Share

Pemakaman

Author: Pratiwi
last update Last Updated: 2021-08-15 20:36:34

                               Bab 7

Keesokan harinya aku meminta izin kepada dokter untuk pulang ditemani oleh pak fikri karena pemakaman kak maya dilaksanakan pagi ini. Hatiku tersentuh ketika pak fikri selalu ada untukku, memberi perhatian, menenangkan dan juga rela menemaniku semalaman di rumah sakit demi perkembangan si kecil yang ada di ruangan bayi.

Setelah aku mendapatkan izin dari dokter dan beliau mengatakan bahwa kalau perkembangan sekecil apapun mengenai putri kak maya akan segera beliau informasikan. Aku berjalan beriringan dengan pak fikri menuju parkir di area basement rumah sakit. Keheningan menyelimuti kami, karena aku ingin segera pulang dan membantu mengurus pemakaman kak maya. 

Sesampainya di mobil, pak fikri segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku lebih memilih berkonsentrasi melihat jalanan, tapi aku bisa menangkap dari ekor mataku kalau pak fikri sebentar-sebentar mengamati aku dari samping. Aku bisa mengerti akan tatapan itu, mungkin dia ingin kita ada pembicaraan.

“Pak Fikri terima kasih karena telah banyak membantu saya dengan kejadian ini, dan menemani saya semalaman di rumah sakit,” ucapku memecah keheningan.

“Sama-sama Bu Delina, dengan senang hati saya menemani Ibu, karena itu sudah tugas saya," jelasnya dari balik kemudi mobil. Dahiku mengernyit, apa maksud dari perkataan pak fikri barusan yang dia bilang kalau menemaniku adalah tugasnya.

“Maksud pak fikri apa ya?”

“Emmm.. Maaf sebelumnya Bu, saya menyukai Bu Delina sejak beberapa bulan yang lalu. Saya berniat menjadikan Bu Delina pendamping hidup saya,” jelasnya. Aku terkejut mendengar pengakuan pak fikri, hingga tanpa sadar mulutku sedikit terbuka dibuatnya.

“Maaf Pak, saya belum ingin membahas itu sekarang. Pak Fikri kendalikan saja mobilnya dengan hati-hati karena saya ingin cepat sampai di rumah dan mengurus pemakaman Kak Maya,” tukasku seketika.

“Baik Bu Delina.”

Aku mengalihkan wajah menatap kaca jendela mobil di samping kiriku, pikiranku kembali menerawang pada ucapan pak fikri dan permintaan kak maya semalam untuk menikah dengan suaminya. Apa aku bisa mengabulkan permintaan kak maya dan menikah dengan kakak iparku sendiri? Atau aku terima saja pak fikri dan mengabaikan permintaan kak maya?. Aku menghela napas panjang, kenapa semua jadi rumit seperti ini.

Semakin aku memikirkan hal itu kepalaku terasa semakin pening, ku sandarkan kepalaku di sandaran kursi dan mulai memejamkan mata. Sempat aku melirik Pak fikri sekilas, dia mengemudikan mobil dengan raut wajah yang kecewa sepertinya. Saya mohon maaf pak, saya masih bingung dengan semua ini, batinku dalam hati.

****

Mobil berbelok ke arah halaman mungil rumahku, disana sudah terdapat beberapa kursi yang tertata rapi di halaman dan ada beberapa bapak-bapak yang bertakziah. Di depan pagar terdapat bendera kuning yang menancap, dan mayoritas orang-orang mengenakan pakaian serba hitam khas berduka. Seketika suasana duka menyergap di dalam hati, memori tentang kenangan bersama kak maya tiba-tiba saja muncul memenuhi pikiran, hatiku sesak melihat ini semua.

Aku membuka pintu mobil, berjalan sedikit membungkukkan badan untuk menghormati para bapak-bapak. Salah satu diantara mereka berdiri dan menghampiriku, mengucapkan beberapa kata bela sungkawa. Aku tersenyum tipis dan segera menarik diri untuk masuk ke dalam rumah. Ruang tamu sudah dipenuhi ibu-ibu yang mengaji mengelilingi jenazah kak maya. Mama berada tepat disamping kepala kak kaya dengan bersandar di salah satu kerabat kami. Aku melewati mereka dan langsung masuk ke kamar untuk mengganti baju, karena sejak kemarin aku belum sempat ganti baju sehelai pun.

Aku mengganti baju dengan kecepatan kilat, dan duduk persis disamping mama. Memeluknya, merasakan bahu mama terguncang dengan kencang.

“Sudah Ma, kita ikhlaskan Kak Maya ya. Biarkan dia pergi dengan tenang, kita doakan saja supaya Kak Maya diterima disisiNYA," ucapku dengan tangan mengusap punggung mama dengan lembut.

“Tapi mama belum siap kehilangan Maya Del.”

“Iya Ma, Delina paham. Tapi Allah lebih sayang Kak Maya, kalau Mama kangen sama Kak Maya bilang Delina nanti langsung Delina anter ke makamnya Kak Maya ya.” Aku mencoba menghibur mama dengan sebisaku sembari mengusap air mataku sendiri. Aku harus tegar, aku harus kuat. Karena mama butuh aku untuk menguatkan.

“Janji ya Del.”

“Iya Ma, Delina Janji”

Aku menatap tubuh kak maya yang diselimuti kain batik, dan dibagian wajahnya ditutup oleh kain putih transparan. Senyum di bibir kak maya tertangkap olehku, pasti dia sudah bahagia, sudah tidak merasakan sakit lagi. Aku janji kak akan menjaga mama dan papa, dan juga alea putri kakak. Sekali lagi aku mengusap air mataku yang hampir jatuh dan mengeratkan pelukan mama.

****

Semua orang telah meninggalkan area pemakaman satu persatu, kak vano baru saja juga meninggalkan pemakaman dengan dipapah bundanya. Raut kesedihan menghiasi wajahnya sejak kemarin, aku tahu ini terlalu cepat baginya. Ditinggal selamanya oleh istri tercinta, dengan meninggalkan seorang putri. Sorot mata yang biasanya kulihat dingin itu sekarang berganti dengan sorot mata kosong.

Mama masih memeluk nisan yang bertuliskan nama MAYA FEBRIANTI seolah yang dipeluknya adalah sosok anaknya yang sudah tenang di alam sana. Papa pun masih berjongkok dan menaburkan beberapa bunga yang dibawa dalam keranjangnya. Aku membiarkan mama menuntaskan kesedihannya di sini untuk yang terakhir kali. Aku mengambil beberapa bunga dari keranjang dan menaburkan di pusara makam kak maya.

“Ma, pulang yuk," ajakku.

“Bentar Del, mama masih ingin peluk Maya,” jawab mama semakin mengeratkan pelukan batu nisan.

“Ya sudah, lima menit lagi kita pulang ya,” ucapku mencoba memenuhi keinginan mama.    Aku berjanji dalam hati akan selalu membahagiakan mama dan papa. Papa mengusap punggung mama dengan lembut untuk menenangkan mama yang masih terisak. Aku mengedarkan pandangan ke area sekitar makam, sunyi dan sepi yang terlihat hanya hamparan batu nisan berjajar. Berada di pemakaman semakin menyadarkanku bahwa manusia hidup di dunia hanya sementara, tujuan terakhir tetaplah di alam akhirat. Ini adalah beberapa alam yang kita lalui sebelum akhirnya nanti kita akan berada di alam yang kekal. Sungguh KuasaMU Agung sekali wahai Rabb-ku.

“Ma, udah lima menit loh. Pulang yuk, kita doakan saja ya ma biar Kak Maya tenang di sana,” ucapku setengah membujuk mama.

“Iya Ma, kita harus ikhlas. Kita memang menyayangi Maya ma, tapi Allah lebih sayang sama Maya. Kan sekarang dia udah gak ngerasain sakit lagi,” papa juga menimpali ucapanku dengan kata-kata yang menenangkan mama.

“Iya, Pa.”

“Maya, mama pulang dulu ya Nak, kamu yang tenang di sana. Kalau mama kangen pasti mama akan ke sini nemuin Maya ya," ucap mama dilanjutkan dengan mencium lama batu nisan almarhumah kak maya.

Kami melangkah menjauh dari makam kak maya menuju mobil, sekali lagi aku menoleh ke arah makam untuk salam perpisahan terakhir pada kak maya. Jangan khawatir kak, Insya Allah mama sama papa aman denganku. 

Kami memasuki mobil, aku berada di samping kemudi dengan papa yang mengemudi dan mama berada di kursi belakang supaya beliau bisa beristirahat barang sejenak. Aku ingin memejamkan mata sebentar tapi justru permintaan kak maya semalam kembali terngiang di telingaku. Sungguh, aku berada dalam kebingungan yang sulit. Haruskah aku beritahu mama tentang permintaan kak maya, tapi mengingat kondisi mama yang masih lemah aku harus mengubur ingatan tentang ucapan kak maya.

Bagaimana bisa kak maya punya pemikiran seperti itu?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Turun Ranjang   Cinta Yang Dipilih

    Hari itu langit berwarna keemasan, matahari sore perlahan tenggelam di balik bukit. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan kering. Delina berdiri di tepi taman, mengawasi anaknya yang berlarian riang dengan sepeda kecil.Sudah berbulan-bulan sejak perceraiannya resmi. Proses panjang yang penuh air mata akhirnya selesai, meninggalkan luka yang perlahan berubah jadi bekas. Delina tak lagi istri Vano. Ia tak lagi bayangan Maya. Ia berdiri sebagai dirinya sendiri, dengan semua rapuh dan kekuatannya.Vano hadir sore itu. Ia datang untuk menjemput anak mereka. Wajahnya terlihat lebih damai dibanding dulu. Ada keteguhan yang baru, seakan ia benar-benar belajar menerima.“Din,” ucapnya pelan setelah mereka duduk sebentar di bangku taman. “Aku ingin bilang terima kasih. Kamu sudah ajari aku arti ikhlas. Aku nggak lagi berharap kita kembali, tapi aku akan selalu ada untuk anak kita. Itu janjiku.”Delina tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga berterima kasih, Van. Kamu bagian d

  • Turun Ranjang   Bayangan Baru

    Pagi itu udara terasa berbeda. Langit cerah, angin bertiup lembut, dan aroma tanah basah tersisa dari hujan semalam. Delina berdiri di depan jendela kamar, menatap keluar dengan mata yang masih sembab tapi lebih tenang.Sudah beberapa minggu sejak sidang pertama perceraiannya dengan Vano. Proses hukum masih berjalan, tapi di hatinya keputusan sudah final: ia tidak lagi menjadi istri, tidak lagi bayangan siapa pun.Hari-hari Delina kini dipenuhi dengan rutinitas baru. Ia mulai kembali bekerja lebih giat, menyibukkan diri dengan proyek kantor yang sempat ia abaikan. Ia juga mendaftarkan anaknya ke kursus menggambar, sesuatu yang pernah ia impikan tapi selalu tertunda.Ada rasa lelah, tentu saja, tapi juga ada kebanggaan kecil—bahwa ia bisa mengambil keputusan sendiri, bukan karena dorongan orang lain.---Bayu tetap hadir. Tidak setiap hari, tidak setiap waktu, tapi cukup sering untuk membuat Delina merasa ditemani. Ia kadang mengantar Delina ke kantor, kadang membantu menjemput anaknya

  • Turun Ranjang   Luka yang Terbuka

    Langkah kaki Delina terdengar pelan di koridor gedung pengadilan. Aroma khas ruangan penuh berkas dan kayu tua bercampur dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Bayu berjalan di sampingnya, membawa map berisi dokumen perceraian.“Din, kamu yakin siap?” tanya Bayu, suaranya pelan namun mantap.Delina menarik napas panjang. “Aku nggak tahu kalau siap atau nggak. Tapi aku tahu ini harus kulakukan. Kalau tidak, aku akan terus terjebak.”Mereka masuk ke ruang sidang kecil. Vano sudah duduk di sana, wajahnya pucat tapi tetap tenang. Tatapannya bertemu dengan Delina, dan sejenak waktu seakan berhenti. Ada begitu banyak kenangan, begitu banyak luka, yang mengikat mereka berdua.---Proses sidang berlangsung singkat. Hakim membacakan berkas-berkas, menanyakan beberapa hal, dan menetapkan jadwal sidang lanjutan. Tak ada teriakan, tak ada drama. Hanya keheningan berat yang menekan dada Delina.Saat keluar dari ruang sidang, Vano menghampirinya. “Din…” suaranya lirih, hampir bergetar. “Ak

  • Turun Ranjang   Keputusan Yang Tertunda

    Hujan turun deras malam itu. Suara gemericik air di atap seperti simfoni tak berkesudahan, mengisi ruang tamu rumah dengan ketegangan yang tak kasat mata. Delina duduk di kursi, tatapannya kosong pada jendela yang basah oleh air hujan. Di dalam dadanya, ada pertempuran yang tak kunjung usai.Vano duduk di seberang, wajahnya letih. Surat Maya tergeletak di meja, seakan menolak untuk disimpan, seakan ingin terus mengingatkan mereka berdua bahwa bayangan itu belum sepenuhnya pudar.“Din…” suara Vano pelan, nyaris tenggelam oleh hujan. “Aku tahu aku sudah banyak salah. Aku terlalu lama hidup dalam kenangan. Aku nggak bisa janji akan langsung berubah, tapi aku ingin belajar. Aku ingin kita coba lagi. Demi anak kita.”Delina menutup mata. Kata-kata itu menusuk, membuat hatinya berdenyut nyeri. “Van, kita sudah coba berkali-kali. Setiap kali, aku tetap jadi bayangan. Kamu bilang ingin berubah, tapi begitu lihat aku, kamu kembali ingat Maya. Aku nggak bisa hidup seperti itu.”Vano menunduk, j

  • Turun Ranjang   Risau

    Keesokan paginya, suasana rumah masih dipenuhi keheningan. Delina menyiapkan sarapan seadanya, sementara Vano duduk di meja makan dengan wajah pucat, matanya kosong. Surat Maya yang mereka baca semalam tergeletak di sampingnya, seakan menjadi tamu tak diundang yang membelah hati mereka.“Van,” Delina membuka suara hati-hati, “aku tahu surat itu berat buat kamu. Tapi kita nggak bisa berpura-pura lagi.”Vano menatap surat itu, lalu mengalihkan pandangannya pada Delina. “Aku bahkan nggak tahu harus marah atau lega. Maya tahu… dan tetap mencintaiku. Itu membuat aku merasa lebih kecil dari apa pun. Seharusnya aku yang melindunginya, bukan dia yang menutup mata.”Delina menghela napas. “Maya memilih mencintaimu dengan caranya. Itu bukan salahmu, Van. Tapi sekarang, kamu harus tentukan: mau terus hidup dalam rasa bersalah, atau belajar lepas.”Vano menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, suaranya parau. “Aku takut, Din. Kalau aku lepas, berarti aku benar-benar kehilangan dia. Aku takut ak

  • Turun Ranjang   Retak

    Pagi itu, Delina duduk di kursi ruang tamu dengan mata sayu. Telepon semalam masih terngiang jelas di telinganya. Dokumen dari Maya… sesuatu yang bisa mengubah semuanya. Kata-kata itu membuat tidurnya hancur, pikirannya tak henti-henti berputar.Saat ia menatap kosong ke arah jendela, Vano turun dari lantai atas. Rambutnya kusut, wajahnya masih lelah. “Kamu nggak tidur?” tanyanya.Delina menggeleng. “Ada yang harus aku cek hari ini. Penting.”Vano hendak bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Ia tahu belakangan Delina terlalu mudah tersulut, dan setiap pertanyaan hanya memperparah suasana.---Di kantor Bayu, suasana sudah tegang sejak Delina masuk. Bayu berdiri, wajahnya tampak serius. Di tangannya ada sebuah map cokelat lusuh.“Aku sengaja nggak ngomong lewat telepon,” kata Bayu sambil duduk. “Aku ingin kamu dengar langsung.”Delina menelan ludah. “Jadi benar… dokumen itu dari Maya?”Bayu mengangguk. Ia membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan. “Ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status