Share

5. Pelayat Berpakaian Hitam

Tanpa banyak berpikir, aku langsung bangkit dari pembaringan, membuat Ibu yang sedari tadi menatap sendu langsung menahanku.

"Kamu mau kemana?"

"Aku mau ke rumah Mas Seno."

Mendengar jawabanku, Ibu makin kuat menahan tubuhku.

"Jangan! Lebih baik kamu istirahat saja dulu, Nak. Kamu juga baru kecelakaan."

"Enggak, Bu! Aku udah baikan. Jadi Ibu jangan coba-coba menahanku. Lagi pula Mas Evan meninggal juga gara-gara nyelamatin aku. Gak etis saja rasanya kalau aku tak hadir di pemakamannya," tegasku sembari menepis pelan lengan Ibu.

"Ayahmu sudah ada di sana, Satria. Tolonglah turuti Ibu kali ini." Ibu kembali memohon saat aku berusaha melepaskan selang infus.

Namun tetap saja aku tak bisa menuruti perkataannya lagi kali ini. Karena penting untukku menyaksikan langsung pemakaman Mas Evan. Kalau bukan karena dia, mungkin kini aku hanya tinggal nama.

***

Dengan diikuti Ibu yang masih terus melarangku, akhirnya aku tiba di kediaman Mas Seno yang sudah ramai oleh pelayat itu. Mas Seno dan Mas Evan memang hanya tinggal berdua, karena mereka perantau dari Jawa dan akhirnya menetap di sini karena Mas Seno mendapat jodoh orang kampung ini.

Melihat kehadiranku, Ayah yang sedang berbincang dengan warga yang lain langsung terkejut. Spontan ia menarik Ibu menjauh dari kerumunan untuk mengajaknya berbincang.

Aku yang malas menanggapi kedua orang tuaku itu lantas melanjutkan langkah hendak masuk ke dalam rumah Mas Seno.

Namun belum sempat kakiku menginjak lantai ruang tamu, seorang wanita yang kutahu adalah calon istri Mas Evan langsung berlari ke arahku dengan sorot mata penuh dendam.

"Gara-gara kau! Gara-gara kau Evan meninggal! Dasar jahat! Kenapa bukan kau saja yang mati, hah?! Kenapa harus Evaaan?" Wanita yang kutahu bernama Amel itu mengamuk padaku, menampar, dan memukul tubuhku bertubi-tubi dengan penuh amarah.

Mbak Sekar--istri Mas Seno yang sejak tadi selalu berada di sisi Amel langsung meraih tubuh wanita itu untuk menenangkannya.

"Mel, sudah, Mel. Jangan begini. Ini sudah takdir Evan, Mel."

Amel yang terlihat sangat frustasi itu langsung menangis kencang di pelukan Mbak Sekar, membuat aku yang melihatnya makin merasa bersalah.

Aku paham betul bagaimana hancurnya hati wanita itu. Pernikahan mereka sudah di depan mata. Hanya tinggal menghitung hari saja. Tapi gara-gara aku, semuanya jadi berantakan.

Lamunanku buyar saat tiba-tiba tanganku ditarik oleh seseorang. Saat menoleh, sudah ada Mas Seno di belakangku.

"Kamu duduk di luar dulu saja ya, Sat. Amel sedang tak baik-baik saja saat ini," ujar Mas Seno dengan wajah penuh kesenduan, membuat rasa bersalahku makin bertambah berkali lipat.

Aku mengikuti langkah Mas Seno yang membawaku keluar ke halaman, lalu duduk di bangku plastik yang sudah tersedia di sana.

Untuk beberapa saat hanya keheningan yang ada di antara kami. Karena rasa bersalah, aku jadi begitu canggung untuk bercakap. Padahal biasanya aku dan Mas Seno begitu akrab.

"Mas, aku minta maaf. Semua gara-gara aku--."

"Sudahlah, Sat. Jangan menyalahkan diri sendiri. Karena Mas juga sama sekali tak menyalahkanmu. Evan melakukan itu semata-mata karena keinginannya sendiri," potong Mas Seno dengan pandangan menerawang.

Usai berucap demikian, Mas Seno langsung bangkit karena Mbak Sekar memanggilnya.

Kini tinggallah aku sendiri yang masih terus termenung memikirkan semua yang terjadi.

"Itulah akibat tak percaya mitos. Padahal sudah banyak yang mengingatkan mereka agar tak menikah di bulan suro. Jadinya ya begitu."

Refleks aku menoleh saat mendengar suara pria yang begitu kukenal tengah menggunjing almarhum Mas Evan.

Terlihat Lek Sutar ada di sana tengah bergosip dengan para pelayat yang lain.

Namun, begitu aku melihat ke arah Lek Sutar, barulah aku tersadar jika sedari tadi para pelayat di sini mengenakan pakaian serba hitam seperti saat Roni meninggal kemarin.

Yang lebih mengherankan, hanya Lek Sutar juga Ayah dan Ibuku saja yang terlihat memakai pakaian biasa dengan warna lain.

Kepalaku terasa berdenyut, memikirkan keanehan-keanehan yang terjadi. Apa memang kini di kampung ini harus mengenakan pakaian serba hitam jika melayat.

Ingin bertanya pada mereka jujur aku ragu. Akhirnya aku hanya bisa duduk termangu menatapi para pelayat berpakaian serba hitam itu.

Tak berapa lama, Ibu kembali muncul setelah tadi diajak pergi oleh Ayah. Kali ini dengan tatapan memohon ia meminta aku agar pulang ke rumah.

"Memangnya kenapa, Bu?"

"Nak, tolonglah hargai keluarga almarhum. Mereka pasti begitu sakit kala melihatmu. Kamu lihat Amel tadi kan?" Ibu memohon kembali.

Kali ini permintaan Ibu sepertinya tak dapat kutolak.

"Aku ke rumah Fatih saja kalau begitu, Bu."

Ibu langsung mengangguk sumringah padaku.

Aku langsung bangkit dan berjalan menuju rumah Fatih yang memang tak begitu jauh dari rumah Mas Seno. Dalam hati sudah bertekad, akan menceritakan semua yang terjadi pada Fatih.

Sedikit heran juga, kenapa Fatih yang masih termasuk tetangga dengan Mas Seno tak pergi melayat.

Beberapa saat berjalan, akhirnya aku pun sampai di depan rumah Fatih. Pintu rumah itu tertutup begitu rapat seolah tak berpenghuni saja.

Tok! Tok! Tok!

"Assalamu'alaikum ... Fatiiih!"

Tanpa menunggu lama Fatih pun keluar. Lalu tanpa basa-basi, ia langsung menarik tanganku masuk ke dalam rumah dan kembali menutup pintu dengan rapat.

"Kenapa ni, Fat?" Tanyaku bingung melihat gelagat sahabat karibku itu.

Tanpa menjawab Fatih langsung membawaku masuk ke kamarnya.

Barulah setelah berada di dalam kamar terdengar ia menghela napas lega.

"Kenapa sih, Fat? Aneh banget kau ini."

"Aku takut banget, Sat," ujarnya sembari memegang bahuku.

"Sepertinya memang kita salah sudah pulang ke kampung di saat bulan suro."

Aku memutar bola mata mendengar jawaban Fatih. Anak ini yang biasanya lebih alim dan pintar dari aku bisa-bisanya percaya dengan mitos itu juga.

"Tih, ini udah zaman modern, dan kau masih percaya dengan mitos seperti itu? Kau tau kan? Ajal itu sudah ketentuan dari yang Maha Kuasa," bantahku sembari bergeleng-geleng menatap Fatih.

"Awalnya aku juga berpikir begitu, Sat. Tapi setelah mendengar kabarmu kecelakaan juga mendengar cerita dari bapakku, aku jadi percaya bahwa mitos itu nyata."

"Memangnya bapakmu cerita apa?" Tanyaku begitu penasaran.

"Bapakku bilang bulan suro itu tak salah, tapi orang-orang musyrik yang sudah bersekutu dengan setan itu yang salah."

"Maksudnya?"

"Ada yang melakukan pesugihan di kampung ini, dan menumbalkan lima orang pemuda setiap bulan suro," ujar Fatih serius membuat aku terbelalak.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status