Home / Romansa / Turun Ranjang / Kabar bahagia

Share

Turun Ranjang
Turun Ranjang
Author: Pratiwi

Kabar bahagia

Author: Pratiwi
last update Last Updated: 2021-08-08 18:54:14

                                      Bab 1

Panorama langit senja selalu memanjakan setiap mata yang menikmatinya. Begitu pula dengan aku, sepulang mengajar dari salah satu SMA swasta di kotaku, tanpa sadar aku menyunggingkan senyum melihat warna senja di atas sana. Kepenatan yang aku lalui siang hari tadi sudah sedikit terbayarkan oleh sinar hangat sang Surya.

Aku membelokkan motor menuju halaman rumah milik orang tuaku. Di sisi kanan rumah ada kebun mungil yang ditanami aneka macam bunga. Berkat tangan ajaib seorang ibu setiap rumah pasti selalu menjadi surga bagi setiap penghuninya.

“Assalamu’alaikum," aku berseru seraya membuka pintu rumah. 

“Wa’alaikum salam Del, sudah pulang?” mama menjawab salamku sambil tersenyum. 

Bukan karena aku sudah pulang dari kerja, tetapi mungkin ada sesuatu hal yang bisa membuat hati mama bahagia sekarang. Aku mendudukan tubuh mungil ini di sofa sampingnya, penasaran tentang ekspresi mama lebih mendominasi dibandingkan dengan niat ke kamar dan membersihkan badan.

“Mama lagi bahagia ya?” tanyaku dan menyenggol lengan mama menggoda. 

“Kakak kamu Del,” jawab mama.

“Kak maya kenapa Ma?” tanyaku kembali.

“Kakak kamu positif hamil Nak," ucap mama. 

“Alhamdulillah Ya Allah Ma.”

Reflek aku pun memeluk mama, kami berdua larut dengan haru bahagia. Ya, kakakku, kak maya telah menikah dengan kak vano 5 tahun yang lalu. Dihari ini Allah menjawab semua doa-doa keluarga kami selama ini. Mama melepas pelukanku, tangannya mengusap sudut matanya yang sudah basah. Dia pasti sangat bahagia karena beberapa bulan lagi mama akan mendapatkan cucu pertama. Duh ma, senyum tulus itu akan menjadi hal selalu aku rindu setiap waktu.

Selesai bicara dengan mama aku langsung masuk kamar dan mandi. Dan beberapa menit kemudian aku selesai mandi, aku merapikan diriku di depan meja rias tapi sedetik dikejutkan suara gaduh yang ada di depan kamar, lebih tepatnya ruang tengah. Aku menduga pasti suara keras dari papaku yang emosi dengan mama. Aku saja heran karena yang biasanya suka mengomel itu wanita, tapi di rumah ini malah kebalikannya. Papa yang berwatak keras sering kali membuat mama banyak mengeluarkan air mata.

“Ma, Pa, ada apa?” tanyaku sambil melihat mereka bergantian. Mama duduk di sofa ruang tengah dan papa berdiri sambil berkacak pinggang. 

“Ini nih Del, Mama kamu ngajak Papa ke rumahnya maya,” jawab papa dengan napas yang memburu.

“Mama hanya pingin tahu keadaan maya. Dia lagi hamil muda, siapa tahu dia butuh apa-apa," jawab mama tak kalah heboh. 

“Halah Ma.. Ma.. biar diurus aja sama menantumu yang sok serba bisa itu," sela papa. 

“Ma, biar Delina yang antar ke rumahnya Kak Maya aja ya. Papa biar istirahat di rumah," aku berucap menengahi perdebatan agar tidak terlalu panjang. 

“Ya udah kalau gitu, Mama ganti baju dulu ya.”

Mama segera beranjak masuk ke dalam kamarnya, dan aku berjalan mendekati papaku yang sekarang sudah duduk di sofa. Wajahnya sudah terlihat lebih santai dibandingkan tadi, aku mencoba menghela napas untuk menetralkan debar sebelum berbicara dengan papa.

“Pa...” 

“Hmm,” papa berdehem menyahuti panggilanku. 

“Emmm, apa papa enggak ingin mengunjungi kak maya? Dan juga calon cucu pertama Papa loh ini?” tanyaku dengan penuh kehati-hatian karena takut menyinggung perasaan papa. 

“Papa itu bukan enggak mau ketemu kakakmu Del, tapi Papa malas jika harus bertatap muka dengan kakak iparmu si Vano itu," jawab papa.

“Ya sudah kalau gitu Pa, tetapi jika Papa udah ada waktu sempatkan untuk ketemu kak maya Pa, dia kangen sama Papa.” 

“Iya, nanti Papa pikirkan lagi," papa berucap seraya melangkahkan kaki menuju teras depan rumah.

Begitulah papa sifat kerasnya kadang melampaui batas. Awalnya papa menyukai kak vano sebagai menantunya, tapi entah lama-kelamaan papa tidak suka dengan ikap kak vano yang sepertinya terlalu mengekang kakakku, bahkan berkunjung ke rumah saja susah sekali dikasih izin. Sekitar empat bulan setelah mereka menikah kak vano memboyongnya untuk tinggal bersamanya. Dan aku tidak tahu apa yang dikatakan kak vano terhadap papa, sehingga papa langsung berubah sikap drastis. Kadang aku tidak sengaja mendengar pembicaraan mama dan papa, sering mengatakan vano sekarang semakin sombong.

Selama sekitar lima tahun pernikahannya dengan kak maya kak vano memang terkesan pribadi yang cuek dan dingin. Tetapi jika dia sudah berhadapan dengan kak maya, bongkahan es batu itu langsung mencair begitu saja. Kakakku yang telah berhasil membuat kak vano jatuh cinta dengan sangat.

**** 

“Mama bahagia nak, Allah telah mengabulkan doa doa kita semua," air mata bahagia mama luruh lagi di depan kak maya. 

“Makasih ma, karena Mama selama ini yang sudah menguatkan Maya hadapi apapun," jawabnya.

“Selamat ya Kak, sehat-sehat terus. Jangan capek-capek Kak," aku berucap setelah jeda sekian menit demi mendengar haru biru antara mama dan kak maya. 

“Makasih Dek, kamu selalu support Kakak selama ini," jawab kak maya sambil membalas pelukanku.

Kak maya adalah kakak satu-satunya, bagiku kak maya tak ubahnya juga seperti mama, juga berjiwa keibuan. Hari ini aku melihat sinar mata kak maya berbinar. Yang biasanya dalam pancaran matanya selalu tersimpan pengharapan yang amat dalam. Hari ini untuk pertama kali aku melihat binar mata kak maya sangat beda, bahkan mengalahkan binar matanya saat dipersunting oleh suaminya 5 tahun lalu. Ya, binar mata bahagia. Aku sangat menyukai binar mata bahagia dari orang yang aku sayang. 

“Ini mama bawakan alpukat terus susu ibu hamil. Alpukat baik untuk ibu hamil may, kaya akan asam folat," mama menjelaskan penuh semangat. 

“Iya Ma, harusnya Mama enggak usah repot-repot segala. Mama dan Delina datang ke sini aja Maya sudah bahagia," ujar kak maya.

"Enggak apa-apa Maya, ini tadi sekalian lewat toko buah kok. Jadi, Mama sekalian belikan buah yang bagus untuk ibu hamil."

"Iya ma."

"Susunya jangan lupa diminum ya May, pagi sama malam sebelum tidur," mama berpesan pada kak maya.

"Iya Ma, ohya Papa enggak mau ikut ya Ma?” tanya kak maya.

“Papa tadi kecapekan, katanya kapan-kapan pasti datang untuk menemui Kakak dan calon cucunya," aku yang menyela jawaban dari kak maya, karena aku takut nanti mama ngomong aneh-aneh ke kak maya tentang papa. 

“Suami kamu belum pulang Nak?” mama bertanya sambil menatap pintu masuk. Rupanya beliau juga mengerti usahaku untuk mengalihkan pikiran kak maya tentang papa. Sejujurnya aku mengerti, kak maya sangat rindu dengan papa.

Jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku menunjukkan pukul tujuh. Apakah memang seorang dosen kerjanya sampai malam? Atau kak vano hanya lembur, karena mengingat kemarin kak maya sempat cerita tentang berkas-berkas tugas mahasiswa yang belum dikoreksi kak vano dan di bawa pulang. Tak lama, deru mobil memasuki area halaman rumah kak maya.

“Assalamu’alaikum," seru kak vano.

“Wa’alaikumsalam," jawab kami dengan serempak 

“Eh, ada Mama sama Delina," ucapnya dan segera bersalaman dengan mama dan aku. 

“Sudah lama Ma?” tanya kak vano sembari dan tas kerjanya di sofa, tapi tetap dengan raut wajah yang minim ekspresi. 

“Enggak, baru sekitar empat puluh menit yang lalu, Van. Gimana kerjaan kamu lancar?” tanya mama.

“Alhamdulillah Ma, ya sebagai dosen kadang harus lembur sampai jam segini untuk mengoreksi tugas mahasiswa. Mama lanjutin dulu ngobrolnya sama maya, Vano izin ke kamar dulu ya Ma, mau bersih badan," ujar kak vano.

“Iya Van," jawab mama.

**** 

Aku melangkahkan kaki menuju teras rumah kak maya setelah kami makan malam bersama-sama, meninggalkan mama didalam ruangan yang masih senantiasa memberi wejangan pada calon mama. Malam ini bulan terlihat penuh, amat indah sekali. Aku terlalu fokus dengan bulan sampai tidak sadar ada tangga yang turun dari lantai teras menuju ke halaman. Hampir saja aku limbung kalau tidak ada yang menarik tanganku dari samping. Setelah aku menetralkan diri dari kekagetanku, aku menoleh ke samping kanan, rupanya kak vano yang baru saja menarik tanganku.

“Lain kali kalau jalan lihatnya ke depan bukan lihat ke atas," ucapnya dengan nada dingin. 

“Makasih Kak," ucapku.

“Hmm," jawabnya.

“Kak vano," ujarku sambil menoleh ke arahnya.

“Ya, ” dia menatap menungguku melanjutkan kata. 

“Selamat ya, sebentar lagi jadi seorang papa.” 

“Oke, makasih," jawabnya.

Dan, kamipun saling diam untuk waktu yang lama. Keheningan dan semilir angin ini membelai wajah, membawa aku kembali teringat sekelebatan masa lalu.

Vano Bimantara. Tujuh tahun yang lalu saat itu aku masih setia di semester dua Fakultas Sastra Indonesia di salah satu Universitas negri di kotaku. Kak vano itu kakak tingkatku kebetulan juga dia adalah pengurus suatu organisasi di kampus, dan aku pun termasuk salah satu anggota di dalamnya. Waktu  itu kak vano sudah berada di semester tujuh. Aku mengagumi kak vano sebagai sosok yang terlihat bertanggung jawab, dan itu jauh sebelum kak vano kenal dengan kak maya. Tapi malam ini, kepingan-kepingan puzzle masa lalu saat aku dengan gigih mengagumi kak vano diam-diam muncul, aku yang dulu dengan tegas menolak seseorang lelaki yang mencintaiku demi bisa dekat dengan kak vano. Pada akhirnya setelah lulus kak vano menghilangkan jejak entah kemana, lalu satu tahun kemudian aku dikejutkan dengan kedatangan kak vano ke rumah dengan tujuan menemui kak maya, kakak kandungku. Dan sekarang tanpa sadar aku melengkungkan senyum tipis.

Aku mencoba menetralkan detak jantung aku pun memberanikan diri menoleh ke kursi sebelah, dan tepat pada saat itu kak vano juga sedang menoleh ke arahku. Tatapan mata itu...

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (1)
goodnovel comment avatar
Ei Rin
Lanjut kak .. jangan lupa singgah di 504 Not Found ya kak........
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Turun Ranjang   Cinta Yang Dipilih

    Hari itu langit berwarna keemasan, matahari sore perlahan tenggelam di balik bukit. Angin berhembus lembut, membawa aroma dedaunan kering. Delina berdiri di tepi taman, mengawasi anaknya yang berlarian riang dengan sepeda kecil.Sudah berbulan-bulan sejak perceraiannya resmi. Proses panjang yang penuh air mata akhirnya selesai, meninggalkan luka yang perlahan berubah jadi bekas. Delina tak lagi istri Vano. Ia tak lagi bayangan Maya. Ia berdiri sebagai dirinya sendiri, dengan semua rapuh dan kekuatannya.Vano hadir sore itu. Ia datang untuk menjemput anak mereka. Wajahnya terlihat lebih damai dibanding dulu. Ada keteguhan yang baru, seakan ia benar-benar belajar menerima.“Din,” ucapnya pelan setelah mereka duduk sebentar di bangku taman. “Aku ingin bilang terima kasih. Kamu sudah ajari aku arti ikhlas. Aku nggak lagi berharap kita kembali, tapi aku akan selalu ada untuk anak kita. Itu janjiku.”Delina tersenyum tipis, matanya berkaca-kaca. “Aku juga berterima kasih, Van. Kamu bagian d

  • Turun Ranjang   Bayangan Baru

    Pagi itu udara terasa berbeda. Langit cerah, angin bertiup lembut, dan aroma tanah basah tersisa dari hujan semalam. Delina berdiri di depan jendela kamar, menatap keluar dengan mata yang masih sembab tapi lebih tenang.Sudah beberapa minggu sejak sidang pertama perceraiannya dengan Vano. Proses hukum masih berjalan, tapi di hatinya keputusan sudah final: ia tidak lagi menjadi istri, tidak lagi bayangan siapa pun.Hari-hari Delina kini dipenuhi dengan rutinitas baru. Ia mulai kembali bekerja lebih giat, menyibukkan diri dengan proyek kantor yang sempat ia abaikan. Ia juga mendaftarkan anaknya ke kursus menggambar, sesuatu yang pernah ia impikan tapi selalu tertunda.Ada rasa lelah, tentu saja, tapi juga ada kebanggaan kecil—bahwa ia bisa mengambil keputusan sendiri, bukan karena dorongan orang lain.---Bayu tetap hadir. Tidak setiap hari, tidak setiap waktu, tapi cukup sering untuk membuat Delina merasa ditemani. Ia kadang mengantar Delina ke kantor, kadang membantu menjemput anaknya

  • Turun Ranjang   Luka yang Terbuka

    Langkah kaki Delina terdengar pelan di koridor gedung pengadilan. Aroma khas ruangan penuh berkas dan kayu tua bercampur dengan ketegangan yang tak bisa ia sembunyikan. Bayu berjalan di sampingnya, membawa map berisi dokumen perceraian.“Din, kamu yakin siap?” tanya Bayu, suaranya pelan namun mantap.Delina menarik napas panjang. “Aku nggak tahu kalau siap atau nggak. Tapi aku tahu ini harus kulakukan. Kalau tidak, aku akan terus terjebak.”Mereka masuk ke ruang sidang kecil. Vano sudah duduk di sana, wajahnya pucat tapi tetap tenang. Tatapannya bertemu dengan Delina, dan sejenak waktu seakan berhenti. Ada begitu banyak kenangan, begitu banyak luka, yang mengikat mereka berdua.---Proses sidang berlangsung singkat. Hakim membacakan berkas-berkas, menanyakan beberapa hal, dan menetapkan jadwal sidang lanjutan. Tak ada teriakan, tak ada drama. Hanya keheningan berat yang menekan dada Delina.Saat keluar dari ruang sidang, Vano menghampirinya. “Din…” suaranya lirih, hampir bergetar. “Ak

  • Turun Ranjang   Keputusan Yang Tertunda

    Hujan turun deras malam itu. Suara gemericik air di atap seperti simfoni tak berkesudahan, mengisi ruang tamu rumah dengan ketegangan yang tak kasat mata. Delina duduk di kursi, tatapannya kosong pada jendela yang basah oleh air hujan. Di dalam dadanya, ada pertempuran yang tak kunjung usai.Vano duduk di seberang, wajahnya letih. Surat Maya tergeletak di meja, seakan menolak untuk disimpan, seakan ingin terus mengingatkan mereka berdua bahwa bayangan itu belum sepenuhnya pudar.“Din…” suara Vano pelan, nyaris tenggelam oleh hujan. “Aku tahu aku sudah banyak salah. Aku terlalu lama hidup dalam kenangan. Aku nggak bisa janji akan langsung berubah, tapi aku ingin belajar. Aku ingin kita coba lagi. Demi anak kita.”Delina menutup mata. Kata-kata itu menusuk, membuat hatinya berdenyut nyeri. “Van, kita sudah coba berkali-kali. Setiap kali, aku tetap jadi bayangan. Kamu bilang ingin berubah, tapi begitu lihat aku, kamu kembali ingat Maya. Aku nggak bisa hidup seperti itu.”Vano menunduk, j

  • Turun Ranjang   Risau

    Keesokan paginya, suasana rumah masih dipenuhi keheningan. Delina menyiapkan sarapan seadanya, sementara Vano duduk di meja makan dengan wajah pucat, matanya kosong. Surat Maya yang mereka baca semalam tergeletak di sampingnya, seakan menjadi tamu tak diundang yang membelah hati mereka.“Van,” Delina membuka suara hati-hati, “aku tahu surat itu berat buat kamu. Tapi kita nggak bisa berpura-pura lagi.”Vano menatap surat itu, lalu mengalihkan pandangannya pada Delina. “Aku bahkan nggak tahu harus marah atau lega. Maya tahu… dan tetap mencintaiku. Itu membuat aku merasa lebih kecil dari apa pun. Seharusnya aku yang melindunginya, bukan dia yang menutup mata.”Delina menghela napas. “Maya memilih mencintaimu dengan caranya. Itu bukan salahmu, Van. Tapi sekarang, kamu harus tentukan: mau terus hidup dalam rasa bersalah, atau belajar lepas.”Vano menggenggam kepalanya dengan kedua tangan, suaranya parau. “Aku takut, Din. Kalau aku lepas, berarti aku benar-benar kehilangan dia. Aku takut ak

  • Turun Ranjang   Retak

    Pagi itu, Delina duduk di kursi ruang tamu dengan mata sayu. Telepon semalam masih terngiang jelas di telinganya. Dokumen dari Maya… sesuatu yang bisa mengubah semuanya. Kata-kata itu membuat tidurnya hancur, pikirannya tak henti-henti berputar.Saat ia menatap kosong ke arah jendela, Vano turun dari lantai atas. Rambutnya kusut, wajahnya masih lelah. “Kamu nggak tidur?” tanyanya.Delina menggeleng. “Ada yang harus aku cek hari ini. Penting.”Vano hendak bertanya lebih jauh, tapi menahan diri. Ia tahu belakangan Delina terlalu mudah tersulut, dan setiap pertanyaan hanya memperparah suasana.---Di kantor Bayu, suasana sudah tegang sejak Delina masuk. Bayu berdiri, wajahnya tampak serius. Di tangannya ada sebuah map cokelat lusuh.“Aku sengaja nggak ngomong lewat telepon,” kata Bayu sambil duduk. “Aku ingin kamu dengar langsung.”Delina menelan ludah. “Jadi benar… dokumen itu dari Maya?”Bayu mengangguk. Ia membuka map dan mengeluarkan beberapa lembar kertas dengan tulisan tangan. “Ini

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status