“Hei, Leon. Mengapa kau sepertinya sangat peduli padaku? Aku tidak pernah memintanya? Apa yang seb—“
“Semua ini bukan keinginanku, melainkan karena sebuah janji.” Taman indah nan luas berhias bunga-bunga penuh warna dan sedikit pepohonan menjadi suguhan bagi mata yang haus akan keindahan. Kalian saling bertukar cerita, akan tetapi nuansanya sedikit berbeda. Tidak ada kelihatan tawa ataupun senyum, melainkan hanya kerutan pada dahi dan wajah kalian.
“Janji?” Kamu bertanya perihal janji yang sepertinya tidak diketahui. Wajah sayu nan pucat, mendekat membawa sebuah kesan tersendiri.
“Iya, aku pernah berjanji kepada Rin untuk menjagamu. Lebih tepatnya ... Rin memaksaku untuk menjaga dan menghentikanmu untuk bunuh diri,” jelasnya lirih.
“Rin, ya? Haa ... sudah lama sekali aku tidak mendengar nama itu. Sungguh nostalgia rasanya.” Blnar di matamu kembali terpancarkan sejenak, hingga pada akhirnya kembali menghilang dalam kegelapan. Sedikit senyum terukir, tetapi kembali bertukar dengan air mata.
“Sekarang kutanya satu hal padamu. Apa kau pikir Rin akan bahagia dan te—“
“Hahaha ... bahagia? Tenang? Apa kau pikir orang mati ... tidak, orang mati sama sekali tidak bisa merasakan rasa sakit di dunia apalagi menangisi hal yang tidak penting!” selamu dengan kedua bola mata terpaku padanya.
Seketika itu juga tiada lagi kata yang mampu terucap. Perlahan dia menjauh darimu, hingga pada akhirnya menghilang dalam kegelapan malam. Tanganmu terangkat beberapa kali, kelima jari saling melekat dan terlipat seraya terbuka silih berganti. “Selamat tinggal, kawan ....” Lirih kata-katamu begitu dipenuhi akan makna. Namun, hanya ada sedikit orang yang mampu memahaminya.
Terduduk seorang diri, berdiam menatap sang rembulan. Adiwarna kirana sang rembulan, membuat mata terpukau hingga enggan terpejam. Terlebih lagi suasa sunyi nan tenteram, menjadi penenang tersendiri bagi hati yang dipenuhi luka. Awan kelabu kembali datang, menutupi indahnya cahaya sang rembulan dan bintang. Deru angin bertiup kencang, menerbang dedaunan dari pijakan dan tempat bersandar.
Terbang melanglang buana ke berbagai tempat antah-berantah hingga akhirnya melesap menjadi makanan untuk alam. Tetes demi tetes bulir air kian berjatuhan dari atas cakrawala guna membasuh makhluk yang tinggal di daratan agar tak kekurangan. Alam bernyanyi, hewan bergembira dan tumbuhan menari menikmati setiap berkah yang Tuhan berikan tanpa pandang bulu.
Kamu pun demikian, membiarkan tubuh dibasuh suci nan lembut serta sejuknya air hujan. Matamu sedikit terpejam dan berdecak diiringi dengan wajah kian memucat ketika bulir air itu merayap hingga ke setiap sela tubuh. Jari-jemari mencengkeram erat dada, dan perlahan beranjak pergi tuk kembali ke dalam rumah sakit.
Di dalam lorong panjang nan gelap, lantai ketiga. Seorang wanita paruh baya datang menghampiri, menyapa dengan tawa dan riang gembira dari jarak yang sedikit jauh. Kamu hanya berdiri menatapnya dalam heningnya malam, pria dan wanita berpakaian putih dan biru begitu ramai lalu-lalang dan beberapa dari mereka membawa sebuah nota dan pena di kedua sisi tangan.
Ketika berada di hadapanmu, ia langsung menyentuh pundakmu seraya bertanya tentang alasanmu bersedih. Sontak hal itu membuat jantung berdetak lebih cepat, “Apa maksudmu, Nona?”
“Jangan panggil nona, aku malu dibuatnya. Mengingat usiaku yang beranjak 40 tahun,” jawabnya seraya tertawa kecil, “dari wajah dan matamu, sepertinya kamu tengah bersedih dan putus asa. Selain itu, beberapa hari yang lalu aku mendengar kabar tentang seorang pasien yang melompat dari lantai tiga.”
“Hmm ....” Seperti biasa, hanya keheningan saja yang menjawab setiap pertanyaan yang datang. Sikapmu tetap sopan, dan menampilkan senyuman. Namun, dia malah tersenyum lebar dan bukannya pergi menghilang.
“Sebenarnya apa yang membuatmu sampai sebegitunya ingin mati? Kemarin saya juga sempat mendengar cerita dari Dokter Erwin bahwa kamu benar-benar melakukannya dan sudah sering mencoba untuk bunuh diri,” ujarnya lirih seolah memahami rasa sakitmu, “maaf, pertanyaan saya mungkin tidak sopan. Namun, apa yang akan kamu dapatkan dengan menyiksa diri sendiri? Yang hilang tidak akan pernah kembali, dan masa lalu tidak akan terulang kembali. Jika pun ia, semua tidak akan pernah sama seperti sebelumnya.”
“Jika kisah hanya ditutup dengan kematian. Mengapa harus ada sebuah kelahiran dan kesedihan? Bukankah bahagia akan jauh lebih bermakna? Dunia ini seharusnya penuh warna, bukan? Lantas mengapa yang kulihat hanya gelapnya saja. Bukankah seharusnya sebuah cerita diiringi dengan gelak tawa. Tetapi ... kenapa selalu saja air mata yang jatuh tanpa pertanda. Serumit inikah dunia, yang katanya tempat bahagia sekaligus berbuat dosa? Haa ... entahlah? Yang kulihat hanya dosa dan tahu bagaimana berbuat dosa. Bahkan ketika tergores belati, tak ada rasa sakit lagi di hati. Hahaha ... aku tahu, bahkan hatiku sudah menjelma menjadi iblis,” jawabmu lirih seraya tersenyum sinis dan pergi menjauh darinya.
“Tunggu sebentar, Anak Muda. Orang tua ini punya sedikit nasihat untukmu. Jika kamu hanya terpaku akan masa lalu, maka tidak akan ada masa depan yang indah menantimu. Kehidupan ini selayaknya kita menulis dan membaca, kita bisa melakukan apa pun yang kita suka dan mengenang semuanya. Akan tetapi, jika hanya membaca pada satu halaman, tentu akan terasa sangat membosankan. Dan ketika menulis hanya pada satu lembar kertas, pastinya tidak akan cukup untuk menuangkan seluruh ide yang ada di dalam otak,” ujarnya lirih.
“Kau benar ... terima kasih, Nenek. Namun sayang, sedari awal aku sudah kehilangan arah dan tujuan, bahkan aku telah menghancurkan semua yang kumiliki.” Perpisahan yang diakhiri dengan perkara yang dipenuhi makna, walaupun pada akhirnya tidak ada satu pun yang berubah dari kalian berdua. Kamu tetap terpaku akan masa lalu, dan terus menutup mata akan masa depan dan saat ini. Sebuah kesalahan yang selalu dilakukan dan diulangi oleh manusia, walaupun tahu lukalah akhirnya.
Hujan silih berganti badai, guntur menggelegar entah ke mana, sedangkan kilat terus menyambar ke segala arah dan membelah langit gelap. Terhenti di depan ruangan di mana kamu dirawat. Kedua netra terpaku pada pintu dan sesekali menatap jendela luar di sebelah, “Malam yang riang, penuh warna dan cerita.”
Baru saja mentari datang menyapa, dan kedua mata kembali terbuka. Kamu sudah mendengar sebuah kabar duka tentang seorang wanita paruh baya yang ciri-cirinya sama seperti dia yang ditemui sebelumnya. Tangan kembali mencengkeram erat dada, mulut terbuka lebar tanpa suara dan mata memerah tanpa air mata, sedangkan tubuh terlihat gemetar seolah menggigil hebat. Seorang pria berpakaian serba putih dan membawa beberapa alat medis di tangannya datang menghampiri, memeriksa setiap jengkal dari tubuhmu. “Wanita itu ... wanita yang baru saja meninggal, siapa namanya?” tanyamu menatapnya sayu.
“Wanita?”
“Wanita yang baru saja kalian bicarakan di luar tadi. Aku mendengarnya secara tidak sengaja,” jelasmu santai.
“Sebentar ... kalau tidak salah namanya itu Yulianti Anaya. Kenapa kau bertanya?” tanyanya seraya memeriksa tubuhmu, “hahaha ... maaf, tidak seharusnya aku bert—“
“Karena baru semalam aku bertemu dengannya,” jelasmu lirih.
“Bertemu? Apa maksudmu? Bagaimana bisa? Wanita itu meninggal malam tadi tepat jam 21.32, bagaimana bisa kau bertemu dengannya?” tanyanya tampak tak percaya.
“Jangan bercanda, itu sama sekali tidak lucu. Jelas-jelas aku bertemu dengannya malam tadi.”
“Sebentar, apakah orang ini yang kau temui semalam?” tanyanya seraya menunjukkan sebuah foto.
“Iyup, wanita inilah yang kutemui malam tadi,” jawabmu.
“Sulit dipercaya.” Percakapan kalian mengarah pada hal yang sangat jauh berbeda, bukan lagi tentang kesehatan, melainkan perihal kematian.
Manik hitam dipenuhi kebencian kembali merekah, membuatmu terlihat semakin penuh akan gairah untuk meminum darah. Mata semerah darah, menatap mereka dengan tajam. Tubuhnya gemetar seolah tengah melihat setan, wajahnya memucat dan keringat dingin mulai membasahi tubuh. “A-apa yang kamu lihat?” tanyanya ketakutan.Mulut yang masih terpasang alat bantu bernapas, membuatmu tidak bisa berkata apa-apa. Namun, tatapan itu sudah menjelaskan segalanya. Manik hitam mencoba untuk memberikan isyarat agar melepaskan ikatannya dan melepaskan alat bantu yang ada di tubuhmu.Sayang, mereka tampak sama sekali tidak mengerti dengan apa yang kamu katakan. Waktu berlalu dengan begitu lama, dan ketika tubuhmu sudah pulih sepenuhnya, ikatan itu dilepaskan. Tujuan mereka bagus, tapi caranya membuatmu tersiksa hingga setiap malam mengutuk mereka.Baru saja terlepas dari ikatan, kamu langsung melompat dan mengambil vas bunga di atas
Noda merah kembali mewarnai tubuh yang terbalut perban putih, membuat langkah semakin berat dan pandangan perlahan buram. Rasa sakit perlahan menyebar ke sekujur tubuh, membuat napasmu terdengar lebih berat. “Haa ... sialan,” lirihmu sebelum akhirnya jatuh kembali.**“Haa ... sialan! Apa yang sebenarnya terjadi, kenapa aku bis–dia?” Awalnya terlihat kesal dan ingin menggerutu, tetapi berubah menjadi terkejut ketika melihat wanita sebelumnya tengah tertidur dengan pulas di lantai hanya beralaskan tikar tanpa bantal dan selimut. “Apa yang wanita ini lakukan?” gumammu dipenuhi tanda tanya.Kamu juga semakin terkejut ketika melihat diri sendiri yang kini tengah bertelanjang dada dengan perban yang tampak baru. Hal itu terlihat jelas, karena sebelumnya ada sebuah noda darah di sana yang kini telah menghilang. Melihatnya, hatimu terasa sedikit sesak mengingat apa yang terjadi sebelumnya.Selain itu, kenyamanan yang mer
Hanya dengan peralatan seadanya, kamu berniat untuk menaklukkan sebuah villa yang dipenuhi banyak orang. Hanya dengan peralatan seadanya, kamu berniat untuk menaklukkan sebuah villa yang dipenuhi banyak orang. “Haaa ... merepotkan! Berapa banyak orang yang sebenarnya bisa di tampung oleh rumah tua itu, sialan!” hardikmu dengan kedua tangan terkepal.Hanya bisa menahan amarah seraya menatap dengan penuh kebencian, membuatmu harus kembali ke tempat semula untuk kembali menyusun rencana. Belum lagi uang yang hanya tersisa beberapa dolar dan Kurangnya senjata yang memadai, membuatmu merasa sangat kesal dan jengkel. Namun, kamu lupa bahwa tidak ada tempat tinggal di sana dan terpaksa harus tidur di jalanan.Udara dingin menusuk menembus tulang, membuatmu menggigil dengan hebat. Rasa hati ingin segera mati, tetapi semua hanya sebatas hasrat purba yang tidak akan pernah menjadi nyata. Di tengah malam, seorang pria datang menghampiri.
Tubuhmu langsung terpental ketika menerima bogem keras darinya, membuat netra menjadi gelap gulita untuk sejenak. Aneh tapi nyata, sedikit pun tidak terasa sakit bahkan setelah darah mengalir dari hidung. “Apa yang sebenarnya ada di kepalamu itu, Kakak! Kenapa kau selalu saja membuat masalah, membuat orang yang peduli dan sayang kepadamu menderita. Apa sebagai menyenangkannya melihat keluargamu menderita?” tanya Leon seraya terus menghajarmu.Ada orang lain yang melihat, tetapi hanya diam dan tersenyum seolah menikmati hal itu. Darah mengalir dari hidung, mulut bahkan kepala yang terluka karena terus-terusan menghantam lantai. Kamu hanya terdiam seraya menatapnya tajam, tetapi tersirat sebuah kesedihan sekaligus kebencian di sana.Hanya bisa pasrah dan membiarkannya memukulimu hingga puas, hingga akhirnya air mata menetes. Melihat hal itu, kamu tersenyum seraya memintanya agar tidak menangis lagi. Bahkan tanpa sadar kedua tangan
14 Juli 2022Ruangan itu masih sama, dipenuhi perlatan medis. Seorang wanita terkapar tidak berdaya dengan kondisi yang semakin memburuk setiap harinya. Terlihat jelas wajah itu menjadi sangat murka ketika mengetahui ada yang mencoba untuk mencelakinya.Tanpa pikir panjang, langsung kamu hubungi seorang kenalan dari dunia bawah untuk menyeret seorang pria ke hadapanmu dengan segera. “Jika kalian bisa membawanya ke hadapanku, akan kuberi semua yang kumiliki, termasuk alat itu!” Entah apa yang sebenarnya tengah kalian bicarakan, tetapi semua itu tertuju pada sesuatu yang sangat berbahaya.Kamu duduk di sebelah wanita itu, menggenggam erat tangannya dengan air mata mengaliri pipi. Ibu dan Ayah terlihat sangat menderita terlebih lagi saat tahu jika ada seseorang yang berniat untuk mencelaki putra dan putrinya. Hal itu tergambar jelas di wajah tua mereka, membuatmu semakin ‘tak kuasa menahan amarah.H
12 Juli 2022Beberapa hari di kota yang berbeda, membuat pikiran tidak tenang dan karuan. Sebuah nama selalu saja terkenang di kepala, membuat mata tidak bisa terpejam dengan lelap. Serasa sangat sesak dada setiap kali menatap rembulan di tengah malam.Ingatan dan kenangan mengalir bak air di sungai, menciptakan halusinasi dipenuhi gambaran riang membuat air mata terjatuh di bawah gemintang. Sebelum sempat mengusap, air mata mengering secara tiba-tiba seolah tidak pernah terjadi sebelumnya. Aksara seolah melesap dalam ingatan dan tinta yang menghiasi selembar kertas di atas meja.‘Tak jarang darah mengalir menghiasi meja dan segala hal yang ada, membasahi lantai hingga menjadi aroma khas dalam ruangan gelap nan sepi. Begitu banyak pisau dan obat-obatan tergelak di setiap sudut ruangan. Obat penenang dan obat tidur adalah salah satu yang paling banyak terlihat di sana.Kamu mengambil sebotol wadah kecil obat
sebuah jalanan gelap nan sunyi, tanpa seorang pun yang berani berjalan di sana. Sedikit terasa nuansa mencekam ketika menatap rumah tua di pinggir jalan dengan rumput ilalang dan beragam pohon menghiasi tamannya. “Haa ....” Seorang pria duduk di atas tubuh orang lain, dan begitu banyak tubuh yang terkapar di jalanan.Sebuah asap kelabu terkepul di udara, dan seorang pria tertawa terbahak-bahak di bawah langit hitam di bawah rembulan. Tubuh bersimbah darah dan beberapa luka, membuatmu terlihat selayaknya iblis yang turun ke dunia. Darah di tepi bibir, dijilat perlahan untuk merasakan sensasi yang berbeda.“Haa ... rasa yang memuakkan!” Selain darah di tepian bibir, darah di ujung belati dan tangan dijilati perlahan. Kedua manik hitam menatap rembulan sejenak, hingga terpejam dan hilang kesadaran untuk sesaat. Setelah terbangun, sifat dan warna matamu berubah menjadi sebiru lautan—lazuardi.
Air mata yang merembes itu jatuh tepat di atas wajahnya, mengalir dengan deras melewati sela pipi yang indah hingga akhirnya jatuh membasahi kasur. Kalian hanya bisa terpaku menatap wajah pucat itu yang kian melayu. Kalis nan indah wajahnya dulu, silih berganti dengan kusam dan kesedihan.Seandainya dia bisa kembali terbangun, kamu rela menukarkan nyawa demi melihatnya bahagia. Nyawa pemberian Sang Ilahi, akan jauh lebih bermakna jika membantu orang lain untuk terus berjalan. Sesaat sebelum pergi, kamu membisikan sesuatu di telinganya, berharap agar ia bisa mendengar dan kembali terbangun untuk memulai semuanya kembali.“Bu, Yah, aku permisi dulu. Aku masih harus bekerja lagi, maaf karena selalu merepotkan kalian. Jaga diri baik-baik, ya,” ujarmu lirih dan pergi lagi dari rumah sakit.Tidak lama setelah meninggalkan rumah sakit, kamu sadar jika ada yang mengikuti di belakang. Terus berpura-pura tidak tahu, da
Air mata yang merembes itu jatuh tepat di atas wajahnya, mengalir dengan deras melewati sela pipi yang indah hingga akhirnya jatuh membasahi kasur. Kalian hanya bisa terpaku menatap wajah pucat itu yang kian melayu. Kalis nan indah wajahnya dulu, silih berganti dengan kusam dan kesedihan.Seandainya dia bisa kembali terbangun, kamu rela menukarkan nyawa demi melihatnya bahagia. Nyawa pemberian Sang Ilahi, akan jauh lebih bermakna jika membantu orang lain untuk terus berjalan. Sesaat sebelum pergi, kamu membisikan sesuatu di telinganya, berharap agar ia bisa mendengar dan kembali terbangun untuk memulai semuanya kembali.“Bu, Yah, aku permisi dulu. Aku masih harus bekerja lagi, maaf karena selalu merepotkan kalian. Jaga diri baik-baik, ya,” ujarmu lirih dan pergi lagi dari rumah sakit.Tidak lama setelah meninggalkan rumah sakit, kamu sadar jika ada yang mengikuti di belakang. Terus berpura-pura tidak tahu, da