Bab 7
Keesokan harinya aku meminta izin kepada dokter untuk pulang ditemani oleh pak fikri karena pemakaman kak maya dilaksanakan pagi ini. Hatiku tersentuh ketika pak fikri selalu ada untukku, memberi perhatian, menenangkan dan juga rela menemaniku semalaman di rumah sakit demi perkembangan si kecil yang ada di ruangan bayi.
Setelah aku mendapatkan izin dari dokter dan beliau mengatakan bahwa kalau perkembangan sekecil apapun mengenai putri kak maya akan segera beliau informasikan. Aku berjalan beriringan dengan pak fikri menuju parkir di area basement rumah sakit. Keheningan menyelimuti kami, karena aku ingin segera pulang dan membantu mengurus pemakaman kak maya. Sesampainya di mobil, pak fikri segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku lebih memilih berkonsentrasi melihat jalanan, tapi aku bisa menangkap dari ekor mataku kalau pak fikri sebentar-sebentar mengamati aku dari samping. Aku bisa mengerti akan tatapan itu, mungkin dia ingin kita ada pembicaraan.“Pak Fikri terima kasih karena telah banyak membantu saya dengan kejadian ini, dan menemani saya semalaman di rumah sakit,” ucapku memecah keheningan.“Sama-sama Bu Delina, dengan senang hati saya menemani Ibu, karena itu sudah tugas saya," jelasnya dari balik kemudi mobil. Dahiku mengernyit, apa maksud dari perkataan pak fikri barusan yang dia bilang kalau menemaniku adalah tugasnya.“Maksud pak fikri apa ya?”“Emmm.. Maaf sebelumnya Bu, saya menyukai Bu Delina sejak beberapa bulan yang lalu. Saya berniat menjadikan Bu Delina pendamping hidup saya,” jelasnya. Aku terkejut mendengar pengakuan pak fikri, hingga tanpa sadar mulutku sedikit terbuka dibuatnya.“Maaf Pak, saya belum ingin membahas itu sekarang. Pak Fikri kendalikan saja mobilnya dengan hati-hati karena saya ingin cepat sampai di rumah dan mengurus pemakaman Kak Maya,” tukasku seketika.“Baik Bu Delina.”Aku mengalihkan wajah menatap kaca jendela mobil di samping kiriku, pikiranku kembali menerawang pada ucapan pak fikri dan permintaan kak maya semalam untuk menikah dengan suaminya. Apa aku bisa mengabulkan permintaan kak maya dan menikah dengan kakak iparku sendiri? Atau aku terima saja pak fikri dan mengabaikan permintaan kak maya?. Aku menghela napas panjang, kenapa semua jadi rumit seperti ini.Semakin aku memikirkan hal itu kepalaku terasa semakin pening, ku sandarkan kepalaku di sandaran kursi dan mulai memejamkan mata. Sempat aku melirik Pak fikri sekilas, dia mengemudikan mobil dengan raut wajah yang kecewa sepertinya. Saya mohon maaf pak, saya masih bingung dengan semua ini, batinku dalam hati.****
Mobil berbelok ke arah halaman mungil rumahku, disana sudah terdapat beberapa kursi yang tertata rapi di halaman dan ada beberapa bapak-bapak yang bertakziah. Di depan pagar terdapat bendera kuning yang menancap, dan mayoritas orang-orang mengenakan pakaian serba hitam khas berduka. Seketika suasana duka menyergap di dalam hati, memori tentang kenangan bersama kak maya tiba-tiba saja muncul memenuhi pikiran, hatiku sesak melihat ini semua.
Aku membuka pintu mobil, berjalan sedikit membungkukkan badan untuk menghormati para bapak-bapak. Salah satu diantara mereka berdiri dan menghampiriku, mengucapkan beberapa kata bela sungkawa. Aku tersenyum tipis dan segera menarik diri untuk masuk ke dalam rumah. Ruang tamu sudah dipenuhi ibu-ibu yang mengaji mengelilingi jenazah kak maya. Mama berada tepat disamping kepala kak kaya dengan bersandar di salah satu kerabat kami. Aku melewati mereka dan langsung masuk ke kamar untuk mengganti baju, karena sejak kemarin aku belum sempat ganti baju sehelai pun.Aku mengganti baju dengan kecepatan kilat, dan duduk persis disamping mama. Memeluknya, merasakan bahu mama terguncang dengan kencang.“Sudah Ma, kita ikhlaskan Kak Maya ya. Biarkan dia pergi dengan tenang, kita doakan saja supaya Kak Maya diterima disisiNYA," ucapku dengan tangan mengusap punggung mama dengan lembut.“Tapi mama belum siap kehilangan Maya Del.”“Iya Ma, Delina paham. Tapi Allah lebih sayang Kak Maya, kalau Mama kangen sama Kak Maya bilang Delina nanti langsung Delina anter ke makamnya Kak Maya ya.” Aku mencoba menghibur mama dengan sebisaku sembari mengusap air mataku sendiri. Aku harus tegar, aku harus kuat. Karena mama butuh aku untuk menguatkan.“Janji ya Del.”“Iya Ma, Delina Janji”Aku menatap tubuh kak maya yang diselimuti kain batik, dan dibagian wajahnya ditutup oleh kain putih transparan. Senyum di bibir kak maya tertangkap olehku, pasti dia sudah bahagia, sudah tidak merasakan sakit lagi. Aku janji kak akan menjaga mama dan papa, dan juga alea putri kakak. Sekali lagi aku mengusap air mataku yang hampir jatuh dan mengeratkan pelukan mama.****
Semua orang telah meninggalkan area pemakaman satu persatu, kak vano baru saja juga meninggalkan pemakaman dengan dipapah bundanya. Raut kesedihan menghiasi wajahnya sejak kemarin, aku tahu ini terlalu cepat baginya. Ditinggal selamanya oleh istri tercinta, dengan meninggalkan seorang putri. Sorot mata yang biasanya kulihat dingin itu sekarang berganti dengan sorot mata kosong.
Mama masih memeluk nisan yang bertuliskan nama MAYA FEBRIANTI seolah yang dipeluknya adalah sosok anaknya yang sudah tenang di alam sana. Papa pun masih berjongkok dan menaburkan beberapa bunga yang dibawa dalam keranjangnya. Aku membiarkan mama menuntaskan kesedihannya di sini untuk yang terakhir kali. Aku mengambil beberapa bunga dari keranjang dan menaburkan di pusara makam kak maya.“Ma, pulang yuk," ajakku.“Bentar Del, mama masih ingin peluk Maya,” jawab mama semakin mengeratkan pelukan batu nisan.“Ya sudah, lima menit lagi kita pulang ya,” ucapku mencoba memenuhi keinginan mama. Aku berjanji dalam hati akan selalu membahagiakan mama dan papa. Papa mengusap punggung mama dengan lembut untuk menenangkan mama yang masih terisak. Aku mengedarkan pandangan ke area sekitar makam, sunyi dan sepi yang terlihat hanya hamparan batu nisan berjajar. Berada di pemakaman semakin menyadarkanku bahwa manusia hidup di dunia hanya sementara, tujuan terakhir tetaplah di alam akhirat. Ini adalah beberapa alam yang kita lalui sebelum akhirnya nanti kita akan berada di alam yang kekal. Sungguh KuasaMU Agung sekali wahai Rabb-ku.“Ma, udah lima menit loh. Pulang yuk, kita doakan saja ya ma biar Kak Maya tenang di sana,” ucapku setengah membujuk mama.“Iya Ma, kita harus ikhlas. Kita memang menyayangi Maya ma, tapi Allah lebih sayang sama Maya. Kan sekarang dia udah gak ngerasain sakit lagi,” papa juga menimpali ucapanku dengan kata-kata yang menenangkan mama.“Iya, Pa.”“Maya, mama pulang dulu ya Nak, kamu yang tenang di sana. Kalau mama kangen pasti mama akan ke sini nemuin Maya ya," ucap mama dilanjutkan dengan mencium lama batu nisan almarhumah kak maya.Kami melangkah menjauh dari makam kak maya menuju mobil, sekali lagi aku menoleh ke arah makam untuk salam perpisahan terakhir pada kak maya. Jangan khawatir kak, Insya Allah mama sama papa aman denganku. Kami memasuki mobil, aku berada di samping kemudi dengan papa yang mengemudi dan mama berada di kursi belakang supaya beliau bisa beristirahat barang sejenak. Aku ingin memejamkan mata sebentar tapi justru permintaan kak maya semalam kembali terngiang di telingaku. Sungguh, aku berada dalam kebingungan yang sulit. Haruskah aku beritahu mama tentang permintaan kak maya, tapi mengingat kondisi mama yang masih lemah aku harus mengubur ingatan tentang ucapan kak maya.Bagaimana bisa kak maya punya pemikiran seperti itu?Seminggu telah berlalu sejak insiden pesan Nita dan pertemuan tak sengaja di minimarket. Sejak itu suasana rumah mereka mulai lebih tenang. Vano benar-benar menjaga jarak dari masa lalunya dan Delina mulai membuka sedikit demi sedikit hatinya tapi tenang bukan berarti tanpa riak.Sabtu sore itu Delina duduk di ruang tamu sambil memeriksa rencana dekorasi untuk ulang tahun pertama Alea bulan depan. Vano datang menghampiri sambil membawa beberapa dokumen dari laci kerjanya.“Aku nemu ini waktu bersih-bersih tadi,” katanya sambil menyodorkan sebuah album foto lama.Delina mengambilnya membuka lembaran pertama. Foto Maya dan Vano saat baru menikah. Wajah Maya yang tersenyum lebar mengenakan gaun putih sederhana membuat hati Delina terasa bergetar.“Kalau kamu merasa tidak nyaman, kita bisa simpan lagi,” ujar Vano cepat, menangkap perubahan di wajah Delina.Delina menggeleng, “Tidak, justru aku perlu melihat ini. Aku perlu tahu apa yang kamu perjuangkan selama ini dan apa yang sudah kamu r
Sabtu pagi yang biasanya menjadi waktu tenang untuk keluarga itu berubah menjadi awal dari ketegangan yang tak disangka-sangka. Delina sedang menyiapkan sarapan, menata roti panggang dan telur rebus di atas piring saat terdengar suara ponsel Vano berbunyi dari ruang kerja. Biasanya, ia tak akan peduli. Tapi pagi itu, suara notifikasinya terus berbunyi berkali-kali, membuat Delina gelisah.Ia melirik ke arah ruang kerja, ragu. Ponsel itu dibiarkan terbuka di atas meja seolah tak sengaja ditinggalkan. Ia tak punya niat mencampuri urusan pribadi suaminya, tapi pikirannya mulai berputar.“Delina?”Suara Vano mengejutkannya. Ia berbalik, mendapati pria itu berdiri di ambang pintu dengan wajah biasa saja.“Kamu cari sesuatu?”Delina menggeleng, “Enggak. Aku cuma mau bilang sarapan sudah siap.”Vano mengangguk, “Aku nyusul.”Namun saat Delina berjalan pergi ekor matanya sempat menangkap layar ponsel yang menyala: sebuah pesan dari Nita.“Kamu pasti masih mengingat pelukan itu, kan?”Sarapan
Tiga hari berlalu sejak kedatangan Nita di depan rumah mereka dan suasana hati Delina belum sepenuhnya tenang. Vano memang telah berkata bahwa Nita tidak akan kembali namun bayang-bayang masa lalu seakan masih berdiri di antara mereka, mengintip dari sela pintu yang belum sepenuhnya tertutup.Delina duduk di ruang tamu sepulang mengajar, menatap dinding dengan pikiran yang sibuk. Alea tertidur di pangkuannya setelah menghabiskan susu siang. Rumah itu sunyi hanya suara detik jam yang terdengar perlahan. Pintu depan berderit terbuka. Vano pulang lebih awal.“Kamu belum makan?” tanyanya saat melihat Delina hanya duduk diam.“Belum, tadi enggak sempat.”Vano meletakkan map di atas meja, “Mau makan bareng?”Delina mengangguk pelan, mereka duduk berdua di meja makan. Tak banyak bicara tapi suasananya berbeda. Tidak sebeku biasanya.“Aku enggak enak hati soal kejadian kemarin,” ucap Vano tiba-tiba, “Kehadiran Nita bikin kamu terganggu.”Delina menatapnya, “Aku hanya kaget. Bukan takut kehila
Pagi itu matahari menembus jendela ruang makan, menyinari meja kayu yang sudah disusun rapi oleh Delina. Sepiring nasi goreng, telur mata sapi dan irisan tomat ditata dengan hati-hati di atas piring putih. Di sampingnya, segelas teh hangat mengepul pelan. Tapi kursi di seberangnya kosong.Vano belum turun dari kamar sejak ia mengurung diri tadi malam. Usai percakapan emosional mereka, Vano tampak gelisah dan menjauh. Bukan marah, bukan menghindar tapi lebih kepada seseorang yang sedang menghadapi dirinya sendiri.Delina menatap makanan yang mulai dingin. Ia menarik napas dalam dan mengangkat piring itu, bersiap membereskan semuanya saat suara langkah pelan terdengar. Vano muncul, rambutnya sedikit berantakan, dasi belum terikat, matanya sembab seperti orang kurang tidur.“Maaf, aku terlambat,” katanya sambil duduk.Delina tidak langsung menjawab. Ia menyajikan kembali piring tadi, memanaskannya sebentar di microwave, lalu kembali duduk di seberangnya.“Kamu enggak makan malam tadi,” u
Malam turun dengan perlahan membawa keheningan yang menusuk hingga ke tulang. Rumah itu terasa lebih sunyi dari biasanya. Delina menyuapi Alea di ruang makan sedangkan Vano duduk di ujung meja dengan laptop terbuka namun tak satu pun tombol diketiknya.Sesekali Vano melirik ke arah Delina, sejak kejadian sore tadi suasana di antara mereka menegang. Delina lebih banyak diam tidak menyapa, tidak menyodorkan teh hangat seperti biasanya. Bahkan tatapannya pun hanya sebatas ke arah Alea.Alea menguap pelan tangannya menggenggam jari Delina sambil menyusu dari botol kecil. Setelah selesai Delina berdiri, menggendong Alea dan bersiap menuju kamar.“Delina,” panggil Vano, suaranya berat dan ragu.Delina berhenti, “Iya?”“Kita perlu bicara.”Delina tidak langsung menoleh, ia hanya memiringkan kepala sedikit lalu berkata, “Kalau ini soal Reza, aku rasa aku sudah menjelaskan.”“Aku tahu kamu tidak salah tapi aku tidak nyaman.”“Kamu tidak nyaman melihat aku tertawa? Atau tidak nyaman karena buka
Delina sedang mengganti popok Alea ketika bel rumah berbunyi. Suaranya tidak nyaring hanya satu dentingan tapi cukup membuatnya melirik jam dinding. Pukul tiga sore, siapa yang datang di jam-jam begini? Ia membuka pintu sambil tetap menggendong Alea dan seketika senyuman lebar merekah di wajahnya."Reza? Astaga, kamu berubah banget!" serunya.Laki-laki dengan kemeja biru tua itu tertawa ringan. "Sudah lima tahun, Lin. Kamu juga, tapi kamu sekarang. Wah, jadi ibu ya."Delina mengangguk, menepuk pelan punggung Alea yang mulai rewel.“Masuk, yuk. Kita bisa ngobrol di dalam. Kamu tahu rumahku yang ini dari mana?”“Dari Viona,” balas Reza.Reza masuk dan duduk di sofa ruang tamu yang bersih dan wangi. Rumah itu tenang, terlalu tenang untuk ukuran rumah dengan bayi. Delina memang selalu perfeksionis soal kebersihan. Ia menaruh Alea di bouncer kecil yang biasa ia gunakan."Aku habis urusan kantor di Jakarta. Dengar-dengar kamu sekarang tinggal di sini. Jadi ya, sekalian mampir," kata Reza sa