Pagi itu, ruang war room terasa berbeda—bukan oleh kursi atau kabel, tapi oleh cara orang duduk: bahu sedikit turun, napas sedikit panjang. Grafik saham yang menanjak kecil adalah obat bernama “harapan”. CSR GreenShift thread penuh foto pekerja memegang sertifikat pelatihan; tagar #KamiTidakSembunyi berhenti jadi slogan, mulai jadi kebiasaan: agen customer care melaporkan 32% lebih sedikit pertanyaan bernada curiga, digantikan permintaan informasi pelatihan.
Arga memulai hari dengan rapat stand-up delapan menit—jenis rapat yang disukai investor dan dibenci orang yang suka pidato. “Prioritas: laporan Kenara ke penyidik jam 11:30; town hall pabrik kedua 15:00; koordinasi audit internal vendor tier-2. Naya, kau press line. Karina, asset pack siap.”
Naya mengangguk. “Dan photo protocol baru sudah aktif.”
Rapat bubar. Dalam perjalanan ke press room, Naya menerima pesan
Teriakan anak memotong kebisingan alarm seperti peluit wasit di stadion. Ia duduk di anak tangga, sepatu kecilnya tersangkut di sela pagar; ibunya berjongkok, panik, mencoba menarik dengan cara yang justru membuat simpul semakin rapat. Orang-orang menurun melewati kami, sebagian melambat, sebagian merengut, semua menelan ketakutan lewat langkah cepat.“Boleh saya?” tanyaku pada si ibu. Ia mengangguk, mata berkaca-kaca.Aku berlutut, meraba simpul. Sepatu kanvas—tali tersangkut pada bibir besi yang licin. Kuyakin bagian yang tepat, lalu kudorong tumit kecil itu ke arah yang berlawanan, bukan menarik keluar. “Satu, dua—”“—tiga,” si ibu mengikuti, suara pecah. Kaki lepas. Anak itu memeluk ibunya tanpa suara.Kamera stringer yang tadi menyamping kini menukik, mendekat. “Mbak, lihat sini sebentar.”Aku mengangkat tangan, menutup lensa setengah; bukan menolak, hanya menahan. “Tolong jangan arahkan ke wajah anaknya,” kataku. “Ambil kaki tangga s
“Tidak.” Kata itu kukatakan tiga kali, dalam tiga nada berbeda: eksekutif, pribadi, dan hukum. Di war room, peta gedung Hotel Cempaka terpampang di layar; jalur evakuasi merah seperti pembuluh darah.Naya menatap balik, lelah namun tetap tegak. “Kalau kita tolak, dia akan bermain victim—‘aku ingin membantu, tapi CEO posesif menghalangi’. Lalu publik membuat narasi lain. Aku ingin memotong opsi itu.”“Tujuan kita bukan memuaskan publik,” kataku.“Tujuan kita menyelesaikan krisis. Kadang jalannya melalui panggung publik.” Ia mengangkat dagu. “Aku akan datang dengan pengawalan.”Aku memejam sesaat. Melarangnya berarti menghapus agensi yang kubilang ingin kujaga. Mengizinkannya berarti memasukkan variabel yang tidak kusukai ke dalam persamaan yang sudah buruk. “Baik,” akhirnya kukatakan. “Pengawalan penuh: dua pengawal di lift servis, satu di tang
Koridor belakang studio selalu berbau kabel panas dan parfum penonton VIP. Lampu-lampu putih menyilaukan, memantulkan keringat yang bahkan bedak Sinta tak sepenuhnya jinakkan. Sesi primetime barusan menghabiskan semua oksigen di paru-paruku—namun untuk pertama kalinya sejak krisis, rasanya kami tidak lagi hanya memadamkan api; kami menutup cerobongnya.“Good hit,” bisik Sinta lewat earpiece sebelum produser mematikan saluran. “Nada empati, angka pas, bridging mulus.”Aku mengangguk, lengan terasa berat oleh mikrofon clip-on yang kecil itu. Host mencoba menggoreng ‘kontrak pihak ketiga’, tapi kami menahan minyaknya. Rekonstruksi lima detik balkon yang Arga rilis ke control room—meski akhirnya tidak mereka tayangkan—memberi kami posisi tawar. Yang lebih mengejutkan, ticker sentiment di dashboard PR mulai menghangat, emoji jempol pelan-lahan menyalip api.Di lorong, Karina menghampiri dengan la
Studio primetime berbau kabel hangus dan ambisi. Kursiku dan Naya berjejer, dua mikrofon clip-on dipasang di kerah. Host—senyum tajam, mata yang tahu cara memberi makan iklan—menyapa dengan hangat yang sudah ia latih ribuan kali. “Pemirsa, malam ini kita kedatangan pasangan paling dibicarakan di negeri korporasi…”Aku tidak menatap kamera. Fokusku pada earpiece—suaranya Sinta dari control room. “Ingat bridging,” pesannya. “Jawab ke manusia, bukan ke akun gosip.”Pertanyaan awal lunak: performa pasca-krisis, pelatihan ulang, GreenShift. Naya menjawab dengan nada yang bekerja—tidak defensif, tidak manis berlebihan. Aku menambahkan angka seperlunya. Grafik kecil di layar ticker menunjukkan kerutan sentimen melunak.Lalu producer memberi kode. Host menghela napas pendek, seolah berat hati. “Saya harus bertanya hal yang publik ingin tahu. Pertunangan ini. Ada yang menyebutnya rekayasa PR.” Ia mengangkat
Dalam pekerjaan ini, reputasi adalah koin. Sekali jatuh, bunyinya menggema di seluruh lift kantor. Aku menatap Naya yang menatapku—bukan musuh, bukan hakim, tapi seseorang yang sedang memilih apakah akan percaya atau berjaga. “Bukan aku,” ulangku, menahan godaan untuk membumbui. Fakta lebih baik telanjang.“Kalau bukan kau, siapa yang cukup tahu jam kerjaku dan turnstile kita?” Naya bertanya pelan, nada yang tidak menusuk. Justru itu yang membuatnya efektif.“Aku di-approach,” kuakui, menyelesaikan kalimat yang sejak pagi menggantung. “Varuna, lewat HR mereka. Dimas menyertai. Mereka tawarkan jabatan, tim siap pakai, dan—ini penting—akses media yang mudah. Aku menolak. Kertasnya masih di mejaku.”Naya tidak berkedip. “Kau bertemu di kafe hotel. Aku di sana.”“Ya.” Aku tidak berkilah. “Dan aku pulang sendiri. Tidak ada coworking jam dua pagi. Aku tidur, setidaknya attempt tidur.”Kutarik email ancaman yang baru sa
Aku bukan detektif, tapi pada titik tertentu setiap PR dipaksa belajar jadi satu. Setelah rapat dewan, kupinjam akses Daru untuk melihat feed CCTV dari malam krusial itu. “Jangan rilis apa pun tanpa audit trail, Na,” pesannya. “Kalau ada yang kau lihat, panggil aku.”Lantai 43 memperlihatkan lorong yang biasanya sunyi, lampu sensor menyala padam. Tidak ada orang. Lantai 5—lounge tamu—menunjukkan kursi-kursi kosong, vending machine memantul cahaya biru. Waktu di layar menunjuk 01:57, 02:03, 02:11. Pada 02:12 sebuah bayangan melintas cepat di tepi frame—tinggi sedang, rambut tergulung. Aku berhenti, memutar ulang, memperlambat, menambah gain. Bayangan itu membuka pintu coworking tanpa ragu—yang berarti ia tahu kartu mana yang bekerja.Aku turun ke pos keamanan. Pak Bowo, satpam senior, sedang menulis di buku log yang masih dipakai meski semua sudah digital. “Mbak Naya,” sapanya ramah, bekas kopi menodai ujung meja. “Ada perlu?”