BAGIAN SEMBILAN
Pak Pepeng melemparkan bambu kuning runcing, kearah makhluk tersebut. "Juna apa yang kamu tunggu, ayo lari !!"
Beliau menarik tanganku dan aku seketika langsung tersadar. Kami segera berlari bersama, menembus gelapnya hutan. Malam itu adalah malam mencekam untuk kami. Setelah tiba di tepi sungai, Pak Pepeng mengambil perahunya. Kami segera meninggalkan Desa tersebut. Aku hanya bisa terdiam, wajah ku pucat. Badan ku gemetar dan tubuh ku panas.
Setelah sampai di Dermaga, kami segera turun dari sampan tersebut. Pandangan ku kosong saat itu. Kinara dan Pak Pepeng menuntun ku. Aku segera di kompres oleh Kinara, saat kami telah tiba di rumah beliau. "Juna badan lu panas banget."
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN SEPULUHKinara, hanya bisa memejamkan matanya. Dia tidak sanggup melihat adegan sadis tersebut. Istri Pak Ruli, pingsan seketika. Tubuh Pak Ruli, segera di kuliti oleh beberapa orang yang mengenakan jubah hitam. Mereka mempertontonkan, hal mengerikan tersebut, di hadapan semua penduduk. Bau anyir darah menyeruak, bersatu padu dengan bau busuk dari luka menganga Rinta. Beberapa lalat hijau, terlihat mengerumuni luka tersebut.Perut ku mulai mual, aku berusaha menahan agar tidak muntah. Wajah, dan jubah yang aku kenakan juga tak luput dari bau amis tersebut. Rinta masih bernafas, dia tidak menyadari kehadiran kami di sana. Tubuhnya pucat, nafasnya tersengal menahan kesakitan. Kepala suku, mengambil darah yang tertampung di dalam bejana tersebut. Beberapa darah, kelihatan telah menggumpal.Dia duduk di sebuah lingkaran, yang di penuhi beberapa lilin. Membaca beberapa mantera, dan memulai beber
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN 11Nafas Sukma memburu, Tria segera berlari kearah penduduk. "Kalo kalian berani menyentuh adik saya, anak panah ini akan menancap di daging kalian." Matanya menatap tajam, dengan beberapa penduduk.Mereka mundur perlahan bergitu pula dengan anak buah Kepala Suku. Tidak ada yang berani, untuk mendekati. Adya Seta, perlahan mendekati kedua buah hatinya. Dia membawa sebilah pedang, yang mengeluarkan bunyi nyaring. Saat menghantam bebatuan, dasar goa. "Mundur Ayah, atau... ""Atau apa? Kamu akan membunuh Ayah mu sendiri? Ayo, silahkan bunuh saya." Adya Seta mendekat, dia mengarahkan anak panah tersebut ke jantungnya sendiri.Tangan Tria gemetar, dia bingung apa yang harus dia lakukan. "Kalian semua ambil Sukma, sekarang!!" Suaranya menggema di dalam goa."Baik Tuan," mereka segera membawa Sukma. Tria, hanya bisa terdiam, dan terjatuh ke tanah seketika. Semua yang dia lakukan, hanya sia-sia b
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN 12Pak Pepeng, menengahi pertengkaran sengit di antara kami, "Jangan gegabah Juna, apa yang di katakan oleh Kinara ada benarnya. Saya juga tau, bagaimana rasanya kehilangan. Tidak ada, yang bisa di sesali semua sudah terjadi. Kalian harus segera meninggalkan Desa ini. Sebelum semuanya terlambat."Aku hanya tertunduk lemas, tidak ada daya dan upaya lagi. "Saya hanya ingin memakamkan dia, secara layak Pak." hanya kalimat itu, yang terus keluar dari bibir ku. Rasa bersalah yang sering menghantui.Lisa mendatangi kami, dengan wajah cemas. "Tias muntah darah," ujarnya dengan tangis sesegukan.Kami segera menghampiri Tias, wajahnya pucat. Darah membanjiri lantai rumah panggung tersebut. Diantara bercak darah, aku seperti melihat benda kemilau hidup dan menggeliat. "Apa kalian meminum atau memakan apa yang mereka berikan?" tanya Pak Pepeng kepada Lisa.Lisa mengangguk, "Hanya Tias yang mengonsumsi, saya sudah berulang kali mencegah. Untuk
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBagian 13Malam itu, aku sama sekali tidak bisa memejamkan mata. "Apapun yang terjadi, aku harus bisa membawa kepala Jeremi kembali. Bagaimanapun resikonya aku harus bisa."Dalam keremangan lampu teplok aku melirik arloji. Waktu menunjukkan pukul 00.00 wib, udara dingin begitu terasa menusuk tulang. Ku lirik ke tiga gadis tersebut, mereka sudah terlelap. Perlahan, aku mendengar langkah kaki mendekat. Sangat jelas terdengar, samar-samar aku seperti mendengar suara orang berbincang."Tria tau jika kita telah mengkhianati mereka Tuan. Apa yang harus kita lakukan?" tanya Raka dengan nada bicara sangat pelan.Hening sejenak, "Besok pagi, kalian harus membawa mereka semua keluar dari Desa ini. Saya akan mengulur waktu.""Tapi Tuan, besok pagi itu tidak mungkin. Karena mereka sudah pasti mengawasi siapa yang bebas keluar masuk Desa ini. Tias, racunnya belum sepenuhnya keluar, dia tetap akan di bayangi kematian." ujar Alex dengan nada khawatir.A
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN 14Kami masih menanti, satu jam berlalu namun lelaki bernama Soleh tak kunjung menampakkan batang hidungnya. Setelah lama menunggu, lelaki bertubuh gempal, berkulit sawo matang itu datang, "Mohon maaf, saya terlambat. Maklum, hari ini desa sedang ramai.""Soleh, apa kamu melihat Raka membawa ketiga gadis itu?" Pak Pepeng bertanya dengan mimik serius."Raka? Tidak, saya tidak melihatnya,"jawab Pak Soleh.Sebuah ketukan di pintu mengejutkan kami. Beberapa anggota mengambil senjata mereka masing-masing. "Buka pintunya, ini saya Tuan mbok Yem."Alex segera membuka pintu tersebut, dan menutupnya dengan cepat. Nafas wanita tersebut tersengal-sengal. Pak Pepeng memberikan dia, segelas air yang di teguk tanpa bersisa. "Berita apa, yang kamu bawa Yem?""A-anu Tuan, Raka, Raka berkhianat kepada kita. Dia, menyerahkan ketiga gadis tersebut kepada Adya Seta." ujar Mbok Yem, dengan nada gemetar.Meja seketika bergetar, "Raka? Anak itu benar-be
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN 15Jantung Kinara, berdetak kencang. Tubuhnya gemetar, saat sebilah tombak telah berada di genggaman Lisa. Nafasnya, seakan tersekat di tenggorokan."Izinkan saya berbicara kepada Kinara," pinta Lisa."Silahkan," ujar Tria sambil melemparkan senyuman sinis.Lisa menatap wajah sahabatnya tersebut, "Kinara, kita harus melakukan ini demi Tias. Kamu harus menyelamatkan Tias. Aku, akan mengalihkan perhatian mereka. Kalo nanti, aku benar-benar mati, setidaknya salah satu dari kita selamat.""Aku takut Sa, aku takut.""Kita pasti bisa Ki, kita pasti bisa. Semua ini demi Tias." Lisa mengenggam tangan sahabatnya sendiri."Sudah cukup basa-basinya. Sekarang, lakukan apa yang saya suruh!!" Mata Tria menatap tajam, kearah mereka."Sebelum kami memulai pertarungan ini, kami ingin melihat obat tersebut."Tria mengangkat alisnya, "Dul, bawa penawar racun itu segera!!"Seorang lelaki berperut tambun, segera berlari mengambil obat penawar yang di s
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBAGIAN 16Dibawah temaram sinar rembulan, mereka berlari dengan sisa-sisa tenaga yang di miliki. Menebus luasnya hutan belukar, mencari perlindungan yang aman."Istirahat dulu Ki, saya sudah tidak kuat lagi." Lisa menghentikan langkahnya.Tubuhnya, lansung terjatuh menghempas tanah. Dia memegangi luka, dengan jemari lentiknya. Bau amis darah menyeruak. Kinara berusaha mempertajam penglihatannya, "Sa lu..."Lisa hanya mengangguk lemah, Kinara segera merobek baju yang ia kenakan. Untuk menghentikan pendarahan Lisa. Di liriknya, anak panah yang masih menancap. "Sa, gue bakal cabut anak panah ini. Lu tahan ya, lu harus kuat." Lisa, lagi-lagi hanya mengangguk lemah.Tias segera merobek pakaiannya, "Gigit baju ini Sa, agar teriakan kamu tidak memancing mereka kesini." Tias, memberikan potongan baju yang ia robek barusan.Tangan Kinara gemetar, saat hendak mencabut anak panah tersebut. Saat telah memantapkan hatinya, sekali tarikan anak panah it
#TUMBAL DARAH PERAWAN DAN MISTERI DESA KANIBALBagian 17Kinara memapah Tias seorang diri, karena dia tau Lisa saat ini kondisinya juga melemah. Sepanjang perjalanan, Lisa tidak banyak berbicara. Dia, lebih memilih untuk diam saja dan tatapannya kosong. Ya, dia bukan seperti Lisa biasanya. Wajahnya pucat, terlebih lagi pada bagian bibir. Kinara tetap fokus, melewati semak belukar untuk mencari jalan keluar dari hutan."Semoga, Arjuna menemukan kita," rintih Tias sambil menahan sesak di dada.Sungai kecil, telah menunggu mereka di depan. Suara cacing dari perut Kinara, menghentikan perjalanan mereka. Dari semalam, mereka belum makan apapun."Kita istirahat dulu Ki," pinta Tias sambil menahan sakit.Kinara mengangguk, dan segera membantu Tias untuk duduk. Lisa, lagi-lagi hanya terdiam, sesekali ia melemparkan senyuman. Namun, entah mengapa bulu kuduk Kinara berdiri, kala melihat Lisa tersenyum. Kinara melirik, kearah luka bekas anak panah tersebut. Luka itu tampak mengering, "Kenapa sec