Bab 5
Mama memeluk papa dengan erat, sambil mencoba menetralisir perasaan dalam dadanya yang kelihatan semakin menyesakkan. Beberapa kali mengatur nafas akhirnya mama mulai bicara.
“Maya pa..,” mama mengulangi ucapannya dalam dekapan papa.“Iya ma, maya kenapa? Bilang sama papa pelan-pelan,” sahut papa dengan penuh kelembutan.“Maya minta semuanya mengikhlaskan maya, dan membiarkan anaknya hidup pa. Hu..hu..hu..” Tangis mama semakin menjadi.“Maya..,” gumam papa dengan nada lemas.Ya Allah kak maya, kenapa kamu mengambil keputusan ini kak? Kedua bahuku serasa ditimpa batu besar, ini berat sekali ujianMU Ya Allah. Mama menenggelamkan wajahnya dibahu papa, dan papa beberapa kali terlihat mengusap sudut matanya. Begitu pun tante indri dan om surya, mereka tampak sedih memikirkan nasib menantunya.Kami memang mengharapkan kehadiran cucu pertama bagi orang tua kami, tapi bukan berarti kami harus membiarkan kak maya mengambil keputusan itu. Ini rumah sakit berstandart internasional pasti dokter akan mengupayakan untuk kesembuhan kak maya tanpa memilih nyawa salah satu dari mereka. Beberapa orang berpakaian suster yang lewat didepan kami semua menunjukkan raut wajah yang sedih dan juga kasihan. Bagaimana tidak kasihan, kami semua duduk tanpa alas di lantai rumah sakit dengan menyandarkan punggung di dinding rumah sakit. Menangisi segala kejadian hari ini.Selang sepuluh menit kak vano keluar dengan mata yang sembab, aku jadi teringat ketika dia bersimpuh dihadapan mama dan meminta maaf. Dia menyalahkan dirinya sendiri akan keadaan kak maya. Kak vano juga terluka disini, wajah dinginnya berubah menjadi wajah paling nelangsa disini. Kak vano duduk berjongkok didepan orang tuanya sebelum melangkah ke arah mama. Dia meminta izin pada mama untuk mengabulkan permintaan kak maya. Mama mengangguk pasrah dengan keputusan kak maya. Setelah meminta izin pada orang tuaku, kak vano gegas berjalan menuju ruangan dokter Anisa dengan langkah gontai. Kami tahu keputusan kak maya membuat kami takut akan kehilangan meski dokter bilang akan mengupayakan semampu tenaga mereka untuk tetap menyelamatkan ibu dan bayinya. Semoga saja keputusan kak maya membawa kebaikan untuk kita semua.****
Dua wanita berpakaian suster masuk ke dalam ruangan ICU. Tak lama kemudian ranjang yang ditempati kak maya didorong oleh dua suster tadi bersamaan dengan Dokter Anisa dan kak vano yang berjalan tergesa dari arah yang berlawanan. Dokter anisa menyampaikan akan segera melakukan operasi ceasar pada kak maya walaupun kandungan kak maya masih menginjak di hitungan tujuh bulan. Tapi itu semua dilakukan untuk mencegah hal yang lebih fatal terjadi. Kami pasrah kepada dokter di rumah sakit ini, kami yakin bahwa mereka akan mengusahakan yang terbaik untuk kak maya.
Kak maya terbaring di ranjang dengan mata yang tertutup tapi sungguh itu tak mengurangi sedikit pun kadar kecantikannya. Kak maya.. kak maya pasti kuat menghadapi ini semua, kita semua disini ada untuk kak maya, batinku dalam hati dengan netraku yang tetap memandang kak maya di ranjang yang telah didorong suster. Kami semua berjalan mengiringi kak maya menuju ruang operasi. Drrtt...drrttt...drrtt..Ponsel yang ada di dalam tas kecilku terasa bergetar, segera aku ambil untuk melihat siapa yang menelpon.Pak Fikri is calling Dahiku seketika mengernyit, pak fikri telpon? Ada apa? Segera aku menggeser tombol telpon warna hijau.“Hallo, Assalamu’alaikum Bu Delina,” suara pak fikri terdengar dari seberang sana.“Walaikumsalam pak,” jawabku.“Bu, gimana perkembangan keadaan mbak maya?”Aku sedikit tercengang, pak fikri perhatian sekali pada keluargaku, pikirku. Segera ku jawab pertanyaan pak fikri, karena beliau pasti menunggu kabar juga.“Kak Maya sedang di operasi ceasar pak, kak maya kekeuh mempertahankan bayinya,” jawabku.“Ya Allah Bu, semoga semua berjalan lancar ya.”“Terima kasih pak fikri, ohya pak fikri udah sampai rumah?” tanyaku.“Alhamdulillah sudah bu, sampai dengan selamat hehehe. Bu delina yang sabar dan tabah ya bu,” ucap pak fikri.“Baik pak, terima kasih banyak.”Setelah sambungan telpon terputus, aku segera memasukkan ponsel ke dalam tas dan menghampiri mama. Menggenggam tangan mama untuk menyalurkan kekuatan, aku tahu mama sangat menyayangi anak-anaknya.****
Dua jam sudah pintu ruang operasi tertutup, kami semua cemas berada di luar ruangan. Kenapa lama sekali operasinya? Mama sudah kelihatan tidak sabar terlihat dari tadi mama mondar mandir didepan pintu ruangan. Tahu rasanya menunggu kan? Apalagi menunggu dalam keadaan yang seperti ini.
Pintu ruangan operasi terbuka, disusul dengan tangis bayi terdengar dari dalam. Ya Allah, itukah suara bayi kak maya. Dokter anisa keluar, kami semua segera menghampiri. “Bapak Ibu sekalian, Alhamdulillah anak Bu Maya bisa diselamatkan. Jenis kelaminnya perempuan, tapi bayinya keadaannya premature, kami akan mengusahakan perawatan untuk putri bu Maya,” ucap dokter anisa.“Alhamdulillah, lalu keadaan anak saya bagaimana dokter?” mama memburu pertanyaan dengan tidak sabar kepada dokter maya.“Mohon maaf kami sampaikan untuk keadaan Bu maya sendiri saat ini masih sangat kritis, beliau kehilangan banyak darah,” jelasnya.“Ya Allah mayaaa...” Tangis mama pun pecah pada akhirnya.“Yang sabar Bu, kami disini akan mengupayakan yang terbaik untuk keadaan Bu Maya. Doakan saja bu Pak untuk kebaikan bu maya, saya permisi dulu ya bu pak," ucap dokter anisa dengan senyuman tipis dan melangkah menuju ruang lain.Sesak hati ini tidak bisa dihindarkan lagi, ketakutan akan kehilangan kak maya semakin jelas tergambar. Kami hanya bisa berharap ada mukjizat dari Allah untuk kami semua. Bagaimana dengan bayi kak maya yang pasti membutuhkan sosok mamanya, bagaimana dengan kak vano yang nantinya akan ditinggal oleh istri tercinta. Bagaimana denganku yang belum pernah terbayang sedikitpun untuk kehilangan kak maya. Terutama bagaimana dengan mama dan papa, yang pasti sangat terpukul dengan ini semua. Kak maya adalah sosok anak perempuan mereka yang besar dan membanggakan bagi kami semua. Beberapa suster bolak balik keluar masuk ruangan kak maya melewati kami begitu saja. Ada yang membawa peralatan medis, ada yang membawa sesuatu yang aku tahu itu adalah darah mungkin untuk transfusi kak maya. Tapi yang menyita perhatianku bukan keluar masuknya mereka, melainkan raut wajah mereka. Seperti tersirat kekhawatiran dan kecemasan yang luar biasa. Salah satu dari suster sempat menyunggingkan senyum ke arahku, dari sorot matanya seperti mengatakan berdoa saja dan yang tabah. Oh Allah,Bab 6Aura ketegangan masih menyelimuti kami, dengan di dominasi kecemasan. Salah satu suster membuka pintu, dan melangkah ke arah kami mungkin akan memberikan informasi mengenai kak maya.“Mohon maaf, disini ada yang bernama Delina?” ucap suster tadi.Dahiku mengernyit, kenapa suster menanyakan aku?“Iya, saya sus. Ada apa ya?” jawabku.“Bu maya ingin bertemu dengan anda bu," ucapnya.“Baik sus.”Aku berpamitan pada mama dan papa, dan lansung mengikuti langkah suster masuk ke dalam ruangan, tapi batinku bertanya ada apa kak maya ingin bertemu denganku?Hatiku mencelus ketika melihat kondisi kak maya, inikah kakak cantikku? Raut wajah lemas dengan selang oksigen bersarang di hidungnya. Hatiku rasanya tak kuasa melihatnya, sakitnya sungguh luar
Bab 7Keesokan harinya aku meminta izin kepada dokter untuk pulang ditemani oleh pak fikri karena pemakaman kak maya dilaksanakan pagi ini. Hatiku tersentuh ketika pak fikri selalu ada untukku, memberi perhatian, menenangkan dan juga rela menemaniku semalaman di rumah sakit demi perkembangan si kecil yang ada di ruangan bayi.Setelah aku mendapatkan izin dari dokter dan beliau mengatakan bahwa kalau perkembangan sekecil apapun mengenai putri kak maya akan segera beliau informasikan. Aku berjalan beriringan dengan pak fikri menuju parkir di area basement rumah sakit. Keheningan menyelimuti kami, karena aku ingin segera pulang dan membantu mengurus pemakaman kak maya.Sesampainya di mobil, pak fikri segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku lebih memilih berkonsentrasi melihat jalanan, tapi aku bi
Bab 8Besoknya aku perlu memastikan dulu keadaan mama sebelum aku tinggal berangkat mengajar. Mama bersikeras menyuruhku berangkat ke sekolahan, supaya tidak kepikiran mak maya. Tapi justru aku yang takut mama masih kepikiran almarhumah anak cantiknya itu. Aku keluar dari kamar mama dan berpapasan dengan papa yang mau masuk kamar. Aku melirik jam dinding yang terletak di ruang tengah, jam menunjukkan pukul 06.15. Tumben papa jam segini masih memakai celana pendek dan kaus oblong, apa papa masih meliburkan diri dari kantor.“Pa, masih libur?” tanyaku yang spontan menghentikan langkah Papa.“Iya Del, Papa masih izin libur. Kasihan mamamu kalau Papa tinggal pasti sendirian, semalem mamamu mimpi almarhumah kakakmu del. Akhirnya dia nangis sampai mau shubuh,” jelas papa sambil
Bab 9Aku tetap menjalani hidup seperti biasa dua hari ini, seperti sore ini aku pulang mengajar menjelang senja. Aku selalu menikmati pemandangan senja dari motor yang aku kendarai. Tidak berhenti-berhenti untuk mengagumi ciptaanNYA yang sangat indah. Ketika di perempatan lampu merah ada sesuatu yang membuat hati ini terenyuh. Ada bocah perempuan kecil berumur sekitar sembilan tahun an sibuk menjajakan donat yang dia bawa dalam keranjang plastiknya, terlihat masih banyak donat. Aku melambaikan tangan padanya, menyuruhnya mendekat kearahku selagi lampu merah masih menyala.“Mau donat kak?” tawarnya menatapku, aku menatap lampu merah sekali lagi ternyata sudah mau lampu hijau.“Dek, tunggu kakak di seberang jalan sana ya. Ini sudah mau lampu hijau, nanti kakak beli donatny
Bab 10Pagi ini kami sekeluarga berangkat ke rumah sakit untuk membawa alea pulang. Kami berangkat menggunakan mobil papa. Rasanya bahagia Allah telah mengabulkan doa-doa kami semua untuk kesehatan alea. Karena hanya alea kenang-kenangan dari almarhumah kak maya yang bisa kami lihat setiap saat. Papa mengendarai mobil dengan tenang karena suasana jalanan yang lumayan lenggang. Aku libur karena hari ini tidak ada jadwalku mengajar, jadi aku bisa sekalian menjemput alea. Aku masih ingat kemarin waktu aku ke rumah sakit mata alea sudah terbuka, dia menatapku lama seolah mengajak bicara. Mama menolehku dari kursi depan karena beliau tahu dari tadi aku tersenyum. Itu membuatnya menggelengkan kepala karenaku.Di setiap perempatan lampu merah aku selalu celingukan menoleh kanan dan kiri, berharap bertemu dengan sifa. Tapi sepertinya anak itu tidak ada, ap
Bab 11Setelah dari kamar mandi aku bergegas untuk membuka bingkisan dari tante indri. Ternyata sebuah kerudung berwarna putih polos dengan sedikit payet di tepinya, bagus sekali. Aku menemukan notes kecil didalam paper bag, ada-ada saja tante indri ini.Nak Delina,Pakai kerudung ini saat prosesi Akad Nikah dengan Vano ya. Ini kerudung yang Tante pakai dulu saat Akad Nikah dengan Om kamu.Ohya, mulai sekarang biasakan manggil Tante dengan sebutan Bunda dan Om dengan sebutan Ayah ya Nak. Karena kamu calon menantu Bunda.Salam hangat,IndrigianaAku memeluk kerudung putih tadi dengan rasa yang sangat terharu. Aku merasakan begitu besar pengharapan tante indri dengan pernikahan ini. Aku merapikan kerudung dan menaruhnya di lemari pakaian berjajar dengan baju pengantin sederhana yang telah aku pesan beberapa h
Bab 12Akad nikah berjalan dengan lancar, serangkaian acara yang digelar pun semua lancar. Tampak mama dan papa sangat bahagia dengan cucu mereka ada di gendongan mama. Alea sepertinya sudah mengerti bahwa hari ini adalah hari bersejarah untuk mama keduanya, sehingga dari tadi pagi dia tampak anteng, tidak rewel sedikit pun walau pun keadaan sekitar lumayan ramai. Aku menatap ayah dan bunda, mertuaku itu tampak bahagia sekali. Pandanganku terhenti pada kak vano yang sedang mengobrol di pojok ruangan bersama beberapa kerabat tampak begitu tampan di mataku, tapi raut keterpaksaannya nampak sekali di wajahnya. Aku ingin berbicara berdua setelah dengannya setelah ini.Beberapa rekan guru terlihat berdatangan walau mereka sedikit telat. Mereka terlihat ikut larut dalam kebahagiaan ini. Aku sengaja melakukan akad nikah di har
Bab 13Setelah beberapa saat termenung memikirkan raut wajah konyolku baru saja, aku dikagetkan dengan suara tangis alea. Dia mengompol ternyata, aku segera mencari popok yang bersih di keranjang dan mengganti popok anak cantikku ini. Aku berpikir alea adalah malaikat kecil bagiku, dia begitu mengerti keadaan sekitar. Bahkan dia mungkin bisa memahami bahwa mama kandungnya sudah lebih dulu meninggalkannya. Aku menggendongnya dan aku timang pelan-pelan agar tangisnya reda. Apa kak vano tidak merasakan kalau anaknya menangis di kamar ini, dia seperti terlihat menghindari anaknya sendiri. Aku tahu mungkin kak vano masih di selimuti bayang-bayang kak maya, tapi apa harus alea juga yang menanggungnya?Aku melangkah keluar kamar untuk menemui mama dengan menggendong alea yang sudah berhenti menangis. Aku berjalan ke arah dapur mencari mama ternyata tidak ada, papa juga tidak ada. Aku putar arah melangkah ke luar rumah mungkin mama di teras sore-sore begini. Tapi ketika di teras