Share

Tunangan Naif Pewaris Bengis
Tunangan Naif Pewaris Bengis
Penulis: Purplexyiii

Membuat Dia Menyesal

“Minggu depan kamu harus bertunangan dengan Nayla.”

Ucapan itu terlontar dari mulut David, ayah Elvan dengan tegas dan nada dingin seolah tidak bisa dibantah. Namun, Elvan yang duduk di hadapan pria itu langsung berdecak kesal.

“Jangan bercanda, Pa. Sekarang udah zaman modern, aku bebas milih sendiri siapa pasanganku nanti."

“Pihak keluarga Nayla sudah setuju. Ini perjanjian yang kami buat tujuh tahun lalu sebagai bentuk kerja sama untuk menyatukan perusahaan. Papa tidak mau mendengar penolakan dari kamu." David menatap putra semata wayangnya dengan serius.

Elvan seketika tertawa kecut. Ia sungguh tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh papanya itu. Kata-kata yang paling tidak ia sangka keluar dari mulut orang tuanya selama dua puluh tahun hidup sebagai anak tunggal.

“Papa udah melupakan hak aku sebagai seorang anak yang bebas memilih, ya? Kenapa, sih, papa selalu maksa?” dengkus Elvan berani.

“Elvan Ganendra!” tegur Laras seketika dengan mata penuh emosi, ibu Elvan itu tengah duduk di sebelah David.

Elvan menoleh, tatapannya terkejut, sekali lagi ia tidak menyangka dengan apa disaksikannya sekarang ini. Elvan pun terkekeh hambar menatap mamanya. Wanita muda itu nyaris tidak pernah membela dirinya.

“Jadi mama juga setuju? Kalian bener-bener egois, ya!"

“Jangan berani melawan, Elvan. Apa kamu melupakan jasa kami yang sudah membesarkan kamu selama ini? Papa akan menganggapmu durhaka jika tetep nolak permintaan kami yang terakhir kali. Papa tidak meminta banyak, kamu cukup menyetujui keputusan kami untuk bertunangan dengan Nayla."

Ekspresi wajah David yang datar tanpa senyum membuat Elvan menghela napas panjang. Lagi dan lagi ia harus mengalah dengan keegoisan kedua orang tua yang tidak pernah ada habisnya.

“Aku akan melakukan apapun asal jangan perjodohan konyol itu. Kalian tahu aku, kan, masih muda dan masih kuliah. Masa depan aku juga masih panjang, belum waktunya aku tunangan, apalagi sampai menikah." Elvan mengepalkan jemari tangan dengan rahang mengeras.

Laras menghela napas panjang, tatapannya tersirat tegas. “Kamu masih bisa kuliah setelah bertunangan. Baru setelah lulus sarjana kamu akan menikah dengan Nayla, itu pun kamu masih bisa melanjutkan kuliah S2 lagi. Jangan kamu pikir kami tidak menata masa depanmu, Elvan. Justru kami sudah menyusun semuanya dengan matang.”

“Jangan khawatir, kami melakukan ini bukan karena tidak menyayangimu,” timpal David.

Elvan menyeringai tipis, ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk menolak, jika pun bisa—itu sama saja ia akan menjadi anak durhaka. Dan ia tidak mau hal itu sampai terjadi.

“Tapi kenapa harus Nayla? Dia bahkan adik kelas yang sama sekali tidak aku kenal," protes Elvan.

David menatap jengah kepada putra satu-satunya yang sedari tadi sangat sulit hanya untuk sekadar mengatakan ‘iya’. “Jangan banyak protes. Van. Dia sudah menjadi pilihan terbaik yang kami cari!"

Elvan mendengkus keras, muak dengan orang tuanya yang begitu menyebalkan. “Oke, sekalinya egois, selamanya bakal tetep egois. Papa sama mama memang tidak pernah mengerti perasaan aku.”

“Elvan, jaga bicara kamu!” bentak Laras dengan emosi yang meledak. David di sebelahnya mengusap telapak tangan wanita itu supaya bisa mengendalikan diri.

Elvan menghela napas panjang, lalu berdiri disusul dengan decihan tipis dari bibirnya. Ia menatap kedua orang tuanya bergantian dengan serius.

“Aku tahu selama ini hanya beban di mata mama sama papa, tapi it’s okay, aku akan menerima perjodohan itu demi kalian. Entah ke depannya aku bisa bertahan atau tidak, kalian jangan menyalahkan aku jika ternyata hatiku bukan untuk dia."

“Cinta itu tidak bisa dipaksa, Pa, Ma,” imbuh Elvan.

David dan Laras terdiam, mereka tidak lagi berbicara ketika Elvan sudah beranjak pergi meninggalkan ruang tamu dan menaiki anak tangga menuju kamarnya. David menghela napas panjang, sementara Laras mendengkus kasar melihat sifat putranya yang sedari dulu tidak pernah berubah.

“Anak itu benar-benar tidak mengerti balas budi. Aku cemas kita tidak bisa bekerja sama dengan perusahaan Antonio." Laras memijit pelipisnya yang pening.

“Tenang saja. Kita sudah melakukan yang terbaik. Aku akan memastikan dia tidak bisa kabur." Sebelah sudut bibir David tertarik ke atas.

***

Ruangan bernuansa gelap itu menjadi tempat yang Elvan tuju. Ia menutup pintu, lalu menjatuhkan tubuhnya ke atas ranjang dengan helaan napas panjang. "Di zaman modern begini kenapa harus ada perjodohan, sih?"

Masalah bertambah saat Elvan mengetahui bahwa calon tunangannya adalah Nayla, si mahasiswi semester pertama yang terkenal dengan sifat manjanya di kampus. Tidak hanya itu, kata teman-temannya seangkatan yang ia dengar Nayla itu perempuan yang cerewet dan over PD.

“Benar-benar nasib buruk. Dari sekian banyaknya perempuan, kenapa harus dia yang bakal jadi tunanganku? Sialan." Elvan terus menggerutu sambil menutupi wajah dengan lengan.

Sayang, kekesalannya itu percuma karena ujung-ujungnya ia tetap tidak bisa menolak, apalagi kabur. Bisa-bisa semua fasilitas yang selama ini ia terima akan disita oleh kedua orang tuanya.

Sebelum Elvan hendak memejamkan mata, ia mengumpat kesal saat mendengar suara sang mama dari arah luar kamarnya sembari mengetuk pintu. Elvan turun dari kasur untuk membukanya dengan malas.

Laras segera masuk setelah pintu terbuka. Ia menatap putranya dengan serius. “Hari ini kamu dengan Nayla harus fiting baju dan cincin pertunangan. Mama ingin kamu bersikap baik dengan Nayla di pertemuan pertama ini. Mengerti?”

“Kenapa mendadak banget? Bukannya besok bisa, ya? Acaranya, kan, masih lama, Ma," decak Elvan. Ia sejujurnya malas bertemu dengan gadis itu. Benar. Sangat malas.

Laras menggeleng kuat-kuat, ia membenci bantahan. “Kamu tahu mama tidak suka penolakan. Mau tidak mau, kamu tidak bisa protes. Cepat siap-siap, kamu harus menjemput Nayla di rumahnya. Nanti mama kirim lokasinya lewat chat. Paham?”

Jika sudah begini, tidak ada cara lagi untuk Elvan mengatakan ‘tidak’. Kenyataannya ia tidak bisa membantah perintah sang mama bagaimana pun caranya. Elvan akhirnya membuang napas panjang dengan ogah-ogahan.

“Paham.”

“Cepat turun dan berangkat, kamu pasti tahu Nayla itu gadis yang tidak suka menunggu lama,” perintah Laras yang dibalas anggukan malas oleh Elvan.

Laras keluar dari kamar, sementara Elvan menyusul di belakang dan menutup pintu. Sebelum menuruni anak tangga, ia menarik napas dalam-dalam untuk menetralkan rasa kesalnya yang tertahan. Ia berulang kali menahan diri untuk tidak mengeluarkan umpatan.

“Aku berharap perempuan itu membenciku." Elvan bergegas turun dan berjalan menuju ke garasi mobil. Ia memukul setir mobil kemudian menghela napas kasar.

“Aku pasti akan membuat dia menyesal karena menerima perjodohan ini." Tangan Elvan terkepal kuat sambil memegang setir, lalu sesaat memejamkan mata sebelum menancap gas mobil.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status