Home / Romansa / Turun Ranjang / Permintaan Terakhir

Share

Permintaan Terakhir

Author: Pratiwi
last update Last Updated: 2021-08-15 00:12:20

                               Bab 6

 Aura ketegangan masih menyelimuti kami, dengan di dominasi kecemasan. Salah satu suster membuka pintu, dan melangkah ke arah kami mungkin akan memberikan informasi mengenai kak maya.

“Mohon maaf, disini ada yang bernama Delina?” ucap suster tadi.

Dahiku mengernyit, kenapa suster menanyakan aku?

“Iya, saya sus. Ada apa ya?” jawabku.

“Bu maya ingin bertemu dengan anda bu," ucapnya.

“Baik sus.”

Aku berpamitan pada mama dan papa, dan lansung mengikuti langkah suster masuk ke dalam ruangan, tapi batinku bertanya ada apa kak maya ingin bertemu denganku?

Hatiku mencelus ketika melihat kondisi kak maya, inikah kakak cantikku? Raut wajah lemas dengan selang oksigen bersarang di hidungnya. Hatiku rasanya tak kuasa melihatnya, sakitnya sungguh luar biasa kah sehingga keadaan kakakku seperti ini. Pernah sempat menyalahkan keadaan tapi aku segera istighfar, bukankah semua kejadian yang ada di dunia ini sudah ditulis dalam skenarioNYA. Kita sebagai manusia hanya berusaha, berdoa, dan bertawakal.

“Kak maya gimana keadaannya?” aku memulai pembicaraan.

“Ka-kakak sudah pasrah dek," ucap kak maya dengan lemah.

“Kakak tadi manggil delina, ada yang mau kakak bicarakan kah kak?” ucapku sambil menggengam lembut tangan kak maya.

“Kakak boleh minta tolong kan dek?”

“Insya Allah kak, pasti delina usahakan. Kak maya minta tolong apa?”

“Kakak merasa waktu kakak semakin menipis, kakak sudah merasakannya dek,” katanya.

“Ussst, kak.. kakak pasti sembuh, kakak gak boleh ngomong gitu ya, kami disini semua ada untuk kak maya.” Luruhlah semua air mataku yang sedari pertama aku menginjakkan kaki di ruangan ini aku bendung. Ketakutanku semakin menjadi.

“Kakak minta tolong sama kamu dek, kamu bisa kan menjaga putri kakak.” Tangan kak maya bergerak lemah untuk menghapus air mataku. Aku segera menggenggamnya dan aku tempelkan di pipiku.

“Pasti kak, kakak tenang aja kita akan menjaga putri kakak, dengan kakak juga. Kakak akan sembuh ya.”

“Kakak sudah pasrah dek dengan kehendakNYA, kakak ikhlas. Yang terpenting sekarang adalah putri kakak. Kamu mau kan dek menjadi mama sambung buat putri kakak,” ucap kak maya. Hampir saja aku terlonjak karena kaget mendengar permintaan kak maya. Dia ingin aku menjadi ibu sambungnya, kak maya menginginkan aku menikah dengan kak vano? Hah, gak, ini pasti salah. Aku terdiam memikirkan permintaan kak maya. Bagaimana bisa kak maya tiba-tiba meminta hal seperti ini, membayangkan untuk bertegur sapa dengan akrab saja susah apalagi menikah dengan kak vano. 

“Gimana dek, kamu mau kan menikah dengan vano,” ucap kak maya dengan nada penuh permohonan. Ini gimana Ya Allah. Ini tidak bisa terjadi, kak vano adalah kakak iparku sendiri.

“Tapi kak..” ucapanku menggantung.

“Dek, please. Hanya kamu yang bisa, putri kakak butuh mama dek, dan vano butuh sosok penggantiku.”

“Kak maya..” tegurku sedikit geram.

“Kakak pasti sembuh, kakak jangan mikir yang macem-macem lagi ya,” imbuhku menatap kak maya.

Kak maya mengalihkan pandangan ke sisi kiri ranjang, aku tahu dia sedang mengalihkan wajah karena takut aku mengetahui banyak sekali air mata yang terbuang dari mata indah kak maya. Tapi sayang kak, aku pun merasakan semua kesedihan kakak. 

“Dek, boleh panggilkan vano dan mama? Kakak pingin bicara dengan mereka.”

“Baik kak.”

“Ohya dek, tolong pikirkan baik-baik permintaan kakak, karena ini mungkin akan jadi permintaan terakhir kakak," ucap kak maya seraya menarik pelan lenganku sewaktu akan meninggalkan ruangan. Aku tidak menjawabnya, aku hanya tersenyum tipis. Aku mencoba berpikir positif, ah mungkin ini efek dari operasi jadi kak maya berbicara agak ngelantur. Aku menarik handle pintu, dan langsung diserbu oleh orang-orang yang menunggu didepan pintu. Terutama kak vano, dia sangat ingin tahu keadaan istrinya. Ah andai dia tahu istrinya menginginkan aku menjadi ibu sambung bagi anak mereka.

“Gimana keadaan kakakmu del," tanya papa lebih dahulu.

“Hmmmm." Aku menarik nafas.

“Kak maya ingin bicara sama mama dan kak vano," ucapku seraya memandang mama dan kak vano bergantian.

Mereka langsung memasuki ruangan tadi, aku mengajak papa, tante indri dan om surya untuk duduk kembali di kursi tunggu rumah sakit. Hawa mencekam seketika merebak sebelum akhirnya terdengar jeritan mama memanggil kak maya. Kami berempat gegas lari menerobos pintu untuk masuk ke dalam ruangan. Ada mama yang menangis meraung-raung, dan kak vano yang sudah terduduk di lantai dengan wajah tenggelam di lutut sembari tangannya mengepal ke lantai. Ada apa ini Ya Allah?

“Mayaaaaaa..” Teriak mama panjang.

Dokter berlari memasuki ruangan dan segera memeriksa keadaan kak maya. Tangan dokter yang semula memeriksa denyut nadi kak maya seketika melemas, dan segera mencopot alat bantu pernafasan di hidung kak maya.

“Mohon maaf, bu maya tidak bisa diselamatkan.” 

“Mayaaa...”

“Kak maya...”

Kami semua menjerit menangis memanggil kak maya, berharap yang punya nama segera membuka mata kembali. Dokter menutup seluruh tubuh kak maya dengan selimut dan mensedekapkan tangannya. Mama yang tak kuat akhirnya ambruk ke lantai, untung dengan sigap papa menangkapnya dan segera membawa mama ke sofa ruangan.

Ketakutan kami hari ini akhirnya terjadi, kak maya benar-benar pergi meninggalkan kami. Kak maya bahkan meninggalkan putrinya yang baru saja dia lahirkan.

****

Aku menyusuri lorong rumah sakit seorang diri, sedangkan mama, papa dan kak vano mengurus keperluan untuk pengurusan jenazah kak maya dan pengkuburannya. Otakku seperti linglung saat ini, dan bahkan beberapa kali hampir menabrak orang yang lewat didepanku.

Langkahku terhenti didepan ruangan bayi, aku mengedarkan pandangan mencari-cari. Dipojok ruangan ada box incubator, dan disana ada papan kecil yang tertulis Bayi Ny.Maya. Aku teringat, tadi kak maya sempat bicara mengenai nama yang akan diberikan kepada bayinya. Dia ingin sekali menamainya dengan nama ALEA yang artinya mulia.

“Kasihan sekali kamu Nak, belum sempat merasakan hangatnya pelukan mamamu tapi mamamu sudah lebih dulu menghadap yang Kuasa. Semoga kelak kamu menjadi penolong bagi orangtuamu,” batinku berbicara sambil terus menatap bayi yang ada di dalam incubator.

“Akhirnya ketemu juga, Bu Delina ternyata disini,” ucap pak fikri ngos-ngosan,  sepertinya tadi dia berlari.

“Pak fikri kok bisa ada disini lagi?” tanyaku dengan keheranan.

“Iya bu, tadi saya dihubungi oleh tante indri mengabarkan kejadian ini. Setelah mengantar mama ke rumah duka, saya segera kesini untuk mencari bu Delina. Saya turut berduka cita ya bu," jelasnya panjang lebar.

“Terima kasih pak fikri.”

“Bayi maya yang mana bu?” tanya pak fikri.

“Itu pak yang ada di incubator, karena dia dilahirkan di usia kandungan tujuh bulan jadi perlu perawatan intensif," jawabku sembari menunjuk kaca ruangan.

“Bu Delina yang tabah ya.” Pak fikri berkata lagi, dan kali ini dengan jemari tangannya yang sudah menggenggam jemariku. Astaga.. aku segera melepaskannya. Kecanggungan segera menyergap diantara kita. Pikiranku malayang ke permintaan kak maya beberapa jam yang lalu.

Akankah aku menuruti permintaan kak maya? Atau aku mengabaikan saja ya? Hah, duh Gusti...

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Turun Ranjang   Cinta yang Menguat

    Tiga bulan telah berlalu sejak Delina dan Vano memulai kehidupan rumah tangga mereka atas dasar wasiat, cinta masa lalu, dan anak kecil bernama Alea. Namun kini, suasana rumah mereka mulai terasa berbeda—lebih hidup, lebih hangat, dan... lebih cinta.Pagi itu, sinar matahari menerobos melalui celah tirai ruang keluarga. Delina sedang menyuapi Alea di kursi makannya, sementara Vano sibuk di dapur menyiapkan kopi dan roti bakar. Tak ada kata-kata romantis yang diucapkan, tapi tiap gerakan mereka saling melengkapi seperti potongan puzzle yang menemukan bentuknya.“Papaaa…” Alea memanggil sambil mengangkat tangan kecilnya.Vano berbalik dan tersenyum. “Papaaa datang sayang.”Ia mencium kening Alea lalu mengangguk pada Delina. “Mau kopi? Manisnya kurangi kayak biasa?”Delina membalas dengan senyuman lembut. “Iya. Kamu makin hafal ya.”“Harus dong. Hafal kebiasaan istri itu tugas suami.”Mereka tertawa. Suara tawa itu bukan hanya bunyi, tapi sebuah irama kehidupan baru yang mulai tumbuh den

  • Turun Ranjang   Saat Rahasia Terbongkar

    Beberapa hari setelah pertemuan Vano dengan Nayla, kehidupan rumah tangga Delina dan Vano kembali berjalan seperti biasa. Namun, ada satu hal yang masih menggantung dalam benak Delina—sebuah firasat yang membuatnya tak bisa benar-benar tenang. Sesuatu dari masa lalu Vano yang belum sepenuhnya diceritakan.Delina memutuskan untuk merapikan ruang kerja Vano yang selama ini jarang ia masuki. Di dalamnya, ia menemukan tumpukan berkas, beberapa buku tua, dan sebuah kotak kayu kecil di bawah meja. Rasa penasaran mengalahkan ragu. Ia membuka kotak itu.Di dalamnya, terdapat foto-foto lama. Beberapa di antaranya foto Vano dan Nayla. Ada juga surat tulisan tangan Nayla yang belum pernah dibaca Delina sebelumnya. Tangannya gemetar saat membuka lembaran surat itu."Van, jika kau membaca surat ini, artinya aku benar-benar telah melepaskan segalanya. Tapi izinkan aku jujur untuk terakhir kalinya. Aku tidak pernah bisa melupakanmu, bahkan saat malam pertama pernikahanku dengan orang lain. Kamu adal

  • Turun Ranjang   Bayangan di Antara Langkah

    Hari-hari Delina dan Vano mulai tenang. Dengan jadwal kerja yang fleksibel, Vano lebih sering di rumah, membantu mengantar dan menjemput Alea, atau sekadar memasak makan malam bersama Delina. Kehangatan rumah mereka semakin terasa, seolah badai sudah berlalu. Tapi kehidupan tidak selalu sesederhana itu.Suatu sore di hari Jumat, ketika Delina selesai mengajar dan hendak pulang, seorang wanita berhijab anggun menghampirinya di depan pagar sekolah. Ia terlihat dewasa, usianya mungkin sepantaran Vano."Bu Delina?"Delina mengerutkan dahi. "Iya, saya sendiri. Maaf, kita pernah bertemu sebelumnya?"Wanita itu tersenyum simpul. Tapi senyumnya membawa udara dingin."Saya Nayla. Pernah dekat dengan Vano, sebelum almarhumah Maya. Boleh bicara sebentar?"Nama itu seperti kilat. Maya pernah menyebutnya satu kali—perempuan yang sempat membuatnya mundur dari hubungan dengan Vano, dulu.Delina ragu, namun ia mengangguk.Mereka berbicara di kafe kecil dekat sekolah. Nayla membuka percakapan dengan t

  • Turun Ranjang   Senyum di balik Luka

    Suasana Surabaya sore itu diselimuti hujan deras. Di balik jendela rumah mereka, Delina duduk sambil memeluk segelas cokelat panas, menatap tetesan air yang membentuk pola tak beraturan di kaca. Di pangkuannya, Alea tertidur usai seharian bermain dan menggambar. Sementara Vano, duduk di sofa seberang, wajahnya masih penuh beban.“Besok kamu ke kantor?” tanya Delina pelan, memecah sunyi yang menggantung.Vano mengangguk. “Aku harus temui pihak audit internal. Mereka minta penjelasan langsung soal pengeluaran yang nggak bisa dipertanggungjawabkan.”Delina menggeser selimut menutupi kaki Alea. “Apa kamu yakin tidak dijebak?”“Ada kemungkinan,” gumam Vano. “Tapi aku juga kurang teliti. Terlalu percaya orang.”Delina bangkit dan duduk di sebelah suaminya, menyandarkan kepala di pundaknya. “Apa pun hasilnya nanti, kamu tetap ayah terbaik untuk Alea dan suami yang selalu bisa aku banggakan.”Vano menarik napas panjang. “Kamu nggak takut kalau semua ini bikin kita kembali dari nol?”“Aku lebi

  • Turun Ranjang   Kota Baru, Cinta Lama

    Langit Surabaya sore itu tak seperti Jakarta. Udara lebih hangat, dan angin laut berhembus lembut dari kejauhan. Vano menurunkan koper terakhir dari bagasi mobil sambil menyeka keringat. Di sampingnya, Delina menggandeng Alea yang tampak bersemangat dengan lingkungan baru.“Rumah kita sekarang kayak istana, Bu!” seru Alea sambil berlari masuk ke halaman rumah dinas yang disediakan kantor Vano.Delina tertawa kecil. Rumah itu memang lebih luas, modern, dan memiliki taman kecil di belakang. Tapi bagi Delina, yang terpenting adalah kebersamaan mereka bertiga.Hari pertama di Surabaya dihabiskan dengan menata rumah dan mengenal lingkungan. Delina mencatat tempat-tempat penting di sekitar: klinik, pasar, masjid, dan taman kota. Ia juga mulai mencari informasi tentang komunitas literasi dan pengajar di kota itu.Vano, yang sudah mulai bekerja dua hari setelah kepindahan mereka, pulang lebih malam dari biasanya. Proyek yang ditangani sangat besar dan menuntut waktu serta tenaga. Tapi Delina

  • Turun Ranjang   Rumah

    Pagi itu rumah mereka dihiasi aroma roti panggang dan suara tawa Alea yang mengisi ruang makan. Vano, masih dalam daster rumah dan rambut berantakan, menggendong Alea di pundak sambil pura-pura menjadi kuda. Delina memotret momen itu diam-diam, merasa takjub pada kebersamaan yang perlahan mereka bangun dari puing-puing kehilangan.Namun satu hal mengganjal: Bu Retno. Sejak perbincangan dingin lewat telepon beberapa minggu lalu, tak ada lagi kabar darinya. Vano sendiri tampak enggan membahasnya, seolah tahu luka lama itu masih menganga lebar.Delina mengerti. Tapi ia tahu, hubungan mereka tak akan pernah benar-benar utuh tanpa keterlibatan ibu mertuanya, nenek Alea. Maka pagi itu, ia memutuskan untuk datang langsung ke rumah Bu Retno, tanpa memberitahu Vano.---Rumah itu masih sama seperti terakhir kali ia ke sana—rindang, rapi, dan sunyi. Saat Delina mengetuk pintu, tidak langsung dibuka. Ia hampir berpaling ketika suara berderit perlahan mengiringi munculnya wajah yang tak berubah:

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status