Share

6. Ada Apa dengan Rumah Ini?

"Bapakmu tahu siapa orangnya?"

Fatih menggeleng.

"Bapak hanya tahu hal tersebut dari gosip mulut ke mulut."

Aku langsung membuang napas kasar mendengar itu.

"Berarti belum tentu juga kebenarannya kan? Lalu kenapa harus takut?" Ujarku kembali tak percaya.

"Aku awalnya juga begitu, Sat. Untuk apa juga percaya dengan gosip yang gak jelas. Tapi setelah kejadian seperti ini menimpamu, aku jadi mulai percaya."

"Tih, percayalah. Semua yang terjadi itu hanya kebetulan. Jangan semua kemalangan dikaitkan dengan mitos. Kalau pun harus meninggal di bulan suro, mungkin sudah takdirnya begitu," ucapku berusaha meyakinkan Fatih, walau sebenarnya hatiku sendiri pun tak yakin.

Sepertinya lebih baik untuk saat ini aku urungkan saja bercerita tentang keanehan yang kualami. Daripada Fatih jadi semakin ketakutan tak karuan.

"Tapi tetap berhati-hatilah, Sat. Kalau memang semua itu benar. Karena manusia yang biasanya sudah terpengaruh iblis akan buta mata hatinya hingga bisa saja melakukan perbuatan keji apapun."

Aku hanya bisa mengangguk menanggapi perkataan Fatih tersebut.

Kami pun lanjut berbincang hingga tak sadar hari telah beranjak senja. Sedari tadi aku sudah mencoba menghubungi Ayah dan Ibu untuk meminta jemput, tapi tak satupun dari mereka berdua menjawab.

Sedangkan Fatih sudah jelas tak mau mengantarku karena masih terus ketakutan untuk keluar rumah.

Dengan berat hati dan mau tak mau, akhirnya kuputuskan untuk pulang berjalan kaki saja, mumpung hari belum mencapai Maghrib. Lagipula rumah Fatih dan rumahku juga tak terlalu jauh.

Setelah berpamitan pada Fatih, aku pun beranjak hendak pulang ke rumah.

Namun, baru saja langkah kakiku keluar dari pagar rumah Fatih mataku menangkap sesosok lelaki tengah mengendap-endap masuk ke kebun tebu depan rumah Fatih.

Rumah Fatih memang terletak di pertigaan dan rumah paling ujung gang. Di seberang jalan depan rumah Fatih terdapat kebun tebu milik PT yang terbentang luas. Jika di telusuri lebih dalam, setelah kebun tebu tersebut hanya ada hutan.

Lalu siapa lelaki yang mengendap-endap masuk ke sana? Di saat hari sudah senja pula.

***

Aku tiba di rumah tepat saat adzan Maghrib berkumandang. Seluruh tubuhku terasa ngilu akibat kecelakaan tadi. Untuk sholat di Mesjid pun aku sudah tak sanggup lagi rasanya. Aku pun memilih sholat Maghrib di rumah.

Namun, baru saja aku memulai takbir, tiba-tiba hawa di sekeliling ruangan terasa begitu panas hingga keringat keluar begitu deras dari pori-pori tubuhku.

Saat aku memulai bacaan di raka'at pertama, lagi-lagi aku menemui kejanggalan yang membuat rasa khusyukku menghilang.

Aku merasa di sekitarku begitu ramai orang berbicara. Namun dari ekor mata yang bisa melihat sekeliling, aku tak melihat apapun.

Hingga raka'at kedua gangguan pun makin menjadi, aku mendengar berbagai barang dibanting ke lantai membuat telingaku rasanya sakit. Sungguh suara-suara itu sangat mengganggu sholatku.

Hingga raka'at ketiga, hampir saja aku membatalkan sholat saat mendengar suara orang memanggilku sembari tertawa-tawa mengerikan. Sah sudah sholatku kali ini tak khusyuk sama sekali.

Namun begitu aku mengucap salam mengakhiri sholat, semua suara itu lenyap, suasana ruangan pun sudah kembali seperti sedia kala lagi.

Sebenarnya ada apa dengan rumah ini? 

Karena merasa ada yang tak beres dengan rumah ini, aku cepat-cepat masuk kamar sebelum ada sesuatu lagi terjadi.

Baru beberapa menit aku di kamar, terdengar suara motor Ayah memasuki pagar.

Aku yang sudah sangat penat rasanya tak sanggup lagi menyambut kedua orang tuaku itu.

Tak berapa lama, pintu samping terbuka. Terdengar Ayah dan Ibu masuk dari sana. Pastilah mereka tak tahu jika aku sudah ada di rumah, karena aku tadi masuk dari pintu depan dan sandalku ada di sana.

"Sutar itu memang keterlaluan! Hampir saja Satria jadi mangsanya."

Aku terkesiap begitu mendengar Ayah mengomel menyebut nama Lek Sutar. Apa maksudnya aku menjadi mangsanya?

"Syukur aku datang tepat waktu. Kalau tidak, entah bagaimanalah Satria sekarang."

Jantungku benar-benar tak karuan kini. Berbagai macam prasangka mulai muncul di pikiranku.

"Lalu setelah ini bagaiman, Mas? Apa kita biarkan saja Satria di rumah?" Terdengar suara Ibu menanggapi.

"Ya mau gimana lagi? Kalau Satria pergi aku takut terjadi hal-hal buruk lagi. Memang sudah salah dari awal, seharusnya mereka tak pulang sekarang."

"Lalu jika Satria nanti tahu apa yang terjadi bagaimana?"

Aku langsung bangkit menuju pintu kamar ingin menguping lebih jelas, namun jawaban Ayah mengecewakanku.

"Nanti biar aku pikirkan solusinya," tukas Ayah lalu tak lagi terdengar suara mereka.

Aku langsung memutar handle pintu, membuat Ibu yang ternyata masih berdiri di tempatnya itu terkejut.

"Sat--Satria ... Kamu sudah di rumah?" Tanya Ibu tergagap.

"Iya, Bu. Tadi aku nelpon Ayah sama Ibu, tapi tak ada yang merespon," sahutku bersungut-sungut. Sengaja aku bersikap biasa saja dan pura-pura tak mendengar percakapan mereka tadi.

"Oh iya. Maaf, Nak. Tadi Ibu dan Ayah sibuk sekali, sampai tak sempat memeriksa handphone."

Aku hanya mengangguk saja. Setelahnya Ibu mengajak aku untuk makan malam.

Mumpung Ayah tak ada, sepertinya inilah kesempatanku untuk menginterogasi Ibu.

"Bu, aku mau tanya boleh?"

"Tanya apa?" Tanya Ibu balik sembari menyiapkan makan malam.

"Tadi Pak Harmoko pakai baju warna apa ya, Bu?"

Ibu langsung menghentikan gerakannya dan menatapku heran.

"Kenapa tiba-tiba tanya baju Pak Harmoko?"

"Eh gak apa-apa, Bu. Aku cuma mau mengetes, mata Ibu masih bisa melihat jelas atau tidak."

Ibu makin menatapku bingung.

"Apaan sih kamu, Sat? Nanya sesuatu yang gak penting. Jelas mata Ibu belum rabunlah. Lagi pula kalau mau ngetes rabun atau nggak, bukan warna yang ditanya, tapi tulisan jelas atau enggak."

Aku langsung terdiam, mati kutu karena ternyata Ibu tak sepolos yang kukira.

"Ada apa sih ini? Kok berdebat." Ayah tiba-tiba muncul dari kamar depan dan duduk di sampingku.

"Kamu sudah pulang, Sat? Sama siapa?" Sambung Ayah lagi.

"Pulang sendiri, Yah."

"Ini lho, Yah. Satria tiba-tiba tanya soal Pak Harmoko tadi pakai baju apa saat melayat. Masa katanya mau ngetes Ibu ini masih jelas melihat apa nggak," timpal Ibu masih tak terima aku menganggapnya rabun.

"Oh begitu ... Ya gak ada salahnya toh Satria tanya begitu, Bu. Kalau memang Ibu masih jelas melihat coba warna baju Pak Harmoko tadi apa?" Tantang Ayah membuat aku bersorak dalam hati.

"Eh, Ayah ngeremehin penglihatan Ibu nih? Jelas-jelas Pak Harmoko tadi itu pakai baju warna coklat susu."

Antara senang dan terkejut aku mendengar jawaban Ibu. Ternyata memang hanya aku saja yang melihat para pelayat itu berpakaian serba hitam.

"Ibu salah. Itu bukan coklat susu, tapi moka," bantah Ayah.

"Halah sama aja itu, yang penting ada coklat-coklatnya."

Sementara kedua orang tua itu berdebat, aku sibuk dengan memikirkan hal-hal aneh yang terjadi.

"Bu, Yah ... Kalian selama ini pernah sholat di rumah?"

Suasana meja makan yang tadi ramai dengan perdebatan mereka, mendadak hening begitu mendengar pertanyaanku.

"Ke--kenapa tanya begitu, Nak?" Tanya Ibu terlihat sedikit gugup.

"Aku tadi Maghrib sholat di rumah," ujarku menatap wajah mereka yang terlihat begitu tegang.

"Apaaa?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status