Share

Two Side
Two Side
Penulis: AZAZEIL

Kegelapan

“Seperti kata pepatah, terbitlah terang setelah gelap dan datanglah pelangi setelah badai. Mungkin prinsip hidup seseorang sangatlah mirip dengan hal itu, walau terkadang aku sendiri ragu untuk mengakuinya.”

“Mengapa demikian?”

“Entahlah? Mungkin karena diriku yang selalu mencoba untuk menggenggam semuanya seorang diri hingga tersesat dalam kegelapan abadi.”

“Entahlah? Lagi-lagi selalu saja jawaban yang menyebalkan!”

“Hehehe ... bukankah seseorang yang memiliki rahasia malah semakin membuatnya terlihat menarik?” Gemeresik ilalang dibelai lembut angin malam membuat kalian terpaku menatap rembulan dan bintang-bintang seraya bercerita tentang sebuah kisah atau hanya sekadar bertukar rahasia. Kamu menanggapinya dengan santai dan dingin, sedangkan ia terlihat serius menatapmu seolah mencoba memahami seluruh sifat sahabat sekaligus pasangan.

“Sebaiknya kamu segera tidur, Rin. Angin malam gak baik buat kesehatanmu,” ujarmu seraya membelai lembut rambut hitam nan panjang itu.

Ia terdiam sejenak hingga akhirnya kembali membuka kata, “Semakin lama kau semakin aneh saja. Heran aku kok bisa suka ma orang aneh kek lu?”

“Hahahaha ... aku pun juga bingung kenapa bisa disukai banyak wanita. Mungkin karena aku tampan, kali?” godamu seraya tertawa riang dan memeluk tubuhnya.

Malam berlalu dengan penuh kegembiraan, hari-hari terlampaui dengan penuh harapan hingga pada akhirnya takdir berkata demikian. Pada tanggal 20 April 2020, sebuah kejadian yang teramat sangat memilukan menimpa dirimu. Wanita yang seharusnya akan segera menjadi permaisuri yang duduk di atas singgasana bernama pelaminan, harus menghilang tepat di depan mata karena kesalahan seorang pria.

Kabut gelap menutup cahaya di hatimu, melahap segalanya termasuk kata bahagia. Duniamu tak lagi indah seperti saat bersamanya. Meringkuk dalam keterpurukan, menatap benda tajam dengan hasrat mencekam, tertawa ketika melukai diri sendiri. Aneh, tetapi hanya itu yang selalu kamu lakukan ketika mendapatkan kembali serpihan rindu yang tersimpan dalam memorial manis ketika bersamanya.

Afeksi seolah menghilang atau hanya sekadar ditekan, tetapi yang jelas kamu memendam segala emosi yang ada dan selalu mencoba membuang segalanya. Mereka yang datang tidak lagi disambut dengan tangan terbuka. Senyuman manis dan bahagia yang biasa terpapar jelas di wajah seolah menghilang begitu saja. Terisak dalam sebuah sujud dan doa, membawa malapetaka hanya karena sebuah doa dan asa, meminta abadi selalu bersamanya walaupun tahu bahwa semua tidaklah nyata.

Selalu mencoba menekankan diri bahwa semua takdir itu terbaik dari ilahi. Namun, hati kecil selalu saja merintih seolah enggan menerima fakta yang begitu menyakitkan.

09 September 2021

Satu tahun telah berlalu, hati dan manik hitammu tetap saja enggan terbuka untuk kedua kali. Entah bagaimana bisa kamu berjalan dengan pupil terpejam dan hanya sesekali menatap rembulan dengan nanar. Terbelai lembut rambut hitam nan panjang milikmu, menggenggam sebilah pisau tajam disalah satu tangan. “Slah” Tergoreskan luka di tangan putih nan indah, membuat darah mengalir dengan derasnya.

Mata hitam pekat samar menunjukkan hasrat untuk melesap tanpa pernah diingat hadirnya. Namun, sesaat sebelum matamu terpejam, samar terlihat seseorang menghampiri. Ketika terbangun, kamu melihat ruangan yang tak asing. Ruangan yang dipenuhi alat-alat medis, dan tubuh terbalut perban serta tertancap selang infus di beberapa bagian.

Matamu menatap nanar seorang pria yang tengah tertidur lelap di sebelahmu dan hanya bersandar pada sebuah kursi saja. Tanganmu meraih pundaknya, seolah hendak membangunkannya dari tidur lelap. Namun, entah mengapa tanganmu terhenti dan malah melepaskan seluruh selang infus yang terpasang di tubuh.

Perlahan kamu terbangun dari ranjang duka. Kakimu yang tertatih seolah ingin gegas mengejar jendela. Patah arang yang dirasakan membungkus kalbu dengan duka cita. “Maaf, aku pergi,” lirihmu. Jejakmu mulai menapak tepian beranda rumah sakit, dan melompat. Dalam sekejap raga terpisah dari jiwa hampanya.

21 September 2021

Kembali terbangun di ruangan yang sama, dengan tubuh kurus serta salah satu mata terbalut perban dan tertancap selang infus. Mata berkeliling ke segala arah, dan kembali tertuju pada jendela. Namun, kali ini kamu hanya menatapnya saja tanpa bergerak walau hanya selangkah.

Mata hitam pekat samar menunjukkan karsa yang terbalut nestapa. Lirih terdengar ketukan sesaat sebelum pintu terbuka, membuat matamu tertuju pada mereka yang datang. Seorang pria menggunakan sneli dan seorang lagi menggunakan jubah hitam tampak terkejut dan mematung di depan pintu ketika melihatmu sadarkan diri.

“Berapa lama aku tertidur?” tanyamu tanpa sedikit pun rasa bingung terdengar dari nada bicara.

Dia hanya terdiam menatapmu, seolah tidak tahu lagi harus berkata apa. “Berapa banyak yang harus kubayar?” tanyamu lagi.

“Itu ... semua telah dibayar ole—“

‘Plak!’ Cap lima jari tercipta di wajahmu, di saat yang bersamaan tatapan penuh kesedihan pun terlihat di wajahnya. Kamu terdiam menahan rasa sakit seraya menatapnya dengan penuh senyuman dingin nan sinis. Air mata perlahan jatuh membasahi setiap inci dari wajahnya, membuatmu terpana.

Tangannya langsung merangkulmu, mendekap dengan penuh asa dan risau. Namun, kamu hanya tersenyum seraya berkata, “Sampai kapan kau akan terus ikut campur dalam urusanku? Apakah sebegitu menyenangkannya mengacaukan rencana yang telah kubuat dengan bersusah payah.”

Kata-katamu begitu singkat, tetapi tersirat makna mendalam yang dipenuhi kebencian dan kekesalan karena selalu gagal untuk bunuh diri. “Selalu dan selalu saja kau menggagalkan dan menghentikanku untuk menghilang dari neraka dunia. Kenapa? Sebenci apa kau padaku, Leon?” Darah mendesir merangkak naik mengaliri wajahmu, sedangkan kedua tangan terkepal erat serta sorot mata tajam dan suara sedikit berat.

“Hmm ... entahlah? Terkadang aku sendiri bingung kenapa selalu ikut campur dalam urusanmu. Terlebih lagi kau selalu saja mencoba untuk bunuh diri sampai membuatku muak sendiri. Sebenarnya apa yang kau dapatkan dari mati? Bunuh diri hanya akan membuatmu semakin menderita. Sudah menderita di dunia, kau pun tersiksa di neraka. Apa kau tahu itu?” tanyanya seraya mencengkeram bajumu.

“Neraka ya? Hahaha ... entahlah? Mungkin jauh lebih baik daripada hidup di dunia tanpa warna. Aku sendiri sudah tidak peduli lagi, jika memang harus menderita ... kenapa tidak sekalian saja di sana?” Sekali lagi kata-katamu begitu menyakitkan untuk di dengar, entah olehnya ataupun sang dokter. Hal itu terlihat jelas dari raut wajah mereka, dan bagaimana respons mereka terhadapmu.

“Kenapa kau sangat ingin mati?” Dokter itu perlahan mendekat, menyentuh pundak dan menatapmu sayu.

“Siapa kau? Urus saja urusanmu sendiri. Aku akan melunasi semuanya, akan segera kutransfer ke rekeningmu seperti biasa. Tidak, kali ini akan kulipatgandakan. Jadi berhentilah ikut campur dalam masalahku. Kau mengerti?” tegasmu seraya melepaskan seluruh selang infus yang terpasang di tubuh dan beberapa alat medis lainnya, “dan untukmu Dokter ... sebaiknya lakukan saja urusanmu, dan rawat pasien yang ada. Aku tidak ingin menghiasi tangan dan ruangan ini dengan darah seorang pahlawan dalam bayangan. Kau mengertikan maksudku?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status