Nayla tersentak kecil, sebelum menggeleng cepat dan tersenyum manis sambil buru-buru merapikan rambutnya. “Tidak ada apa-apa, kok. Yuk, berangkat sekarang, Kak."
Elvan menaikkan sebelah alisnya. “Mata kamu—"“Oh, tadi tidak sengaja kena make up, hehe. Udah, ih, Kak. Jangan banyak tanya,” jawab Nayla berbohong, lalu segera mendorong tubuh Elvan agar berbalik dan berjalan ke motor.Elvan diam saja meski sedikit curiga, ia menaiki motornya lalu memakai helm. Saat melihat Nayla kesusahan memakai helm dari balik kaca spion, Elvan berdecak sebal.Ia sengaja tidak membantu dan hanya melihatnya sampai Nayla bisa sendiri. Gadis itu lalu memukul pundak Elvan karena tidak peka.“Kamu rese banget, ya, Kak. Kenapa aku tidak dibantu?” gerutu Nayla sambil naik ke jok belakang motor Elvan."Jadi cewek harus mandiri," decak Alvian yang lantas melajukan motornya.“Nyebelin banget, ish! Jadi cowok, tuh, juga harus peka, Kak!”Nayla memukul helm Elvan, tapi cowok itu tidak menghiraukan. Tetap fokus dengan jalanan. Nayla semakin kesal walau sebenarnya ia hanya sedang menutupi keadaannya tadi.Yah, ia bersikap seperti itu agar Elvan tidak mencurigainya. Ia harus terlihat ceria dan cerewet di depan cowok itu, bahkan sahabat hingga teman-temannya."Apa tadi kedengeran, ya, dari luar?” batin Nayla mengingat saat sang ayah memecahkan vas bunga. Bertepatan dengan ia keluar, Elvan sudah datang.Nayla lalu menggeleng, menepis pikiran itu, dan membatik yakin, “Ah, sepertinya tidak, deh.”Selama perjalanan Elvan hanya diam. Begitu juga dengan Nayla yang sibuk dengan pikirannya. Kata-kata kasar dari sang ayah pagi tadi masih teringat jelas di benaknya. Sampai akhirnya motor Elvan berhenti, Nayla belum juga tersadarkan diri. Masih melamun.Elvan melirik dari kaca spion, kemudian berdehem dengan keras. “Turun di sini.”Belum ada balasan, membuat Elvan berdecak sebal. “Cewek aneh. Turun sekarang.”“Woi! Kamu tuli?” sentak Elvan. Barulah Nayla tersentak dan mengerjapkan mata.“E–eh? Udah sampai, ya, Kak?”“Cepat turun!” suruh Elvan tegas. Tak peduli dengan hinaannya tadi.Nayla celingukan, kemudian mengernyit karena Elvan menurunkannya di halte. “Tapi kok di sini, Kak? Ini, kan, masih jauh dari kampus kita."“Ini tempat yang paling aman supaya tidak ada yang curiga sama kita,” dengkus Elvan. Kesabarannya sungguh diuji. Ia sedang menahan diri agar tidak mengumpati Nayla.“Jadi setelah ini aku harus jalan kaki sampai ke kampus gitu, Kak? Tapi ini masih beberapa meter lagi, loh," ungkap Nayla dengan raut tak percaya. Ia benar-benar tak menyangka Elvan setega itu padanya.“Terserah. Mau merangkak juga silakan. Soal jarak kampus yang masih jauh, itu bukan urusanku. Yang penting aku tidak mau kita keliatan berangkat bareng."Nayla spontan memukul bahu Elvan dengan gerutuan sebal. “Ishh, kamu nyebelin banget, sih, Kak!"“Makanya cepat turun, aku ada urusan,” desak Elvan.“Iya-iya, Kak. Sabar, dong.” Akhirnya Nayla turun dari motor dengan raut tertekuk.Elvan masih mengenakan helm tanpa membuka kacanya. Ia melirik Nayla yang sedang merapikan rambutnya di kaca spion. Tanpa sengaja tatapannya jatuh di sebelah pipi gadis itu yang tampak membiru. Seperti bekas tamparan yang cukup keras.“Ah, apa, sih? Aku pasti salah lihat," batin Elvan berusaha tidak peduli. Ia menepis pikiran buruknya.Nayla masih berdiri di sebelah motor Elvan, ia memajukan bibirnya menatap cowok itu. Membuat Elvan bergidik ngeri melihatnya. Mungkin jika cowok lain pasti akan salah tingkah karena raut menggemaskan Nayla, tapi sangat mustahil jika Elvan salah satu dari mereka.“Kenapa? Jangan bertingkah sok imut di depanku. Aku risih," desis Elvan. Membuang muka."Ishhh! Kamu tidak peka lagi, kan, Kak! Pulang kampus nanti jangan lupa tungguin aku di sini, ya! Jangan tinggalin aku!"“Oh, sorry. Tapi aku tidak bisa mengantarmu pulang,” tolak Elvan tanpa menoleh. Ia sudah memutar kunci motornya.“Eh, kamu tidak boleh nolak, Kak! Pokoknya kamu harus tunggu aku! Tungguin aku sampai kelas selesai di sini!"Elvan reflek menoleh dengan tajam. Rahangnya mengeras. “Beraninya, ya, kamu mengaturku?"“Biarin! Pokoknya kamu harus mau, Kak!" tegas Tasya sambil bersedekap dada.Elvan mendecih, kemudian menyalakan mesin motornya. “Jangan berharap aku bilang 'iya'."“Kak Elvan! Awas, ya, kalau kamu kabur, aku bakal aduin ke mama papa kamu supaya kamu dihukum!” ancam Elvan tak main-main.Elvan menyeringai tipis. “Silakan, memangnya aku peduli soal itu? Justru lebih baik kalau kamu batalin perjodohan kita."Nayla membelalakkan mata saat Elvan menancap gas motornya tanpa menunggu balasan lagi darinya. Nayla menghentakkan kakinya kesal. Tidak berselang lama ia membuang napas panjang, berpura-pura ternyata melelahkan juga.***Sampainya di kampus, bukannya ke kelas Nayla justru memacu langsung langkahnya menuju ke toilet. Ia juga memperhatikan sekeliling takut-takut kalau saja bertemu dengan Clara, sahabatnya. Jangan sampai gadis itu tahu bahwa matanya bengkak.Nayla bergegas masuk ke salah satu toilet yang kosong, ia langsung saja mengeluarkan beberapa make up yang sengaja dibawanya secara diam-diam.Nayla kemudian mulai memoles concealer pada bawah kelopak matanya agar tampak segar dan tidak dicurigai oleh Clara atau teman-temannya.“Dilihat-lihat aku cantik, loh. Tapi kenapa Kak Elvan membenciku? Apa aku seburuk itu di matanya sampai dia melarangku jatuh cinta padanya?" gumam Nayla sambil mengaca. Di saat laki-laki lain kerap memujinya, Elvan justru sebaliknya."Ah, atau memang aku tidak pantas untuk dicintai, ya?" Nayla terkekeh kecut. Lalu mengangguk kecil seolah membenarkan ucapannya sendiri."Yah, memang selama ini tidak ada yang mencintaiku, sih. Untuk apa juga aku berharap tinggi?"Setelah selesai, Nayla keluar dan menuju wastafel untuk mencuci tangan. Kaca besar yang terpampang jelas di hadapannya membuat Nayla sekali lagi mengaca. Berulang kali memastikan bahwa mata bengkaknya tidak parah dan telah teratasi dengan baik."Semoga Clara tidak sadar," batin Tasya.“Loh, Na? Kamu udah di sini dan bukannya ke kelas?"Deg! Suara Clara yang tiba-tiba terdengar nyaris membuat jantung Nayla mencelos. Gadis itu ikut berdiri di sebelahnya dan mencuci tangan. Membuat Nayla sedikit menahan napas dan mengontrol raut wajahnya."Iya, aku udah kebelet sejak mau berangkat tadi." Nayla menjawab dengan cengiran.Clara mendengkus kecil sambil merapikan poninya. "Makanya pagi-pagi jangan sarapan sambal. Yaudah kita ke kelas bareng, yuk. Sebentar lagi dosen udah masuk."Nayla mengangguk singkat dan mengikuti langkah Clara keluar toilet. Melewati koridor yang panjang, tiba-tiba Nayla tidak sengaja melihat Elvan dari awal berlawanan bersama seorang gadis, ya, Nayla tahu dia Emma."Kak Elvan ternyata bisa ketawa kalau sama Kak Emma," batin Nayla, tersenyum kecut.Saat mereka berpapasan, ia bisa melihat Elvan sedang mengacak-acak rambut Emma. Tanpa melirik Nayla sekilas pun, Elvan melengos pergi sambil berbincang dengan Emma."Jadi Kak Elvan lebih memilih berangkat bareng sama Kak Emma dari pada aku, ya?" lanjut Nayla lagi di dalam hati."Eh, Manusia Batu! Kamu juga harus ketawa, dong! Ceritaku tadi lucu banget, kan?"Elvan duduk di kantin bersama tiga sahabatnya sambil menikmati makanannya. Suasana sangat seru ketika Emma terlihat bercanda dengan riang. Emma juga sesekali memukul lembut lengan Elvan sambil tertawa.Elvan yang mendapat perlakuan itu hanya tersenyum santai tanpa kesan marah atau kesal. "Iya, aku percaya. Habisin itu makanannya sebelum dingin."Emma terkekeh geli, lalu mengangguk-angguk. "Sumpah, deh. Pokoknya nanti kamu harus nonton filmnya, ya, El!""Iya-iya."Sementara itu, Nayla yang duduk agak jauh bersama Clara, memperhatikan mereka dengan perasaan cemburu yang tiba-tiba memuncak. Meskipun dia tahu Emma adalah sahabat Elvan, tetapi melihat keakraban mereka membuat hatinya tidak nyaman. Padahal saat dengannya sikap Elvan sangat kasar dan cuek."Kenapa Kak Elvan bisa tertawa akrab dengan Kak Emma? Padahal dia tunanganku," ucap Nayla di dalam hati.Nayla berusaha menyembunyikan rasa kesalnya, namun
Nayla tersenyum tipis. "Makasih karena karena hari ini sudah memberiku rasa sakit lagi, Kak Elvan."Nayla perlahan menjauh, ia merasa hatinya semakin berat. Ia berbalik dan memilih pulang sendirian, serta mencoba menghapus bayangan Elvan dan Emma dari pikirannya. Tetapi, semakin ia berusaha melupakan, semakin kuat bayangan mereka yang tertawa bersama muncul lagi di benaknya.Bahkan ketika ia sudah di dalam taksi pun, pikirannya masih dipenuhi dengan kekecewaan dan rasa kesal. Ia merasa seperti sengaja ditolak dan diabaikan oleh Elvan, orang yang baru saja akan ia anggap spesial. Hatinya terasa hancur, dan Nayla tidak bisa menahan emosinya yang mulai menggebu-gebu. Emosi kesal, cemburu, sakit, dan sedih, semuanya bercampur menjadi satu."Kenapa aku harus melihat mereka bersama?" batin Nayla dengan senyuman pahit."Elvan yang baru saja marah padaku hanya karena menyapanya, sekarang begitu hangat dan akrab dengan Emma. Mengapa dia memilih pulang bersama dia? Apa karena mereka sahabat y
"Elvan, aku suka sama kamu."Elvan terdiam, tampak terkejut dan tidak tahu harus berkata apa dengan ungkapan yang baru saja Emma katakan. Gadis itu menatap lurus ke dalam matanya, membuat Elvan mengepalkan tangan."Kenapa harus sekarang? Di saat aku berada di posisi yang tidak memungkinkan," ucap Elvan di dalam hati.Sementara Emma masih menunggu, hatinya berdebar-debar, tapi Elvan masih belum juga memberi jawaban. Emma tahu dirinya sudah gila, tapi ia tidak bisa lagi menunggu terlalu lama. "Elvan?" panggil Emma ragu. Sejujurnya ia cemas dengan raut wajah Elvan saat ini. Bukan marah, tetapi terlihat dingin."Emma, aku ...." Elvan mencari kata-kata yang tepat. Ia bingung, tidak bisa menatap Emma langsung.Elvan kemudian mengalihkan pandangan, menghela napas panjang, dan menatap ke arah lain. Ia berpikir keras, mencoba memproses apa yang baru saja didengarnya. Namun nyatanya ia tidak bisa mengatakan apa-apa pada Emma.Emma melihat Elvan seperti itu menundukkan kepala. "Maaf, El."Elvan
"Jadi, Emma? Kenapa kamu menyatakan perasaan padaku?" Elvan menatap Emma dengan serius. Mungkin perkataannya barusan memang cukup menyakitkan, tapi ia memang ingin meluruskan. "Aku tahu aku gila, El. Tapi aku sudah tidak sanggup lagi menahannya. Aku sudah lama menganggapnyamu sebagai orang yang paling aku butuhkan dalam hidupku." Emma menundukkan kepala. Menatap wadah es krim di meja."Aku menyukaimu sebagai Elvan, sebagai seorang lelaki, bukan sahabat. Aku mencintaimu, Elvan. Aku takut suatu saat akan terlambat dan kamu meninggalkanku," lanjutnya dengan nada lebih pelan."Aku tidak ingin kehilanganmu, El. Kamu ... juga merasakan hal yang sama, kan? Selama ini, apa kamu pernah sekali saja berpikir untuk melihatku sebagai perempuan dan mencintaiku sebagai Emma?" Meskipun ragu, Emma perlahan mengangkat wajahnya. Elvan menarik napas dalam-dalam, menatap Emma dengan ekspresi yang sulit dijelaskan. Ia tidak pernah menyangka Emma mengakui perasaan padanya. Ia mengusap rambutnya dengan ja
".... Aku akan melakukan apapun untuk papa."Pada akhirnya Nayla hanya bisa mengangguk, tersenyum manis dan menunjukkan bahwa ia anak yang berbakti pada orang tua. Karena ia tahu diri ia cukup tidak berguna bagi mereka. Dan perjodohan inilah satu-satunya cara untuk membuat Nayla terlihat ada di mata orang tuanya."Terima kasih, Sayang," kata Anton kemudian mengusap kepala Nayla dengan senyuman hangat. Bukan tersentuh, Nayla justru mengepalkan tangan ketika mendapat perlakuan palsu dari papanya seperti itu. Kalau bukan karena urusan bisnis yang menguntungkan, papanya itu pasti tidak akan sudi melakukan perbuatan lembut padanya.Anton dan David saling pandang, lalu tersenyum senang. Kedua istri mereka juga saling melempar senyum dengan perasaan bahagia. Setelah itu percakapan pun berlanjut, dengan membahas rincian kerja sama bisnis yang diharapkan.Elvan dan Nayla mencoba untuk tetap tenang dan menjaga sikap yang sopan, meskipun mereka merasa terjebak dalam situasi yang tidak mereka i
"Aku sudah pernah bilang, kan? Jangan mencintaiku. Dan jangan berharap aku akan membalas perasaanmu."Itu kalimat Elvan yang Nayla dengar beberapa saat kemudian sebelum ia terdiam. Nayla memutuskan percakapan dan memilih menahan nyeri di hatinya yang terdalam.Udara dingin malam ini seolah ikut mendukung Nayla untuk menyerah pada perasaannya. Tapi di lain sisi ia juga ingin berteriak bahwa ia mencintainya. Nayla ingin sekali menegaskan bahwa ia ingin Elvan menjadi satu-satunya miliknya."Aku bosan di sini denganmu. Lebih baik kita kembali," celetuk Elvan yang tiba-tiba berdiri dan berjalan lebih dulu.Nayla tersentak dari lamunannya, mendengar itu membuat bibirnya tersenyum tipis, lalu buru-buru mengikuti langkah lebar Elvan sambil menggerutu. "Ish! Kak Elvan, tunggu!" teriak Nayla yang sama sekali tidak direspon oleh Elvan.Sampai di tempat orang tuanya, Elvan menahan umpatan saat dengan terpaksa menuruti perintah ayahnya untuk mengantar Nayla pulang. Meskipun hatinya kesal, ia ber
"Apa dia tidak akan datang lagi?" gumam Nayla sambil sesekali menatap jam di pergelangan tangannya.Berdiri sejak beberapa menit yang lalu di depan gerbang rumah, Nayla berharap Elvan akan menjemputnya. Namun setelah menunggu nyaris setengah jam, Elvan tak kunjung datang. Ah, rupanya lelaki itu tidak merasa bersalah perihal tadi malam."Memang salah aku berharap padanya. Kenapa, sih, aku tidak kapok juga?" kekeh Nayla yang akhirnya memutuskan memesan taksi.Lagi-lagi Nayla dibuat kecewa dengan harapannya sendiri. Padahal ia tahu prioritas Elvan adalah Emma. Tapi tetap saja Nayla berharap Elvan bisa berubah pikiran suatu hari nanti.Perasaan kecewanya pagi ini membuat Nayla kehilangan selera makan saat makan siang. Selama di kelas tadi pun ia sulit memahami materi yang diberikan dosen. Sudah sejak awal Nayla tidak cocok dengan jurusan yang diminta papanya, ditambah dengan masalah perasaannya yang semakin membuat penat.Duduk sendirian di kantin, Nayla menunggu Clara yang memesan makana
"Aduh, kenapa hujannya harus sekarang, sih?" Sore hari, tiba-tiba hujan turun dengan deras dan berangin. Nayla terjebak di halte tanpa ada kendaraan yang bisa mengantarnya pulang. Clara sudah pulang sejak tadi karena dijemput lebih awal. Beberapa mahasiswa lain juga sudah dijemput dan sisanya pulang sebelum hujan. Nayla mendadak kesal karena tadi sempat disuruh membantu dosennya di kantor. Sekarang ia jadi kesepian di tengah hujan yang deras. Meski sudah mencoba memesan ojek, namun tidak ada yang tersedia. Bahkan taksi pun juga sama, tidak membuahkan hasil karena cuaca yang buruk. Hari ini sungguh menjadi hari yang paling sial bagi Nayla.Ia mendengkus kecil, menyimpan kembali ponselnya ke tas dan menghela napas panjang. Rasanya ia ingin menangis karena suara petir yang beberapa kali terdengar."Bisa-bisa aku kedinginan jika terus berada di sini," gumam Nayla. Kedua telapak tangannya ia usap berkali-kali."Haruskah aku menelepon Kak Elvan? Tapi apa mungkin dia bisa menjemputku di t