"Tidak akan, itu mustahil aku alami."
Nayla mengangkat bahu. “Takdir tidak ada yang tahu, loh, Kak. Bisa aja benci jadi cinta, kan? Tuhan juga maha membolak-balikkan hati. Tidak ada yang tahu kalau suatu saat kamu bakalan jatuh cinta sama aku.”Elvan mencebik, hendak berbalik untuk masuk ke mobil karena sudah malas berbasa-basi lagi. Namun tiba-tiba Nayla menahan lengannya, membuat Elvan menoleh kembali dengan alis menaut.“Apa lagi, sih? Urusan kita hari ini sudah selesai." Elvan langsung melepas tangan Nayla. Ia tidak ingin gadis itu menyentuhnya.“Jangan dulu, ih. Aku sendirian di rumah, aku juga masih mau ngomong sama kamu. Memangnya kamu tidak mau tahu tentang aku, Kak? Kamu tidak penasaran aku itu kayak gimana?” gerutu Nayla.“Tidak sama sekali. Aku sudah membencimu, jadi aku tidak akan penasaran sama kehidupanmu apalagi sifatmu. Intinya aku sudah tahu kalau kamu itu perempuan cerewet, baperan, dan merepotkan. Dan perempuan kayak gitu bukan tipe aku,” jelas Elvan terdengar kejam tanpa filter.“Kamu memang cabe man, ya, Kak? Omongan kamu pedes banget tahu. Kamu seolah tidak peduli dengan perasaan aku gimana setelah denger kamu bicara kayak gitu." Nayla akui dadanya cukup sesak dengan balasan Elvan.“Aku sudah bilang, aku membencimu. Aku sudah peringati jangan sampe jatuh cinta padaku kalau kamu tidak mau sakit. Kamu aja yang naif dan bodoh,” decih Elvan yang berusaha membuat Nayla membenci dirinya.“Iya tahu, aku memang perempuan yang cerewet dan merepotkan, tapi bisa, kan, jangan ceplas-ceplos kayak gitu? Seenggaknya kamu juga harus bisa mengerti perasaan aku, Kak.” Nayla menunduk, menatap ujung sandalnya dengan raut tertekuk. Rasa sakit di perutnya tidak sebanding yang ada di hatinya.Elvan jelas tidak peduli, ia mendecih keras agar Nayla mendengarnya. “Aku paling benci sama perempuan yang mudah baperan. Termasuk yang cengeng.”Setelah mengatakan kalimat kejam itu, Elvan berjalan menuju mobilnya tanpa berpamitan kepada Nayla. Tanpa memedulikan bahwa gadis itu masih ingin merespon perkataannya. Tanpa peduli rasa sakit di hati Nayla sebab—memang itu tujuannya.Sementara gadis itu mengepalkan jemari tangannya dan belum beranjak pergi, ia mendongak dengan kedua mata yang berkaca-kaca ketika mobil Elvan sudah berlalu menjauh dari rumahnya.“Lihat saja, Kak. Aku pastikan kamu bakal kena karmanya. Aku pasti bisa buat kamu jatuh cinta padaku. Tunggu aja, Kak Elvan," gumam Nayla dengan seulas senyum miring pada bibir mungilnya.***Elvan menuruni anak tangga dengan raut datar. Tidak ada semangat sama sekali untuk berangkat ke kampus. Ia benar-benar malas untuk bertemu dengan Nayla. Belum lagi menuruti permintaan sang mama yang tidak ada habisnya jika menyangkut gadis itu.“Elvan, sarapan dulu!”Itu dia, Laras. Wanita berparas muda dan cantik yang berprofesi sebagai seorang guru di salah satu SMP Negeri terfavorit di kotanya. Kata kebanyakan orang, pahatan wajah Laras mirip dengan Elvan versi perempuan.“Bentar lagi dosennya sudah datang, Ma. Nanti aku beli makanan aja di kantin." Elvan melengos, melewati area dapur serta meja makan.“Sarapan atau mobil kamu mama sita?”“Kenapa malah mengancam, sih, Ma?” decak Elvan. Dengan gondok akhirnya menghentikan langkah untuk kembali berjalan ke meja makan.Laras meletakkan segelas susu hangat ke depan Elvan, serta sepiring nasi goreng dengan telur dadar. Porsi yang sederhana dengan menu yang lezat. Seharusnya sudah cukup membuat perut Elvan keroncongan, namun tidak sama sekali.“Kalau tidak begitu kamu pasti tidak mau sarapan."“Percuma, Ma. Aku sudah tidak mood sarapan hari ini." Elvan menatap makanan di depannya yang tidak membuatnya nafsu.Laras menarik kursi di depan Elvan, mendudukkan diri ke sana. “Mama tidak mau tau, sarapan itu sangat penting, dan kamu tidak boleh berangkat ke kampus sebelum sarapan pagi.”Elvan menghela napas panjang, mau tidak mau ia tetap kalah meski berusaha melawan. Akhirnya Elvan memaksakan diri untuk sarapan dengan cepat agar bisa segera berangkat ke kampus karena ada kelas pagi dan dosen killer.“Aku berangkat sekarang,” pamit Elvan yang lantas berdiri dan berjalan keluar. Namun, saat di ambang pintu, Elvan mendengar permintaan sang mama lagi.“Jangan lupa hari ini kamu harus menjemput Nayla.”Elvan reflek mendengkus keras dan melanjutkan langkahnya tanpa berniat untuk membalas. Ia tidak akan menurut untuk permintaan sang mama yang satu ini. Bahkan saat wanita itu memanggil namanya berulang kali, Elvan tetap tidak menoleh.Sampai di depan motor sport-nya, Elvan mengumpat kesal sebelum memakai helm hitam full face kesayangannya. Selesai, ia bergegas naik dan keluar dari area rumah untuk melajukan motornya dengan kecepatan tinggi. Namun, di tengah perjalanan, kejadian yang menyebalkan justru terjadi.“Ada apa, sih? Benar-benar menganggu perjalananku."Gumaman diiringi nada kesal itu keluar dari mulut Elvan ketika melihat seseorang yang dikerumuni oleh beberapa orang. Karena Elvan melewati jalan gang yang sempit, mau tidak mau ia terpaksa menghentikan laju motornya untuk turun dan memeriksa.“Permisi." Elvan menerobos masuk ke dalam kerumunan.Begitu melihat seorang gadis yang ia kenal terduduk lemas di aspal, Elvan seketika membelalakkan mata. Setelah mengumpat di dalam hati, Elvan mendekati Nayla yang juga spontan mendongak dan melihatnya.“Kak Elvan, tolongin,” ringis Nayla dengan mata yang sudah berkaca-kaca serta nada suara yang bergetar menahan tangis.“Kenapa kamu ada di sini, bodoh? Cari perhatian, hah?" sentak Elvan yang langsung membantu Nayla untuk berdiri.“Aku kena tabrak lari, Kak El—aduh, s–sakit," pekik Nayla saat tiba-tiba lututnya terasa perih karena tersenggol lengan Elvan.“Kerjaan kamu cuma bisa merepotkan orang aja, ya,” hardik Elvan kesal.Siapa sangka ia justru dengan sigap menggendong Nayla ala bridal style karena tidak mempunyai pilihan lain. Membuat beberapa orang di sana seketika menatap kagum dan saling melempar senyum melihat adegan so sweet itu.“Jangan baper, aku melakukan ini cuma karena kasihan sama kamu. Tidak lebih,” peringat Elvan setelah mendudukkan Nayla ke atas jok belakang di motornya.Nayla mengangguk kecil, tapi menahan senyum senang. “Kita mau ke mana, Kak?”“Ke rumah sakit, lah. Kaki kamu bisa infeksi kalau dibiarkan."Bibir Nayla terangkat makin lebar. “Makasih, Kak."“Tidak perlu, aku tidak butuh ucapan terima kasih dari kamu,” decih Elvan tajam. Nayla yang tersentak, setelahnya hanya mencibir kecil tanpa membalas lagi.Setelah dari rumah sakit, Elvan mengantarkan Nayla untuk pulang kembali ke rumah. Sementara dirinya terpaksa harus izin karena hari semakin siang.Elvan memapah Nayla menuju ke kamarnya yang berada di lantai dua. Mau tidak mau harus bersabar untuk berjalan perlahan karena kaki Nayla yang sakit baru saja diperban.Seusai Elvan menyuruh Nayla duduk menyender di atas ranjang, ia hendak berbalik badan. Namun Elvan terpaksa menoleh kembali saat Nayla menahan lengannya.“Apa lagi, sih? Aku mau pulang,” ketus Elvan sambil melepaskan tangan Nayla.“Temenin aku di sini ya, Kak? Aku tidak bisa di rumah sendirian tahu." Nayla kembali memegang lengan Elvan.“Aku tidak peduli, aku ada urusan. Kamu anak orang kaya, kalau butuh sesuatu tinggal panggil asisten kamu bisa, kan. Jangan manja jadi cewek." Elvan mendecih kecil sambil melepaskan tangan Nayla.Nayla buru-buru menggeleng. “Asisten aku pulang kampung sejak tiga hari yang lalu, Kak."Elvan mendengkus kasar. “Memangnya orang tua kamu ke mana, sih?” “Mereka gila kerja, aku hampir setiap hari di rumah sendirian, Kak. Lagian sebentar lagi kamu bakalan jadi tunangan aku, harusnya kamu sering-sering perhatiin aku, dong, Kak."Elvan mengusap wajahnya kasar. “Bisa tidak, sih, jadi cewek mandiri? Aku banyak urusan, dan kamu bukan salah satu urusan aku yang penting. Tidak peduli meskipun kamu calon tunangan aku atau bukan.”“Pokoknya temenin aku, Kak Elvannn,” rengek Nayla tidak menyerah. Elvan bergidik ngeri, lalu mendecih malas. “Sialan ya, kamu. Aku jadi semakin membencimu."Meskipun
Nayla menyentuh pipinya yang terasa nyeri. Ditatapnya sang papa dengan alis menaut kesal. “P–papa? Aku tidak bolos, kok, Pa. Tadi ada insiden di jalan yang bikin kaki aku keseleo sampai harus ke klinik, tapi aku udah izin ke guru.”“Halah, bohong! Tadi papa ke kampus dan kata dosen kamu hari ini kamu tidak masuk tanpa ada keterangan! Apa kamu pikir bisa membodohi saya, hah?”“Apa? Tapi aku beneran serius, Pa. Aku udah minta temen aku buat izinin ke wali kelas kalau—““Papa benar-benar capek menghadapi sikap kamu, Nayla!"“Pa—““Kapan, sih, kamu bisa membanggakan papa? Sampai papa mati baru kamu mau serius kuliah? Tolonglah, jangan bikin papa malu lagi, Nayla,” sahut Anton tegas. Ia mengusap wajahnya kasar sebelum berjalan melewati Nayla begitu saja.Nayla mengepalkan jemari tangannya saat menyadari sesuatu. Ia menunduk, menahan segala emosi di dalam hatinya.“Kamu tidak izinin aku ke dosen hari ini, ya, Kak? Kok kamu egois banget, sih,” gumam Nayla.Gadis itu memutuskan ke dapur untuk
"Ya ampun, El. Kamu keren banget, ya. Dari dulu sampai sekarang aku selalu gagal ngalahin kamu. Makin jago, sih,” puji Emma sambil mengikat rambut panjangnya ke belakang.Elvan telah menghentikan laju motornya di garis finis yang disepakati oleh Elvan. Gadis itu baru sampai di sebelahnya selang dua menit kemudian. Elvan membuka helm, begitu juga dengan Emma yang sudah tertawa sambil menepuk sebelah pundaknya.Elvan mengalihkan pandangan, tidak tersanjung dengan pujian itu. “Mau makan di mana? Kamu jangan kabur.”Emma terkekeh geli. “Ya kali aku jadi pengecut. Aku traktir kamu di tempat biasanya, kok."Elvan mengangguk setuju. “Duluan sana, biar aku yang di belakang.”“Wih, kamu takut aku kenapa-napa, ya, El?” goda Emma.Elvan tidak membalas dan mulai memakai helmnya kembali. Kunci motornya ia putar, mesin pun menyala. Meski begitu sebenarnya ucapan Emma memang benar adanya.Emma pun mendengkus kecil, Elvan memang suka sekali mengabaikannya. Ia akhirnya tidak lagi berbicara dan langsun
Nayla tersentak kecil, sebelum menggeleng cepat dan tersenyum manis sambil buru-buru merapikan rambutnya. “Tidak ada apa-apa, kok. Yuk, berangkat sekarang, Kak."Elvan menaikkan sebelah alisnya. “Mata kamu—"“Oh, tadi tidak sengaja kena make up, hehe. Udah, ih, Kak. Jangan banyak tanya,” jawab Nayla berbohong, lalu segera mendorong tubuh Elvan agar berbalik dan berjalan ke motor.Elvan diam saja meski sedikit curiga, ia menaiki motornya lalu memakai helm. Saat melihat Nayla kesusahan memakai helm dari balik kaca spion, Elvan berdecak sebal.Ia sengaja tidak membantu dan hanya melihatnya sampai Nayla bisa sendiri. Gadis itu lalu memukul pundak Elvan karena tidak peka.“Kamu rese banget, ya, Kak. Kenapa aku tidak dibantu?” gerutu Nayla sambil naik ke jok belakang motor Elvan."Jadi cewek harus mandiri," decak Alvian yang lantas melajukan motornya.“Nyebelin banget, ish! Jadi cowok, tuh, juga harus peka, Kak!”Nayla memukul helm Elvan, tapi cowok itu tidak menghiraukan. Tetap fokus denga
"Eh, Manusia Batu! Kamu juga harus ketawa, dong! Ceritaku tadi lucu banget, kan?"Elvan duduk di kantin bersama tiga sahabatnya sambil menikmati makanannya. Suasana sangat seru ketika Emma terlihat bercanda dengan riang. Emma juga sesekali memukul lembut lengan Elvan sambil tertawa.Elvan yang mendapat perlakuan itu hanya tersenyum santai tanpa kesan marah atau kesal. "Iya, aku percaya. Habisin itu makanannya sebelum dingin."Emma terkekeh geli, lalu mengangguk-angguk. "Sumpah, deh. Pokoknya nanti kamu harus nonton filmnya, ya, El!""Iya-iya."Sementara itu, Nayla yang duduk agak jauh bersama Clara, memperhatikan mereka dengan perasaan cemburu yang tiba-tiba memuncak. Meskipun dia tahu Emma adalah sahabat Elvan, tetapi melihat keakraban mereka membuat hatinya tidak nyaman. Padahal saat dengannya sikap Elvan sangat kasar dan cuek."Kenapa Kak Elvan bisa tertawa akrab dengan Kak Emma? Padahal dia tunanganku," ucap Nayla di dalam hati.Nayla berusaha menyembunyikan rasa kesalnya, namun
Nayla tersenyum tipis. "Makasih karena karena hari ini sudah memberiku rasa sakit lagi, Kak Elvan."Nayla perlahan menjauh, ia merasa hatinya semakin berat. Ia berbalik dan memilih pulang sendirian, serta mencoba menghapus bayangan Elvan dan Emma dari pikirannya. Tetapi, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mereka yang tertawa bersama muncul lagi di benaknya.Bahkan ketika ia sudah di dalam taksi pun, pikirannya masih dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa kesal. Ia merasa seperti sengaja ditolak dan diabaikan oleh Elvan, orang yang baru saja akan ia anggap spesial. Hatinya terasa hancur, dan Nayla tidak bisa menahan emosinya yang mulai menggebu-gebu. Emosi kesal, cemburu, sakit, dan sedih, semuanya bercampur menjadi satu."Kenapa aku harus melihat mereka bersama?" batin Nayla dengan senyuman pahit."Elvan yang baru saja marah padaku hanya karena menyapanya, sekarang begitu hangat dan akrab dengan Emma. Mengapa dia memilih pulang bersama dia? Apa karena mereka sahabat y
"Elvan, aku suka sama kamu."Elvan terdiam, tampak terkejut dan tidak tahu harus berkata apa dengan ungkapan yang baru saja Emma katakan. Gadis itu menatap lurus ke dalam matanya, membuat Elvan mengepalkan tangan."Kenapa harus sekarang? Di saat aku berada di posisi yang tidak memungkinkan," ucap Elvan di dalam hati.Sementara Emma masih menunggu, hatinya berdebar-debar, tapi Elvan masih belum juga memberi jawaban. Emma tahu dirinya sudah gila, tapi ia tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. "Elvan?" panggil Emma ragu. Sejujurnya ia cemas dengan raut wajah Elvan saat ini. Bukan marah, tetapi terlihat dingin."Emma, aku ...." Elvan mencari kata-kata yang tepat. Ia bingung, tidak bisa menatap Emma langsung.Elvan kemudian mengalihkan pandangan, menghela napas panjang, dan menatap ke arah lain. Ia berpikir keras, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya. Namun nyatanya ia tidak bisa mengatakan apa-apa pada Emma.Emma melihat Elvan seperti itu menundukkan kepala. "Maaf, El."Elvan
"Jadi, Emma? Kenapa kamu menyatakan perasaan padaku?" Elvan menatap Emma dengan serius. Mungkin perkataannya barusan memang cukup menyakitkan, tapi ia memang ingin meluruskan. "Aku tahu aku gila, El. Tapi aku sudah tidak sanggup lagi menahannya. Aku sudah lama menganggapnyamu sebagai orang yang paling aku butuhkan dalam hidupku." Emma menundukkan kepala. Menatap wadah es krim di meja."Aku menyukaimu sebagai Elvan, sebagai seorang lelaki, bukan sahabat. Aku mencintaimu, Elvan. Aku takut suatu saat akan terlambat dan kamu meninggalkanku," lanjutnya dengan nada lebih pelan."Aku tidak ingin kehilanganmu, El. Kamu ... juga merasakan hal yang sama, kan? Selama ini, apa kamu pernah sekali saja berpikir untuk melihatku sebagai perempuan dan mencintaiku sebagai Emma?" Meskipun ragu, Emma perlahan mengangkat wajahnya. Elvan menarik napas dalam-dalam, menatap Emma dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tidak pernah menyangka Emma mengakui perasaan padanya. Ia mengusap rambutnya dengan ja