" Assalamualaikum, Mama ... Dhea pulang!" teriaknya lalu berlari menuju kipas angin yang ada di kamar, kemudian menyalakannya, mungkin kegerahan.
Suara Dhea mengagetkan lamunanku, membuatku kembali konsentrasi memasak menu makan malam.
"Waalaikumusalam, Sayang, udah pulang? Mana Om Reyhan?"
"Itu di luar, Ma, Om Reyhan ketinggalan, kalah cepet larinya sama Dhea, hihihi...," kelakar Dhea bahagia.
Selalu, Reyhan pasti selalu punya cara untuk membuat Dhea senang. Dia pasti mengalah untuk anak itu.
"Assalamualaikum, hem ... harum banget baunya, masak apa, sih?" Yang dibicarakan datang, kemudian masuk dan duduk di depan tv yang sekaligus menjadi ruang tamu di mess ini.
Mess ini memang tidak terlalu besar, hanya terdiri ruang tamu sekaligus yang kufungsikan sebagai ruang tv, satu kamar tidur, ditambah satu dapur kecil yang bersebelahan dengan kamar mandi minimalis. Tidak ada sofa, hanya karpet berukuran sebesar ruang tamu yang terbentang.
Meski hidup dalam kesederhanaan, tapi aku merasa hidup di istana yang megah, karena hari-hari kulewati dengan bahagia penuh canda tawa bersama putri kecilku, Dhea. Memang kehidupanku jauh lebih baik dulu saat masih bersama suamiku yang penuh dengan kemewahan, tapi setiap hari harus tekanan bathin membuatku merasa di neraka.
"Waalaikumu salam, nanti kamu juga tahu," jawabku lalu tersenyum.
"Dhea Sayang, setelah ini cepat mandi, ya, udah mau keburu Maghrib, loh!" titahku pada putriku sambil terus mengaduk masakan.
"Iya, Ma!" jawabnya setelah itu bergegas menuju mandi menuruti ucapanku.
Setelah selesai memasak, aku bergegas menyiapkan semuanya untuk makan malam bersama dibantu Dhea juga. Setelah siap, kutinggal mandi, kemudian kami berangkat ke mushala dekat mess untuk menunaikan rukun Islam yang kedua itu.
Sepulangnya kami makan dengan lahap sambil kemudian saling melempar canda.
"Dhea, besok Minggu kita main ke pantai yuk!" ajak Reyhan.
"Sama mama juga kan, Om?" tanya balik Dhea sambil melirik ke arahku.
"Iya, dong, tentu, 'kan kita udah lama gak main ke pantai, iya 'kan?" jelasnya.
"Gimana, Ma? Dhea sih, ikut apa kata mama aja, Om," jawabnya memandangku sambil mengerjip-ngerjipkan mata seperti biasa memberi kode berharap aku ikut.
"Ya udah, gak papa mumpung kita semua libur, dan mama juga mau gajian," ucapku sambil tersenyum.
"Yes! Kita ke pantai ... asyik! Makasih Mama, makasih Om!" teriaknya girang dengan nada dimanja-manjakan membuat kami tersenyum geli.
"Sip! Ya udah, kalau gitu aku pamit pulang dulu ya, udah jam tujuh, nih, pasti orangtuaku nunggu di rumah," pamitnya kemudian bergegas memakai sepatu.
"Iya, hati-hati ya! Makasih untuk semuanya." Kataku sambil membereskan sisa makan malam.
"Aku yang harus terima kasih, karena udah dikasih makan malam gratis." Reyhan tersenyum lebar ke arahku..
"Biasanya 'kan juga sering makan malam di sini, lagu-laguan ngucapin makasih segala!" godaku sambil tertawa juga.
"Iya-iya ... bolehlah sekali-kali ngucapin makasih, besok Minggu jangan lupa, ya!"
"Insyaa Allah ... hati-hati ya!" pesanku sambil mengantarnya sampai depan pintu yang dibalas anggukan serta senyumannya.
"Assalamualaikum," pamitnya.
"Waalaikumusalam." Diam-diam terus kupandangi punggungnya yang berjalan menuju arah kantor untuk mengambil motornya sampai hilang. Seperti biasa.
Setelah sosoknya hilang dari pandangan, segera aku masuk kemudian mengunci pintu, dan membereskan peralatan makan yang kami gunakan tadi. Kemudian menemani putriku yang sedang belajar.
Beberapa waktu terdengar suara pintu messku diketuk. Membuatku bertanya-tanya siapakah jam segini berkunjung.
"Iya, sebentar!" Kubuka pintu dan alangkah terkejutnya melihat siapa yang datang.
"Assalamualaikum, Ria," salam orang itu dengan suara berat.
"Waalaikumusalam, Mas Dio ba-bagaimana bisa kamu tahu rumahku?" Aku syock melihatnya di sini hingga membuatku susah payah melontarkan pertanyaan.
"Maaf, aku mengikutimu kemarin." Matanya yang terlihat berkaca-kaca terus memandangku dan Dhea bergantian.
"Masuklah! Mungkin Tuhan telah mentakdirkan kita untuk bertemu lagi, agar bisa menyelesaikan permasalahan kita." Kutarik nafas dalam-dalam agar kuat menghadapinya orang dari masa laluku. Ingin menolak dan mengusir sepertinya percuma. Kuputuskan untuk berdamai dengan keadaan, lelah bila terus menghindar.
"Ria, aku mohon maafkanku! Kembalilah! Hukumlah aku bila itu bisa membuatmu mau kembali padaku! Maafkan aku yang telah menelantarkan kalian dan lebih menurut pada ibuku," isaknya yang kemudian tiba-tiba menunduk dan memegang kakiku.
Lebih tepatnya bersujud padaku."Bangunlah, Mas! Apa kau tak malu seperti ini? Aku sudah memaafkanmu sejak dulu, tapi maaf aku tak bisa kembali padamu." Aku pun tak kuasa ikut menangis dan berusaha membangunkan badan tegap yang terlihat lebih kurus sekali dibandingkan dulu yang kekar dan berisi.
"Tidak, Ria! Justru aku lebih malu bila mengingat perbuatanku pada kalian dulu. Mari kita perbaiki semuanya demi anak kita," ucapnya sesenggukan.
"Dhea Sayang, tolong masuk kamar sebentar ya, Nak, mama sama papa mau bicara berdua," titahku pada putri kami yang tengah kebingungan. Lebih tepatnya aku tak mau putriku menyaksikan drama Korea ini, aku takut kejadian ini akan kembali membekas di ingatannya yang masih polos.
"Iya Ma, tapi Mama gak apa-apa 'kan? Terus itu papa kenapa, Ma?" tanyanya penasaran juga kaget mungkin.
"Gak apa-apa, Sayang, Dhea ke kamar dulu ya, nanti mama susul!"
Dhea pun menurut, segera memasuki kamar kami.
"Please, Ria, maafin aku! Kumohon kembalilah padaku seperti dulu! Demi Dhea anak kita. Kau tahu, sejak kalian pergi aku seperti orang gila," ucapnya memelas.
"Apa? Seperti orang gila katamu? Kamu Mas yang udah main gila sama Marissa!" hardikku padanya.
"Itu cuma salah paham, Ria, aku bisa menjelaskan semuanya," ucapnya tegas sambil mengguncangkan tubuhku.
"Semua sudah jelas di depan mataku sendiri, Mas. Bahkan Dhea yang masih kecil ikut menyaksikannya!" Aku melangkah ke arah lain menjauhinya agar sedikit tenang. Sambil menahan amarah yang siap tertumpah.
Sedangkan dia seakan ingin terus mendekat ke arahku.
"Kalau hanya perlakuan burukmu dan ibumu aku masih bisa terima, karena aku sangat menghormati kalian. Tapi, kalau masalah pengkhianatan itu maaf aku tak bisa memaafkanmu, kamu tahu? Aku masih sakit hati, Mas!" Dengan nada sedikit agak tinggi disertai cucuran air mata akhirnya aku bisa sedikit lega karena bisa mengucapkan kata-kata yang bertahun-tahun ini menyesakkan dada.
"Aku tak selingkuh dengannya percayalah! Itu semua ulah ibuku dan Marissa. Mereka menjebakku agar kita bisa berpisah," ucapnya sendu lalu menghampiriku memandang mataku yang hanya kubalas dengan membuang muka.
"Percayalah padaku, Ria, aku masih sangat mencintaimu," tambahnya.
"Lalu, Diego itu siapa? Bukannya dia anakmu dengan Marissa? Sudahlah Mas, jangan membela diri, aku benci padamu! Sudah cukup, tinggalkan kami! Biarkan kami bahagia tanpamu! Sudah cukup kamu dan ibumu menyiksa dan menyakiti perasaanku! Kudorong tubuhnya yang berniat memelukku, aku tak mau disentuh oleh lelaki yang sudah mengkhianatiku.
"Tapi kamu masih istri sahku dan Dhea anak kandungku, Ria. Dan masalah Diego akan kujelaskan siapa dia!" Bentaknya pula padaku.
"Sejak kapan, Mas, kamu mengakui Dhea itu anak kandungmu? Bukannya kamu pernah bilang kalau Dhea hasil perselingkuhanku dengan laki-laki lain,hah?" Aku tak mau kalah darinya. Entah dapat keberanian dari mana hingga bisa meluapkan semuanya.
"Maafkan aku yang sudah meragukanmu, Ria, aku terpengaruh oleh ucapan ibuku," sesalnya."Itulah kebodohanmu, Mas, kamu hanya mendengarkan ibumu tanpa mendengar penjelasanku. Aku sangat sakit hati akan hal itu, Mas!" Bibirku bergetar menahan rasa marah yang selama ini kupendam."Maaf Ria, maaf ... tapi aku sudah tahu semuanya yang telah terjadi, ibu sudah menjelaskan segalanya sebelum beliau meninggal," isaknya."Innaillahi wa innaillahi rojiuun, apa, ibu meninggal, Mas? Kapan?" tanyaku kaget mendengar berita kematian mertuaku. Meski beliau pernah menyakiti hatiku tapi aku tetap menghormatinya."Dua tahun yang lalu, ibu juga berpesan ingin meminta maaf padamu dan juga Dhea. Ibu menyesal atas semua perlakuannya kalian. Andaikan bisa, beliau ingin bersujud meminta maaf langsung padamu. Namun, setelah mengucapkan keinginannya itu beliau sudah dipanggil Allah terlebih dahulu," terangnya sambil matanya menerawang."Lalu Marissa? Dan Diego itu bukankah be
Tak tahan lapar, akhirnya kuputuskan menuju meja makan, kemudian mulai membuka tudung saji tanpa menghiraukan hadirnya Marissa.Dengan tenang dan diam kuambil piring lalu menyendokkan nasi ke piring, Namun tiba-tiba tangan Marissa mencekalku."Sini, Sayang, biar aku ambilin, aku 'kan harus belajar melayani calon suamiku," ucapnya sambil meraih piring dari tanganku yang malah kutepis."Tak usah aku bisa sendiri! Calon suami? Ingat ya, sampai kapan pun aku tak 'kan sudi menikah denganmu!" Kupandang dia dengan sorotan tajam, beranjak duduk di kursi ujung menjauh darinya kemudian makan dengan lahapnya."Sialan! Awas saja Dio, kamu boleh sombong sekarang, tapi lihat saja nanti, kamu akan jadi milikku dan setelah itu akan kubalas perbuatanmu ini," gumam Marissa yang masih bisa terdengar tanpa kuhiraukan.Selesai makan aku menonton tv, setelah bosan kuputuskan menuju kamar untuk tidur saja, tapi saat sampai di depan pintu kepalaku terasa sangat berat dan
Itulah sebabnya hingga kini kupilih berdiam diri sambil mencari bukti bahwa semua yang diucapkan ibu itu salah. Namun, aku bisa apa? Ibu selalu mengancam akan pergi dari rumah bila aku tak percaya dan berani melawannya.Ah, betapa lemahnya diriku ini sebagai lelaki, di satu sisi ingin tetap bersamamu karena jujur aku masih sangat mencintaimu, tapi kenapa kamu malah mengkhianatiku, Ria, dan kamu kenapa selalu berlaku buruk pada ibuku yang juga sangat aku sayangi.Sedangkan di sisi lain aku selalu tak bisa membantah ibu, karena telah terikat janji pada almarhum ayah untuk terus mengikuti apa yang dikatakannya dan tidak akan pernah membantah maupun menyakiti hatinya. Meski terpaksa harus kulanggar saat itu dengan terpaksa untuk menikahimu tanpa restunya sekalipun karena besarnya rasa cintaku padamu. Harusnya kamu mengerti dan membalas pengorbananku dengan juga menurut padanya. Namun kini seakan sia-sia semuanya, semua gara-gara aku berbuat bodoh demikian."Kamu uda
"Dio, aku sadar aku memang tak berarti untukmu. Tapi, demi anak yang ada dalam kandungan ini kumohon nikahi aku, walau hanya secara siri aku rela asal anakku saat lahir nanti mempunyai seorang papa. Aku tak ingin digunjing orang telah hamil tanpa suami, jangan buat orangtuaku malu, Dio," rengek Marissa yang tengah menangis di depanku."Ah, kenapa sih, kamu gak nolak saat itu?" Aku sangat frustasi. Sementara Marissa terus terisak."Aku mohon demi anak ini, Dio, kasihanilah dia yang tak berdosa.""Apa yang dikatakan Marissa itu benar, Dio. Kamu harus secepatnya menikahi Marrisa walau hanya secara siri sampai Ria di temukan, lalu ceraikanlah Ria kemudian menikahlah secara sah hukum negara dengan Marissa! Ingat yang ada dikandungannya itu anak kandungmu, cucu ibu!" bela ibuku."Apa, Bu? Itu semua tidak mungkin. Aku akan menikahi Marrisa, tapi tolong jangan menyuruhku menceraikan Ria! Dan kamu Marrisa, harus kamu tahu aku menikahimu hanya semata-mata demi anak
Kucoba berkali-kali menghubungi ponsel Marrisa, tapi tak dijawabnya, kukirimi dia pesan berkali-kali namun masih belum ada balasan.Hingga saat aku mulai menyerah tiba-tiba Marrisa mengangkat teleponku."Marrisa cepatlah ke rumah sakit, Diego sedang sakit dan membutuhkan tranfusi darah," jelasku saat dia menjawab panggilan yang entah ke berapa kali itu."Tinggal ditranfusi aja apa sih, susahnya?Kamu kan, bisa ngatasi sendirian. Aku masih sibuk, masih liburan di Bali jadi tidak bisa pulang sekarang," jawabnya ketus tanpa rasa khawatir."Tapi golongan darahku gak sama dengan Diego, aku O sementara Diego A--""Cari ke PMI 'kan bisa, gitu aja kok repot!" potongnya."Stocknya lagi habis, ini darurat Marrisa pokoknya sekarang juga kamu harus pulang!" perintahku tegas."Mana bisa? Aku pulang pun percuma karena golongan darahku juga O, jadi ...." Marrisa menghentikan ucapannya."Kalau aku O dan kamu juga O, kenapa bisa Diego A, h
"Kamu masih peduli juga ternyata dengan Diego", sindirku padanya saat sudah dekat dengan kami."Siapa bilang? Aku cuma mau minta kunci rumah doang, kok. Kunci yang kubawa hilang," jawabnya enteng."Kamu benar-benar keterlaluan Marrisa, sama anak sendiri gak ada pedulinya! Sekarang aku mau tanya Diego itu anak siapa?" bentakku sambil mencengkeram bahunya kuat, kesabaranku sepertinya sudah habis untuknya."Sakit, Dio! Diego anak Irgi kali," ketus Marrisa tanpa dosa."Hey, Jalang! Jaga bicaramu, ya! Bisa-bisanya kamu bawa-bawa aku, kamu kira dulu aku tak tahu kalau kamu sering gonta-ganti pasangan, hah? Seenaknya saja menuduh orang, mana ATMku kau kuras udah gitu bawa kabur mobilku. Untung aku gak nglaporin kamu ke polisi, ya!" Irgi sepertinya juga tersulut emosi sampai lupa ada Mila, calon istrinya."Tapi, kamu juga pernah nikmatin tubuhku juga, kan?" seloroh Marrisa tak tahu malu."Dasar perempuan sundel, ya, udah bejat bangga! Lama-lama aku
"Dhea itu ... sebenarnya anak kandungmu, Dio. Maafkan ibu, ibu selalu mengecohmu dengan Ria hanya karena rasa tidak suka padanya yang sangat besar. Dia sebetulnya istri yang sangat baik dan setia. Dosa ibu teramat banyak pada kalian. Maaf!" Ibu terus menangis sedangkan aku tertegun tak bisa berucap apa-apa."Tentang perselingkuhannya dengan Arfa itu ... sama sekali tidak benar, itu hanya akal-akalan ibu dengan Marrisa saja. Mereka sebenarnya tak ada hubungan apa-apa. Arfa itu sangat baik dan perhatian dengan Ria karena dia kasihan melihat Ria yang tak pernah kau hiraukan. Apalagi di masa kehamilannya, seringkali Arfa membelikan susu ibu hamil untuk Ria itu karena kata dokter Ria dan bayinya kekurangan nutrisi sebab jarang makan. Ibu yang salah Dio, ibu hanya menjadikannya seperti pembantu di rumah kita. Uang belanja dan semua uang apapun ibu minta tanpa membaginya sepeser pun." Ibu menyeka air matanya, sementara aku pun juga tak kuasa menahan tangisku mengingat perlakua
Kehidupanku mulai membaik seiring berjalannya waktu. Tak terasa sudah hampir dua tahun aku telah dipercaya mengelola perusahaan miliknya di sana yang semakin berkembang pesat di bawah kepemimpinanku. Namun, entah kenapa tiba-tiba aku diminta datang ke kota yang menjadi tempat tinggal tetap bos sekaligus teman karibku itu. Katanya ingin menunjukkan kinerja juga tempat perusahaan pusat yang selama ini masih belum kuketahui.Kebetulan juga ada beberapa dokumen yang membutuhkan tanda tangannya, jadi dengan senang hati aku berangkat dengan mengajak Diego juga. Pikirku sekaligus liburan, karena kota itu punya banyak sekali destinasi wisata yang indah untuk sekadar melepas penat.Setelah sampai di kota itu, malamnya kami pergi ke rumah makan yang cukup terkenal di dekat perusahaan yang esok akan kudatangi untuk makan malam sekaligus untuk tinjau lokasi, agar aku besok tidak kesasar.Hingga aku menemukan kembali anak dan istri yang telah lama kurindukan ke