Bab 6
Aura ketegangan masih menyelimuti kami, dengan di dominasi kecemasan. Salah satu suster membuka pintu, dan melangkah ke arah kami mungkin akan memberikan informasi mengenai kak maya.
“Mohon maaf, disini ada yang bernama Delina?” ucap suster tadi.Dahiku mengernyit, kenapa suster menanyakan aku?“Iya, saya sus. Ada apa ya?” jawabku.“Bu maya ingin bertemu dengan anda bu," ucapnya.“Baik sus.”Aku berpamitan pada mama dan papa, dan lansung mengikuti langkah suster masuk ke dalam ruangan, tapi batinku bertanya ada apa kak maya ingin bertemu denganku?Hatiku mencelus ketika melihat kondisi kak maya, inikah kakak cantikku? Raut wajah lemas dengan selang oksigen bersarang di hidungnya. Hatiku rasanya tak kuasa melihatnya, sakitnya sungguh luar biasa kah sehingga keadaan kakakku seperti ini. Pernah sempat menyalahkan keadaan tapi aku segera istighfar, bukankah semua kejadian yang ada di dunia ini sudah ditulis dalam skenarioNYA. Kita sebagai manusia hanya berusaha, berdoa, dan bertawakal.“Kak maya gimana keadaannya?” aku memulai pembicaraan.“Ka-kakak sudah pasrah dek," ucap kak maya dengan lemah.“Kakak tadi manggil delina, ada yang mau kakak bicarakan kah kak?” ucapku sambil menggengam lembut tangan kak maya.“Kakak boleh minta tolong kan dek?”“Insya Allah kak, pasti delina usahakan. Kak maya minta tolong apa?”“Kakak merasa waktu kakak semakin menipis, kakak sudah merasakannya dek,” katanya.“Ussst, kak.. kakak pasti sembuh, kakak gak boleh ngomong gitu ya, kami disini semua ada untuk kak maya.” Luruhlah semua air mataku yang sedari pertama aku menginjakkan kaki di ruangan ini aku bendung. Ketakutanku semakin menjadi.“Kakak minta tolong sama kamu dek, kamu bisa kan menjaga putri kakak.” Tangan kak maya bergerak lemah untuk menghapus air mataku. Aku segera menggenggamnya dan aku tempelkan di pipiku.“Pasti kak, kakak tenang aja kita akan menjaga putri kakak, dengan kakak juga. Kakak akan sembuh ya.”“Kakak sudah pasrah dek dengan kehendakNYA, kakak ikhlas. Yang terpenting sekarang adalah putri kakak. Kamu mau kan dek menjadi mama sambung buat putri kakak,” ucap kak maya. Hampir saja aku terlonjak karena kaget mendengar permintaan kak maya. Dia ingin aku menjadi ibu sambungnya, kak maya menginginkan aku menikah dengan kak vano? Hah, gak, ini pasti salah. Aku terdiam memikirkan permintaan kak maya. Bagaimana bisa kak maya tiba-tiba meminta hal seperti ini, membayangkan untuk bertegur sapa dengan akrab saja susah apalagi menikah dengan kak vano. “Gimana dek, kamu mau kan menikah dengan vano,” ucap kak maya dengan nada penuh permohonan. Ini gimana Ya Allah. Ini tidak bisa terjadi, kak vano adalah kakak iparku sendiri.“Tapi kak..” ucapanku menggantung.“Dek, please. Hanya kamu yang bisa, putri kakak butuh mama dek, dan vano butuh sosok penggantiku.”“Kak maya..” tegurku sedikit geram.“Kakak pasti sembuh, kakak jangan mikir yang macem-macem lagi ya,” imbuhku menatap kak maya.Kak maya mengalihkan pandangan ke sisi kiri ranjang, aku tahu dia sedang mengalihkan wajah karena takut aku mengetahui banyak sekali air mata yang terbuang dari mata indah kak maya. Tapi sayang kak, aku pun merasakan semua kesedihan kakak. “Dek, boleh panggilkan vano dan mama? Kakak pingin bicara dengan mereka.”“Baik kak.”“Ohya dek, tolong pikirkan baik-baik permintaan kakak, karena ini mungkin akan jadi permintaan terakhir kakak," ucap kak maya seraya menarik pelan lenganku sewaktu akan meninggalkan ruangan. Aku tidak menjawabnya, aku hanya tersenyum tipis. Aku mencoba berpikir positif, ah mungkin ini efek dari operasi jadi kak maya berbicara agak ngelantur. Aku menarik handle pintu, dan langsung diserbu oleh orang-orang yang menunggu didepan pintu. Terutama kak vano, dia sangat ingin tahu keadaan istrinya. Ah andai dia tahu istrinya menginginkan aku menjadi ibu sambung bagi anak mereka.“Gimana keadaan kakakmu del," tanya papa lebih dahulu.“Hmmmm." Aku menarik nafas.“Kak maya ingin bicara sama mama dan kak vano," ucapku seraya memandang mama dan kak vano bergantian.Mereka langsung memasuki ruangan tadi, aku mengajak papa, tante indri dan om surya untuk duduk kembali di kursi tunggu rumah sakit. Hawa mencekam seketika merebak sebelum akhirnya terdengar jeritan mama memanggil kak maya. Kami berempat gegas lari menerobos pintu untuk masuk ke dalam ruangan. Ada mama yang menangis meraung-raung, dan kak vano yang sudah terduduk di lantai dengan wajah tenggelam di lutut sembari tangannya mengepal ke lantai. Ada apa ini Ya Allah?
“Mayaaaaaa..” Teriak mama panjang.Dokter berlari memasuki ruangan dan segera memeriksa keadaan kak maya. Tangan dokter yang semula memeriksa denyut nadi kak maya seketika melemas, dan segera mencopot alat bantu pernafasan di hidung kak maya.“Mohon maaf, bu maya tidak bisa diselamatkan.” “Mayaaa...”“Kak maya...”Kami semua menjerit menangis memanggil kak maya, berharap yang punya nama segera membuka mata kembali. Dokter menutup seluruh tubuh kak maya dengan selimut dan mensedekapkan tangannya. Mama yang tak kuat akhirnya ambruk ke lantai, untung dengan sigap papa menangkapnya dan segera membawa mama ke sofa ruangan.Ketakutan kami hari ini akhirnya terjadi, kak maya benar-benar pergi meninggalkan kami. Kak maya bahkan meninggalkan putrinya yang baru saja dia lahirkan.****
Aku menyusuri lorong rumah sakit seorang diri, sedangkan mama, papa dan kak vano mengurus keperluan untuk pengurusan jenazah kak maya dan pengkuburannya. Otakku seperti linglung saat ini, dan bahkan beberapa kali hampir menabrak orang yang lewat didepanku.
Langkahku terhenti didepan ruangan bayi, aku mengedarkan pandangan mencari-cari. Dipojok ruangan ada box incubator, dan disana ada papan kecil yang tertulis Bayi Ny.Maya. Aku teringat, tadi kak maya sempat bicara mengenai nama yang akan diberikan kepada bayinya. Dia ingin sekali menamainya dengan nama ALEA yang artinya mulia.“Kasihan sekali kamu Nak, belum sempat merasakan hangatnya pelukan mamamu tapi mamamu sudah lebih dulu menghadap yang Kuasa. Semoga kelak kamu menjadi penolong bagi orangtuamu,” batinku berbicara sambil terus menatap bayi yang ada di dalam incubator.“Akhirnya ketemu juga, Bu Delina ternyata disini,” ucap pak fikri ngos-ngosan, sepertinya tadi dia berlari.“Pak fikri kok bisa ada disini lagi?” tanyaku dengan keheranan.“Iya bu, tadi saya dihubungi oleh tante indri mengabarkan kejadian ini. Setelah mengantar mama ke rumah duka, saya segera kesini untuk mencari bu Delina. Saya turut berduka cita ya bu," jelasnya panjang lebar.“Terima kasih pak fikri.”“Bayi maya yang mana bu?” tanya pak fikri.“Itu pak yang ada di incubator, karena dia dilahirkan di usia kandungan tujuh bulan jadi perlu perawatan intensif," jawabku sembari menunjuk kaca ruangan.“Bu Delina yang tabah ya.” Pak fikri berkata lagi, dan kali ini dengan jemari tangannya yang sudah menggenggam jemariku. Astaga.. aku segera melepaskannya. Kecanggungan segera menyergap diantara kita. Pikiranku malayang ke permintaan kak maya beberapa jam yang lalu.Akankah aku menuruti permintaan kak maya? Atau aku mengabaikan saja ya? Hah, duh Gusti...Seminggu telah berlalu sejak insiden pesan Nita dan pertemuan tak sengaja di minimarket. Sejak itu suasana rumah mereka mulai lebih tenang. Vano benar-benar menjaga jarak dari masa lalunya dan Delina mulai membuka sedikit demi sedikit hatinya tapi tenang bukan berarti tanpa riak.Sabtu sore itu Delina duduk di ruang tamu sambil memeriksa rencana dekorasi untuk ulang tahun pertama Alea bulan depan. Vano datang menghampiri sambil membawa beberapa dokumen dari laci kerjanya.“Aku nemu ini waktu bersih-bersih tadi,” katanya sambil menyodorkan sebuah album foto lama.Delina mengambilnya membuka lembaran pertama. Foto Maya dan Vano saat baru menikah. Wajah Maya yang tersenyum lebar mengenakan gaun putih sederhana membuat hati Delina terasa bergetar.“Kalau kamu merasa tidak nyaman, kita bisa simpan lagi,” ujar Vano cepat, menangkap perubahan di wajah Delina.Delina menggeleng, “Tidak, justru aku perlu melihat ini. Aku perlu tahu apa yang kamu perjuangkan selama ini dan apa yang sudah kamu r
Sabtu pagi yang biasanya menjadi waktu tenang untuk keluarga itu berubah menjadi awal dari ketegangan yang tak disangka-sangka. Delina sedang menyiapkan sarapan, menata roti panggang dan telur rebus di atas piring saat terdengar suara ponsel Vano berbunyi dari ruang kerja. Biasanya, ia tak akan peduli. Tapi pagi itu, suara notifikasinya terus berbunyi berkali-kali, membuat Delina gelisah.Ia melirik ke arah ruang kerja, ragu. Ponsel itu dibiarkan terbuka di atas meja seolah tak sengaja ditinggalkan. Ia tak punya niat mencampuri urusan pribadi suaminya, tapi pikirannya mulai berputar.“Delina?”Suara Vano mengejutkannya. Ia berbalik, mendapati pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah biasa saja.“Kamu cari sesuatu?”Delina menggeleng, “Enggak. Aku cuma mau bilang sarapan sudah siap.”Vano mengangguk, “Aku nyusul.”Namun saat Delina berjalan pergi ekor matanya sempat menangkap layar ponsel yang menyala: sebuah pesan dari Nita.“Kamu pasti masih mengingat pelukan itu, kan?”Sarapan
Tiga hari berlalu sejak kedatangan Nita di depan rumah mereka dan suasana hati Delina belum sepenuhnya tenang. Vano memang telah berkata bahwa Nita tidak akan kembali namun bayang-bayang masa lalu seakan masih berdiri di antara mereka, mengintip dari sela pintu yang belum sepenuhnya tertutup.Delina duduk di ruang tamu sepulang mengajar, menatap dinding dengan pikiran yang sibuk. Alea tertidur di pangkuannya setelah menghabiskan susu siang. Rumah itu sunyi hanya suara detik jam yang terdengar perlahan. Pintu depan berderit terbuka. Vano pulang lebih awal.“Kamu belum makan?” tanyanya saat melihat Delina hanya duduk diam.“Belum, tadi enggak sempat.”Vano meletakkan map di atas meja, “Mau makan bareng?”Delina mengangguk pelan, mereka duduk berdua di meja makan. Tak banyak bicara tapi suasananya berbeda. Tidak sebeku biasanya.“Aku enggak enak hati soal kejadian kemarin,” ucap Vano tiba-tiba, “Kehadiran Nita bikin kamu terganggu.”Delina menatapnya, “Aku hanya kaget. Bukan takut kehila
Pagi itu matahari menembus jendela ruang makan, menyinari meja kayu yang sudah disusun rapi oleh Delina. Sepiring nasi goreng, telur mata sapi dan irisan tomat ditata dengan hati-hati di atas piring putih. Di sampingnya, segelas teh hangat mengepul pelan. Tapi kursi di seberangnya kosong.Vano belum turun dari kamar sejak ia mengurung diri tadi malam. Usai percakapan emosional mereka, Vano tampak gelisah dan menjauh. Bukan marah, bukan menghindar tapi lebih kepada seseorang yang sedang menghadapi dirinya sendiri.Delina menatap makanan yang mulai dingin. Ia menarik napas dalam dan mengangkat piring itu, bersiap membereskan semuanya saat suara langkah pelan terdengar. Vano muncul, rambutnya sedikit berantakan, dasi belum terikat, matanya sembab seperti orang kurang tidur.“Maaf, aku terlambat,” katanya sambil duduk.Delina tidak langsung menjawab. Ia menyajikan kembali piring tadi, memanaskannya sebentar di microwave, lalu kembali duduk di seberangnya.“Kamu enggak makan malam tadi,” u
Malam turun dengan perlahan membawa keheningan yang menusuk hingga ke tulang. Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Delina menyuapi Alea di ruang makan sedangkan Vano duduk di ujung meja dengan laptop terbuka namun tak satu pun tombol diketiknya.Sesekali Vano melirik ke arah Delina, sejak kejadian sore tadi suasana di antara mereka menegang. Delina lebih banyak diam tidak menyapa, tidak menyodorkan teh hangat seperti biasanya. Bahkan tatapannya pun hanya sebatas ke arah Alea.Alea menguap pelan tangannya menggenggam jari Delina sambil menyusu dari botol kecil. Setelah selesai Delina berdiri, menggendong Alea dan bersiap menuju kamar.“Delina,” panggil Vano, suaranya berat dan ragu.Delina berhenti, “Iya?”“Kita perlu bicara.”Delina tidak langsung menoleh, ia hanya memiringkan kepala sedikit lalu berkata, “Kalau ini soal Reza, aku rasa aku sudah menjelaskan.”“Aku tahu kamu tidak salah tapi aku tidak nyaman.”“Kamu tidak nyaman melihat aku tertawa? Atau tidak nyaman karena buka
Delina sedang mengganti popok Alea ketika bel rumah berbunyi. Suaranya tidak nyaring hanya satu dentingan tapi cukup membuatnya melirik jam dinding. Pukul tiga sore, siapa yang datang di jam-jam begini? Ia membuka pintu sambil tetap menggendong Alea dan seketika senyuman lebar merekah di wajahnya."Reza? Astaga, kamu berubah banget!" serunya.Laki-laki dengan kemeja biru tua itu tertawa ringan. "Sudah lima tahun, Lin. Kamu juga, tapi kamu sekarang. Wah, jadi ibu ya."Delina mengangguk, menepuk pelan punggung Alea yang mulai rewel.“Masuk, yuk. Kita bisa ngobrol di dalam. Kamu tahu rumahku yang ini dari mana?”“Dari Viona,” balas Reza.Reza masuk dan duduk di sofa ruang tamu yang bersih dan wangi. Rumah itu tenang, terlalu tenang untuk ukuran rumah dengan bayi. Delina memang selalu perfeksionis soal kebersihan. Ia menaruh Alea di bouncer kecil yang biasa ia gunakan."Aku habis urusan kantor di Jakarta. Dengar-dengar kamu sekarang tinggal di sini. Jadi ya, sekalian mampir," kata Reza sa