Share

Perhatian

                               Bab 4

Semua yang berada di depan ruangan kak maya lemas seketika. Bagaimana tidak, kak maya yang selama ini bisa dibilang sehat walafiat tiba-tiba di vonis dokter sakit kanker getah bening.

Aku hampir limbung kalau saja pak fikri tidak sigap menahan tubuhku. Aku melirik mama, keadaannya sama menangis tergugu di pelukan bu firda. Tak beda jauh dari mama, papa tubuhnya pun merosot ke lantai rumah sakit. Dan kak vano, untuk pertama kalinya aku melihatnya sesedih ini. Dia terduduk lemas di depan pintu kaca dengan tangan berada diatas kepala sambil meremas rambutnya sendiri. Menandakan bahwa dia sangat terpukul.

Kak vano bangkit dari duduknya dan berjalan gontai kearah mama. Dia menjatuhkan diri dihadapan mama, bersimpuh di kaki mama. Dengan suara bergetar dia berkata.

“Maafkan vano ma, vano yang salah. Andai saja vano lebih memperhatikan kesehatan maya dan gak serung ambil lembur pasti ini semua gak akan terjadi ma, maafkan vano."

“Sudah nak, ini semua ujian dari Allah. Tidak sepantasnya kamu menyalahkan dirimu sendiri untuk kejadian ini." Mama memegang tangan kak vano yang bertumpu di pahanya. “Bangun vano, sini duduk disebelah mama, jangan dibawah nak. Semua juga merasakan sedih sekarang.” Kak vano pun duduk disebelah mama dan tetap dengan wajah menunduk yang menunjukkan raut sangat terpukul.

Aku pernah membaca suatu kalimat yang isinya seperti ini, Datangnya bahagia akan beriringan dengan datangnya duka. Dan ya, ini memang benar adanya. Ketika kami baru beberapa bulan yang lalu bahagia karena kabar kehamilan kak maya setelah lima tahun pernikahannya, lalu sekarang kami harus siap menelan pil pahit kehidupan dengan musibah seperti ini. Belum lagi kami dihadapkan dengan pilihan antara menyelamatkan kak maya atau mempertahankan calon anaknya. 

Seorang suster keluar dari ruangan ICU dan melangkah menghampiri kami dan mengatakan bahwa kak maya ingin bertemu dengan mama dan kak vano. Mama mengikuti suster untuk masuk ke dalam ruangan tempat kak maya terbaring. Sebelum menutup pintu kaca suster tadi berkata bahwa semuanya harap menunggu diluar saja dikarenakan keadaan kak maya yang masih sangat lemah.

Pak fikri yang dari tadi duduk disebelah kiriku mencoba menenangkanku dengan kata-kata penguatnya. Aku memang tidak menyukai pak fikri tapi bukan berarti aku benci padanya. Dan untuk saat ini memang dukungan dan penguat yang aku butuhkan. Sekali lagi aku menyusut air mata yang mengalir di pipi dengan ujung kerudungku.

Entah sudah berapa mili air yang aku keluarkan dari mata ini. Sejujurnya aku bukan tipe wanita yang kuat dan bisa menahan air mata. Ketika ada sesuatu yang mengguncang hati seketika itu pula air mata ini meluncur tanpa diberi perintah.

Sejujurnya Pak fikri adalah lelaki yang baik hanya saja aku belum merasa tertarik untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengannya. Aku hanya menganggap dia sebagai rekan guru dan juga anak dari teman mama. Bu viona pernah mengatakan bahwa pak fikri tidak akan menyerah untuk mendapatkan hatiku. Aku sedikit terenyuh akan hal itu.

Pak fikri dan bu firda kenapa belum mau pulang padahal kami bukan anggota keluarganya. Apa karena kak vano masih saudara jauhnya? Atau karena ingin menghiburku? Sekelebat pertanyaan itu membuat kepalaku makin pening. Hmmm, aku tanyakan saja lah.

“Eemmm.. pak fikri, apa Bapak tidak ada niat untuk pulang?” aku memberanikan diri untuk mengutarakan pertanyaan.

“Memangnya kenapa Bu? Ada larangan kah saya disini?” ucapnya sambil menatap lekat mataku. Ini sih bukan jawaban, pertanyaannya sangat menohok sekali pemirsah !! Aku menelan ludah dengan susah payah setelah mendengar pertanyaan pak fikri.

“Ya enggak ada sih pak, tapi kan pak fikri sudah sejak tadi disini. Apa enggak capek?” pak fikri memicingkan mata demi mencermati setiap kata yang aku ucapkan. Lalu setelah menghela nafas dia berkata, ‘Saya gak capek kok Bu. Apa jangan-jangan Bu Delina yang terganggu dengan keberadaan saya disini?”

“Ehh.. eng.. enggak kok pak, saya gak terganggu.” Haduh, kok jadi gini sih. Kan niatnya aku bertanya saja kenapa dia belum mau pulang, kok jadi sekarang aku yang gelagapan dengan jawabannya. 

“Baiklah Bu kalau memang tidak terganggu, kalau memang Bu Delina capek, ibu bisa sandaran di pundak saya,” ucapnya dengan enteng. Heeh??! Bentar-bentar, bisa-bisanya dia berkata begitu. Mataku mempelototi matanya, eh tapi yang dipelototi malah santai saja dengan senyum tipisnya. Aneh sekali orang ini batinku berbicara.

****

Sudah setengah jam mama dan kak vano masuk ke ruangan ICU, tapi belum ada tanda-tanda mereka keluar. Aku penasaran apa saja yang mereka bicarakan dengan kak maya, aku juga ingin masuk dan ingin tahu. Papa juga sepertinya gelisah menunggu mama keluar, beliau berjalan mondar mandir di depanku. Aku mengusap-usap jeri jemariku menandakan bahwa aku sedang menunggu. Kenapa mereka lama sekali? Kenapa tidak ada satu suster pun yang keluar dari ruangan kak maya.

Bu firda kelihatannya sudah lelah, aku berbicara pada pak fikri untuk membawa mamanya pulang saja. Awalnya pak fikri ngotot untuk tetap disini dan meminta mamanya untuk sabar menunggu sebentar lagi. Tapi aku terus mengatakan bahwa kesehatan Bu firda juga penting, karena aku tahu kalau mamanya pak fikri itu menderita darah rendah dan tidak boleh terlalu capek. Akhirnya mereka pulang setelah salaman dengan kami semua.

Ayah dan bundanya kak vano pun sama keadaannya, mereka tertunduk lemas. Aku mencoba berdiri meski ini lemas, aku mengambil tempat di sebelah tante indri, mamanya kak vano. Aku mencoba memberi kekuatan kepada mereka. Aku tahu mereka juga sangat terpukul dengan kejadian ini. Tapi mereka sangat tegar dalam menyikapi kejadian ini semua, mereka dengan tabah terus mengucap istighfar dan dzikir. Walau raut wajahnya tidak bisa berbohong dengan segala yang terjadi.

Berselang sepuluh menit, mama keluar dengan tangis yang makin keras disusul dengan memeluk papa dengan sangat erat. Aku berlari menghampiri mama, memberinya minum yang kebetulan tadi sempat aku beli di kantin rumah sakit. Mama segera minum air setelah aku menyodorkan padanya. Setelah mengatur nafas mama pun memulai untuk berbicara, tapi saat beliau membuka mulut malah tangis yang keluar. Aku makin penasaran dengan apa yang terjadi sama kak maya. Kenapa mama sampai menangis sebegininya? Kenapa kak maya? Gimana keadaan kak maya? Apa yang kak maya katakan?. Mama masih terus menangis, kami diamkan dulu agar tangisannya sedikit reda. Setelah agak reda mama meneguk sisa air minum tadi dan menghapus air mata dengan tisu di tangannya. 

“Maya pa..” mama berkata dengan nafas tersengal-sengal.

Astaghfirullah, apa yang terjadi dengan kak maya?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status