Tanpa banyak berpikir, aku langsung bangkit dari pembaringan, membuat Ibu yang sedari tadi menatap sendu langsung menahanku.
"Kamu mau kemana?""Aku mau ke rumah Mas Seno."Mendengar jawabanku, Ibu makin kuat menahan tubuhku."Jangan! Lebih baik kamu istirahat saja dulu, Nak. Kamu juga baru kecelakaan.""Enggak, Bu! Aku udah baikan. Jadi Ibu jangan coba-coba menahanku. Lagi pula Mas Evan meninggal juga gara-gara nyelamatin aku. Gak etis saja rasanya kalau aku tak hadir di pemakamannya," tegasku sembari menepis pelan lengan Ibu."Ayahmu sudah ada di sana, Satria. Tolonglah turuti Ibu kali ini." Ibu kembali memohon saat aku berusaha melepaskan selang infus.Namun tetap saja aku tak bisa menuruti perkataannya lagi kali ini. Karena penting untukku menyaksikan langsung pemakaman Mas Evan. Kalau bukan karena dia, mungkin kini aku hanya tinggal nama.***Dengan diikuti Ibu yang masih terus melarangku, akhirnya aku tiba di kediaman Mas Seno yang sudah ramai oleh pelayat itu. Mas Seno dan Mas Evan memang hanya tinggal berdua, karena mereka perantau dari Jawa dan akhirnya menetap di sini karena Mas Seno mendapat jodoh orang kampung ini.Melihat kehadiranku, Ayah yang sedang berbincang dengan warga yang lain langsung terkejut. Spontan ia menarik Ibu menjauh dari kerumunan untuk mengajaknya berbincang.Aku yang malas menanggapi kedua orang tuaku itu lantas melanjutkan langkah hendak masuk ke dalam rumah Mas Seno.Namun belum sempat kakiku menginjak lantai ruang tamu, seorang wanita yang kutahu adalah calon istri Mas Evan langsung berlari ke arahku dengan sorot mata penuh dendam."Gara-gara kau! Gara-gara kau Evan meninggal! Dasar jahat! Kenapa bukan kau saja yang mati, hah?! Kenapa harus Evaaan?" Wanita yang kutahu bernama Amel itu mengamuk padaku, menampar, dan memukul tubuhku bertubi-tubi dengan penuh amarah.Mbak Sekar--istri Mas Seno yang sejak tadi selalu berada di sisi Amel langsung meraih tubuh wanita itu untuk menenangkannya."Mel, sudah, Mel. Jangan begini. Ini sudah takdir Evan, Mel."Amel yang terlihat sangat frustasi itu langsung menangis kencang di pelukan Mbak Sekar, membuat aku yang melihatnya makin merasa bersalah.Aku paham betul bagaimana hancurnya hati wanita itu. Pernikahan mereka sudah di depan mata. Hanya tinggal menghitung hari saja. Tapi gara-gara aku, semuanya jadi berantakan.Lamunanku buyar saat tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang. Saat menoleh, sudah ada Mas Seno di belakangku."Kamu duduk di luar dulu saja ya, Sat. Amel sedang tak baik-baik saja saat ini," ujar Mas Seno dengan wajah penuh kesenduan, membuat rasa bersalahku makin bertambah berkali lipat.Aku mengikuti langkah Mas Seno yang membawaku keluar ke halaman, lalu duduk di bangku plastik yang sudah tersedia di sana.Untuk beberapa saat hanya keheningan yang ada di antara kami. Karena rasa bersalah, aku jadi begitu canggung untuk bercakap. Padahal biasanya aku dan Mas Seno begitu akrab."Mas, aku minta maaf. Semua gara-gara aku--.""Sudahlah, Sat. Jangan menyalahkan diri sendiri. Karena Mas juga sama sekali tak menyalahkanmu. Evan melakukan itu semata-mata karena keinginannya sendiri," potong Mas Seno dengan pandangan menerawang.Usai berucap demikian, Mas Seno langsung bangkit karena Mbak Sekar memanggilnya.Kini tinggallah aku sendiri yang masih terus termenung memikirkan semua yang terjadi."Itulah akibat tak percaya mitos. Padahal sudah banyak yang mengingatkan mereka agar tak menikah di bulan suro. Jadinya ya begitu."Refleks aku menoleh saat mendengar suara pria yang begitu kukenal tengah menggunjing almarhum Mas Evan.Terlihat Lek Sutar ada di sana tengah bergosip dengan para pelayat yang lain.Namun, begitu aku melihat ke arah Lek Sutar, barulah aku tersadar jika sedari tadi para pelayat di sini mengenakan pakaian serba hitam seperti saat Roni meninggal kemarin.Yang lebih mengherankan, hanya Lek Sutar juga Ayah dan Ibuku saja yang terlihat memakai pakaian biasa dengan warna lain.Kepalaku terasa berdenyut, memikirkan keanehan-keanehan yang terjadi. Apa memang kini di kampung ini harus mengenakan pakaian serba hitam jika melayat.Ingin bertanya pada mereka jujur aku ragu. Akhirnya aku hanya bisa duduk termangu menatapi para pelayat berpakaian serba hitam itu.Tak berapa lama, Ibu kembali muncul setelah tadi diajak pergi oleh Ayah. Kali ini dengan tatapan memohon ia meminta aku agar pulang ke rumah."Memangnya kenapa, Bu?""Nak, tolonglah hargai keluarga almarhum. Mereka pasti begitu sakit kala melihatmu. Kamu lihat Amel tadi kan?" Ibu memohon kembali.Kali ini permintaan Ibu sepertinya tak dapat kutolak."Aku ke rumah Fatih saja kalau begitu, Bu."Ibu langsung mengangguk sumringah padaku.Aku langsung bangkit dan berjalan menuju rumah Fatih yang memang tak begitu jauh dari rumah Mas Seno. Dalam hati sudah bertekad, akan menceritakan semua yang terjadi pada Fatih.Sedikit heran juga, kenapa Fatih yang masih termasuk tetangga dengan Mas Seno tak pergi melayat.Beberapa saat berjalan, akhirnya aku pun sampai di depan rumah Fatih. Pintu rumah itu tertutup begitu rapat seolah tak berpenghuni saja.Tok! Tok! Tok!"Assalamu'alaikum ... Fatiiih!"Tanpa menunggu lama Fatih pun keluar. Lalu tanpa basa-basi, ia langsung menarik tanganku masuk ke dalam rumah dan kembali menutup pintu dengan rapat."Kenapa ni, Fat?" Tanyaku bingung melihat gelagat sahabat karibku itu.Tanpa menjawab Fatih langsung membawaku masuk ke kamarnya.Barulah setelah berada di dalam kamar terdengar ia menghela napas lega."Kenapa sih, Fat? Aneh banget kau ini.""Aku takut banget, Sat," ujarnya sembari memegang bahuku."Sepertinya memang kita salah sudah pulang ke kampung di saat bulan suro."Aku memutar bola mata mendengar jawaban Fatih. Anak ini yang biasanya lebih alim dan pintar dari aku bisa-bisanya percaya dengan mitos itu juga."Tih, ini udah zaman modern, dan kau masih percaya dengan mitos seperti itu? Kau tau kan? Ajal itu sudah ketentuan dari yang Maha Kuasa," bantahku sembari bergeleng-geleng menatap Fatih."Awalnya aku juga berpikir begitu, Sat. Tapi setelah mendengar kabarmu kecelakaan juga mendengar cerita dari bapakku, aku jadi percaya bahwa mitos itu nyata.""Memangnya bapakmu cerita apa?" Tanyaku begitu penasaran."Bapakku bilang bulan suro itu tak salah, tapi orang-orang musyrik yang sudah bersekutu dengan setan itu yang salah.""Maksudnya?""Ada yang melakukan pesugihan di kampung ini, dan menumbalkan lima orang pemuda setiap bulan suro," ujar Fatih serius membuat aku terbelalak."Bapakmu tahu siapa orangnya?"Fatih menggeleng."Bapak hanya tahu hal tersebut dari gosip mulut ke mulut."Aku langsung membuang napas kasar mendengar itu."Berarti belum tentu juga kebenarannya kan? Lalu kenapa harus takut?" Ujarku kembali tak percaya."Aku awalnya juga begitu, Sat. Untuk apa juga percaya dengan gosip yang gak jelas. Tapi setelah kejadian seperti ini menimpamu, aku jadi mulai percaya.""Tih, percayalah. Semua yang terjadi itu hanya kebetulan. Jangan semua kemalangan dikaitkan dengan mitos. Kalau pun harus meninggal di bulan suro, mungkin sudah takdirnya begitu," ucapku berusaha meyakinkan Fatih, walau sebenarnya hatiku sendiri pun tak yakin.Sepertinya lebih baik untuk saat ini aku urungkan saja bercerita tentang keanehan yang kualami. Daripada Fatih jadi semakin ketakutan tak karuan."Tapi tetap berhati-hatilah, Sat. Kalau memang semua itu benar. Karena manusia yang biasanya sudah terpengaruh iblis akan buta mata hatinya hingga bisa saja melakukan perbuatan keji ap
"Jadi tadi kamu sholat Maghrib di rumah, Nak?" Tanya Ibu masih menatapku dengan tegang.Aku berusaha sesantai mungkin menanggapi mereka."Iya, kenapa, Bu? Apa karena hal itu Ibu melarangku sholat di rumah?""Karena hal apa?"Kali ini aku yang dibuat heran dengan pertanyaan Ayah. Harusnya Ayah peka apa maksudku jika ia pun mengalami hal yang serupa."Lho memangnya Ayah atau Ibu tak pernah mengalami keganjilan saat sholat di rumah?"Terlihat kedua orang tuaku saling bertukar pandang. "Ya sama, Sat. Tapi kan keganjilan yang didapat itu berbeda-beda," sahut Ayah setelahnya. Tapi entah mengapa aku merasa Ayah tak sepenuhnya berkata jujur."Memangnya tadi kamu mengalami keganjilan yang bagaimana, Nak?" Ibu kembali bertanya dengan nada khawatir."Oh cuma sekedar dengar suara-suara aneh saat sholat saja kok, Bu."Terdengar Ibu menghela napas berat mendengar jawabanku."Sekarang kamu tahu kan alasan kenapa ibumu melarang kamu sholat di rumah?" Ayah kembali bersuara."Memangnya sejak kapan rum
Membuang rasa takut, aku bangkit dari tempat tidur untuk mencari dari mana asal bau kemenyan tersebut.Perlahan kuputar handle pintu dan membuka pintu sedikit untuk mengintip keadaan di luar kamar.Tak ada siapapun, tapi kenapa bau kemenyan ini begitu menyengat, bahkan sangking terasanya di indera penciuman sampai membuatku sesak.Karena merasa keadaan di luar aman, aku pun memutuskan untuk mencari asal bau tersebut.Aku menuju ruang depan tapi tak menemukan apapun. Namun saat melewati kamar Ayah dan Ibu, bau kemenyan tersebut makin terasa.Sayangnya pintu kamar orang tuaku itu tertutup begitu rapat. Hingga aku tak memiliki akses untuk mengintip ke dalam.Tak hilang akal, aku langsung merebahkan diri di lantai depan pintu kamar untuk mengintip melalui celah bawah pintu.Benar saja. Sepertinya asal bau kemenyan tersebut berasal dari dalam kamar orang tuaku. Namun sialnya lagi-lagi aku tak dapat melihat dengan jelas melalu
"Nak Satria ...."Aku langsung tersadar dari lamunan saat mendengar panggilan dari Pak Muhsin.Pandangan langsung kuedarkan ke sekitar tapi sama sekali tak nampak jejak dari Kakek tadi."Tadi saya hampir menabrak seorang kakek-kakek, Pak. Tapi sepertinya orangnya sudah pergi," ujarku berusaha setenang mungkin, walau sesungguhnya hatiku kini dipenuhi rasa tak enak."Oh begitu. Ya sudah, kalau begitu mari kita ke rumah Ustadz Arif sekarang."Aku langsung menyetujui ajakan Pak Muhsin.Kembali menyalakan motor mataku masih sesekali melihat sekeliling mencari keberadaan Kakek tadi, tapi ternyata benar-benar sudah tak nampak lagi, bahkan bayangannya sekalipun.Berusaha membuang segala kejanggalan barusan, aku kembali fokus pada tujuan awal mengunjungi Ustadz Arif.Semakin dekat menuju rumah Ustadz Arif, semakin terlihat jelas kerumunan warga yang ada di sana."Usir saja, usir! Kita tak butuh orang seperti mer
"Bu, itu benar Mas Danu yang meninggal?" Masih tak percaya dengan pendengaran sendiri, aku berlari ke warung menemui Ibu."Iya, Nak."Tubuhku seketika lemas mendengar jawaban Ibu. Baru tadi pagi Mas Danu memperlihatkan senyum sumringah padaku karena diberi uang oleh Lek Sutar. Tapi kini ...."Kamu gak apa-apa, Nak?" Ibu langsung menghampiriku yang begitu syok mendengar kabar duka tersebut."Bu, baru tadi pagi lho, aku bertemu dengan Mas Danu. Dia pun terlihat baik-baik saja," gumamku masih tak menyangka.Ibu mengelus bahuku berusaha menguatkan."Sekarang kamu percaya kan kalau tumbal bulan suro di kampung ini nyata?"Refleks aku menatap wajah Ibu."Tapi tumbal itu dipersembahkan oleh siapa dan untuk siapa, Bu? Kenapa hanya di desa kita saja yang seperti ini?"Ibu hanya menggeleng lemah tanpa menatapku, lalu bangkit berdiri karena ada pembeli datang.Tak mau membuang waktu, aku langsu
Tanpa buang waktu aku langsung balik badan hendak melarikan diri. Bisa gawat jika Lek Sutar mendapati aku telah menguping pembicaraannya.Tapi begitu menoleh aku dibuat hampir terjengkang karena mendapati kakek misterius yang tadi pagi hampir kutabrak sudah berdiri tepat di hadapanku.Jantungku makin bertalu-talu tak menentu saat merasa hawa tak enak di sekeliling.Situasiku terkepung kini. Di belakang ada Lek Sutar dan Pak Dasiman yang sedang mencariku, sedangkan di hadapanku ada kakek aneh yang selalu saja muncul tiba-tiba.Syukurnya tak berapa lama terdengar suara Bulek Sutini--istri Lek Sutar, memanggil-manggil Lek Sutar dengan heboh. Hingga dua orang di belakangku itu akhirnya mengurungkan niat untuk mencariku."Pak, ayo pulang, Pak! Karin, Pak ... Karin!" Bulek Sutini berteriak begitu heboh sembari menangis meraung-raung."Kenapa Karin, Bu?" Terdengar suara Lek Sutar juga tak kalah khawatir."Karin hilang, Pak."
Dengan hati tak menentu, aku berlari keluar dari rumah Mbah Darsih untuk mencari pertolongan. Rasa takut menjalari seluruh hatiku saat tadi tak merasakan denyut nadi pada Mbah Darsih. Firasatku benar-benar tak enak. Bagaimana jika wanita malang itu benar-benar meninggal?Berlari sejauh lima belas meter, akhirnya aku menemukan rumah tetangga Mbah Darsih."Pakde Kromo, tolong saya, Pakde ...." Sembari mengatur napas yang ngos-ngosan, aku meminta tolong pada seorang lelaki paruh baya yang sepertinya akan berangkat ke sawah itu."Satria? Ada apa?" Tanyanya dengan terheran-heran."Pakde, Mbah Darsih, Pakde ....""Mbah Darsih kenapa?" Tanyanya cepat sembari langsung meletakkan sabit yang tadi ia bawa.Aku pun menceritakan tentang kondisi Mbah Darsih, dan kekhawatiranku yang menyangsikan ia masih hidup.Tanpa membuang waktu, kami berdua pun langsung berlari menuju rumah Mbah Darsih.Namun begitu sampai di halaman, aku dibuat terheran-heran saat melihat pintu depan rumah Mbah Darsih sudah ter
Sraak!Butiran beras kuning tiba-tiba meluncur mengenai tubuh Karin."Aaaaa ...." Refleks Karin berteriak seolah begitu kesakitan. Lalu detik berikutnya ia kembali terkapar tak berdaya.Kami yang sedang tegang melihat Karin yang seperti tengah dirasuki itu, spontan melihat ke arah pintu masuk. Di sana sudah berdiri dukun yang waktu itu membantu pencarian Karin. Terlihat ia tengah memegang piring aluminium berisi beras kuning."Mbah Suroso ... Syukurlah Mbah datang di saat yang tepat." Dengan penuh kegembiraan, Lek Sutar menyambut tamu istimewanya itu."Anakmu itu sedang tak baik-baik saja, Sutar.""Tolong bantu saya, Mbah. Hanya Mbah lah saat ini yang bisa saya harapkan."Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Lek Sutar memohon pada dukun tersebut. Ucapannya sudah seperti seseorang yang tak punya Tuhan saja."Saya akan berusaha," sahut dukun tersebut dengan begitu mantap.Ia lalu berjalan menuju Karin yang kini kembali pingsan.Lalu tangannya beralih memegang perut Karin yang mem