ini adalah Minggu ketiga mereka telah berkerja bersama. Project yang tadinya hanya satu kini berkembang jadi tiga. Klien suka hasil presentasi mereka di Bandung. TIm R&D dan tim produk suka oleh cara kerja mereka, dari data yang disajikan, pemecahan solusi yang tidak menyulitkan tim teknis dan juga tenggat waktu menyelesaian masalah oleh mereka, Oleh karena itu Dua tim internal lain minta Kirana dan Ares bantu sebagai advisor di project baru—karena kombinasi mereka dianggap efektif: Kirana yang sistematis, Ares yang adaptif. Awalnya Kirana mengira dia akan lelah harus kerja bareng terus dengan Ares. Tapi kenyataannya, justru sebaliknya. Kirana merasa cukup selaras dan dibantu oleh keberadaan Ares. Setiap kali Ares melempar ide out of the box, Kirana awalnya bereaksi skeptis. Karena first impression Ares yang terkesan main main dan menyepelekan. Tapi saat ide yang Ares berikan itu dibedah, sering kali justru… lebih masuk akal. > “Kalau kita pakai sistem loyalitas model spiral in
Hari Rabu, jam 15.20 – Ruang kerja tim projectKirana sedang mengutak-atik presentasi visual untuk klien. Matanya fokus ke layar, dahi sedikit berkerut. Ia ingin hasil yang presisi, tajam, dan langsung to the point. Tapi slide itu masih terasa... datar.Sampai tiba-tiba Ares duduk di sampingnya, membawa segelas kopi. “Lo butuh warna,” katanya tanpa basa-basi. Kirana melirik. “Warnanya udah cukup kok.” “Bukan warna visual. Tapi warna cerita,” jawab Ares sambil melihat slide. “Lo punya data, insight, dan solusi. Tapi nggak ada hook-nya. Orang perlu ngeh dulu, baru peduli.”Kirana membuka sedikit mulutnya, lalu menutup lagi. Kesal karena dia tahu Ares benar. “Gue bisa bantuin copy-nya. Biar tone-nya nggak kaku banget,” lanjut Ares, dengan ekspresi santai. “Lo bagian otaknya, gue bagian lidahnya.” “Lidah?” “Lo ngerti maksud gue, kan.” Dan Kirana, walau malas mengakuinya, tertawa kecil. --- Beberapa hari kemudian – Kantin kantorKirana melihat Ares duduk di tengah kerumunan tim l
Jumat malam.Lampu neon menyala di langit Jakarta. Musik berdentum. Asap tipis dari rokok dan parfum mahal bercampur di udara.Di sebuah bar semi-lounge bernama Tracker, Ares baru saja masuk bersama dua temannya dari circle luar kantor. Tempat itu tidak terlalu ramai, tapi cukup hidup. Musiknya deep house. Bartender-nya cekatan. Suasananya mahal, tapi tak terlalu mencolok.Ares sedang memesan minuman ketika matanya terpaku pada satu sosok perempuan di ujung bar.Seorang perempuan dengan dress hitam satin, rambut diurai, high heels silver, dan gelak tawa yang… terdengar sangat familiar.Ares mengerutkan dahi. Menajamkan matanya. Kirana?Tidak. Nggak mungkin. batin Ares dalam hati menyadari apa yang dia lihat.Dia bahkan tidak yakin. Posisi saat itu dari sudut kadang belakang yang terlihat jelas adalah kuping kiri Kirana. Cahaya lampu malam membuat semua orang terlihat berbeda. Tapi cara dia melempar rambut ke belakang, cara dia bicara dengan gestur tegas—itu Kirana banget. Wajahnya m
Sabtu malam. Tempat berbeda. Suasana berbeda.Sebuah rooftop lounge di daerah Senopati. Musiknya lebih pelan dari semalam. Jazz elektronik mengisi udara, bercampur dengan angin malam Jakarta.Kirana duduk dengan dua sahabat perempuannya. Kali ini dia mengenakan dress merah wine—lengan panjang, tapi terbuka keseluruhan di bagian punggung. Rambutnya dikepang separuh, riasan wajahnya hangat dan memikat.Dia terlihat nyaman. Tidak menari. Hanya duduk santai, sesekali tertawa pelan dan menyesap mocktail-nya.Ares datang terlambat malam itu. Dia tidak tahu Kirana akan ada di tempat ini. Dia hanya ingin menikmati malamnya. Namun takdir berkata lainBegitu matanya menangkap sosok perempuan itu…Dia tahu. Lagi-lagi, itu dia.---Ares memilih duduk di area samping.Tempatnya cukup tersembunyi, tapi cukup jelas untuk melihat Kirana dari kejauhan.Dia tidak datang untuk menyelidiki. Tapi semesta seolah menempatkannya lagi-lagi dalam posisi sebagai penonton diam.Dan ia tidak bisa menyangkal bahwa
Senin pagi – KantorKirana datang seperti biasa. Rambut diikat rapi, blazer netral, wajah tanpa ekspresi.Tidak ada sisa-sisa jejak Sabtu malam di matanya. Tidak ada mata panda atau mata beler. Setidaknya tidak terlihat… oleh orang biasa.Tapi Ares bukan lagi orang biasa.Buat dia, Kirana sekarang seperti lapisan baru yang belum selesai dibuka.Dari caranya menyusun to-do list di papan kerja bersama,dari cara dia merapikan kabel laptop sebelum meeting,dari suara pelan saat menyapa OB kantor yang lewat…Hari ini tidak ada yang terlewat di perhatikan oleh Ares, entah kenapa semuanya terlihat menarik.Semua itu jadi terasa beda. Lebih halus. Lebih penuh makna.Ares hanya mengamati. Diam. Tapi kali ini dia tidak sekadar mengamati karena kerjaan.> "Dia kayak puzzle... yang makin lo deketin, makin lo sadar kalau potongannya nggak sesimpel itu dan makin lo tau setiap potongannya makin lo mau nyelesein puzzelnya."Ares menghela nafas berkali kali, kesabarannya, keingintahuan, emosionalnya
Selasa siang – Ruang ProjectDeadline project retention campaign semakin dekat. Tim sedang menyusun struktur konten dan strategi aktivasi digital. Kirana mengetuai tim, sementara Ares bertugas sebagai pengarah storytelling dan user behavior supaya sejalan dengan survey keinginan lapangan. Tapi hari ini… suasana tidak mulus. Ada tanda tanda gesekan akan terjadi.“Yang kamu masukin di storyboard ini, terlalu dramatis. Ini user data-driven project, bukan iklan shampoo,” ucap Kirana dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke proyektor. Protes Kirana di dengar tim strategy yang saat itu ikut dalam meeting.Ares menyilangkan tangan sambil menjawab. “Kalau lo cuma mau bikin slide berdasarkan angka dan insight mentah, orang nggak bakal ingat pesannya.”“Kita kerja buat klien fintech, bukan brand lifestyle, Res. Konteksnya beda.”“Gue tau. Tapi itu justru kenapa harus dibuat hidup. Kita bisa pintar dan tetap nyentuh, mereka kadang menentukan pilihan bukan cuma dari segi administrasi aja tap
Rabu pagi – War Room KantorKirana memulai meeting lebih tenang dari kemarin. Tidak ada sisa ketegangan yang kemarin, tapi suasananya tetap serius.Slide pertama muncul di layar: “Option A – Data Structured Flow.”Itu milik Kirana.Terstruktur, rapi, penuh insight hasil observasi dan segmentasi user.Slide kedua: “Option B – Emotional Trigger Flow.”Itu milik Ares.Mengutamakan narasi storytelling dan respons emosional audiens berdasarkan behavior pattern.“Gue tahu kita kemarin agak beda arah,” ucap Kirana saat membuka meeting. “Tapi itu bukan berarti salah satu harus dibuang. Gue mau kita serahin ini ke tim produk dan marketing—karena ujung-ujungnya, mereka yang bakal aktif bawa ini ke market.”Ares diam. Tapi ada gerakan kecil di rahangnya. Ia tidak menyangka Kirana akan memilih cara ini. Dia kira Kirana akan menyingkirkan miliknya. Buat Ares itu cukup fair dan dia merasa dihargai.“Gue udah siapin summary poin plus dan minus dari dua pendekatan ini,” lanjut Kirana sambil menyalaka
Kamis pagi – KantorDua minggu terakhir terasa seperti lompatan besar.Briefing pagi tak lagi kaku, diskusi jadi lebih terbuka, dan… Kirana mulai terbiasa dengan gaya kerja Ares yang tak terduga.Bahkan, tanpa sadar, mereka sering menyelesaikan presentasi dalam waktu singkat.Kirana membuat struktur, Ares menyempurnakan narasinya.Kirana menyimpulkan insight dari data yang ada, Ares menyusun logika konten yang menghidupkan suasana.“Kayak lo bikin kerangka tulang, terus gue kasih daging dan otot biar menarik, karena orang pasti gak tertarik kalau ngeliat tulangnya doang,” celetuk Ares saat mereka sedang mengatur storyboard di ruang kerja.Kirana hanya mengangguk tanpa menoleh. “Gue cuma berharap gak berakhir jadi zombie.”Ares tertawa. “Fair enough.”Siang hari – PantryAres sedang makan siang santai dengan dua rekan kerja: Niko dari tim UI/UX dan Cilla dari brand comm.Obrolan ngalor-ngidul sampai akhirnya menyentuh satu topik…“Eh, lo sekarang sering kerja bareng Kirana ya?” tanya N
23.25 – Area BarAres memperhatikan Kirana berjalan perlahan ke bar. Langkahnya tenang, tapi teratur. Dress hitam itu memantulkan sedikit cahaya dari lampu langit-langit, membuat siluet tubuhnya terlihat begitu... tak terbantah.Biasanya, Ares akan melihat Kirana dengan beberapa perempuan lain—kadang tertawa, kadang ngobrol sambil main HP. Tapi malam ini, tidak satu pun dari wajah yang dikenalnya tampak. Sejak tadi Ares memperhatikan dia pikir Kirana datang lebih dulu dari pada teman - temannya yang lain. Namun sudah hampir tengah malam dia tetap sendirian. “Dia datang sendiri?” batin AresAres sempat berdiri dari sofa bar, tapi belum melangkah. Masih memastikan. Matanya masih fokus mengamati dari kejauhan. Tangannya menggenggam gelas berembunnya, tapi tak lagi meminum isinya. Matanya masih ke arah yang sama. Kirana. Beberapa detik kemudian, seorang pria dengan jas tipis mulai mendekati Kirana. Gaya jalannya terlalu percaya diri, dan senyumnya menyiratkan niat lebih dari sekadar bas
Jumat, 22.45 – Sebuah Lounge di Selatan JakartaTempat itu bukan tempat baru bagi Kirana. Dia tahu di mana harus berdiri, ke mana harus melangkah agar tetap di tengah keramaian tapi tak terlalu jadi pusat perhatian. Sepatu hak pendeknya mantap menapak lantai, sementara dress hitam selututnya membungkus tubuh rampingnya dengan pas—elegan, tidak berlebihan, tapi jelas tidak untuk jam kantor.Malam itu Kirana tidak datang dengan teman-temannya. Dia butuh waktu sendiri dan dia tidak merasa keberatan dengan hal itu. Atau setidaknya begitu niat awalnya.Tapi seseorang sudah ada di sana lebih dulu. Duduk di sofa samping bar, dengan kemeja gelap yang digulung hingga siku, Ares memperhatikan lantai dansa dengan gelas berembun di tangannya.Matanya tak perlu lama mencari. Begitu Kirana muncul dari balik crowd, dia tahu.“Gila. Dia memang beda.” kata Ares sambil tersenyum Ares tidak menargetkan bertemu dengannya malam ini, tapi takdir berkata lain. Malam ini mereka tetap bertemu bahkan tidak di
Jumat, 09.20 – Kantor Pusat, JakartaPesawat mereka mendarat tadi subuh. Alih-alih pulang ke rumah dulu, Kirana langsung ke kantor. Rambutnya diikat asal, sweater abu-abu menutupi blouse putih yang belum sempat disetrika. Tapi laptop-nya sudah terbuka, data outlet Surabaya mulai ditransfer ke dashboard utama.Ares datang lima belas menit kemudian. Masih jetlag, tapi entah kenapa semangatnya tetap utuh. Entah alasannya adalah memang Ares suka bekerja atau ada alasan lain dibaliknya. “Gue pikir lo bakal tidur dulu,ternyata udah disini” ujar Ares sambil meletakkan kopernya di pojok ruangan.“Kalau data gak update hari ini, mood Senin gue bakal rusak, gue gak suka timeline kerja gue terganggu atau mundur karena kemalasan gue sendiri” jawab Kirana datar.Dimas masuk dengan dua gelas kopi. Satu diberikan ke Ares, satunya ke Kirana.“Sari izin cuti hari ini, ya. Katanya butuh healing,” kata Dimas.Kirana mengangguk, tidak menanggapi karena dia sudah punya semua data dan masukan dari Sari ya
Kamis, 09.00 – Outlet Ketiga, Surabaya BaratTim yang totalnya empat orang tersebut sudah bergerak cepat sejak pagi. Kali ini mereka mengunjungi salah satu outlet yang jadi kandidat ekspansi untuk produk baru. Kirana memimpin dengan gaya tenangnya, mencatat setiap detail visual dan perilaku pelanggan yang masuk.Dimas di sisi lain sibuk wawancara ringan dengan kasir dan floor staff. Sari, sebagai wakil dari tim produk, fokus pada layout display dan kesiapan logistik.Ares, seperti biasanya, berada di tengah semua itu—mengimbangi gaya Kirana yang metodikal dan Dimas yang cerewet.“Untuk design shelf-nya yang sekarang ini bikin produk utama malah terlihat seperti tenggelam,” komentar Ares sambil foto-foto.“Sama positioning-nya terlalu ke kiri,sudutnya juga kurang sesuai sama mata ” tambah Kirana tanpa menoleh.“Berarti kita sepakat. Butuh perubahan layout.”“Tapi layout itu wilayah Sari,” celetuk Dimas.“Gue denger, woy,” sahut Sari dari belakang gondola. “Makanya kita perlu insight ya
Rabu, 06.00 – Bandara Soekarno-HattaEmpat orang berdiri di gate keberangkatan, semua tampak belum sepenuhnya sadar. Hari ini memang sudah dijadwalkan mereka harus melaksanakan survey di beberapa outlet di Surabaya. Dan mereka di utus sebagai perwakilan dari divisi strategi. “Buset.. pagi-pagi banget nih pesawatnya…siapa sih yang mesen” keluh Sari sambil menarik koper cabin.“Pantesan lo gak sempet catokan,” celetuk Dimas.Kirana hanya senyum tipis sambil mengecek boarding pass-nya. berbeda dengan Sari, tentu Kirana sudah segar dan siap di jam segitu. Memang tipikal Kirana yang selalu ready. Penampilan Kirana masih agak casual tidak seperti setelan kantor biasanya. Ares berdiri tak jauh dari sana, mengenakan hoodie dan jogger, beda dari biasanya yang formal.“Gue kira lo gak bisa tampil santai, Res,” ucap Kirana tanpa menoleh.“Gue kira lo bakal puji penampilan gue, karena gue lebih ganteng kalau tampil santai” balas Ares cepat.Kirana hanya mengangkat alis, tidak memberi respons le
Selasa, 10.00 – Sebuah Kafe Lokal, KemangKirana dan Ares duduk berseberangan di pojok ruangan. Di depan mereka, beberapa hasil wawancara ringan dan hasil observasi dari audiens target sedang dikaji ulang.“Jadi intinya mereka lebih suka campaign yang relatable, bukan yang sok eksklusif,” ujar Kirana sambil mencatat poin penting di iPad-nya.Ares mengangguk, matanya menatap Kirana lebih lama dari seharusnya.“Relatable kayak... kita?”Dia tersenyum.Kirana mendongak, menahan ekspresi.“Lo tuh ya, bisa gak sih sehari aja gak nyelipin jokes aneh kayak gitu?”“Itu bukan jokes. Itu... analogi kerja.”Ares menyandarkan tubuh ke kursi, santai.Kirana geleng pelan, tapi diam-diam... merasa hangat. Dia tahu Ares sedang mencoba. Dan dia juga tahu... dia mulai tidak keberatan. dan mungkin juga sedikit demi sedikit tanpa dia sadari mulai merespon. 11.45 – Jalan Kaki Menuju Spot Observasi KeduaMereka berjalan berdampingan. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak menjaga jarak seperti dulu. “Lo se
Senin, 08.45 – Kantor Pusat Kirana melangkah masuk dengan outfit kerjanya yang biasa: rapi, chic, sedikit bold. Wajahnya bersih tanpa ekspresi tambahan, seperti biasanya. Namun langkahnya terasa sedikit lebih tenang dari biasanya. Dia masuk keruangannya. Menyalakan layar monitornya, membuka spreadsheet penuh data, dan melanjutkan review insight untuk Q2. Namun tiba tiba di dalam kepalanya, terlintas satu pikiran sederhana: “Ares udah di kantor belum?” Dia geleng pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Nah kan. Mulai mikirin yang gak penting, Kir fokus fokus." Lantai 15 – Meja Tim Strategy Ares baru saja tiba, membawa kopi takeaway dan sedikit senyum di wajah. Dia menyapa beberapa rekan dengan santai, lalu menaruh kopinya di meja. Dari sudut mata, dia tahu Kirana sudah datang. Dia tidak langsung menyapa. Dia tahu, timing adalah segalanya. Tapi pagi ini... dia ingin lebih dari sekadar laporan atau diskusi project. Setelah kemajuannya sabtu malam, tentu saja cara pandang masing
Minggu, 08.45 – Apartemen KiranaSunlight tumpah ke dinding kamar yang tenang. Tidak ada suara notifikasi, tidak ada alarm yang memaksa Kirana bangun.Dia membuka mata perlahan. Menyentuh pelipisnya, merenggangkan tubuh dengan malas.“Minggu. Hari di mana dunia dan segala isinya gak ada yang boleh ganggu gue.”Kirana bangun hanya untuk menyiapkan teh hangat, lalu menyalakan playlist lo-fi. Tidak ada makeup, tidak ada notifikasi kerja. Hanya dia dan tubuhnya yang menentukan mau jadi apa hari ini.Dia memutuskan untuk yoga ringan di balkon, lalu kembali ke dalam, menyender di sofa. Tidak membuka chat. Tidak membuka Instagram. Dunia boleh sibuk, tapi dia tidak ikut.“Satu hari buat recharge. Supaya Senin gak terasa menyiksa ."Namun diam-diam, ada satu adegan yang menyelip di kegiatannya minggu ini yaitu adegan dari Sabtu malam yang berputar ulang di benaknya.Kalimat pembuka itu. Tatapan itu. Catatan itu. Jarak yang dia buat.Dan bagaimana Ares akhirnya meninggalkannya untuk kembali ke
Sabtu, 21.15 – GigsMusik sudah menghentak sejak pukul delapan. Lampu-lampu strobo menari di antara kepulan asap tipis, menyapu wajah-wajah muda yang haus euforia.Kirana datang lebih awal malam ini. Outfit-nya lebih santai dari semalam, tapi tetap punya statement—celana kulit hitam, crop blazer dan boots tinggi. Rambutnya dikuncir setengah, dengan anting hoop besar yang memantulkan cahaya ruangan.Dia berdansa sebentar dengan teman-temannya, lalu mundur ke pinggiran bar. Mengambil napas, memesan gin tonic. Matanya menyapu ruangan.“Gigs selalu padat sabtu malam. Tapi malam ini terasa agak... menunggu sesuatu.”Di sisi lain...Ares melangkah masuk dengan tenang. Hoodie hitam, jeans gelap, dan pandangan lurus. Ini bukan tempat asing, tapi bukan juga tempat biasanya dia datangi dua malam berturut-turut.Namun entah kenapa… Dia tahu Kirana akan di sana.Dan benar saja.Di antara dentuman musik dan crowd yang menari, Ares melihat sosoknya. Sedang berdiri sendiri, menyentuh gelasnya sambi