Bab 1
Panorama langit senja selalu memanjakan setiap mata yang menikmatinya. Begitu pula dengan aku, sepulang mengajar dari salah satu SMA swasta di kotaku, tanpa sadar aku menyunggingkan senyum melihat warna senja di atas sana. Kepenatan yang aku lalui siang hari tadi sudah sedikit terbayarkan oleh sinar hangat sang Surya.
Aku membelokkan motor menuju halaman rumah milik orang tuaku. Di sisi kanan rumah ada kebun mungil yang ditanami aneka macam bunga. Berkat tangan ajaib seorang ibu setiap rumah pasti selalu menjadi surga bagi setiap penghuninya.
“Assalamu’alaikum," aku berseru seraya membuka pintu rumah.
“Wa’alaikum salam Del, sudah pulang?” mama menjawab salamku sambil tersenyum. Bukan karena aku sudah pulang dari kerja, tetapi mungkin ada sesuatu hal yang bisa membuat hati mama bahagia sekarang. Aku mendudukan tubuh mungil ini di sofa sampingnya, penasaran tentang ekspresi mama lebih mendominasi dibandingkan dengan niat ke kamar dan membersihkan badan.“Mama lagi bahagia ya?” tanyaku dan menyenggol lengan mama menggoda.
“Kakak kamu Del,” jawab mama.“Kak maya kenapa Ma?” tanyaku kembali.“Kakak kamu positif hamil Nak," ucap mama. “Alhamdulillah Ya Allah Ma.”Reflek aku pun memeluk mama, kami berdua larut dengan haru bahagia. Ya, kakakku, kak maya telah menikah dengan kak vano 5 tahun yang lalu. Dihari ini Allah menjawab semua doa-doa keluarga kami selama ini. Mama melepas pelukanku, tangannya mengusap sudut matanya yang sudah basah. Dia pasti sangat bahagia karena beberapa bulan lagi mama akan mendapatkan cucu pertama. Duh ma, senyum tulus itu akan menjadi hal selalu aku rindu setiap waktu.
Selesai bicara dengan mama aku langsung masuk kamar dan mandi. Dan beberapa menit kemudian aku selesai mandi, aku merapikan diriku di depan meja rias tapi sedetik dikejutkan suara gaduh yang ada di depan kamar, lebih tepatnya ruang tengah. Aku menduga pasti suara keras dari papaku yang emosi dengan mama. Aku saja heran karena yang biasanya suka mengomel itu wanita, tapi di rumah ini malah kebalikannya. Papa yang berwatak keras sering kali membuat mama banyak mengeluarkan air mata.
“Ma, Pa, ada apa?” tanyaku sambil melihat mereka bergantian. Mama duduk di sofa ruang tengah dan papa berdiri sambil berkacak pinggang.
“Ini nih Del, Mama kamu ngajak Papa ke rumahnya maya,” jawab papa dengan napas yang memburu.“Mama hanya pingin tahu keadaan maya. Dia lagi hamil muda, siapa tahu dia butuh apa-apa," jawab mama tak kalah heboh. “Halah Ma.. Ma.. biar diurus aja sama menantumu yang sok serba bisa itu," sela papa. “Ma, biar Delina yang antar ke rumahnya Kak Maya aja ya. Papa biar istirahat di rumah," aku berucap menengahi perdebatan agar tidak terlalu panjang. “Ya udah kalau gitu, Mama ganti baju dulu ya.”Mama segera beranjak masuk ke dalam kamarnya, dan aku berjalan mendekati papaku yang sekarang sudah duduk di sofa. Wajahnya sudah terlihat lebih santai dibandingkan tadi, aku mencoba menghela napas untuk menetralkan debar sebelum berbicara dengan papa.
“Pa...”
“Hmm,” papa berdehem menyahuti panggilanku. “Emmm, apa papa enggak ingin mengunjungi kak maya? Dan juga calon cucu pertama Papa loh ini?” tanyaku dengan penuh kehati-hatian karena takut menyinggung perasaan papa. “Papa itu bukan enggak mau ketemu kakakmu Del, tapi Papa malas jika harus bertatap muka dengan kakak iparmu si Vano itu," jawab papa.“Ya sudah kalau gitu Pa, tetapi jika Papa udah ada waktu sempatkan untuk ketemu kak maya Pa, dia kangen sama Papa.” “Iya, nanti Papa pikirkan lagi," papa berucap seraya melangkahkan kaki menuju teras depan rumah.Begitulah papa sifat kerasnya kadang melampaui batas. Awalnya papa menyukai kak vano sebagai menantunya, tapi entah lama-kelamaan papa tidak suka dengan ikap kak vano yang sepertinya terlalu mengekang kakakku, bahkan berkunjung ke rumah saja susah sekali dikasih izin. Sekitar empat bulan setelah mereka menikah kak vano memboyongnya untuk tinggal bersamanya. Dan aku tidak tahu apa yang dikatakan kak vano terhadap papa, sehingga papa langsung berubah sikap drastis. Kadang aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mama dan papa, sering mengatakan vano sekarang semakin sombong.
Selama sekitar lima tahun pernikahannya dengan kak maya kak vano memang terkesan pribadi yang cuek dan dingin. Tetapi jika dia sudah berhadapan dengan kak maya, bongkahan es batu itu langsung mencair begitu saja. Kakakku yang telah berhasil membuat kak vano jatuh cinta dengan sangat.
**** “Mama bahagia nak, Allah telah mengabulkan doa doa kita semua," air mata bahagia mama luruh lagi di depan kak maya. “Makasih ma, karena Mama selama ini yang sudah menguatkan Maya hadapi apapun," jawabnya.“Selamat ya Kak, sehat-sehat terus. Jangan capek-capek Kak," aku berucap setelah jeda sekian menit demi mendengar haru biru antara mama dan kak maya. “Makasih Dek, kamu selalu support Kakak selama ini," jawab kak maya sambil membalas pelukanku.Kak maya adalah kakak satu-satunya, bagiku kak maya tak ubahnya juga seperti mama, juga berjiwa keibuan. Hari ini aku melihat sinar mata kak maya berbinar. Yang biasanya dalam pancaran matanya selalu tersimpan pengharapan yang amat dalam. Hari ini untuk pertama kali aku melihat binar mata kak maya sangat beda, bahkan mengalahkan binar matanya saat dipersunting oleh suaminya 5 tahun lalu. Ya, binar mata bahagia. Aku sangat menyukai binar mata bahagia dari orang yang aku sayang.
“Ini mama bawakan alpukat terus susu ibu hamil. Alpukat baik untuk ibu hamil may, kaya akan asam folat," mama menjelaskan penuh semangat.
“Iya Ma, harusnya Mama enggak usah repot-repot segala. Mama dan Delina datang ke sini aja Maya sudah bahagia," ujar kak maya."Enggak apa-apa Maya, ini tadi sekalian lewat toko buah kok. Jadi, Mama sekalian belikan buah yang bagus untuk ibu hamil.""Iya ma.""Susunya jangan lupa diminum ya May, pagi sama malam sebelum tidur," mama berpesan pada kak maya."Iya Ma, ohya Papa enggak mau ikut ya Ma?” tanya kak maya.“Papa tadi kecapekan, katanya kapan-kapan pasti datang untuk menemui Kakak dan calon cucunya," aku yang menyela jawaban dari kak maya, karena aku takut nanti mama ngomong aneh-aneh ke kak maya tentang papa. “Suami kamu belum pulang Nak?” mama bertanya sambil menatap pintu masuk. Rupanya beliau juga mengerti usahaku untuk mengalihkan pikiran kak maya tentang papa. Sejujurnya aku mengerti, kak maya sangat rindu dengan papa.Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul tujuh. Apakah memang seorang dosen kerjanya sampai malam? Atau kak vano hanya lembur, karena mengingat kemarin kak maya sempat cerita tentang berkas-berkas tugas mahasiswa yang belum dikoreksi kak vano dan di bawa pulang. Tak lama, deru mobil memasuki area halaman rumah kak maya.
“Assalamu’alaikum," seru kak vano.
“Wa’alaikumsalam," jawab kami dengan serempak “Eh, ada Mama sama Delina," ucapnya dan segera bersalaman dengan mama dan aku. “Sudah lama Ma?” tanya kak vano sembari dan tas kerjanya di sofa, tapi tetap dengan raut wajah yang minim ekspresi. “Enggak, baru sekitar empat puluh menit yang lalu, Van. Gimana kerjaan kamu lancar?” tanya mama.“Alhamdulillah Ma, ya sebagai dosen kadang harus lembur sampai jam segini untuk mengoreksi tugas mahasiswa. Mama lanjutin dulu ngobrolnya sama maya, Vano izin ke kamar dulu ya Ma, mau bersih badan," ujar kak vano.“Iya Van," jawab mama.****
Aku melangkahkan kaki menuju teras rumah kak maya setelah kami makan malam bersama-sama, meninggalkan mama didalam ruangan yang masih senantiasa memberi wejangan pada calon mama. Malam ini bulan terlihat penuh, amat indah sekali. Aku terlalu fokus dengan bulan sampai tidak sadar ada tangga yang turun dari lantai teras menuju ke halaman. Hampir saja aku limbung kalau tidak ada yang menarik tanganku dari samping. Setelah aku menetralkan diri dari kekagetanku, aku menoleh ke samping kanan, rupanya kak vano yang baru saja menarik tanganku.
“Lain kali kalau jalan lihatnya ke depan bukan lihat ke atas," ucapnya dengan nada dingin.
“Makasih Kak," ucapku.“Hmm," jawabnya.“Kak vano," ujarku sambil menoleh ke arahnya.“Ya, ” dia menatap menungguku melanjutkan kata. “Selamat ya, sebentar lagi jadi seorang papa.” “Oke, makasih," jawabnya.Dan, kamipun saling diam untuk waktu yang lama. Keheningan dan semilir angin ini membelai wajah, membawa aku kembali teringat sekelebatan masa lalu.
Vano Bimantara. Tujuh tahun yang lalu saat itu aku masih setia di semester dua Fakultas Sastra Indonesia di salah satu Universitas negri di kotaku. Kak vano itu kakak tingkatku kebetulan juga dia adalah pengurus suatu organisasi di kampus, dan aku pun termasuk salah satu anggota di dalamnya. Waktu itu kak vano sudah berada di semester tujuh. Aku mengagumi kak vano sebagai sosok yang terlihat bertanggung jawab, dan itu jauh sebelum kak vano kenal dengan kak maya. Tapi malam ini, kepingan-kepingan puzzle masa lalu saat aku dengan gigih mengagumi kak vano diam-diam muncul, aku yang dulu dengan tegas menolak seseorang lelaki yang mencintaiku demi bisa dekat dengan kak vano. Pada akhirnya setelah lulus kak vano menghilangkan jejak entah kemana, lalu satu tahun kemudian aku dikejutkan dengan kedatangan kak vano ke rumah dengan tujuan menemui kak maya, kakak kandungku. Dan sekarang tanpa sadar aku melengkungkan senyum tipis.
Aku mencoba menetralkan detak jantung aku pun memberanikan diri menoleh ke kursi sebelah, dan tepat pada saat itu kak vano juga sedang menoleh ke arahku. Tatapan mata itu...
Bab 2Terhitung enam bulan semenjak kabar bahagia itu. Kami menjalani hidup yang tentunya lebih berwarna. Mama yang hampir setiap hari melakukan panggilan video dengan kak maya, dan papa yang sudah mulai luluh hatinya untuk berdamai dengan sang menantu laki-lakinya. Tak terkecuali aku, bayangan akan mendapatkan keponakan yang lucu sudah memenuhi hampir seluruh isi memori otakku.Aku menjalani hari-hari seperti biasa, pagi berangkat untuk mengajar murid-murid di SMA dan pulang menjelang sore. Tak ada yang terlalu istimewa di lingkunganku mengajar, kecuali para murid-murid kesayanganku di kelas 12IPA. Seluruh kesibukanku selama ini menyita perhatianku tanpa memikirkan cinta ala-ala remaja. Ya, di usiaku yang sudah hampir menginjak angka dua puluh empat tahun ini aku masih saja setia menyendiri. Hahaha jomblo sejati !!! Eh, tapi bukan berarti aku gak laku ya, hanya saja memang aku belum merasa tertarik untuk hubungan yang mengarah kesana. Aku masih ingin menik
Bab 3Semua anggota keluarga menunjukkan raut wajah yang sama, cemas. Cemas akan keadaan kak maya didalam sana. Aku duduk di bangku tunggu panjang rumah sakit ditemani papa. Sedangkan mama dan kak vano sedang gelisah terlihat dari cara mereka mondar-mandir di depan ruangan kak maya di tangani. Ya, di depan ruang ICU kami semua menunggu dengan harap yang tinggi bahwa kak maya dan calon bayinya baik-baik saja. Aku menoleh ke arah papa, bagi sebagian orang sosok papa dalam keluarga adalah sosok yang terlampaui gengsi dalam mengungkapkan kasih sayang kepada anaknya tapi aku sangat yakin jauh dalam lubuk hatinya tersimpan cinta yang sangat besar untuk anak-anaknya. Itu terbukti saat aku mengamati sorot mata papa, ada gambaran kasih sayang yang luar biasa, kesedihan, kerinduan untuk memeluk anaknya yang sekarang sedang berjuang di dalam ruangan
Bab 4Semua yang berada di depan ruangan kak maya lemas seketika. Bagaimana tidak, kak maya yang selama ini bisa dibilang sehat walafiat tiba-tiba di vonis dokter sakit kanker getah bening.Aku hampir limbung kalau saja pak fikri tidak sigap menahan tubuhku. Aku melirik mama, keadaannya sama menangis tergugu di pelukan bu firda. Tak beda jauh dari mama, papa tubuhnya pun merosot ke lantai rumah sakit. Dan kak vano, untuk pertama kalinya aku melihatnya sesedih ini. Dia terduduk lemas di depan pintu kaca dengan tangan berada diatas kepala sambil meremas rambutnya sendiri. Menandakan bahwa dia sangat terpukul.Kak vano bangkit dari duduknya dan berjalan gontai kearah mama. Dia menjatuhkan diri dihadapan mama, bersimpuh di kaki mama. Dengan suara bergetar dia berkata.“Maafkan vano ma, vano yang salah. Andai saja vano lebih memperha
Bab 5Mama memeluk papa dengan erat, sambil mencoba menetralisir perasaan dalam dadanya yang kelihatan semakin menyesakkan. Beberapa kali mengatur nafas akhirnya mama mulai bicara.“Maya pa..,” mama mengulangi ucapannya dalam dekapan papa.“Iya ma, maya kenapa? Bilang sama papa pelan-pelan,” sahut papa dengan penuh kelembutan.“Maya minta semuanya mengikhlaskan maya, dan membiarkan anaknya hidup pa. Hu..hu..hu..” Tangis mama semakin menjadi.“Maya..,” gumam papa dengan nada lemas.Ya Allah kak maya, kenapa kamu mengambil keputusan ini kak? Kedua bahuku serasa ditimpa batu besar, ini berat sekali ujianMU Ya Allah. Mama menenggelamkan wajahnya dibahu papa, dan papa beberapa kali terlihat mengusap sudut matanya. Begitu pun tante indri dan om surya, mereka
Bab 6Aura ketegangan masih menyelimuti kami, dengan di dominasi kecemasan. Salah satu suster membuka pintu, dan melangkah ke arah kami mungkin akan memberikan informasi mengenai kak maya.“Mohon maaf, disini ada yang bernama Delina?” ucap suster tadi.Dahiku mengernyit, kenapa suster menanyakan aku?“Iya, saya sus. Ada apa ya?” jawabku.“Bu maya ingin bertemu dengan anda bu," ucapnya.“Baik sus.”Aku berpamitan pada mama dan papa, dan lansung mengikuti langkah suster masuk ke dalam ruangan, tapi batinku bertanya ada apa kak maya ingin bertemu denganku?Hatiku mencelus ketika melihat kondisi kak maya, inikah kakak cantikku? Raut wajah lemas dengan selang oksigen bersarang di hidungnya. Hatiku rasanya tak kuasa melihatnya, sakitnya sungguh luar
Bab 7Keesokan harinya aku meminta izin kepada dokter untuk pulang ditemani oleh pak fikri karena pemakaman kak maya dilaksanakan pagi ini. Hatiku tersentuh ketika pak fikri selalu ada untukku, memberi perhatian, menenangkan dan juga rela menemaniku semalaman di rumah sakit demi perkembangan si kecil yang ada di ruangan bayi.Setelah aku mendapatkan izin dari dokter dan beliau mengatakan bahwa kalau perkembangan sekecil apapun mengenai putri kak maya akan segera beliau informasikan. Aku berjalan beriringan dengan pak fikri menuju parkir di area basement rumah sakit. Keheningan menyelimuti kami, karena aku ingin segera pulang dan membantu mengurus pemakaman kak maya.Sesampainya di mobil, pak fikri segera menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. Aku lebih memilih berkonsentrasi melihat jalanan, tapi aku bi
Bab 8Besoknya aku perlu memastikan dulu keadaan mama sebelum aku tinggal berangkat mengajar. Mama bersikeras menyuruhku berangkat ke sekolahan, supaya tidak kepikiran mak maya. Tapi justru aku yang takut mama masih kepikiran almarhumah anak cantiknya itu. Aku keluar dari kamar mama dan berpapasan dengan papa yang mau masuk kamar. Aku melirik jam dinding yang terletak di ruang tengah, jam menunjukkan pukul 06.15. Tumben papa jam segini masih memakai celana pendek dan kaus oblong, apa papa masih meliburkan diri dari kantor.“Pa, masih libur?” tanyaku yang spontan menghentikan langkah Papa.“Iya Del, Papa masih izin libur. Kasihan mamamu kalau Papa tinggal pasti sendirian, semalem mamamu mimpi almarhumah kakakmu del. Akhirnya dia nangis sampai mau shubuh,” jelas papa sambil
Bab 9Aku tetap menjalani hidup seperti biasa dua hari ini, seperti sore ini aku pulang mengajar menjelang senja. Aku selalu menikmati pemandangan senja dari motor yang aku kendarai. Tidak berhenti-berhenti untuk mengagumi ciptaanNYA yang sangat indah. Ketika di perempatan lampu merah ada sesuatu yang membuat hati ini terenyuh. Ada bocah perempuan kecil berumur sekitar sembilan tahun an sibuk menjajakan donat yang dia bawa dalam keranjang plastiknya, terlihat masih banyak donat. Aku melambaikan tangan padanya, menyuruhnya mendekat kearahku selagi lampu merah masih menyala.“Mau donat kak?” tawarnya menatapku, aku menatap lampu merah sekali lagi ternyata sudah mau lampu hijau.“Dek, tunggu kakak di seberang jalan sana ya. Ini sudah mau lampu hijau, nanti kakak beli donatny