“Seperti kata pepatah, terbitlah terang setelah gelap dan datanglah pelangi setelah badai. Mungkin prinsip hidup seseorang sangatlah mirip dengan hal itu, walau terkadang aku sendiri ragu untuk mengakuinya.”
“Mengapa demikian?”
“Entahlah? Mungkin karena diriku yang selalu mencoba untuk menggenggam semuanya seorang diri hingga tersesat dalam kegelapan abadi.”
“Entahlah? Lagi-lagi selalu saja jawaban yang menyebalkan!”
“Hehehe ... bukankah seseorang yang memiliki rahasia malah semakin membuatnya terlihat menarik?” Gemeresik ilalang dibelai lembut angin malam membuat kalian terpaku menatap rembulan dan bintang-bintang seraya bercerita tentang sebuah kisah atau hanya sekadar bertukar rahasia. Kamu menanggapinya dengan santai dan dingin, sedangkan ia terlihat serius menatapmu seolah mencoba memahami seluruh sifat sahabat sekaligus pasangan.
“Sebaiknya kamu segera tidur, Rin. Angin malam gak baik buat kesehatanmu,” ujarmu seraya membelai lembut rambut hitam nan panjang itu.
Ia terdiam sejenak hingga akhirnya kembali membuka kata, “Semakin lama kau semakin aneh saja. Heran aku kok bisa suka ma orang aneh kek lu?”
“Hahahaha ... aku pun juga bingung kenapa bisa disukai banyak wanita. Mungkin karena aku tampan, kali?” godamu seraya tertawa riang dan memeluk tubuhnya.
Malam berlalu dengan penuh kegembiraan, hari-hari terlampaui dengan penuh harapan hingga pada akhirnya takdir berkata demikian. Pada tanggal 20 April 2020, sebuah kejadian yang teramat sangat memilukan menimpa dirimu. Wanita yang seharusnya akan segera menjadi permaisuri yang duduk di atas singgasana bernama pelaminan, harus menghilang tepat di depan mata karena kesalahan seorang pria.
Kabut gelap menutup cahaya di hatimu, melahap segalanya termasuk kata bahagia. Duniamu tak lagi indah seperti saat bersamanya. Meringkuk dalam keterpurukan, menatap benda tajam dengan hasrat mencekam, tertawa ketika melukai diri sendiri. Aneh, tetapi hanya itu yang selalu kamu lakukan ketika mendapatkan kembali serpihan rindu yang tersimpan dalam memorial manis ketika bersamanya.
Afeksi seolah menghilang atau hanya sekadar ditekan, tetapi yang jelas kamu memendam segala emosi yang ada dan selalu mencoba membuang segalanya. Mereka yang datang tidak lagi disambut dengan tangan terbuka. Senyuman manis dan bahagia yang biasa terpapar jelas di wajah seolah menghilang begitu saja. Terisak dalam sebuah sujud dan doa, membawa malapetaka hanya karena sebuah doa dan asa, meminta abadi selalu bersamanya walaupun tahu bahwa semua tidaklah nyata.
Selalu mencoba menekankan diri bahwa semua takdir itu terbaik dari ilahi. Namun, hati kecil selalu saja merintih seolah enggan menerima fakta yang begitu menyakitkan.
09 September 2021
Satu tahun telah berlalu, hati dan manik hitammu tetap saja enggan terbuka untuk kedua kali. Entah bagaimana bisa kamu berjalan dengan pupil terpejam dan hanya sesekali menatap rembulan dengan nanar. Terbelai lembut rambut hitam nan panjang milikmu, menggenggam sebilah pisau tajam disalah satu tangan. “Slah” Tergoreskan luka di tangan putih nan indah, membuat darah mengalir dengan derasnya.
Mata hitam pekat samar menunjukkan hasrat untuk melesap tanpa pernah diingat hadirnya. Namun, sesaat sebelum matamu terpejam, samar terlihat seseorang menghampiri. Ketika terbangun, kamu melihat ruangan yang tak asing. Ruangan yang dipenuhi alat-alat medis, dan tubuh terbalut perban serta tertancap selang infus di beberapa bagian.
Matamu menatap nanar seorang pria yang tengah tertidur lelap di sebelahmu dan hanya bersandar pada sebuah kursi saja. Tanganmu meraih pundaknya, seolah hendak membangunkannya dari tidur lelap. Namun, entah mengapa tanganmu terhenti dan malah melepaskan seluruh selang infus yang terpasang di tubuh.
Perlahan kamu terbangun dari ranjang duka. Kakimu yang tertatih seolah ingin gegas mengejar jendela. Patah arang yang dirasakan membungkus kalbu dengan duka cita. “Maaf, aku pergi,” lirihmu. Jejakmu mulai menapak tepian beranda rumah sakit, dan melompat. Dalam sekejap raga terpisah dari jiwa hampanya.
21 September 2021
Kembali terbangun di ruangan yang sama, dengan tubuh kurus serta salah satu mata terbalut perban dan tertancap selang infus. Mata berkeliling ke segala arah, dan kembali tertuju pada jendela. Namun, kali ini kamu hanya menatapnya saja tanpa bergerak walau hanya selangkah.
Mata hitam pekat samar menunjukkan karsa yang terbalut nestapa. Lirih terdengar ketukan sesaat sebelum pintu terbuka, membuat matamu tertuju pada mereka yang datang. Seorang pria menggunakan sneli dan seorang lagi menggunakan jubah hitam tampak terkejut dan mematung di depan pintu ketika melihatmu sadarkan diri.
“Berapa lama aku tertidur?” tanyamu tanpa sedikit pun rasa bingung terdengar dari nada bicara.
Dia hanya terdiam menatapmu, seolah tidak tahu lagi harus berkata apa. “Berapa banyak yang harus kubayar?” tanyamu lagi.
“Itu ... semua telah dibayar ole—“
‘Plak!’ Cap lima jari tercipta di wajahmu, di saat yang bersamaan tatapan penuh kesedihan pun terlihat di wajahnya. Kamu terdiam menahan rasa sakit seraya menatapnya dengan penuh senyuman dingin nan sinis. Air mata perlahan jatuh membasahi setiap inci dari wajahnya, membuatmu terpana.
Tangannya langsung merangkulmu, mendekap dengan penuh asa dan risau. Namun, kamu hanya tersenyum seraya berkata, “Sampai kapan kau akan terus ikut campur dalam urusanku? Apakah sebegitu menyenangkannya mengacaukan rencana yang telah kubuat dengan bersusah payah.”
Kata-katamu begitu singkat, tetapi tersirat makna mendalam yang dipenuhi kebencian dan kekesalan karena selalu gagal untuk bunuh diri. “Selalu dan selalu saja kau menggagalkan dan menghentikanku untuk menghilang dari neraka dunia. Kenapa? Sebenci apa kau padaku, Leon?” Darah mendesir merangkak naik mengaliri wajahmu, sedangkan kedua tangan terkepal erat serta sorot mata tajam dan suara sedikit berat.
“Hmm ... entahlah? Terkadang aku sendiri bingung kenapa selalu ikut campur dalam urusanmu. Terlebih lagi kau selalu saja mencoba untuk bunuh diri sampai membuatku muak sendiri. Sebenarnya apa yang kau dapatkan dari mati? Bunuh diri hanya akan membuatmu semakin menderita. Sudah menderita di dunia, kau pun tersiksa di neraka. Apa kau tahu itu?” tanyanya seraya mencengkeram bajumu.
“Neraka ya? Hahaha ... entahlah? Mungkin jauh lebih baik daripada hidup di dunia tanpa warna. Aku sendiri sudah tidak peduli lagi, jika memang harus menderita ... kenapa tidak sekalian saja di sana?” Sekali lagi kata-katamu begitu menyakitkan untuk di dengar, entah olehnya ataupun sang dokter. Hal itu terlihat jelas dari raut wajah mereka, dan bagaimana respons mereka terhadapmu.
“Kenapa kau sangat ingin mati?” Dokter itu perlahan mendekat, menyentuh pundak dan menatapmu sayu.
“Siapa kau? Urus saja urusanmu sendiri. Aku akan melunasi semuanya, akan segera kutransfer ke rekeningmu seperti biasa. Tidak, kali ini akan kulipatgandakan. Jadi berhentilah ikut campur dalam masalahku. Kau mengerti?” tegasmu seraya melepaskan seluruh selang infus yang terpasang di tubuh dan beberapa alat medis lainnya, “dan untukmu Dokter ... sebaiknya lakukan saja urusanmu, dan rawat pasien yang ada. Aku tidak ingin menghiasi tangan dan ruangan ini dengan darah seorang pahlawan dalam bayangan. Kau mengertikan maksudku?”
“Hei, Leon. Mengapa kau sepertinya sangat peduli padaku? Aku tidak pernah memintanya? Apa yang seb—““Semua ini bukan keinginanku, melainkan karena sebuah janji.” Taman indah nan luas berhias bunga-bunga penuh warna dan sedikit pepohonan menjadi suguhan bagi mata yang haus akan keindahan. Kalian saling bertukar cerita, akan tetapi nuansanya sedikit berbeda. Tidak ada kelihatan tawa ataupun senyum, melainkan hanya kerutan pada dahi dan wajah kalian. “Janji?” Kamu bertanya perihal janji yang sepertinya tidak diketahui. Wajah sayu nan pucat, mendekat membawa sebuah kesan tersendiri. “Iya, aku pernah berjanji kepada Rin untuk menjagamu. Lebih tepatnya ... Rin memaksaku untuk menjaga dan menghentikanmu untuk bunuh diri,” jelasnya lirih.“Rin, ya? Haa ... sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu. Sungguh nostalgia rasanya.” Blnar di matamu kembali terpancarkan sejenak, hingga pada akhirnya kembali menghilang dalam kegelap
Bersandar di jendela, menatap langit biru di luar sana seraya tersenyum seolah tengah membayangkan sesuatu yang sangat indah. Kamu membiarkan angin sepoi mengurai rambutmu, membuatmu berkedip beberapa kali ketika terdapat hewan kecil memasuki mata. Bersenandung, hanya hal kecil itu yang kamu lakukan di dalam ruangan dan selalu seperti itu setiap harinya.Kembali terdengar ketukan dan suara seorang pria dari luar ruangan, tetapi ketidakpedulian menjadi jawaban singkat nan jelas. “Yo, apa kabar?” Dia langsung bertanya ketika baru saja memasuki ruangan, sedangkan kamu hanya terus menatap langit di luar sana.“Oh, ayolah. Kenapa kau sebegitunya benci padaku? Padahal aku hanya bertanya,” ujarnya lirih.Matamu melirik tajam ke arahnya, rambut merah dengan gaya aneh–memiliki rambut panjang di antara telinga tetapi pendek di bagian belakang dan gaya yang acak-acakan–membuat darah seketika mend
Kedua netramu tertuju padanya, membuka kata seraya mengangkat secangkir kopi di atas meja, “Jika berkenan, bolehkah saya tahu siapa yang sedang Nona tunggu?”“Aku sedang tidak menunggu siapa pun,” jawabnya lirih membuatmu tergelak karenanya, “kenapa kau tertawa? Apakah ada yang lucu dari kata-kataku?”“Tidak, aku hanya terkejut saja. Bagaimana mungkin wanita secantik Nona tidak memiliki pasangan.” Kata-katamu membuatnya terdiam, di saat yang bersamaan wajahnya kian memerah seraya menatapmu tajam dengan salah satu tangan terkepal. Wajahnya langsung mendekatimu, sedangkan tangan kiri langsung mencubit tanganmu.“Au, sakit! Kenapa Nona mencubitku?” tanyamu merengek seraya mengelus-elus tangan.“Hmm ... entah? Tanganku bergerak sendiri.” Wajah polos nan lugu membuatmu terdiam dan terpaku. Senyum lirih terukir di wajahnya, dan dengan
Pertemuan yang sangat tidak menyenangkan, akan tetapi biasanya berakhir dengan penuh warna. Sebuah pertemuan awal yang memiliki kesan beragam. Di tengah terangnya jalanan berhias gemerlap bintang dan rembulan, kamu berjalan seorang diri dengan wajah sayu.Sesekali kamu tertawa, berlari bahkan sempoyongan seperti orang mabuk. Entah ketika dikeramaian ataupun kesepian, kamu tetap bertingkah demikian seolah tidak memiliki kepribadian. Sesekali terdengar suara senandung yang diakhiri tawa.Berhenti sejenak, membeli beberapa minuman keras. Duduk seorang diri di tengah taman berteman lampu jalanan seraya meneguk sebotol minuman keras dengan penuh kenikmatan. Kursi panjang menjadi sandaran untukmu berbaring. Tangan kanan memegang sebotol minuman, sedangkan kiri memegang sebatang rokok untuk dihisap. Matamu perlahan kian layu, menutup dengan rapat hingga akhirnya tertidur dengan lelapnya.Ayam kembali berkokok, rembulan kian mer
Sebuah pelukan hangat, seolah membalut luka dan hati yang tengah tersiksa. Menenangkan jiwa yang tengah menderita, membuatmu terdiam dengan netra berkaca dan sedikit membesar. Pandanganmu sedikit memudar, tanpa sadar air mata jatuh membasahi ufuk pipi. Kamu usap air mata dalam dekapannya, menatap sekitar dengan penuh tanda tanya.“Kumohon ... kumohon jangan pernah melakukan hal itu lagi.”“Apa yang kau ka—““Berjanjilah padaku, bahwa kamu tidak akan pernah mencoba untuk bunuh diri lagi, kumohon. Berhentilah berpikir bahwa kamu selalu seorang diri, ada begitu banyak orang di sisimu. Karena itu ... hentikanlah tindakan bodohmu itu. Jika kamu tidak memiliki tujuan hidup, tidak apa. Jadilah orang baik dan jalani hidup sesukamu, lakukan apa pun yang kau suka selama tidak membahayakanmu,” selanya seraya terisak dan memelukmu erat.Hening menjadi jawaban, senyum lir
Dipeluk erat seorang wanita, mendengar sebuah kata ungkapan cinta membuatmu tersenyum tanpa bicara. Kamu lepaskan pelukannya, pergi menjauh tanpa suara. “Terima kasih.” Lirih suaramu tidak dapat didengar siapa pun, memberikan kesan kebencian terhadap semua orang.Sikap dingin tanpa pandang bulu dan kearoganan yang membuatmu dibenci banyak orang, walau demikian sama sekali tidak kamu pedulikan. Kamu tersenyum sejenak, menoleh ke belakang dan menatapnya yang tengah termenung seraya mengusap air mata. “Haa ... merepotkan. Sampai kapan aku harus terus berpura-pura? Sialan! Sampai kapan aku harus memainkan peran ini? Haa ... ternyata benar kematian adalah hadiah terindah bagi mereka yang berputus asa,” ujarmu lirih di bawah sinar mentari.Setelah cukup lama berada di rumah sakit, hal pertama yang kamu lakukan adalah membaca. Mungkin semua orang akan sangat sayang dan rindu dengan rumah, tetapi bagimu semua itu hannyalah ba
Tatapan mata setajam pisau, terdiam menatapmu dalam diam dan tangan terkepal. “Berisik!” Tendangan kembali terlayangkan, sebuah pukulan kembali di daratkan walaupun jelas sudah wajahnya berlumuran darah segar. Kamu terus saja tertawa padahal sudah hampir sekarat dibuatnya seraya berkata, “Kenapa berhenti? Teruskan, buat aku lebih bahagia dan kemudian bunuhlah aku selayaknya kamu membunuh seekor nyamuk. Pada laci di kamar nomer dua terdapat sebuah pistol. Kau bisa menggunakannya untuk mengirimku ke neraka.”Dia kembali menendangmu, membuat tubuh menghantam dinding. “Berisik! Diam kau, bajingan!” Suaranya menggema ke seluruh ruangan, amarah mencuat membuatnya kembali menghajarmu dalam waktu yang lama. Ketika melihatmu terbaring lemah tidak berdaya, dia mendekat perlahan seraya mengulurkan tangan.Netra tajam yang dipenuhi kesedihan, menatapmu dengan penuh belas kasihan. “Bagaimana? Jika kamu memang ben
“Terima kasih, berkatmu semua terasa lebih indah, dan bersamamu Lucy merasa sangat bahagia.” Di bawah langit hitam dipenuhi gemerlap bintang, sebuah kecupan hangat mendarat tepat di keningmu. Di depan rumah yang terlihat begitu megah, dia meninggalkanmu seorang diri dengan wajah tersipu. Kamu terdiam, kemudian tersenyum menatapnya berlari kecil memasuki rumah itu.Perlahan kamu mulai menjauh, berbalik arah ketika melihatnya memasuki rumah bertingkat nan indah itu. “Haa ... sialan, ternyata dia orang kaya? Menyerah sajalah, toh dia juga pasti sudah memiliki pasangan. Mungkin kami hanya ditakdirkan bertemu, bukan bersatu. Ingat, semakin tinggi kau berharap, semakin besar pula luka yang kau terima.” Entah mengingatkan diri sendiri atau hanya sekadar bergumam tanpa arti, kata-katamu begitu menyiksa dan sekaligus bermakna untuk dipahami. Jarak semakin menjauh, sebuah suara memekakkan telinga membuatmu menoleh ke sumber suara. Dia melambaikan t