Share

Perhatian

Author: Pratiwi
last update Last Updated: 2021-08-10 18:01:13

                               Bab 4

Semua yang berada di depan ruangan kak maya lemas seketika. Bagaimana tidak, kak maya yang selama ini bisa dibilang sehat walafiat tiba-tiba di vonis dokter sakit kanker getah bening.

Aku hampir limbung kalau saja pak fikri tidak sigap menahan tubuhku. Aku melirik mama, keadaannya sama menangis tergugu di pelukan bu firda. Tak beda jauh dari mama, papa tubuhnya pun merosot ke lantai rumah sakit. Dan kak vano, untuk pertama kalinya aku melihatnya sesedih ini. Dia terduduk lemas di depan pintu kaca dengan tangan berada diatas kepala sambil meremas rambutnya sendiri. Menandakan bahwa dia sangat terpukul.

Kak vano bangkit dari duduknya dan berjalan gontai kearah mama. Dia menjatuhkan diri dihadapan mama, bersimpuh di kaki mama. Dengan suara bergetar dia berkata.

“Maafkan vano ma, vano yang salah. Andai saja vano lebih memperhatikan kesehatan maya dan gak serung ambil lembur pasti ini semua gak akan terjadi ma, maafkan vano."

“Sudah nak, ini semua ujian dari Allah. Tidak sepantasnya kamu menyalahkan dirimu sendiri untuk kejadian ini." Mama memegang tangan kak vano yang bertumpu di pahanya. “Bangun vano, sini duduk disebelah mama, jangan dibawah nak. Semua juga merasakan sedih sekarang.” Kak vano pun duduk disebelah mama dan tetap dengan wajah menunduk yang menunjukkan raut sangat terpukul.

Aku pernah membaca suatu kalimat yang isinya seperti ini, Datangnya bahagia akan beriringan dengan datangnya duka. Dan ya, ini memang benar adanya. Ketika kami baru beberapa bulan yang lalu bahagia karena kabar kehamilan kak maya setelah lima tahun pernikahannya, lalu sekarang kami harus siap menelan pil pahit kehidupan dengan musibah seperti ini. Belum lagi kami dihadapkan dengan pilihan antara menyelamatkan kak maya atau mempertahankan calon anaknya. 

Seorang suster keluar dari ruangan ICU dan melangkah menghampiri kami dan mengatakan bahwa kak maya ingin bertemu dengan mama dan kak vano. Mama mengikuti suster untuk masuk ke dalam ruangan tempat kak maya terbaring. Sebelum menutup pintu kaca suster tadi berkata bahwa semuanya harap menunggu diluar saja dikarenakan keadaan kak maya yang masih sangat lemah.

Pak fikri yang dari tadi duduk disebelah kiriku mencoba menenangkanku dengan kata-kata penguatnya. Aku memang tidak menyukai pak fikri tapi bukan berarti aku benci padanya. Dan untuk saat ini memang dukungan dan penguat yang aku butuhkan. Sekali lagi aku menyusut air mata yang mengalir di pipi dengan ujung kerudungku.

Entah sudah berapa mili air yang aku keluarkan dari mata ini. Sejujurnya aku bukan tipe wanita yang kuat dan bisa menahan air mata. Ketika ada sesuatu yang mengguncang hati seketika itu pula air mata ini meluncur tanpa diberi perintah.

Sejujurnya Pak fikri adalah lelaki yang baik hanya saja aku belum merasa tertarik untuk menjalin hubungan lebih dari teman dengannya. Aku hanya menganggap dia sebagai rekan guru dan juga anak dari teman mama. Bu viona pernah mengatakan bahwa pak fikri tidak akan menyerah untuk mendapatkan hatiku. Aku sedikit terenyuh akan hal itu.

Pak fikri dan bu firda kenapa belum mau pulang padahal kami bukan anggota keluarganya. Apa karena kak vano masih saudara jauhnya? Atau karena ingin menghiburku? Sekelebat pertanyaan itu membuat kepalaku makin pening. Hmmm, aku tanyakan saja lah.

“Eemmm.. pak fikri, apa Bapak tidak ada niat untuk pulang?” aku memberanikan diri untuk mengutarakan pertanyaan.

“Memangnya kenapa Bu? Ada larangan kah saya disini?” ucapnya sambil menatap lekat mataku. Ini sih bukan jawaban, pertanyaannya sangat menohok sekali pemirsah !! Aku menelan ludah dengan susah payah setelah mendengar pertanyaan pak fikri.

“Ya enggak ada sih pak, tapi kan pak fikri sudah sejak tadi disini. Apa enggak capek?” pak fikri memicingkan mata demi mencermati setiap kata yang aku ucapkan. Lalu setelah menghela nafas dia berkata, ‘Saya gak capek kok Bu. Apa jangan-jangan Bu Delina yang terganggu dengan keberadaan saya disini?”

“Ehh.. eng.. enggak kok pak, saya gak terganggu.” Haduh, kok jadi gini sih. Kan niatnya aku bertanya saja kenapa dia belum mau pulang, kok jadi sekarang aku yang gelagapan dengan jawabannya. 

“Baiklah Bu kalau memang tidak terganggu, kalau memang Bu Delina capek, ibu bisa sandaran di pundak saya,” ucapnya dengan enteng. Heeh??! Bentar-bentar, bisa-bisanya dia berkata begitu. Mataku mempelototi matanya, eh tapi yang dipelototi malah santai saja dengan senyum tipisnya. Aneh sekali orang ini batinku berbicara.

****

Sudah setengah jam mama dan kak vano masuk ke ruangan ICU, tapi belum ada tanda-tanda mereka keluar. Aku penasaran apa saja yang mereka bicarakan dengan kak maya, aku juga ingin masuk dan ingin tahu. Papa juga sepertinya gelisah menunggu mama keluar, beliau berjalan mondar mandir di depanku. Aku mengusap-usap jeri jemariku menandakan bahwa aku sedang menunggu. Kenapa mereka lama sekali? Kenapa tidak ada satu suster pun yang keluar dari ruangan kak maya.

Bu firda kelihatannya sudah lelah, aku berbicara pada pak fikri untuk membawa mamanya pulang saja. Awalnya pak fikri ngotot untuk tetap disini dan meminta mamanya untuk sabar menunggu sebentar lagi. Tapi aku terus mengatakan bahwa kesehatan Bu firda juga penting, karena aku tahu kalau mamanya pak fikri itu menderita darah rendah dan tidak boleh terlalu capek. Akhirnya mereka pulang setelah salaman dengan kami semua.

Ayah dan bundanya kak vano pun sama keadaannya, mereka tertunduk lemas. Aku mencoba berdiri meski ini lemas, aku mengambil tempat di sebelah tante indri, mamanya kak vano. Aku mencoba memberi kekuatan kepada mereka. Aku tahu mereka juga sangat terpukul dengan kejadian ini. Tapi mereka sangat tegar dalam menyikapi kejadian ini semua, mereka dengan tabah terus mengucap istighfar dan dzikir. Walau raut wajahnya tidak bisa berbohong dengan segala yang terjadi.

Berselang sepuluh menit, mama keluar dengan tangis yang makin keras disusul dengan memeluk papa dengan sangat erat. Aku berlari menghampiri mama, memberinya minum yang kebetulan tadi sempat aku beli di kantin rumah sakit. Mama segera minum air setelah aku menyodorkan padanya. Setelah mengatur nafas mama pun memulai untuk berbicara, tapi saat beliau membuka mulut malah tangis yang keluar. Aku makin penasaran dengan apa yang terjadi sama kak maya. Kenapa mama sampai menangis sebegininya? Kenapa kak maya? Gimana keadaan kak maya? Apa yang kak maya katakan?. Mama masih terus menangis, kami diamkan dulu agar tangisannya sedikit reda. Setelah agak reda mama meneguk sisa air minum tadi dan menghapus air mata dengan tisu di tangannya. 

“Maya pa..” mama berkata dengan nafas tersengal-sengal.

Astaghfirullah, apa yang terjadi dengan kak maya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Turun Ranjang   Cinta Yang Dipilih

    Hari itu langit berwarna keemasan, matahari sore perlahan tenggelam di balik bukit. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan kering. Delina berdiri di tepi taman, mengawasi anaknya yang berlarian riang dengan sepeda kecil.Sudah berbulan-bulan sejak perceraiannya resmi. Proses panjang yang penuh air mata akhirnya selesai, meninggalkan luka yang perlahan berubah jadi bekas. Delina tak lagi istri Vano. Ia tak lagi bayangan Maya. Ia berdiri sebagai dirinya sendiri, dengan semua rapuh dan kekuatannya.Vano hadir sore itu. Ia datang untuk menjemput anak mereka. Wajahnya terlihat lebih damai dibanding dulu. Ada keteguhan yang baru, seakan ia benar-benar belajar menerima.“Din,” ucapnya pelan setelah mereka duduk sebentar di bangku taman. “Aku ingin bilang terima kasih. Kamu sudah ajari aku arti ikhlas. Aku nggak lagi berharap kita kembali, tapi aku akan selalu ada untuk anak kita. Itu janjiku.”Delina tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga berterima kasih, Van. Kamu bagian d

  • Turun Ranjang   Bayangan Baru

    Pagi itu udara terasa berbeda. Langit cerah, angin bertiup lembut, dan aroma tanah basah tersisa dari hujan semalam. Delina berdiri di depan jendela kamar, menatap keluar dengan mata yang masih sembab tapi lebih tenang.Sudah beberapa minggu sejak sidang pertama perceraiannya dengan Vano. Proses hukum masih berjalan, tapi di hatinya keputusan sudah final: ia tidak lagi menjadi istri, tidak lagi bayangan siapa pun.Hari-hari Delina kini dipenuhi dengan rutinitas baru. Ia mulai kembali bekerja lebih giat, menyibukkan diri dengan proyek kantor yang sempat ia abaikan. Ia juga mendaftarkan anaknya ke kursus menggambar, sesuatu yang pernah ia impikan tapi selalu tertunda.Ada rasa lelah, tentu saja, tapi juga ada kebanggaan kecil—bahwa ia bisa mengambil keputusan sendiri, bukan karena dorongan orang lain.---Bayu tetap hadir. Tidak setiap hari, tidak setiap waktu, tapi cukup sering untuk membuat Delina merasa ditemani. Ia kadang mengantar Delina ke kantor, kadang membantu menjemput anaknya

  • Turun Ranjang   Luka yang Terbuka

    Langkah kaki Delina terdengar pelan di koridor gedung pengadilan. Aroma khas ruangan penuh berkas dan kayu tua bercampur dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Bayu berjalan di sampingnya, membawa map berisi dokumen perceraian.“Din, kamu yakin siap?” tanya Bayu, suaranya pelan namun mantap.Delina menarik napas panjang. “Aku nggak tahu kalau siap atau nggak. Tapi aku tahu ini harus kulakukan. Kalau tidak, aku akan terus terjebak.”Mereka masuk ke ruang sidang kecil. Vano sudah duduk di sana, wajahnya pucat tapi tetap tenang. Tatapannya bertemu dengan Delina, dan sejenak waktu seakan berhenti. Ada begitu banyak kenangan, begitu banyak luka, yang mengikat mereka berdua.---Proses sidang berlangsung singkat. Hakim membacakan berkas-berkas, menanyakan beberapa hal, dan menetapkan jadwal sidang lanjutan. Tak ada teriakan, tak ada drama. Hanya keheningan berat yang menekan dada Delina.Saat keluar dari ruang sidang, Vano menghampirinya. “Din…” suaranya lirih, hampir bergetar. “Ak

  • Turun Ranjang   Keputusan Yang Tertunda

    Hujan turun deras malam itu. Suara gemericik air di atap seperti simfoni tak berkesudahan, mengisi ruang tamu rumah dengan ketegangan yang tak kasat mata. Delina duduk di kursi, tatapannya kosong pada jendela yang basah oleh air hujan. Di dalam dadanya, ada pertempuran yang tak kunjung usai.Vano duduk di seberang, wajahnya letih. Surat Maya tergeletak di meja, seakan menolak untuk disimpan, seakan ingin terus mengingatkan mereka berdua bahwa bayangan itu belum sepenuhnya pudar.“Din…” suara Vano pelan, nyaris tenggelam oleh hujan. “Aku tahu aku sudah banyak salah. Aku terlalu lama hidup dalam kenangan. Aku nggak bisa janji akan langsung berubah, tapi aku ingin belajar. Aku ingin kita coba lagi. Demi anak kita.”Delina menutup mata. Kata-kata itu menusuk, membuat hatinya berdenyut nyeri. “Van, kita sudah coba berkali-kali. Setiap kali, aku tetap jadi bayangan. Kamu bilang ingin berubah, tapi begitu lihat aku, kamu kembali ingat Maya. Aku nggak bisa hidup seperti itu.”Vano menunduk, j

  • Turun Ranjang   Risau

    Keesokan paginya, suasana rumah masih dipenuhi keheningan. Delina menyiapkan sarapan seadanya, sementara Vano duduk di meja makan dengan wajah pucat, matanya kosong. Surat Maya yang mereka baca semalam tergeletak di sampingnya, seakan menjadi tamu tak diundang yang membelah hati mereka.“Van,” Delina membuka suara hati-hati, “aku tahu surat itu berat buat kamu. Tapi kita nggak bisa berpura-pura lagi.”Vano menatap surat itu, lalu mengalihkan pandangannya pada Delina. “Aku bahkan nggak tahu harus marah atau lega. Maya tahu… dan tetap mencintaiku. Itu membuat aku merasa lebih kecil dari apa pun. Seharusnya aku yang melindunginya, bukan dia yang menutup mata.”Delina menghela napas. “Maya memilih mencintaimu dengan caranya. Itu bukan salahmu, Van. Tapi sekarang, kamu harus tentukan: mau terus hidup dalam rasa bersalah, atau belajar lepas.”Vano menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, suaranya parau. “Aku takut, Din. Kalau aku lepas, berarti aku benar-benar kehilangan dia. Aku takut ak

  • Turun Ranjang   Retak

    Pagi itu, Delina duduk di kursi ruang tamu dengan mata sayu. Telepon semalam masih terngiang jelas di telinganya. Dokumen dari Maya… sesuatu yang bisa mengubah semuanya. Kata-kata itu membuat tidurnya hancur, pikirannya tak henti-henti berputar.Saat ia menatap kosong ke arah jendela, Vano turun dari lantai atas. Rambutnya kusut, wajahnya masih lelah. “Kamu nggak tidur?” tanyanya.Delina menggeleng. “Ada yang harus aku cek hari ini. Penting.”Vano hendak bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Ia tahu belakangan Delina terlalu mudah tersulut, dan setiap pertanyaan hanya memperparah suasana.---Di kantor Bayu, suasana sudah tegang sejak Delina masuk. Bayu berdiri, wajahnya tampak serius. Di tangannya ada sebuah map cokelat lusuh.“Aku sengaja nggak ngomong lewat telepon,” kata Bayu sambil duduk. “Aku ingin kamu dengar langsung.”Delina menelan ludah. “Jadi benar… dokumen itu dari Maya?”Bayu mengangguk. Ia membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan. “Ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status