Share

Bab 4

*** MASIH POV RIA***

Di rumah dengan lincah kupersiapkan menu makan malam, walau hanya seadanya.

Tak sadar aku senyum-senyum sendiri mengingat candaanku dengan Reyhan tadi, aku sebenarnya tak tega mengolokinya seperti tadi, tapi itu di luar kendaliku.

Kata-kata itu seperti lolos begitu saja dari mulutku, aku jadi bisa tertawa lepas melupakan kesedihan.

Terima kasih tuan Reyhan Pratama, kau adalah malaikat tak bersayapku. Selama empat tahun ini sudah banyak membantuku.

Seperti hari-hari kita yang penuh kekonyolan, saat pertama berjumpa pun dengan cara yang konyol.

Aku yang saat itu tengah berjalan menggandeng Dhea yang sudah kelelahan. Saat itu matahari tengah teriknya. Aku dan Dhea terus mencari kost-an kosong untuk kami tinggali di kota asing ini, karena kasihan melihat putri kecilku kepanasan juga kelelahan, akhirnya aku berinisiatif mencari ojek saja biar lebih cepat dapat kost yang nyaman dan sesuai budget.

Saat lewat kuberhentikan dia yang tengah asyik berkendara dengan santainya di sela kepadatan kendaraan.

" Bang, ojek, Bang!" teriakku saat melihatnya yang kukira tukang ojek karena pakai  jaket hitam juga helm hitam.

"Apa Mbak manggil saya?" tanyanya balik sambil menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Iya, Mas, bisa tolong antar saya cari kost-an yang murah dan nyaman, gak?" tanyaku to the point sambil meringis kepanasan.

Sejenak terlihat ia diam, mungkin berpikir.

"Baik, Mbak, saya antar, silakan naik! Anaknya ya, Mbak? Kasihan kecapekan kayaknya," jawabnya sopan sambil meminta dan meletakkan bawaanku di belakang kemudi motor.

"Iya Mas, makasih ya, sebelumnya." Kemudian aku dan Dhea segera naik ke motor matic itu setelah dia memberikanku sebuah helm.

Setelah muter-muter cukup lama, akhirnya kami dapat juga tempat kost yang sreg menurutku, dan tentunya dia masih setia menemaniku.

"Terima kasih ya, Mas, udah mau nganterin sampai ikut muter-muter."

"Iya, Mbak, sama-sama, kalau begitu saya pamit dulu!" pamitnya sopan.

"Berapa, Mas, ongkosnya?" kubuka dompet hendak mengeluarkan beberapa lembar uang.

"Nggak usah, Mbak, saya ikhlas. Dan maaf, saya bukan tukang ojek," ucapnya yang membuatku terlonjak kaget sangat malu.

"Hah, Masnya bukan tukang ojek? Tap--tapi ... tadi kenapa gak bilang? Kenapa menurut saja mau nganterin saya?" tanyaku gugup plus syock, lebih tepatnya sangat malu sudah salah orang. 

"Masak ada sih, Mbak, tukang ojek seganteng saya?" ucapnya pede sambil tersenyum lebar.

Kembali kuamati penampilannya, kemudian meringis membenarkan ucapannya. Dan menunduk sangat malu tentunya.

"Tuhan, bodohnya aku mengiranya tukang ojek. Bener juga apa yang diucapkannya, mana ada tukang ojek ganteng juga bersih kaya dia?" gumamku pelan menyadari kebodohan yang telah kulakukan karena kurang teliti menilai orang.

"Apa, Mbak?" tanyanya sambil menahan senyum, mungkin mendengar ucapanku barusan.

"Oh tidak, Mas, makasih ya. Maaf, beneran saya gak sengaja dan gak tahu kalau di sini yang pakai jaket dan helm hitam itu gak semuanya tukang ojek. Ini anggap aja pengganti uang bensin, karena sudah mau bantuin saya." Kuberikan satu lembar uang berwarna merah padanya.

"Tidak usah, Mbak, saya ikhlas, kok. Buat beli kebutuhan anaknya saja, kan, Mbaknya masih baru di sini pasti banyak kebutuhan yang perlu dibeli," tolaknya halus.

"Tapi, saya sudah merepotkan Masnya." Aku masih tetap kekeh memberikan uang itu.

"Gak apa-apapa, Mbak, permisi saya mau buru-buru balik kerja," pamitnya.

"Terima kasih, Mas, maaf sudah merepotkan dan lain kali barangkali pas lewat silahkan mampir ke sini," pintaku.

"Insya Allah, Mbak. Dengan senang hati saya akan mampir," jawabnya kemudian berlalu pergi dengan senyuman merekah.

Setelah itu pun dia sering main ke kostku sekadar ingin tahu kabarku dan memberi tahu lowongan pekerjaan, maupun membawakan kami makanan. Namun, karena tak enak sering merepotkannya, aku berusaha mencari pekerjaan sendiri.

Demi anakku aku rela jadi buruh nyuci, jadi pelayan dan tukang cuci piring di warung makan bahkan pekerjaan apapun yang penting halal, kulakukan asal bisa bertahan hidup bersama putriku di kota ini. asalkan pekerjaan itu boleh membawa anak mengingat Dhea masih berusia empat tahun ikhlas kujalani.

Dia yang tak tega dan geram dengan keras kepalaku akhirnya mati-matian memaksa dengan berbagai ancaman yang tak masuk akal, hingga mampu membawaku ke mess yang selama ini menjadi tempat tinggal kami.

Alasannya saat itu sungguh klise dan tak masuk akal, dia mengancam akan bunuh diri dengan tali rafia yang tergantung di dahan pintu kost anku dan tali itu panjangnya hanya sampai lehernya yang tengah duduk di lantai. Memang seperti itu tingkahnya. Hangat dan penuh canda tawa.

Sungguh, konyol dirinya itu sampai sekarang tetap sama. Lucunya itu melebihi badut.

Setelah merengek cukup lama seperti anak kecil yang minta dibelikan permen ibunya, karena usaha bunuh diri pura-pura itu gagal, akhirnya kusetujui permintaannya. Aku risih melihat tingkahnya itu. Selain itu faktor keamanan dan ekonomi pas-pasanku juga menjadi pertimbangan.

Akhirnya aku tinggal di sini dan bekerja di kantor yang sama dengannya, dekat mess ini sebagai OG hingga sekarang.

Aku sendiri sampai heran bagaimana bisa albekerja tanpa mengajukan lamaran. Lalu bisa dengan mudahnya mendapatkan fasilitas tempat tinggal milik perusahaan.

Dengan gugupnya dia berkilah jika ini adalah fasilitas miliknya yang dipinjamkan untukku, karena dia harus tinggal di rumahnya sendiri untuk menemani orang tua yang sudah tua.

Mengenai pekerjaanku, dia bilang bekerja di bagian HRD jadi bebas memilih karyawan di kantor. Bahkan katanya big bos perusahaan itu sudah mempercayakan urusan penerimaan pegawai padanya.

Aku hanya mengangguk mempercayai ucapannya tak mau lebih jauh mencampuri urusan pekerjaannya.

Bahkan katanya, aku bisa saja bekerja menjadi staff kantor jika saja membawa ijazahku yang tertinggal di rumah suamiku. Namun, pasti kutolak jabatan itu seandainya kubawa, karena bagiku cukuplah menjadi OG, aku tak ingin terlihat mencolok karena masih baru dan tak ingin berhutang budi terlalu banyak padanya.

Terima kasih atas semua jasamu Reyhan, telah mau terus berada di depanku menghadang rintangan yang menerpaku. Kamu sudah seperti kakak juga sahabat untukku.

Kepedulianmu sangat tinggi padaku dan Dhea,melebihi kepedulianmu terhadap dirimu sendiri.

Maaf, aku masih belum bisa memenuhi permintaanmu menjadi istri, karena aku masih berstatus istri sah seseorang yang sampai saat ini masih kurahasiakan kisah kelamnya dari dulu darimu.

Aku tak ingin membuka luka lama, tepatnya sebenarnya takut menghadapi kenyataan yang ada dan lebih memilih lari dan pergi meninggalkan semuanya, hingga aku berada di sini bertemu denganmu.

Sebenarnya getaran rasa suka terhadapmu itu ada, tapi kupendam dalam-dalam, aku sadar diri dan lebih takut kehilangan sosokmu jika kujawab jujur rasa egois ini padamu. Jadi, lebih baik aku hindari saja.

Aku janji jika nanti aku telah resmi bercerai dari suamiku, akan kujawab jujur semua pertanyaanmu tanpa ada satu pun yang kututupi. Tapi, entah kapan itu aku tak tahu pasti.

Maaf aku egois padamu.

Maaf aku tak adil padamu.

Namun, aku percaya bila nanti kita berjodoh, pasti kita akan bersama.

Biarkan sang waktu membuktikannya.

Membuktikan ketulusan cinta kita.

Namun, bila nanti kudapati dirimu berjodoh dengan wanita lain, aku akan ikut bahagia jika kau bahagia. Meski sebenarnya diriku juga menginginkanmu lebih dari segalanya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status