Beranda / Romansa / Tunangan Kontrak CEO Duda / Bab 2. Terpaksa Setuju

Share

Bab 2. Terpaksa Setuju

Penulis: Cacans Aya
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-04 08:59:31

"Kamu kenapa, Sya? Ini masih pagi lho, Sya. Kenapa udah nangis?” tanya Irene pada akhirnya. “Coba cerita!"

Nesya segera melepaskan pelukan mereka. Menghapus air mata yang membasahi wajah, dia menatap Irene dengan sendu. "Kamu beneran nggak mau sama abangku, Ren?"

Irene sontak menghela napas panjang. Dia kira masalah ini sudah usai, tetapi nyatanya Nesya kembali membahas hal serupa di pagi hari yang seharusnya bisa Irene nikmati dengan tenang!

"Kamu tau sendiri, kalau jalin hubungan romantis nggak pernah ada dalam list aku, Sya!" tegas Irene.

"Aku mohon, Ren!" Nesya meraih tangan Irene. "Bantu aku, please ...! Ya, Ren? Iya?"

Irene mengacak rambut frustasi. "Kenapa harus aku, Sya?! Kamu bisa minta yang lain, 'kan?"

"Aku cuman percaya kamu, Ren buat bantu aku dan Abang buat batalin pernikahan itu," jelas Nesya dengan suara bergetar.

Irene menyandarkan tubuh di pintu masuk.

Dia memandang Nesya dengan tatapan yang sulit diartikan. Sementara perempuan itu memandang Irene dengan penuh harap.

Cukup lama, sampai akhirnya Irene kembali bersuara, "Oke, aku mau! Dengan syarat, hanya bantu batalin perjodohan itu bukan jadi pasangan Abang kamu!"

Seketika saja, tatapan sendu Nesya berganti dengan tatapan kebahagiaan.

Dia segera menghampiri Irene dan memeluk tubuh Irene dengan erat.

Rasa bahagia yang Nesya rasakan tak bisa lagi dia gambarkan, dia semakin memeluk erat tubuh Irene. "Makasih, Ren! Makasih banget. Kalau gitu, kamu nanti ketemuan sama abangku buat bicarain semuanya, ya?"

Irene hanya bisa mengangguk dan di sinilah dia … sebuah kafe tempat dia akan bertemu dengan Arsen.

Meski ada segelas jus alpukat di hadapannya, tetapi Irene hanya mengaduk-aduk jus tersebut menggunakan sedotan tanpa berniat meminumnya.

Suasana kafe yang ramai membuat kepala Irene sedikit pening, dia mengantuk sekaligus lelah. Namun, orang yang Irene tunggu belum juga datang.

"Ck! Di mana, sih? Kok gak tepat waktu gini!" gerutunya.

Seolah tahu kekesalaannya, tiba-tiba saja suara lonceng kafe yang berbunyi membuat Irene langsung mengalihkan pandangan.

Arsen atau kakak laki-laki Nesya datang dengan jas dan kacamata yang bertengger di hidung.

Kacamata minus yang bertengger di hidung Arsen justru menambah kadar ketampanan pria itu di balik fitur wajah Arsen yang nyaris sempurna.

Satu kata yang terlintas di benak Irene, yaitu tampan.

Segera Irene menggelengkan kepala untuk menyadarkan diri dari apa yang dipikirkan!

"Maaf saya terlambat." Arsen menarik kursi, dia lantas mendudukkan diri di hadapan Irene.

Irene mengangguk kaku menghadapi Arsen yang tampak berwibawa?

Menelan kasar air liurnya, Irene menarik kedua sudut bibirnya memaksa untuk tersenyum. "Langsung aja, Kak. Kita pura-pura pacaran cuman buat batalin perjodohan kamu, kan?"

"Iya." Arsen mengangguk cepat. "Tapi, jika diperlukan kamu harus terlibat dengan saya juga sampai batas waktu yang tidak bisa ditentukan."

"Apa ...?!" Mata Irene terbelalak. "Perjanjian sama Nesya cuman bantu batalin perjodohan kamu, ya!" protesnya.

"Hubungan kamu dengan saya bukan dengan Adik saya," balas Arsen dengan tenang.

Irene yang mendengar itu mendesah panjang, dia meraup wajah. "Gila?!"

Bukannya terkejut, Arsen justru tampak tenang.

Rasanya, Irene ingin membenturkan kepala Arsen pada ujung meja!

"Sebelumnya, bukankah lebih baik kita saling mengenal? Saya Arsenio Arvys Mahardhika, kamu bisa panggil saya Mas atau Sayang untuk lebih mendalami," cetus Arsen, lagi-lagi dengan wajah datarnya.

Tidak ada kesan menggoda atau bercanda.

Itu yang membuat Irene makin frustasi!

"Argh ...! Aku bahkan belum bilang setuju!" kesal Irene.

"Dengan kamu menemui saya, sudah saya anggap sebagai persetujuan. Apa kamu mengerti Irene Acrola Zienith?" Arsen memandang Irene dengan lekat.

Sialan! Irene dijebak Nesya.

Namun, tatapan tajam pria itu berhasil membuat Irene tak berkutik.

Mau tak mau, perempuan itu menganggukkan kepala. Toh, cuma pura-pura pacaran, kan?

Tak akan ada masalah besar dari itu meski entah sampai kapan.

Yang jelas, Irene berharap segalanya akan selesai dengan cepat!

“Baiklah.”

Arsen mengangguk. "Bagus! Kalau begitu, kita akan langsung menemui keluarga saya."

"Ha ...?! Secepat itu?!" teriak perempuan itu.

"Iya, kenapa harus menunggu lama?" balas Arsen.

Sialan!

Lagi-lagi, Irene hanya bisa berkata itu dalam hatinya.

Gak abang, gak adik–sama-sama membuatnya terpaksa menurut. Kenapa genre hidup Irene begini amat, sih?

Sayangnya, keputusan Arsen untuk segera membawa Irene ke hadapan orang tuanya, nyatanya tak bisa gadis itu bantah.

Mobil yang Irene bawa bahkan sudah diambil alih oleh anak buah Arsen.

Kesal, Irene hanya bisa terdiam.

Untungnya, Arsen tak mengajaknya bicara, sehingga gadis itu bisa dengan tenang memandangi barisan gedung-gedung pencakar lain.

Ibu kota rasanya tidak banyak berubah. Banyak kenangan di kota ini yang rasanya Irene rindukan, tetapi tak akan pernah bisa kembali ke masa tersebut.

Cit!

Tiba-tiba saja, mobil yang dikendarai oleh Arsen berhenti di sebuah toko dessert.

Irene segera menoleh. “Ada apa?”

Arsen yang tengah membuka sabuk pengaman, langsung menjawab dengan datar, "Kita beli roti dulu untuk mereka. Tidak mungkin kamu ke menemui mereka dengan tangan kosong, 'kan?"

Tak hanya itu, tatapan pria itu begitu dingin pada Irene.

Kalau bukan abangnya Nesya, sudah pasti Arsen tak selamat di tangan Irene!

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Tunangan Kontrak CEO Duda   Bab 23. Ketemu

    "Jadi Anda memutuskan untuk melakukan bayi tabung?" Kedua pasangan di hadapan Irene mengangguk lan, sedangkan Irene menghela napas panjang. Dia tak masalah jika ada yang ingin melakukan bayi tabung, tetapi di hadapan perempuan itu justru pasangan sesama jenis yang membuat Irene harus berpikir keras. "Sebelumnya, mohon maaf. Bayi tabung sendiri belum bisa dilakukan di rumah sakit kami, silakan kalian mencari rumah sakit lain." Salah satu dari mereka menggeleng keras. "Bukan saya dan dia, Dok! Melainkan saya dan istri saya, sebentar istri saya sedang ke kamar mandi." Irene yang mendengar itu melototkan mata, dia sungguh merasa malu sekarang. Irene tersenyum canggung, sedangkan perawat di sebelah perempuan itu menundukkan kepala menahan malu. Sebenarnya wajar saja jika mereka salah paham, tetapi tetap saja rasanya malu. Tak berselang lama, pintu ruangan Irene dibuka. Seorang wanita anggun memasuki ruangan Irene dengan senyuman manis, salah satu pria berdiri dan me

  • Tunangan Kontrak CEO Duda   Bab 22. Ghibah

    Irene menuruni tangga secara perlahan, perempuan itu baru saja bangun tidur. Saat dia terbangun, Irene tak melihat ada Nesya di sebelahnya, mungkin saja sahabatnya itu telah kembali ke rumahnya sendiri. Menarik napas panjang, Irene membuka kulkas dan meminum air dingin yang ada di botol hingga tersisa setengah. Perempuan itu menutup kembali botol dan meletakkannya di dalam kulkas, dia menutup kulkas lantas mengikat asal rambutnya. "Enaknya makan apa ya?" Perempuan itu mendesah panjang. "Sarapan di kantin rumah sakit ajalah." Dia berjalan ke luar dapur, tetapi ponsel Irene berdering membuat langkah perempuan itu terhenti. Dia mengerutkan kening saat mendapatkan panggilan masuk dari seseorang. "Iya, Pi?" "Papi denger kamu mengubah beberapa peraturan rumah sakit." Irene menarik kursi yang ada di meja makan, perempuan itu mendudukkan diri di sana. Dia mengambil satu buah apel dan menggigitnya. "Iya, terutama standar operasional kita dalam penanganan pa

  • Tunangan Kontrak CEO Duda   Bab 21. Obrolan Pria

    Irene baru saja selesai makan malam, perempuan itu menjatuhkan tubuhnya ke sofa. Dia mencari remote telivisi lantas menyalakan televisi meskipun tak tahu ingin menonton apa, tetapi perempuan itu tetap membiarkan televisi menyala. Suara bel membuat Irene mengerutkan kening, dia segera berdiri dan berjalan mendekati pintu masuk. Perempuan itu membuka pintu rumahnya dan melihat Nesya yang berdiri di depan pintu dengan senyuman lebar. "Kamu malem-malem ke sini ngapain?" tanya Irene dengan satu alis terangkat. "Bosen." Nesya menggeser tubuh Irene sedikit kasar lantas memasuki rumah perempuan itu yang membuat sang empunya mendengus kesal. "Ya udah, aku putuskan untuk ke rumah kamu hehe ...." "Terus gunanya kamu ada Abang apa?" Irene mendengus kembali, dia berjalan mengikuti langkah Nesya. "Abang di rumah bareng temennya, Mama sama Papa lagi pergi ke pesta sahabat Papa. Ya udah, aku ke sini," balas Nesya. Irene meraup kasar wajahnya, dia mendudukkan diri di samping Nesya. Irene me

  • Tunangan Kontrak CEO Duda   Bab 20. Empati

    "Dok, ada pasien yang mengalami kecelakaan dan dia dalam kondisi hamil." Irene langsung mendongak, perempuan itu segera berdiri dan mengambil sneli yang menggantung di kursinya. Dengan tergesa-gesa Irene memakai snelinya. "Minta Dokter Bedah, Anak, dan Anestesi siap-siap. Kita akan lakukan tindakan operasi Caesar jika diperlukan!" titah Irene. Suster itu mengangguk, dia berlari ke luar. Sementara Irene berjalan dengan tergesa-gesa bersama suster lainnya untuk memasuki ruang operasi. "Perkiraan usia kandungannya delapan bulan, Dok," ucap Suster Rahma. "Kemungkinan kita bakal lakuin Caesar," balas Irene yang diangguki oleh Rahma. Mereka memasuki ruang operasi. Irene segera memasang stetoskop di telinganya, perempuan itu mengecek kondisi jantung dan pernapasan pasien. Perempuan itu beralih mengecek kondisi janin pasien yang terbaring lemah di meja operasi. "Bersihk

  • Tunangan Kontrak CEO Duda   Bab 19. Siapa Dia?

    Nesya memandang seorang perempuan berusia 20 tahun di hadapannya, perempuan itu memandang Nesya dengan tatapan takut. Keputusan yang dia buat untuk datang ke Psikiater tentu bukanlah keputusan yang mudah, ada banyak pergejolakan batin yang dia rasakan saat ini. Nesya berdeham, dia mengubah posisi duduknya menjadi senyaman mungkin. Kedua sudut bibir perempuan itu tertarik membentuk sebuah senyuman manis. "Hallo, Resti! Gimana hari kamu? Dalam kondisi baik?" Nesya lebih dulu memulai percakapan. Perempuan di hadapannya yang bernama Resti itu tersenyum kaku, sedangkan Nesya meneliti raut wajah perempuan yang menjadi pasiennya itu, wajah yang murung dengan lingkaran hitam di sekitar matanya. Pun tubuh Resti yang terbilang begitu kurus kering. "Kurang baik, Dok ...," lirih Resti. Nesya tersenyum simpul. "It's okay, kita memang perlu hari yang buruk. Kira-kira hal apa yang buat kamu kurang baik?"

  • Tunangan Kontrak CEO Duda   Bab 18. Before Anyone Else

    Irene membuka mata perlahan, hal pertama yang dia lihat adalah Arsen yang memeluknya dengan erat. Irene menunduk, dia memandang Arsen yang tertidur pulas dengan kenapa menempel di dadanya. Entah dorongan darimana, tangan Irene terangkat mengelus rambut Arsen dengan erat. "Pasti habis ini dia pusing," gumam Irene. Sejujurnya, perempuan itu sedikit terkejut dengan kehadiran Arsen tengah malam dalam kondisi mabuk. Pria itu bahkan berulang kali memberikan tanda di leher dan sekitar dada Irene. Mata Irene melotot mengingat hal itu, dia segera menunduk memandangi dadanya yang penuh bercak merah. Membuang napas panjang, Irene memandang nanar dadanya itu. "Kenapa semalam nggak aku ketok pakai panci aja kepala ini orang?" kesal Irene seraya memandangi Arsen dengan sinis. "Jangan berbuat kekerasan pada tunangan sendiri," celetuk Arsen dengan suara serak. Irene mendelik saat pelukan Arsen

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status