Share

Kabar duka

                                    Bab 3

Semua anggota keluarga menunjukkan raut wajah yang sama, cemas. Cemas akan keadaan kak maya didalam sana. Aku duduk di bangku tunggu panjang rumah sakit ditemani papa. Sedangkan mama dan kak vano sedang gelisah terlihat dari cara mereka mondar-mandir di depan ruangan kak maya di tangani. Ya, di depan ruang ICU kami semua menunggu dengan harap yang tinggi bahwa kak maya dan calon bayinya baik-baik saja. Aku menoleh ke arah papa, bagi sebagian orang sosok papa dalam keluarga adalah sosok yang terlampaui gengsi dalam mengungkapkan kasih sayang kepada anaknya tapi aku sangat yakin jauh dalam lubuk hatinya tersimpan cinta yang sangat besar untuk anak-anaknya. Itu terbukti saat aku mengamati sorot mata papa, ada gambaran kasih sayang yang luar biasa, kesedihan, kerinduan untuk memeluk anaknya yang sekarang sedang berjuang di dalam ruangan sana, dan kecemasan. Hingga tanpa sadar papa mengusap sudut matanya yang sudah berair.

Aku meraih tangan papa, sedikit menggenggam untuk menyalurkan kekuatan yang sebenarnya aku pun takut akan terjadi apa-apa pada kak maya. Papa menoleh mendapatiku tersenyum tipis kearahnya. Kami memang jarang terlihat bersama seperti kebanyakan anak dimanja sama papanya, ditemani kesana dan kesini, karena kami dari kecil sering di tinggal papa bekerja di luar kota.

“Tenang Pa, Kak Maya pasti berjuang untuk kita. Dokter pasti mengupayakan yang terbaik untuk kak maya.”

“Papa menyesal Del, dulu saat kalian masih kecil Papa sering meninggalkan kalian untuk bekerja di luar kota. Hingga sekarang Maya menikah kadang Papa enggan hanya sekedar mengunjunginya, itu semua karna ego Papa Del. Papa menyesal,” jelas papa panjang lebar sambil menangis. Baru kali ini aku melihat papa menangis karena anaknya.

“Pa, kami tidak pernah menyesal mempunyai papa yang sangat mencintai kami. Kami paham semua yang Papa lakukan untuk keluarga kecil kita.”

Tangan papa melepas genggaman tanganku dan terjulur membelai kepalaku. Demi Allah aku rindu saat-saat seperti ini, dulu aku terakhir kali saat kami SD. Aku berucap dalam hati, pa delina sangat sayang sama papa dan mama.

Tangis papa makin lama makin tergugu, aku berusaha menenangkan. Mama mengambil duduk tepat disebelahku sambil mengusap air matanya dengan tisu yang tadi dibawanya. Kak vano masih berdiri termenung di depan pintu kaca bertuliskan ICU dengan tinta merah.

Aku mendengar suara derap langkah beberapa orang dari lorong masuk ke ruang ini. Mataku menyipit demi melihat siapa yang datang, ketika mendekat barulah terlihat yang datang. Ada bunda dan ayahnya kak vano, kakaknya dan suaminya, dan dua orang yang membuatku terkejut. Tunggu, bukankah itu pak fikri dan bu firda? Kenapa meraka ikut dengan keluarga kak vano? Apa hubungannya?

Belum selesai keterkejutanku, pintu ruangan ICU dibuka oleh dokter yang tadi menangani kak maya. Dia terlihat buru-buru. Langkahnya dicegat oleh kak vano.

“Dok, bagaimana keadaan istri saya?” tanya kak vano.

“Sebentar ya Pak, untuk saat ini pasien sedang kritis. Saya harus mengambil beberapa alat untuk dibawa ke mari. Mohon tetap tunggu di luar," jelas dokter tadi.

Orang tua kak vano segera menghampirinya dan seperti memberikan kekuatan kepada anaknya. Aku ini kenapa harusnya aku memikirkan kak maya tapi kenapa malah aku sering memperhatikan kakak iparku diam-diam. Ya Allah, ini salah. Jangan sampai aku hanyut dalam fikiran-fikiran tentang masa lalu. Aku segera menarik nafas dan menghembuskannya secara perlahan. Di sebelah kananku pak fikri sudah duduk dengan santai, bisa-bisanya ini orang duduk di tengah-tengah aku dan papa. Sedangkan bu firda mengambil duduk tepat di samping mama. Berkali-kali aku melihat pak fikri dari sudut ekor mataku, dia sedang menatapku lama sekali. Aku tidak tahu apa yang ada dalam fikirannya ketika memandangku, yang jelas aku sedikit risih dipandang seperti itu. Inginku pelototi saja pak fikri ini andaikan tidak dalam situasi seperti ini.

****

Aku sedang berada di kantin rumah sakit yang tentunya dengan pak fikri. Aku sempat ngotot untuk tidak ikut dengannya kalau saja tidak disuruh papa. Kami menikmati makanan dalam diam, pak fikri yang mungkin sedang berusaha mencari-cari topik pembicaraan dan aku yang memang enggan untuk berbicara. Bagiku tidak ada yang ingin aku bicarakan untuk saat ini, fikiranku masih terfokus untuk kak maya.

“Emmm Bu Delina, yang sabar ya. Yang tabah, Mbak Maya pasti baik-baik saja," ujar pak fikri memecah keheningan.

“Iya, terima kasih Pak.”

Kami pun diam lagi, karena tidak tau harus bicara apa lagi. Seketika aku teringat kejadian waktu pak fikri dan bu firda datang. Demi rasa penasaran aku mencoba menanyakan hal ini pada pak fikri. Aku pinggirkan piring makananku ke sisi meja sebelah kiri, dan segera meraih jus jeruk yang aku pesan. Setelah minum, aku mengelap mulut dengan tisu dan mulai untuk bertanya pada sosok laki-laki di hadapanku ini.

“Pak Fikri, saya boleh menanyakan sesuatu?” 

Dia menatapku, dan berhenti memakan makananya.“Boleh Bu, dengan senang hati saya akan menjawabnya," senyumnya selalu terkembang ketika menanggapi semua pembicaraanku.

“Kalau boleh tahu, hubungan Pak Fikri dengan keluarga kakak ipar saya apa ya?”

“Ohehehe rupanya Bu Delina penasaran ya kenapa tadi Tante Indri dan Om Surya datangnya bareng sama saya dan mama,” ucap pak fikri.

“Iya,” jawabku singkat. Bukannya langsung menjawab to the point malah memperlambat jawab saja pak fikri ini. Lalu dia memindahkan piring makanannya berada diatas piringku tadi, dan mulai meminum minumannya dulu. Aku beri waktu dia untuk menyelesaikan ritual makannya baru dia bisa menjawab.

“Mama saya dan Tante Indri itu masih kerabat, ya walaupun sudah agak jauh Bu," jelasnya.

“Kerabat?” mataku menyipit mengulang pernyataan pak fikri. Aku mencoba mengingat waktu pernikahan kak maya dan kak vano lima tahun lalu. Aku rasa aku tidak menemukan pak fikri dan keluarganya datang saat resepsi pernikahan kak maya waktu itu.

“Dulu waktu Mbak Maya dan Vano menikah saya dan keluarga berada di luar kota Bu, ada sesuatu urusan. Jadi saya tidak bisa hadir dalam resepsinya,” dia menjelaskan padaku seolah memahami apa yang baru saja aku pikirkan.

“Oh begitu ya pak,” aku manggut-manggut mendengar penjelasannya.

“Lalu, tadi kok bisa barengan kesininya pak?” lanjutku menanyakan kedatangannya di rumah sakit ini.

“Tadi saya dan Mama memang lagi dirumah tante indri, terus beliau mendapatkan telpon dadi vano katanya mbak maya masuk rumah sakit setelah tadi pagi tujuh bulanan.”

Tante Indri dan Om Surya memang tadi pagi ke rumah untuk ikut acara tujuh bulanan, tapi waktu tamu pulang mereka juga ikut pulang ke rumahnya. Pikiranku kalut lagi membayangkan keadaan kak maya.

Semilir angin di kantin rumah sakit membelai ujung jilbabku, sedikit tenang ketika wajahku diterpa angin sore. Aku mengedarkan pandangan ke atas langit, menikmati warna senja. Hatiku bisa sedikit lega ketika memandang warna cerah diatas sana. Sungguh indah ciptaanmu Ya Allah dengan kuasamu. Seketika aku tersadar diri ini bukan apa-apa dibandingkan DIA Dzat Yang Maha Sempurna. Diri ini merasa kerdil karena diri ini hanya satu macam dari semua ciptaanNYA yang ada di alam semesta ini. Aku memejamkan mata sebentar untuk menikmati hawa sore hari di kantin rumah sakit dengan ditemani pak fikri yang dari tadi hanya duduk terpekur ditempatnya.

****

Aku berjalan beriringan dengan pak fikri melewati koridor demi koridor rumah sakit menuju ruang ICU. 

“Bu Delina, nanti kalau Ibu mau pulang biar saya antar saja ya?” pinta pak fikri. Aku menghentikan langkah dan menatap pak fikri. “Maaf Pak, saya tidak akan pulang sebelum kakak saya sadar. Kalau Pak Fikri mau pulang silahkan pulang duluan.” Setelah berucap aku gegas segera berjalan melanjutkan langkah, meninggalkan pak fikri yang masih terdiam.

Aku telah sampai di depan pintu ruang ICU, aku mendapati mama, papa, orang tua kak vano, dan bu firda semua duduk di kursi tunggu. Sedang kak vano tetap berada pada tempatnya sejak tadi sebelum aku ke kantin. Ya, persis di depan pintu ruangan. Aku mendekati kak vano mencoba mengajaknya berbicara, walau aku tahu kak vano selalu bersikap dingin pada adek iparnya.

“Kak, yang sabar. Kak Maya pasti bisa melewati masa kritisnya. Kakak duduk dulu aja disana bareng semuanya, biar gantian Delina yang disini," ucapku.

“Gak, kamu aja yang duduk. Aku disini saja,” jawabnya dingin. Sudah aku bilang kan dia selalu dingin dengan adek ipar. Padahal sebenarnya dia tahu kalau aku adalah adek tingkatnya waktu di kampus dulu.

Tak lama kemudian pintu ruangan terbuka, munculah seorang dokter cantik dengan jilbab warna biru tua dan ditangannya sedang sibuk melepas sarung tangan medis.

“Dok, bagaimana keadaan Istri saya? Dia baik-baik saja kan dok" kak vano langsung memburu dokter cantik tadi dengan pertanyaan.

“Tenang dulu Pak, sabar," jawab dokter cantik tadi yang aku tahu bernama Dokter Anisa dari name tag yang tersemat di dada sebelah kanannya.

“Begini pak, bu. Bu maya menderita kanker getah bening stadium empat," ucapnya. Keterangan dokter anisa bagai petir menyambar di seluruh anggota keluargaku. Ya Allah kak maya, hatiku serasa menjerit.

“Yang saya sesalkan kenapa Bu Maya tidak dibawa periksa sejak dulu, sebelum semuanya fatal seperti ini?” dokter anisa menarik nafas sebentar sebelum akhirnya melanjutkan penjelasan.

“Bu maya kalau tidak segera ditangani akan membahayakan nyawanya. Tapi, pihak keluarga harus tabah karena kami hanya bisa menyelamatkan satu nyawa. Ibunya atau bayinya. Maka dari itu saya memberi waktu ibu dan bapak itu memikirkan segala kebaikan untuk pasien dan calon bayinya. Nanti penanggung jawab silahkan datang ke ruangan saya untuk menandatangani berkas operasi. Kalau kami bisa akan kami selamatkan dua-duanya, tapi ini kemungkinan kecil bisa terjadi. Berdoa saja semoga ada mukjizat dari Allah,” jelasnya. Ucapan dokter yang panjang itu seakan berputar pada kepalaku. Dokter anisa melangkah menuju ruangannya sendiri seraya menepuk pelan pundakku sebagai kepeduliannya.

Kak maya....

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status