MasukSaat Naya, staf PR junior, tanpa sengaja memicu krisis media, CEO dingin—Arga Mahendra—menawari “solusi gila”: Naya jadi asisten pribadi sekaligus tunangan kontrak demi menyelamatkan reputasi perusahaan dan merger miliaran. Kontrak enam bulan berubah jadi badai perasaan, intrik kantor, dan perang kepemilikan.
Lihat lebih banyakNaya selalu memeriksa mikrofon dua kali sebelum siaran live. Pagi itu, ia memeriksa tiga kali. Namun yang tak pernah ia periksa adalah detak jantungnya sendiri—yang belakangan selalu lari maraton sejak dipindah ke divisi PR Mahendra Group.
“Ready in 3… 2… 1…” Produser menepuk bahunya. Naya tersenyum ke kamera, menautkan telapak tangan di pangkuan.
“Selamat pagi! Bersama saya Naya dari Mahendra Group. Hari ini kami meluncurkan program GreenShift—”
Hingga nada ping! dari ponselnya menyela di telinga lewat earbud. Chat grup internal: Rilis media belum disetujui legal!
Aliran kata Naya membeku sepersekian detik. Kamera menyorot lebih dekat. Ia tersenyum lagi—senyum yang kebanyakan gigi, terlalu banyak putih mata—dan melanjutkan. Ada lembar FAQ di mejanya, ada teleprompter. Namun ada juga pertanyaan penonton live chat yang tiba-tiba muncul di layar: “Benar Mahendra Group akan tutup dua pabrik?”
Naya refleks. “Tidak benar. Kami tidak—”
“Cut! Jangan jawab spekulasi!” suara produser membentak pelan lewat headset.
Terlambat. Cuplikan itu sudah dipotong oleh akun gosip korporasi, dibubuhi caption sensasional: PR Mahendra Bantah Penutupan Pabrik—Kok Tahu?
Satu jam setelah siaran, grafik di aplikasi bursa berubah merah—semerah wajah Naya. Saham Mahendra Group merosot 4%. Ping! notifikasi memborbardir: media mention, analyst alert, PR meltdown.
Karina, kepala PR, menghela napas di depan meja Naya. “Kenapa kamu jawab itu?”
“Aku kira kalau kita klarifikasi cepat—”
“Kita? Yang kamu sebut ‘kita’ barusan adalah perusahaan sepuluh ribu karyawan. Dan ‘cepat’ kadang berarti ‘ceroboh’.” Karina melunak setitik. “Aku tahu kamu niatnya baik. Tapi ini… ya, ini besar.”
Ponsel Naya bergetar. Email masuk dari sekretaris CEO: Segera ke lantai 43.
Lift kaca menanjak. Jakarta di luar jendela seperti grid neon yang baru bangun. Naya menatap bayangannya pada pantulan logam: blazer biru, rambut diikat rapi, mata yang menolak berkedip. Di lantai 43, resepsionis menunjuk ke pintu ganda kayu gelap. “Pak Mahendra menunggu.”
Ruang CEO seperti museum sunyi: garis-garis tegas, logam dingin, tembok kaca. Dan sosok di balik meja—Arga Mahendra—adalah patung marmer yang hidup. Dingin, sempurna, tak memberi ruang pada interferensi.
“Kursi,” katanya, tanpa angkat kepala.
Naya duduk. Tangannya dilipat di pangkuan, menyembunyikan tremor kecil.
Arga menutup berkas. Tatapannya menimpa. “Kamu tahu berapa miliar menguap hanya karena dua suku kata ‘tidak benar’ tadi?”
“Maaf, Pak. Saya—”
“Maaf tidak memperbaiki grafik.”
Keheningan menyisir ruangan. Jam dinding berdetak seperti hakim. Naya menelan ludah. “Saya siap bertanggung jawab. Apa pun bentuknya.”
Alis Arga hampir—hampir—naik. “Apa pun?”
Naya mengangguk, meski bagian logis otaknya menjerit agar jangan berjanji apa pun di depan manusia yang terkenal tidak bernegosiasi.
Arga berdiri, mendekat. Ia menatap keluar jendela, menimbang kata. “Aku tidak suka solusi kecil untuk masalah besar.”
“Baik, Pak.”
“Masalah besar kita bukan hanya angka hari ini. Ini soal persepsi. Investor ragu. Media mencium darah. Kompetitor menunggu.”
Ia berbalik. Pandangannya mengunci Naya. “Jadi aku akan menawarkan solusi besar. Gila, mungkin. Tapi efektif.”
Naya menahan napas.
Arga menyelipkan tangan ke saku. “Kau mau memperbaiki yang kau rusak? Jadilah perisai terdepan.”
“Caranya?”
“Mulai hari ini, kau jadi asistennya CEO.” Jeda. “Dan tunangannya.”
Kursi di bawah Naya mendadak terasa terlalu sempit. “Ma—maaf?”
Arga mengangkat telapak tangan seolah mengatur lalu lintas. “Kontrak. Enam bulan. Fake engagement. Kita perlu narasi bahwa perusahaan stabil, bahwa aku tidak terguncang, bahwa aku tahu persis apa yang kulakukan—bahkan dalam urusan pribadi.”
Naya menatap cincin signet di jari Arga—dingin, berkilat. “Kenapa saya?”
“Karena kamu error yang harus jadi patch.”
Naya tersenyum tipis, pahit. “Atau kambing hitam yang enak difoto.”
“Kalau itu membuatmu bekerja lebih hati-hati, anggap saja iya.” Arga kembali ke kursi. “Kau punya 24 jam untuk menolak. Tapi bursa tidak menunggu. Dewan tidak sabar. Dan merger yang kukejar—” Ia mengetuk berkas bertuliskan Term Sheet: Merger Varuna-Mahendra. “—tidak akan menoleransi ketidakpastian.”
Naya menghembuskan napas yang baru sadar ia tahan. Opsi-opsinya berputar: mundur dan mungkin dipecat; bertahan dan jadi simbol palsu di semua headline. Dalam kepalanya, terngiang suara ibunya tentang cicilan rumah, biaya kuliah adiknya, dan seorang ayah yang percaya orang yang salah.
“Kalau saya setuju…” Naya menegakkan punggung. “Aturannya?”
Arga membuka laci. Sebuah map kontrak berlogo firma hukum meluncur ke meja. “No dating dengan karyawan lain. No rumor yang tidak kubuat sendiri. Media training. Konseling HR untuk batasan profesional. Jadwalmu mengikuti jadwalku. Dan—” ia menatap tajam “—kau tidak bohong padaku, meski bohong pada dunia.”
Keheningan lain. Di kejauhan, helikopter melintas seperti capung besi.
Naya meraih map itu. Tangannya berhenti pada halaman tanda tangan. “Bisa saya bawa pulang untuk dibaca?”
Arga mengangguk. “Sampai jam delapan malam ini. Setelah itu, kita rapat dewan.”
Naya berdiri. “Kalau saya menolak?”
“HR akan menyiapkan surat pemutusan hubungan kerja dengan pesangon sesuai aturan. Kita akan bilang kamu memilih jalur berbeda.”
Kata-kata itu mendarat di dada Naya seperti batu. Ia mengangguk, berbalik, melangkah ke pintu. Jari menyentuh gagang logam—dingin yang sama seperti nada suara Arga.
“Dan Naya,” panggil Arga.
Ia menoleh.
“Jangan bikin aku menunggu.”
Pintu menutup. Notifikasi saham kembali bergetar di ponsel. Garis merah makin panjang.
Naya menatap jam: 17.12. Tiga jam lima puluh delapan menit menuju pukul delapan.
Mampukah ia menukar enam bulan hidupnya demi menambal dua suku kata yang salah? Atau justru dua suku kata itu akan menukar seluruh hidupnya?
Wartawan duduk dalam setengah lingkaran; tidak ada karpet merah, tidak ada photobooth. Hanya meja, mikrofon, dan papan peta tata kelola—kotak dan panah yang mungkin membosankan bagi sebagian orang, namun menenangkan bagi mereka yang mengelola risiko. Arga masuk tepat waktu, menyapa singkat. Naya berdiri di sisi, separuh berlindung di balik panel, separuh ingin melihat reaksi ruangan tanpa menjadi pusat sorot. “Terima kasih sudah datang,” Arga membuka. Suaranya datar, namun terukur. “Saya akan bicara pendek dan jelas. Pertama, tentang pernikahan. Kami menikah secara legal dan tercatat. Karena itu saya menjalankan recusal—saya tidak ikut memutus hal yang menyangkut langsung kepentingan Naya. Keputusan yang berpotensi konflik melewati gate legal dan pengawas independen. Ini bukan janji; ini struktur yang bisa diperiksa.” Ia menunjuk peta. “Kedua, tentang governance. Kami telah menyerahkan paket bukti kepada regulator, menindaklanjuti rekomendasi panel, dan
Pagi itu IR menyampaikan pesan ringkas dari investor besar yang selama ini menjadi jangkar: mereka meminta komitmen publik dari Arga mengenai dua hal—compliance yang tak bisa ditawar, dan firewall relasi pasca pernikahan sipil. “Mereka ingin mendengar langsung dari mulut CEO,” ujar analis IR, “bukan dari lembar fakta. Mereka butuh kalimat yang bisa dikutip, namun tetap akurat.”Arga tidak menunda. Ia tahu semakin panjang jeda, semakin banyak orang menulis cerita sendiri. Ia meminta tim menyiapkan konferensi pers singkat yang bukan panggung drama, melainkan meja informasi. “Tujuannya dua,” katanya kepada Naya, Sinta, Inez, dan Laila. “Menegaskan tata kelola dan menutup celah bagi narasi yang menjadikan Naya tumbal.”Sinta menyusun kerangka pernyataan dalam kalimat yang mudah diingat tetapi sulit disalahpahami. Bagian pertama berjudul Legal & Tata Kelola: pernikahan sipil legal, tercatat resmi; recusal berjalan—Arga tidak ikut memutus hal yang menyentuh langsung kepe
Pukul tujuh lewat lima, video teaser versi panjang naik. Bunyi musiknya seperti jam dinding tua yang dipaksakan lari maraton—berdebar terlalu cepat, memaksa penonton merasa ada sesuatu yang dikejar. Tim digital Mahendra sudah duduk di depan layar bahkan sebelum hitungan mundur selesai. Inez memimpin, Sinta di sampingnya, Rendra di belakang dengan catatan rute unggahan. Naya memilih berdiri, karena duduk membuatnya merasa menunggu.Pemutaran pertama tidak untuk yakin atau tidak yakin, tetapi untuk mencatat. Inez membiarkan video berjalan tanpa jeda, lalu memutar ulang dengan kecepatan seperlima. “Lihat ini,” katanya, menyorot bagian ketika bayangan di balkon tampak condong ke Arga. “Interframe‑nya janggal. Di bingkai ke‑274 sampai 279, ada lompatan luminans yang tidak selaras dengan arah lampu kota.” Ia mengekstrak enam bingkai itu ke panel terpisah. Pada satu bingkai, garis tepi bahu terlihat bergerigi tajam; pada bingkai berikutnya, halus seperti dilukis ulang. “Ini tanda
Malam hari di kantor terasa seperti peron kereta setelah keberangkatan terakhir: sunyi tetapi penuh jejak. Di ruang rapat kecil tanpa jendela, Arga duduk bersama Naya, Sinta, dan Laila. Press line tentang skors telah terkirim; balasan dari investor masuk dalam bentuk pertanyaan singkat: “Kapan Plt. CFO?” “Berapa cakupan audit?” “Bagaimana memastikan keputusan finansial tak tertunda?” Pertanyaan‑pertanyaan itu sehat, terdengar teknis, namun di luar sana arus lain mulai deras: saran, bisikan, ancaman halus agar Naya ditaruh di altar ketenangan pasar. Arga menatap selembar kertas kosong, lalu berkata tanpa menaikkan suara, “Ada dorongan menukar proses dengan tumbal. Jawabannya tidak. Ketertiban lahir dari aturan, bukan dari kepala yang dikorbankan.” Kalimat itu tidak ditujukan untuk media. Itu kompas bagi tim. Naya mengangguk; ia tidak mencari pembelaan manis, ia hanya membutuhkan arah yang tegak. Laila menambahkan rencana: Plt. CFO akan diumumkan paling lambat H+3, mele
Pukul 09.00 tepat, panel etik kembali duduk. Tidak ada tepuk tangan, tidak ada sengaja dramatis. Hanya gesekan map, detak jam, dan suara kursi yang bergeser pelan. Ketua panel membuka berkas, membaca tanpa kata sifat: “Berdasarkan bahan yang disampaikan dan verifikasi silang yang telah dilakukan, panel merekomendasikan pemberhentian sementara (skors) terhadap Luki dari jabatan CFO. Panel juga merekomendasikan audit forensik lanjutan oleh pihak independen serta penyerahan paket bukti yang sudah distandarkan ke penegak hukum.” Kalimatnya pendek, namun terasa seperti palu yang menyentuh meja: tidak keras, tetapi final.Reaksi di ruangan meredam. Beberapa kepala menunduk, beberapa napas tertahan. Kenan menatap ujung sepatunya—ia bukan pahlawan di sini, ia adalah sumber data yang menyatakan kesalahannya sendiri dan menanggung konsekuensi. Whistleblower keuangan meremas kedua telapaknya, menahan gemetar karena sadar namanya, betapapun disamarkan, sudah masuk catatan proses. Naya
Tidak ada balasan pada pesan ancaman itu—bukan karena takut, tetapi karena prosedur selalu lebih tajam dari adu kata. Laila membuka protokol anti‑intimidasi perusahaan yang memang dirancang untuk situasi begini: langkah 1, preservasi bukti; langkah 2, pelaporan resmi; langkah 3, pembatasan akses dan perlindungan personal; langkah 4, komunikasi terbatas yang menjaga martabat korban tanpa memperkeruh proses hukum.Langkah 1: Preservasi. Tim keamanan menyalin ponsel Naya melalui perangkat write‑blocker; image forensik dibuat, hash dicatat, dan salinan kerja disegel. “Kalau pesan dihapus di ujung sana,” kata Inez, “kita tetap punya jejak.” Lampiran yang dikirimkan ancaman—jika ada—diekstraksi lengkap dengan header untuk melacak jalur. HR meminta Naya tidak menggunakan nomor itu untuk membalas atau menghubungi pihak ketiga.Langkah 2: Pelaporan resmi. Laila mengirimkan berkas ke polisi siber dengan nomor laporan, jam, dan rujukan kebijakan internal. “Setiap ancaman pada






Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen