Bagian 38What? Beliau masih berani meminta uang padaku? Aku hanya geleng-geleng kepala melihatnya. "Zamila, kamu pikir Mira akan memberimu uang setelah apa yang kamu dan anakmu lakukan padanya? Kamu ini masih waras, kan? Jangan harap permintaanmu akan dikabulkannya oleh Mira. Ah, sudahlah! Diana, Mira, ayo kita ke dalam, kita tinggalkan saja mereka. Terserah mereka mau pergi atau mau tetap berada di sini, yang jelas kita tidak usah peduli lagi sama mereka. Lebih baik kita membahas rencana pernikahan Papa sama Mama." "Kalian mau menikah lagi? Enggak salah? Lukman, kamu tahu sendiri 'kan kalau Diana ini seorang pelacur? Kamu yakin masih mau kembali padanya? Dan kamu Diana, Lukman ini lelaki buaya. Kamu masih mau kembali bersama lelaki yang suka mempermainkan wanita? Kalian berdua benar-benar bodoh." "Tutup mulutmu, Zamila. Aku dan Diana tidak seperti yang kamu tuduhkan. Semua yang terjadi adalah ulahmu. Kamu lah dalang di balik hancurnya rumah tanggaku dengan Diana. Aku benar-benar
POV SofiaSemua harapan dan impianku pupus sudah. Impian untuk menjadi orang kaya, hidup enak dan bergelimang harta kandas sudah. Nyatanya kini aku malah mendekam di balik jeruji besi. Sungguh miris! Apalagi saat ini kondisiku sedang hamil muda. Benar-benar apes!Namaku Sofia Anindya, usiaku masih sangat muda, yaitu 20 tahun kurang dua bulan. Aku tinggal di desa Beruas, sebuah desa yang terletak di kabupaten Bangka Barat.Aku tinggal bersama Nenek Asih, orang yang sudah merawatku dari kecil, yang merupakan Ibu dari ayahku. Kedua orang tuaku sudah meninggal. Ayah meninggal saat aku masih duduk di kelas empat SD. Tiga bulan setelah Ayah meninggal, Ibu pun menyusul Ayah. Akhirnya Nenek lah yang mengasuhku.Aku hanya bersekolah sampai lulus SD karena Nenek tidak punya biaya untuk menyekolahkanku. Jangankan untuk biaya sekolah, untuk makan sehari-hari saja pas-pasan.Sejak kecil, aku bercita-cita untuk menjadi orang kaya. Ingin hidup nyaman, makan enak setiap hari dan punya baju-baju bagus.
Akhirnya aku nekat mengabaikan nasihat Nenek. Diam-diam saat Nenek sedang di kebun, aku mencuri uang tabungannya untuk ongkos ke kota. Kesempatan tidak datang dua kali, pikirku.Jarak dari kampungku ke kota memakan waktu tiga jam. Aku menaiki mobil travel untuk mencapai tempat tujuan. Aku menikmati perjalanan sambil melihat pemandangan dari kaca jendela mobil. Di sepanjang jalan banyak ditumbuhi pohon karet dan pohon kelapa sawit. Tak terasa, akhirnya mobil travel yang aku tumpangi ternyata sudah tiba di kota Pangkalpinang. 'Negeri Serumpun Sebalai', merupakan semboyan dari kota Pangkalpinang, kepulauan Bangka Belitung.Ah, rasanya aku sudah tidak sabar, ingin segera tiba di rumah Tante Zamila.Mobil travel yang aku tumpangi ternyata mengantar penumpang sampai ke tujuan. Tinggal menambah ongkos sedikit, maka mobil tersebut akan mengantar sampai ke alamat yang dituju. Dengan demikian, aku tidak perlu repot-repot untuk mencari alamat Tante Zamila karena sang sopir sudah hafal betul den
Hubunganku dan Mas Hanif semakin lama semakin jauh. Bahkan aku rela memberikan mahkotaku yang paling berharga, yang selama ini aku jaga untuknya karena Mas Hanif berjanji akan menikahiku. Satu-satunya harta paling berharga yang aku miliki, yang merupakan kehormatan bagi setiap wanita telah kupersembahkan untuknya. Aku ikhlas dan tidak pernah menyesal telah menyerahkan mahkotaku padanya, karena aku yakin Mas Hanif akan menikahiku.Dan apa yang telah aku korbankan padanya, tentunya tidak cuma-cuma. Aku meminta hadiah mobil atas apa yang telah aku korbankan untuknya. Keesokan harinya, sebuah mobil yang sudah lama aku idam-idamkan telah terparkir sempurna di depan kontrakanku. Mas Hanif benar-benar memenuhi janjinya. Walaupun bukan mobil baru, tapi aku senang sekali. Mas Hanif mulai mengajariku mengendara mobil. Dalam waktu singkat, aku sudah bisa mengendarai mobil pemberiannya. Hebat, bukan?Biasanya sehabis mengajarimu menyetir, Mas Hanif akan meminta jatah padaku. Dan aku akan melay
"Aku hamil, Mas!" ucapku kepada Mas Hanif setelah kami selesai berkencan di rumah kontrakanku."Aku minta nikahi aku secepatnya. Kamu harus bertanggungjawab, Mas!""Kamu beneran hamil?" tanyanya, ragu."Iya." Aku pun mengambil alat sholat kehamilan yang kusimpan di laci meja dan menyerahkan padanya.Mas Hanif terlihat santai dan biasa saja. Ia meletakkan kembali tes pack tersebut di atas meja yang berada di sisi ranjang."Apa kamu akan lari dari tanggung jawab, Mas?" Aku mulai terisak, membayangkan kenyataan buruk yang akan terjadi padaku."Tidak, Sofia. Mas tidak akan lari. Mas akan menikahimu secepatnya.""Sungguh?"Aku begitu senang mendengarnya. Keraguanku terjawab sudah. Mas Hanif akan menjadi suamiku."Iya, Sofia, sungguh. Mas cuma terkejut. Mas tidak mengira kalau kamu bisa hamil secepat ini. Ternyata Mas masih tokcer. Dan sekarang terbukti bahwa istri Mas lah yang mandul," ucapnya, lalu mengecup keningku."Iya dong, Mas. Dia itu sudah tua dan hampir kadaluarsa. Sedangkan aku m
Pesta pernikahan sederhana pun digelar di rumah kontrakanku. Dengan dihadiri oleh wali hakim yang sengaja kami bayar dan juga beberapa orang tetangga sebagai saksi, akhirnya kami resmi melangsungkan pernikahan. Ya, kami hanya nikah siri. Tapi tak mengapa, yang penting aku sudah resmi menjadi istri Mas Hanif.Awalnya Tante Zamila sempat terkejut mendengar kabar kehamilanku. Tapi akhirnya beliau malah senang dan bahkan menyuruh kami untuk segera menikah. Berbeda dengan Mbak Nuni yang terang-terangan mengataiku wanita murahan saat mengetahui kabar kehamilanku. Mbak Nuni adalah satu-satunya orang yang menentang hubunganku dengan Mas Hanif. Ia begitu membela si Mira itu. Entah apa kelebihan si Mira itu. Tapi aku tidak peduli. Yang penting Tante Zamila dan Mas Hanif tidak terpengaruh olehnya.Tante Zamila dan Mas Hanif lah yang mengurus semua persiapan pernikahan, sedangkan aku hanya terima beres.Tibalah saatnya malam pertama. Malam yang dinanti-nantikan oleh pasangan suami istri yang tela
Satu Minggu sudah aku mendekam di balik jeruji besi. Selama aku di sini, tak sekalipun Tante Zamila atau Mbak Nuni datang menjengukku. Entah apa salahku pada mereka sehingga mereka tak peduli sedikitpun padaku.Hidup di sini sungguh sangat membosankan. Terkurung, terkekang, dan tak bisa melakukan apapun. Sungguh tak pernah terbayang olehku jika aku akan melewati semua ini, apalagi dalam kondisi hamil muda dan sedang mengidam seperti ini.Mual, muntah, kepala pusing, ditambah nafsu makan yang berkurang karena menu yang disajikan setiap hari sama sekali tidak enak.Semakin hari aku semakin tersiksa berada di sini. Jika saja boleh memilih, aku lebih baik hidup sederhana di kampung daripada harus mendekam di penjara seperti ini.Nenek … aku ingin pulang. Aku rindu nenek. Maafkan cucumu yang telah durhaka ini. Maafkan aku, Nek.Aku menangis tanpa suara, menyesali perbuatan yang telah aku lakukan. Hanya iri yang bisa kulakukan saat ini. Meratapi nasib.Mungkinkah ini yang dinamakan karma?
"Mbak Mira sungguh-sungguh, kan?" Aku kembali bertanya."Apa aku terlihat main-main?" ketusnya."Makasih Mbak Mira. Mbak sudah baik padaku padahal aku begitu jahat sama Mbak. Aku telah merebut kebahagiaan Mbak." Jujur, aku malu pada Mbak Mira. Aku merasa bersalah dan berdosa padanya."Tidak usah berterima kasih padaku. Aku tidak butuh ucapan terima kasih darimu. Berterima kasihlah pada Mas Ahmad karena dia yang telah merubah cara berpikirku. Jika bukan karena Mas Ahmad, mungkin kamu dan suamimu akan tetap mendekat di penjara," ucap Mbak Mira sambil melempar pandangannya. Oh, jadi lelaki itu bernama Ahmad, dan ia juga yang telah menyuruh Mbak Mira untuk mencabut tuntutannya. "Terimakasih, Mas Ahmad. Mas Ahmad sudah membujuk Mira agar mau membebaskanku."Aku berusaha untuk bangkit, ingin menyalami tangan Mbak Mira dan ingin meminta maaf padanya. Tapi tubuhku rasanya sakit semua. "Tidak usah memaksakan diri. Istirahatlah," ucap Mbak Mira."Mbak, aku minta maaf. Aku janji akan meningg