rintihan itu semakin jelas terdengar di balik gemuruh hujan yang menggelegar saat langkah kakinya semakin mendekat. Keringat dingin mengalir di pelipisnya. Tubuhnya pun sedikit bergetar dengan kedua tangan menggenggam erat hadiah yang dia bawa. Leya bukanlah anak kecil yang tak tahu arti dari suara-suara yang dia dengar saat ini. Tetapi dirinya masih berusaha untuk menyangkal jika bukan suaminya yang ada di balik pintu itu. Tapi di detik Leya membuka celah pintu itu sedikit, saat itu juga pertahanan hatinya hancur. Air mata menetes tak dapat dia bendung. Rasa sakit kecewa bercampur menjadi satu saat melihat sepasang anak manusia tengah menikmati keindahan surga dunia. Keduanya tanpa busana tengah berpacu dengan liar untuk mencapai kepuasan. Lengkuhan-lengkuhan nikmat mengalun seperti ribuan anak panah yang terlepas dan menancap di tubuh Leya. Kepala wanita berambut panjang yang tengah berada di atas suaminya sedikit berbalik. Wajahnya terlihat nyata di mata Leya. Tubuh Leya terhuyung kebelakang dan membentur tembok. Kakinya gemetar seakan tak mampu menopang tubuh kurusnya itu. "Arsya dan Mas Abram," ucapnya lirih. Wajahnya tampak begitu pucat seakan darah tak mengalir di sana. Di bawah derasnya hujan suara rintihan dan jeritan itu kian bergema seakan hanya ada mereka berdua di rumah itu. Air mata Leya kian membanjiri pipi. "Di mana Bi Imah dan Pak Nanang? Apa mereka juga ikut menyembunyikan ini semua dariku?" gumam Leya yang merasa heran tak ada siapa-siapa di rumah itu. Dia bahkan baru sadar jika dari awal pintu pagar sudah terbuka tanpa adanya satpam yang biasa bertugas jaga. Leya berdiri dan bergegas pergi. Dirinya tak mampu lagi untuk mendengar suara-suara yang menyesakkan dadanya itu. Bodohnya dia, bukannya mendatangi dan menghajar pasangan Zina itu. Leya justru berlari keluar rumah membawa mobilnya kembali pergi melaju di bawah derasnya hujan. ~ ~ ~ Di antara hiruk pikuk jalan Suratna yang ada di tengah kota, terdapat Leya yang duduk termenung seorang diri sembari memeluk lututnya. Leya yang tak tahu harus pergi kemana akhirnya terdampar di sebuah hotel bintang lima yang di suguhi Pemandangan kota X di penuhi dengan gedung-gedung pencakar langit. Ponsel berdering berulang kali. Leya yang tidak tidur semalaman hanya melirik sekilas pada ponselnya yang ada di atas meja, lalu kembali menatap hampa ke arah luar balkon. Leya yang melamun pun tak menyadari seseorang kini telah menemaninya dan tengah berdiri di sampingnya. Usapan lembut di kepala menyadarkan Leya dan sontak dia menoleh. Menyadari siapa yang ada di sebelahnya, tanpa suara ataupun untaian kata. Wanita cantik yang sudah berumur 28 tahun itu langsung memeluk pinggul wanita yang lebih tua 4 tahun darinya dengan derai air mata yang kembali membanjiri. "Kau membuatku panik Leya. Sudah lama sekali sejak 13 tahun yang lalu kamu bersikap seperti ini. Ada apa?" tanya wanita tak kalah cantik itu padanya. Tangan wanita itu masih mengusap punggung Leya, memberikan jeda untuknya menenangkan diri agar dapat bercerita. "Di-dia ... Mas Abram, dia mengkhianatiku Asna. Dia menduakanku. Semalam aku tak sengaja memergokinya sedang tidur dengan sahabatku sendiri." Asna terkejut. Dia menarik dagu Leya untuk menatap wajahnya. Mata bengkak dan sembab Leya cukup menjelaskan sudah begitu lama wanita itu menangis. "Apa Arsya yang kamu maksud?" Leya menganggukkan kepala. "Lalu kamu hanya akan diam saja, menangis dan meratap seorang diri di sini dan membiarkan mereka bersenang-senang atas penderitaanmu!" "Lalu aku harus apa Asna? Aku harus apa?" tanya Leya frustasi. Otaknya terasa buntu dan tak mampu untuk berpikir. Semangat hidupnya seakan telah pergi jauh meninggalkannya begitu saja. "Hapus air matamu!" Asna menggerakkan kedua jempolnya untuk mengusap linangan air mata di kedua sisi pipi sepupunya. Tatapan wanita itu begitu dalam dan penuh amarah. "Satu tusukan yang mereka berikan padamu kembalikan puluhan kali lipat agar rasa sakitmu bisa mereka berdua rasakan hingga datang mengemis di bawah kakimu! Balas mereka Leya, jangan terpuruk sendiri seperti ini. Lakukan apa pun yang bisa membuat mereka meminta ampun padamu." "Caranya?" tanya Leya seperti orang bodoh. Asna mendekatkan bibirnya di telinga Leya. Mata Leya melebar sempurna mendengarnya, dia mulai membisikkan rencana yang sama sekali tak pernah terlintas di otak Cataleya. "Apa aku bisa?" Lagi-lagi Leya ragu pada dirinya sendiri. Terkadang dia tak punya keberanian sebesar yang Asna miliki. "Manfaatkan wajah cantikmu ini, lalaki mana yang tak akan tergoda. Rebut kembali apa yang sudah dia curi darimu dan ambil miliknya juga sekalian. Sisanya biar aku yang atasi," ucap wanita bertubuh langsing berbalut gaun seksi itu menghasut.“Katakan dengan jelas siapa kamu?” tanya Nadira tegas. Mata cokelatnya menatap lurus pada wanita di hapannya. Mereka duduk bersama di sebuah kafe kecil yang berada di lantai bawah pusat perbelanjaan, di mana aroma kopi panggang menebar hangat di udara. Suasana kafe ramai, tapi bagi Nadira, dunia seperti menyempit hanya pada satu titik: sosok perempuan bernama Arsya. Kepalanya masih berdenyut sejak pagi, tapi wangi kopi membantu sedikit menenangkan pikirannya. Ia tak tahu mengapa dirinya mau menuruti ajakan wanita itu untuk bertemu — mungkin karena rasa penasaran atau mungkin karena bisikan samar dari masa lalu yang belum sempat ia pahami. “Kau benar-benar tak ingat diriku?” tanya Arsya perlahan. Suaranya serak tapi lembut, seperti seseorang yang berusaha menyembunyikan sesuatu di balik kesedihan pura-pura. Nadira menghela napas. “Aku tak ingat karena kita memang tidak pernah bertemu sebelumnya,” ucapnya tenang. “Dan aku t
Mobil hitam itu berhenti beberapa meter dari gerbang rumah Nadira. Mesin dimatikan dan kaca pintu di turunkan sepertiga. Wajah Nirwan tampak tegang. Kedua tangannya menggenggam erat setir, matanya tak lepas dari halaman rumah di seberang sana. Tak ada yang terlihat selain balkon dari lantai dua dan juga gerbang yang sedikit terbuka.Pintu gerbang yang terbuka sedikit kini perlahan terbuka seluruhnya oleh seorang satpam. Di susul munculnya mobil hitam dengan jenis dan seri yang berbeda dari miliknya. Alis Nirwan berkerut tajam. Matanya menatap tajam ke arah mobil yang kini perlahan keluar dari halaman rumah Nadira. Mobil itu berhenti sebentar di depan gerbang, memberi kesempatan bagi satpam untuk menutup pintu pagar kembali. Kaca yang terbuka lebar membuat Nirwan bisa melihat dengan jelas sosok lelaki di balik kemudi itu."Siapa pria itu?"Dari jarak itu, Nirwan bisa melihat jelas lelaki itu tersenyum. Senyum tenang yang entah kenapa membuat darahnya berdesir cepat
“Van.” Suara Nadira nyaris berbisik. “Ini … apa?” Mereka berdua seperti tengah memainkan drama romantis yang selalu muncul dalam sebuah sinetron romansa. Di mana sang wanita pura-pura terkejut dengan hadiah kejutan dari sang pria. Lalu bertanya seakan tak tahu benda apa yang tengah di pegang seperti anak kecil yang tak tahu apa-apa. Devan tersenyum tipis, tapi matanya jelas menampakkan gugup yang tak biasa. Dia berusaha sekuat tenaga untuk mengontrol laju jantung yang berdetak begitu kencang. Ia menghela napas pelan sebelum berkata. “Aku tadinya mau ngasih ini malam nanti, tapi rasanya ... gak ada waktu yang benar-benar tepat selain sekarang.” Devan mengambil cincin itu perlahan, memegangnya di antara ujung jari, siap memasangkan benda bulat kecil itu ke dalam jari manis wanita yang telah lama ia ingin miliki. “Nadira, aku tahu mungkin saat ini bukan momen paling tenang buatmu. Tapi aku juga tahu ... aku gak mau menunda-nunda lagi
Pagi itu udara terasa dingin, meski sinar matahari sudah mulai menembus tirai jendela ruang makan. Nadira duduk diam di kursinya, menatap piring-piring penuh hidangan yang kini terasa hambar di depan mata. Nasi hangat, telur dadar, sup ayam, perkedel kentang dan sambal—semuanya tersaji sempurna, tapi tak ada rasa lapar yang tersisa. Kepalanya masih penuh dengan bayangan semalam. Percakapan setengah jadi, emosi yang tertahan dan tanda tanya yang terus mengusik hatinya. Ia berharap setelah kembali ke rumah, semua misteri itu akan terjawab tuntas. Namun kenyataan malah berbalik. Sartika, ibunya, justru tak ada di rumah. “Bu Sartika mendadak berangkat ke Singapura, Nona,” kata pelayan malam itu. “Katanya ada urusan penting yang tidak bisa ditunda.” Nadira hanya bisa mengangguk kala itu, meski hatinya menolak percaya. Urusan apa yang begitu mendesak sampai ibunya pergi tanpa sepatah kata? Dan kini, pagi yang seharusnya tenan
Silvia memeluk lututnya di sudut sofa. Tubuhnya bergetar dan jantungan terasa melompat setiap kali ketukan keras di pintu itu terdengar. Jessy kembali datang ke rumahnya, sepertinya wanita itu tak berhenti mencari suaminya. Langkah-langkah Jessy di teras terdengar jelas, berat dan penuh tekad. Silvia menahan napas, berharap suara itu menjauh. Tapi tidak—ketukan itu kembali, lebih keras, lebih mendesak. Matanya mengintip dari satu jendela ke jendela yang lain, mencari celah diantara tirai itu agar bisa menembus ruangan gelap tersebut. Tak ada sedikit pun pencahayaan, semuanya gelap seperti langit yang mulai menghitam. “Silvia, aku tahu kau di dalam!” suara Jessy menembus dinding, tajam dan penuh luka. “Aku yakin suamiku terakhir bersamamu. Aku tak akan pergi sampai kau buka pintu! Atau aku laporkan saja dirimu ke polisi." Tubuh Silvia tambah bergetar hebat, bulir-bulir keringat semakin deras mengucur setelah mendengar kata "polisi" yang bergema
Nadira menatap layar ponsel sebentar. Nama yang muncul membuat alisnya sedikit terangkat kemudian mengulas senyuman tipis. Aura wajahnya bersinar terang seakan mendapatkan sesuatu yang telah lama ia tunggu-tunggu. Matanya kembali menatap Nirwan. Raut wajah lelaki itu justru berubah terbalik seratus delapan puluh derajat darinya. Datar dan susah untuk ditebak."Boleh saya permisi untuk mengangkat telpon ini sebentar?" pamit Nadira pelan sebelum ia beranjak menyingkir keluar cafe. Sebuah ruangan panjang yang ada di samping, memiliki sebuah kolam ikan kecil dengan pancuran air di atasnya. Di sanalah Nadira kini berada, mengangkat panggilan seseorang yang membuat hatinya berbunga-bunga hanya dengan melihat namanya saja. "Halo, Van. Ada apa?" sapanya hangat. Tangan Nadira perlahan menyentuh sekuntum bunga mawar merah dalam vas yang dirangkai dengan bunga lili putih dan baby bright. Tak hanya terlihat indah tetapi juga menyegarkan mata. Nirwan yang duduk di se






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments