LOGINBab 2
Terhitung enam bulan semenjak kabar bahagia itu. Kami menjalani hidup yang tentunya lebih berwarna. Mama yang hampir setiap hari melakukan panggilan video dengan kak maya, dan papa yang sudah mulai luluh hatinya untuk berdamai dengan sang menantu laki-lakinya. Tak terkecuali aku, bayangan akan mendapatkan keponakan yang lucu sudah memenuhi hampir seluruh isi memori otakku.
Aku menjalani hari-hari seperti biasa, pagi berangkat untuk mengajar murid-murid di SMA dan pulang menjelang sore. Tak ada yang terlalu istimewa di lingkunganku mengajar, kecuali para murid-murid kesayanganku di kelas 12IPA. Seluruh kesibukanku selama ini menyita perhatianku tanpa memikirkan cinta ala-ala remaja. Ya, di usiaku yang sudah hampir menginjak angka dua puluh empat tahun ini aku masih saja setia menyendiri. Hahaha jomblo sejati !!! Eh, tapi bukan berarti aku gak laku ya, hanya saja memang aku belum merasa tertarik untuk hubungan yang mengarah kesana. Aku masih ingin menikmati hidup dengan mama papa, masih ingin membahagiakan mereka dengan caraku. Anganku menguap sejenak saat mendapati ada yang masuk ruang guru. Buru-buru aku mengambil satu buku untuk aku buka, pura-pura membaca.“Bu Delina, makan siang bareng saya yuk. Kebetulan saya belum makan,” pinta pak fikri, salah satu guru di sini.
“Emmm, sa-saya sudah makan tadi pak,” elakku mencari alasan, karena memang aku sedang tidak ingin makan bersama dengannya.“Masa sih? Saya lihat Bu Delina dari tadi duduk di ruang guru, tidak ke kantin.”“Saya bawa bekal pak, i-iyaa saya bawa bekal tadi pak, hehehe,” jawabku disertai cengiran pada pak fikri.“Ya sudah kalau gitu Bu, tapi kapan-kapan sempatkan makan bareng ya Bu," ucapnya setengah memohon.“Iya Pak, saya usahakan.”Pak fikri, guru fisika yang tampangnya terbilang lumayan cakep. Bu viona, selaku sahabat sekaligus guru juga di tempatku mengajar pernah mengatakan bahwa pak fikri ada hati sama aku. Sudah di bilang kan aku ini bukan tidak laku, tapi memang belum ada pikiran untuk ke arah sana. Bukan tidak senang ketika disukai oleh laki-laki seperti pak fikri, tapi beliau menunjukkan ketertarikannya padaku terkadang terlalu kelihatan. Aku jadi merasa sungkan dengan bapak/ibu guru yang lain. Entah karena apa, takut nanti ditiru sama anak didikku atau hanya alibiku untuk menghindari segala macam pendekatan pak fikri.****
Menjelang sore aku bergegas pulang ke rumah, setelah seharian penuh berkutat dengan koreksi lembar soal anak didik.
Sampai dirumah, hal yang selalu membuat kepenatanku menghilang seketika adalah senyuman mama. Ya Allah, terima kasih engkau telah memberiku mama yang luar biasa.“Del.”“Iya ma.”“Lusa kakakmu kesini nak, Mama minta syukuran tujuh bulanannya diadakan di sini.”“Wah, iya Ma. Delina bantu-bantu apa ini ma untuk lusa?” aku menawarkan bantuan kepada mama.“Sebenarnya semua sudah siap, kurang satu saja yang belum Del.”“Apa ma? Biar Delina saja yang ngerjain.”“Tolong antarkan uang pembayaran parcel buah untuk Bu Firda ya, mau nak?” pinta mama sedikit tidak enak.“Ke rumah Bu Firda ya ma? Ya sudah nanti setelah bersih-bersih Delina antar kesana ya Ma.”“Gapapa nak?”“Hehehe... Gapapa ma. Delina ke kamar dulu ya ma,” ucapku seraya bangkit dan menuju kamar.Bu firda adalah ibu dari pak fikri, beliau itu salah satu teman mama arisan dan mempunyai usaha parcel buah. Dan mama mengetahui kalau anak dari temannya itu menaruh hati padaku.****
Keesokan sore,
Saat aku memarkirkan motorku di halaman rumah ternyata kak maya dan suaminya sudah datang, terbukti ada mobil yang bertengger di halaman rumah sebelah kiri. Ku buka pintu rumah seraya mengucap salam dan berbincang sebentar dengan meraka setelah itu aku langsung menuju ke kamar. Karena takut, takut akan tatapan mata kakak iparku itu malah semakin menambah beban pikiran yang selama ini sudah berusaha aku singkirkan. Entah kenapa tatapan itu seolah menghipnotisku, dan langsung membawa ke masa dimana aku sangat mengagumi sosoknya. Bahkan sampai saat ini. Sadarlah delina, dia itu adalah kakak iparmu, dia suami dari kakak yang sangat kamu sayangi. Setelah mandi dan berganti pakaian aku pun bergegas keluar kamar untuk bergabung di ruang keluarga membicarakan acara besok pagi. Tapi tunggu, kemana papa? Kenapa hanya ada kak maya, kak vano, dan mama? Apa berubah lagi hati papa? Daripada penasaran aku tanyakan langsung saja pada mama.“Papa mana Ma?”“Papamu dikamar Del, katanya ada kerjaan dari kantor yang harus segera di selesaikan.”“Papa? Ngerjain kerjaan kantor?” batinku dalam hati. Tumben sekali papa, biasanya sebanyak apapun kerjaan kantor papa tidak akan pernah membawa pulang. Karena baginya ketika sudah berada di rumah itu sudah waktunya untuk keluarga, bukan waktunya untuk kantor. Tapi ini aneh, apa papa sengaja menghindari lama-lama bersitatap dengan kak vano?“Kak Maya tadi kesini dari jam berapa? Kok gak ngabari aku dulu, biar aku pulangnya agak cepat hehehe.”“Dari tadi siang Dek, halah gapapa daripada nanti kamu di sekolah buru-buru ngajarnya.”“Ya tapi kan pingin cepet-cepet ketemu kak maya," aku merengek sambil peluk kakakku satu-satunya.“Yang penting kan kakak udah ada di sini dek. Ohya kata mama kamu pingin jadi dosen ya? Kebetulan di kampus tempat kak vano lagi cari dosen baru tuh.”“Haa? Apa kak?” Hampir saja aku melonjak karena kaget.“Itu di kampus kak vano kayaknya lagi cari tenaga pengajar. Kata mama kamu pingin jadi dosen dek," kak maya menjelaskan ulang apa yang di katakan tadi padaku.“Ohhee hehehe, iya kak aku pikir-pikir dulu lagi ya.” Mati aku, mati !! Aku memang menginginkan menjadi seorang dosen tapi jika dosen di kampus yang sama dengan kak vano mengajar gawat. Bisa-bisa aku gagal move on lagi dari kakak ipar itu.Orang yang aku pikirkan eh malah sedang asyik berselancar ria di ponsel miliknya. Entah membuka aplikasi apa yang jelas raut wajahnya menandakan dia sedang serius dan tetap dengan tatapan es. Sambil sesekeli menimpali obrolan mama dan kak maya. Aku? Lebih cenderung berdiam karena pikiranku lagi kacau, bisa-bisanya mama bilang sama kak maya tentang keinginanku itu.****
Sudah sedari tadi mama mondar mandir dari dapur ke ruang belakang, balik lagi dari belakang ke ruang dapur. Ada beberapa tetangga yang saling membantu jika ada yang hajatan. Aku lebih memilih berdiam diri di kamar kak maya, dengan kak maya tentunya. Sibuk melihat baju-baju dan pernak pernik bayi di aplikasi penjualan online. Lucu-lucu, jadi pingin punya anak.
“Kak yang ini lucu deh," aku menunjuk sebuah gambar pakaian bayi lengkap dengan topi kupluk bergambar doraemon.“Yah, kalo itu mah kesukaan kamu dek, doraemon," jawab kak maya sambil tertawa.“Hahaha.. tapi lucu loh kak serius," ucapku. Kami tertawa bersama dan kadang saling ejek. Hingga pintu kamar terbuka munculah kak vano dari balik pintu. Aku seketika menutup mulut dan mengalihkan pandangan darinya.“Sayang, kok belum ganti baju? Acaranya sebentar lagi di mulai loh,” kak vano berucap sembari melangkah mendekati kak maya yang duduk di tepi ranjang tak jauh dariku.
“Iya mas, bentar lagi ganti baju. Ini masih lihat-lihat pakaian bayi sama Delina. Lucu-lucu banget tau mas.”“Lihatnya nanti lagi ya sayang, sekarang ganti baju dulu, ya?”Aku memperhatikan tangan kak vano yang terjulur mengusap lembut kepala kak maya.“Iya deh, aku ganti baju ya mas.”“Iya sayang.”Kak vano melangkah menuju pintu kamar dan keluar, disusul dengan suara pintu ditutup dari luar. Sungguh, kak vano memperlakukan kak maya dengan penuh ketulusan. Tatapan matanya menghangat ketika berhadapan dengan kak maya, berbeda ketika dia berbicara padaku dan orang lain selain kak maya.“Dek, ayo bantu kakak make up. Jangan melamun terus.”“Eeh.. i-iya Kak.” Gegas aku membantu kak maya untu merias diri, ku tepis semua pikiran tentang kak vano di masa lalu. Karena aku sadar kak vano adalah kakak iparku sendiri.Ku sapukan bedak tipis di wajah cantik kak maya, aku kasih lisptick warna nude untuk mempercantik bibirnya. Marvellous !! Kakakku sangat cantik, walau hanya dengan make up tipis. Pantas saja kak vano bertekuk lutut padanya.“Yes, done. Kakakku ini cantik banget sih,” aku berkata puas dengan hasil keryaku di wajah kak maya sembari menggodanya“Ah kamu ini bisa aja dek, yuuk keluar. Mama pasti udah nungguin.”“Yuk kak.”****
Alhamdulillah, wa syukurillah. Aku bersyukur padamu Ya Allah acara tujuh bulanan kehamilan kak maya berjalan lancar, sakral dan penuh hikmat. Aku dan para tetangga bergegas merapikan semua peralatan yang tadi dipakai dalam acara. Kak maya dan kak vano lebih dulu masuk ke kamarnya, mungkin lelah. Karena kan orang hamil memang tidak boleh terlalu lelah. Apalagi ini acaranya dari menjelang siang sampai sore baru saja selesai. Setelah beres-beres rumah sudah selesai, gegas aku masuk ke kamar dan mandi. Lengket sekali rasanya badanku ini.
Baru saja akan merebahkan diri di pembaringan aku dikejutkan oleh suara ketukan pintu. Aku langsung membukanya dan ternyata mama suda berdiri di depan pintu dengan tatapan mata yang entah aku pun sulit mengartikan.“Ada apa Ma?” “Itu Kakakmu mau pulang ke rumahnya sekarang juga katanya, padahal mama masih kangen Del.”Aku langsung keluar kamar mengikuti langkah mama menuju ruang keluarga dan disana sudah ada kak maya, kak vano dan papa. Seketika aku terkejut melihat raut wajah kak maya, baru beberapa jam tadi raut wajah itu segar dan bahagia. Lalu kenapa sekarang wajah itu jadi pucat pasi seputih kapas. Ada apa dengan kak maya?“Kak, balik besok aja ya, kelihatannya kakak kecapekan loh.”“Iya may, benar kata adekmu," kali ini papa ikut menimpali omonganku.“Maya gapapa ma, pa, dek. Namanya juga hamil sudah menginjak usia kehamilan tua, jadi dibawa capek dikit aja udah begini," jawab kak maya.Kak vano sudah bersiap mengambil tas jinjing yang berisi pakaian gantinya dan kak maya. Tiba-tiba dikejutkan dengan tubuh kak maya yang tiba-tiba merosot jatuh ke lantai. Kak maya pingsan? Tapi bukan itu yang membuatku kaget, ada darah yang mengalir dari hidungnya dan juga dari dalam roknya.Astaga kak maya pendarahan..Hari itu langit berwarna keemasan, matahari sore perlahan tenggelam di balik bukit. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan kering. Delina berdiri di tepi taman, mengawasi anaknya yang berlarian riang dengan sepeda kecil.Sudah berbulan-bulan sejak perceraiannya resmi. Proses panjang yang penuh air mata akhirnya selesai, meninggalkan luka yang perlahan berubah jadi bekas. Delina tak lagi istri Vano. Ia tak lagi bayangan Maya. Ia berdiri sebagai dirinya sendiri, dengan semua rapuh dan kekuatannya.Vano hadir sore itu. Ia datang untuk menjemput anak mereka. Wajahnya terlihat lebih damai dibanding dulu. Ada keteguhan yang baru, seakan ia benar-benar belajar menerima.“Din,” ucapnya pelan setelah mereka duduk sebentar di bangku taman. “Aku ingin bilang terima kasih. Kamu sudah ajari aku arti ikhlas. Aku nggak lagi berharap kita kembali, tapi aku akan selalu ada untuk anak kita. Itu janjiku.”Delina tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga berterima kasih, Van. Kamu bagian d
Pagi itu udara terasa berbeda. Langit cerah, angin bertiup lembut, dan aroma tanah basah tersisa dari hujan semalam. Delina berdiri di depan jendela kamar, menatap keluar dengan mata yang masih sembab tapi lebih tenang.Sudah beberapa minggu sejak sidang pertama perceraiannya dengan Vano. Proses hukum masih berjalan, tapi di hatinya keputusan sudah final: ia tidak lagi menjadi istri, tidak lagi bayangan siapa pun.Hari-hari Delina kini dipenuhi dengan rutinitas baru. Ia mulai kembali bekerja lebih giat, menyibukkan diri dengan proyek kantor yang sempat ia abaikan. Ia juga mendaftarkan anaknya ke kursus menggambar, sesuatu yang pernah ia impikan tapi selalu tertunda.Ada rasa lelah, tentu saja, tapi juga ada kebanggaan kecil—bahwa ia bisa mengambil keputusan sendiri, bukan karena dorongan orang lain.---Bayu tetap hadir. Tidak setiap hari, tidak setiap waktu, tapi cukup sering untuk membuat Delina merasa ditemani. Ia kadang mengantar Delina ke kantor, kadang membantu menjemput anaknya
Langkah kaki Delina terdengar pelan di koridor gedung pengadilan. Aroma khas ruangan penuh berkas dan kayu tua bercampur dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Bayu berjalan di sampingnya, membawa map berisi dokumen perceraian.“Din, kamu yakin siap?” tanya Bayu, suaranya pelan namun mantap.Delina menarik napas panjang. “Aku nggak tahu kalau siap atau nggak. Tapi aku tahu ini harus kulakukan. Kalau tidak, aku akan terus terjebak.”Mereka masuk ke ruang sidang kecil. Vano sudah duduk di sana, wajahnya pucat tapi tetap tenang. Tatapannya bertemu dengan Delina, dan sejenak waktu seakan berhenti. Ada begitu banyak kenangan, begitu banyak luka, yang mengikat mereka berdua.---Proses sidang berlangsung singkat. Hakim membacakan berkas-berkas, menanyakan beberapa hal, dan menetapkan jadwal sidang lanjutan. Tak ada teriakan, tak ada drama. Hanya keheningan berat yang menekan dada Delina.Saat keluar dari ruang sidang, Vano menghampirinya. “Din…” suaranya lirih, hampir bergetar. “Ak
Hujan turun deras malam itu. Suara gemericik air di atap seperti simfoni tak berkesudahan, mengisi ruang tamu rumah dengan ketegangan yang tak kasat mata. Delina duduk di kursi, tatapannya kosong pada jendela yang basah oleh air hujan. Di dalam dadanya, ada pertempuran yang tak kunjung usai.Vano duduk di seberang, wajahnya letih. Surat Maya tergeletak di meja, seakan menolak untuk disimpan, seakan ingin terus mengingatkan mereka berdua bahwa bayangan itu belum sepenuhnya pudar.“Din…” suara Vano pelan, nyaris tenggelam oleh hujan. “Aku tahu aku sudah banyak salah. Aku terlalu lama hidup dalam kenangan. Aku nggak bisa janji akan langsung berubah, tapi aku ingin belajar. Aku ingin kita coba lagi. Demi anak kita.”Delina menutup mata. Kata-kata itu menusuk, membuat hatinya berdenyut nyeri. “Van, kita sudah coba berkali-kali. Setiap kali, aku tetap jadi bayangan. Kamu bilang ingin berubah, tapi begitu lihat aku, kamu kembali ingat Maya. Aku nggak bisa hidup seperti itu.”Vano menunduk, j
Keesokan paginya, suasana rumah masih dipenuhi keheningan. Delina menyiapkan sarapan seadanya, sementara Vano duduk di meja makan dengan wajah pucat, matanya kosong. Surat Maya yang mereka baca semalam tergeletak di sampingnya, seakan menjadi tamu tak diundang yang membelah hati mereka.“Van,” Delina membuka suara hati-hati, “aku tahu surat itu berat buat kamu. Tapi kita nggak bisa berpura-pura lagi.”Vano menatap surat itu, lalu mengalihkan pandangannya pada Delina. “Aku bahkan nggak tahu harus marah atau lega. Maya tahu… dan tetap mencintaiku. Itu membuat aku merasa lebih kecil dari apa pun. Seharusnya aku yang melindunginya, bukan dia yang menutup mata.”Delina menghela napas. “Maya memilih mencintaimu dengan caranya. Itu bukan salahmu, Van. Tapi sekarang, kamu harus tentukan: mau terus hidup dalam rasa bersalah, atau belajar lepas.”Vano menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, suaranya parau. “Aku takut, Din. Kalau aku lepas, berarti aku benar-benar kehilangan dia. Aku takut ak
Pagi itu, Delina duduk di kursi ruang tamu dengan mata sayu. Telepon semalam masih terngiang jelas di telinganya. Dokumen dari Maya… sesuatu yang bisa mengubah semuanya. Kata-kata itu membuat tidurnya hancur, pikirannya tak henti-henti berputar.Saat ia menatap kosong ke arah jendela, Vano turun dari lantai atas. Rambutnya kusut, wajahnya masih lelah. “Kamu nggak tidur?” tanyanya.Delina menggeleng. “Ada yang harus aku cek hari ini. Penting.”Vano hendak bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Ia tahu belakangan Delina terlalu mudah tersulut, dan setiap pertanyaan hanya memperparah suasana.---Di kantor Bayu, suasana sudah tegang sejak Delina masuk. Bayu berdiri, wajahnya tampak serius. Di tangannya ada sebuah map cokelat lusuh.“Aku sengaja nggak ngomong lewat telepon,” kata Bayu sambil duduk. “Aku ingin kamu dengar langsung.”Delina menelan ludah. “Jadi benar… dokumen itu dari Maya?”Bayu mengangguk. Ia membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan. “Ini







