Selasa siang – Ruang ProjectDeadline project retention campaign semakin dekat. Tim sedang menyusun struktur konten dan strategi aktivasi digital. Kirana mengetuai tim, sementara Ares bertugas sebagai pengarah storytelling dan user behavior supaya sejalan dengan survey keinginan lapangan. Tapi hari ini… suasana tidak mulus. Ada tanda tanda gesekan akan terjadi.“Yang kamu masukin di storyboard ini, terlalu dramatis. Ini user data-driven project, bukan iklan shampoo,” ucap Kirana dengan nada dingin, matanya menatap tajam ke proyektor. Protes Kirana di dengar tim strategy yang saat itu ikut dalam meeting.Ares menyilangkan tangan sambil menjawab. “Kalau lo cuma mau bikin slide berdasarkan angka dan insight mentah, orang nggak bakal ingat pesannya.”“Kita kerja buat klien fintech, bukan brand lifestyle, Res. Konteksnya beda.”“Gue tau. Tapi itu justru kenapa harus dibuat hidup. Kita bisa pintar dan tetap nyentuh, mereka kadang menentukan pilihan bukan cuma dari segi administrasi aja tap
Rabu pagi – War Room KantorKirana memulai meeting lebih tenang dari kemarin. Tidak ada sisa ketegangan yang kemarin, tapi suasananya tetap serius.Slide pertama muncul di layar: “Option A – Data Structured Flow.”Itu milik Kirana.Terstruktur, rapi, penuh insight hasil observasi dan segmentasi user.Slide kedua: “Option B – Emotional Trigger Flow.”Itu milik Ares.Mengutamakan narasi storytelling dan respons emosional audiens berdasarkan behavior pattern.“Gue tahu kita kemarin agak beda arah,” ucap Kirana saat membuka meeting. “Tapi itu bukan berarti salah satu harus dibuang. Gue mau kita serahin ini ke tim produk dan marketing—karena ujung-ujungnya, mereka yang bakal aktif bawa ini ke market.”Ares diam. Tapi ada gerakan kecil di rahangnya. Ia tidak menyangka Kirana akan memilih cara ini. Dia kira Kirana akan menyingkirkan miliknya. Buat Ares itu cukup fair dan dia merasa dihargai.“Gue udah siapin summary poin plus dan minus dari dua pendekatan ini,” lanjut Kirana sambil menyalaka
Kamis pagi – KantorDua minggu terakhir terasa seperti lompatan besar.Briefing pagi tak lagi kaku, diskusi jadi lebih terbuka, dan… Kirana mulai terbiasa dengan gaya kerja Ares yang tak terduga.Bahkan, tanpa sadar, mereka sering menyelesaikan presentasi dalam waktu singkat.Kirana membuat struktur, Ares menyempurnakan narasinya.Kirana menyimpulkan insight dari data yang ada, Ares menyusun logika konten yang menghidupkan suasana.“Kayak lo bikin kerangka tulang, terus gue kasih daging dan otot biar menarik, karena orang pasti gak tertarik kalau ngeliat tulangnya doang,” celetuk Ares saat mereka sedang mengatur storyboard di ruang kerja.Kirana hanya mengangguk tanpa menoleh. “Gue cuma berharap gak berakhir jadi zombie.”Ares tertawa. “Fair enough.”Siang hari – PantryAres sedang makan siang santai dengan dua rekan kerja: Niko dari tim UI/UX dan Cilla dari brand comm.Obrolan ngalor-ngidul sampai akhirnya menyentuh satu topik…“Eh, lo sekarang sering kerja bareng Kirana ya?” tanya N
19.36 – Kantor, Ruang ProjectHujan turun pelan. Kantor sudah mulai sepi.Tinggal dua orang yang masih duduk menatap layar masing-masing—Kirana dan Ares.“Klien baru aja balas. Mereka minta revisi tone campaign yang launching minggu depan,” ucap Kirana, menatap layar dengan wajah datar.Ares mengusap wajahnya. “Great timing. Padahal ini waktunya orang normal udah buka sesi wine.”Kirana hanya mengangkat bahu. “Gue biasa kok begini.”Ponselnya tiba-tiba bergetar. Notifikasi grup:“Kirana, jadi dateng gak?”“We’re already at the usual spot!”“Kok belum OTW?”Kirana membaca sekilas. Jemarinya langsung mengetik satu balasan:“Skip.”Lalu ponselnya dimatikan. Disimpan ke dalam tas.Ares yang duduk di seberangnya hanya menatap, satu alis terangkat. Dia mengira itu pasti teman teman Kirana di jumat dan sabtu malam.“Lo ngorbanin Friday night lo buat revisi?”Kirana menatap Ares sejenak. “Gue gak suka half-hearted. Kalau kerja, ya kerja. Kalau main, ya full gas.”Ares tersenyum pelan. “Kayakn
22.41 – Gigs, Jakarta SelatanLampu neon merah muda dan biru berbaur jadi atmosfer elektrik yang tak pernah gagal menarik Kirana kembali.Di panggung kecil, band lokal sedang memainkan versi indie dari lagu RnB populer. Bass-nya dalam. Drum-nya menghentak. Tapi yang paling menyenangkan buat Kirana adalah—tidak ada yang mengenalinya sebagai ‘Kirana Manager Marketing’. Di sini, dia hanya Kirana. Titik.Dia datang bersama tiga temannya. Mereka memesan minuman ringan, duduk di sofa belakang dekat dinding graffiti, lalu larut dalam suara musik dan sorak sorai.Kirana malam ini mengenakan atasan hitam satin, celana palazzo putih, dan boots hitam. Sederhana, tapi cukup mencolok buat orang yang biasa melihatnya pakai blazer dan kemeja kerja.Dia menari pelan, kepala ikut mengangguk-angguk kecil. Senyum di wajahnya tampak lepas. Tak ada presentasi, tak ada data, tak ada revisi. Kali ini hanya momen saat itu tanpa pemikiran yang lain.Di sisi lain – Pintu masuk GigsAres baru masuk, menyesap su
Minggu, 09.00 – Apartemen KiranaTak ada alarm. Tak ada notifikasi.Kirana bangun karena cahaya matahari yang menembus tirai. Ia berguling di kasurnya sebentar, menarik selimut kembali, dan membiarkan tubuhnya berdiam.Ini bukan hari untuk jadi produktif.Ini hari untuk… kembali ke titik nol.Setelah beberapa menit terpejam lagi, Kirana akhirnya bangun. Membuat lemon water, menyetel playlist instrumental favoritnya, dan menggulirkan matras yoga ke tengah ruang tamu.Sun salutation.Forward fold.Child pose.Setiap gerakan seperti menghapus suara musik dari Gigs semalam.Menetralkan gelombang emosi, dan mengalirkan kembali napas yang biasanya ia tahan sepanjang minggu.Suasana yang sangat berbanding terbalik dengan dirinya tadi malam. Tapi Kirana tetap dirinya.11.30 – Masih di apartemenHari Minggu Kirana bisa berarti tiga hal: yoga, olahraga, atau tidur.Hari ini dia memilih dua yang pertama.Setelah sesi yoga, dia ganti pakaian dan jogging ringan di taman sekitar apartemen.Tanpa m
Senin, 08.53 – KantorKirana datang seperti biasa—tepat waktu, berpakaian rapi, dan membawa aura fokus yang mengintimidasi banyak orang.Blazer abu muda, rambut dicepol, sepatu pantofel hitam mengkilat.Perempuan ini kembali jadi versi terbaik dirinya: dingin, tegas, dan penuh kontrol.Senyumnya tipis tapi cukup untuk membuat tim merasa dihargai.“Pagi. Hari ini kita review presentasi buat klien CX. Pastikan semua insight sudah diperbarui. Kita meeting jam 10.”Tanpa perlu drama atau basa-basi, Kirana langsung masuk ke mode eksekusi.Ruang meeting jadi medan, dan Kirana selalu jadi jenderalnya.Cara diskusinya pas, cara mengapresiasinya pas, cara mengarahkannya pas. Tidak berlebihan dan tidak terkesan tidak dilakukan. Leadershipnya nyaris sempurna.09.47 – Area PantryAres sedang duduk santai, satu tangan menggenggam gelas kopi, tangan lain scrolling layar ponselnya.Melihat Kirana masuk, ia berseru pelan, “Selamat datang, Komandan.” Sambil membetulkan posisi loyo menjadi tegap. Kira
Selasa, 09.18 – Ruang kerja divisi strategiSpreadsheet terbuka di dua layar Kirana.Slide presentasi masih setengah jalan. Notion penuh catatan insight. Slack berbunyi tiap dua menit.Kirana duduk tegak, kacamata birunya bertengger di hidung, jari-jari lincah menandai metrik-metrik penting dari hasil survei digital consumer behavior dua bulan terakhir.“Kita butuh lebih dari keyword populer,” gumamnya.Dari sisi meja seberang, Ares mengangkat kepala.“Lo lagi breakdown topik Gen-Z lagi?”“Bukan cuma Gen-Z. Tapi cara mereka ngambil keputusan impulsif, padahal tetap merasa itu based on values.”Ares mendekat, melihat data yang Kirana tampilkan.“Ini survei yang lo minta dari tim research minggu lalu?”Kirana mengangguk. “Gue lihat pola yang sama. Produk yang berhasil bukan cuma karena viral, tapi karena mereka tahu kapan harus sounding value—dan kapan harus diam.” "Dan kebanyakan value mereka ini organik bukan buzzer atau campaign. Sistem community organik ini cukup kuat dan loyal, se
23.25 – Area BarAres memperhatikan Kirana berjalan perlahan ke bar. Langkahnya tenang, tapi teratur. Dress hitam itu memantulkan sedikit cahaya dari lampu langit-langit, membuat siluet tubuhnya terlihat begitu... tak terbantah.Biasanya, Ares akan melihat Kirana dengan beberapa perempuan lain—kadang tertawa, kadang ngobrol sambil main HP. Tapi malam ini, tidak satu pun dari wajah yang dikenalnya tampak. Sejak tadi Ares memperhatikan dia pikir Kirana datang lebih dulu dari pada teman - temannya yang lain. Namun sudah hampir tengah malam dia tetap sendirian. “Dia datang sendiri?” batin AresAres sempat berdiri dari sofa bar, tapi belum melangkah. Masih memastikan. Matanya masih fokus mengamati dari kejauhan. Tangannya menggenggam gelas berembunnya, tapi tak lagi meminum isinya. Matanya masih ke arah yang sama. Kirana. Beberapa detik kemudian, seorang pria dengan jas tipis mulai mendekati Kirana. Gaya jalannya terlalu percaya diri, dan senyumnya menyiratkan niat lebih dari sekadar bas
Jumat, 22.45 – Sebuah Lounge di Selatan JakartaTempat itu bukan tempat baru bagi Kirana. Dia tahu di mana harus berdiri, ke mana harus melangkah agar tetap di tengah keramaian tapi tak terlalu jadi pusat perhatian. Sepatu hak pendeknya mantap menapak lantai, sementara dress hitam selututnya membungkus tubuh rampingnya dengan pas—elegan, tidak berlebihan, tapi jelas tidak untuk jam kantor.Malam itu Kirana tidak datang dengan teman-temannya. Dia butuh waktu sendiri dan dia tidak merasa keberatan dengan hal itu. Atau setidaknya begitu niat awalnya.Tapi seseorang sudah ada di sana lebih dulu. Duduk di sofa samping bar, dengan kemeja gelap yang digulung hingga siku, Ares memperhatikan lantai dansa dengan gelas berembun di tangannya.Matanya tak perlu lama mencari. Begitu Kirana muncul dari balik crowd, dia tahu.“Gila. Dia memang beda.” kata Ares sambil tersenyum Ares tidak menargetkan bertemu dengannya malam ini, tapi takdir berkata lain. Malam ini mereka tetap bertemu bahkan tidak di
Jumat, 09.20 – Kantor Pusat, JakartaPesawat mereka mendarat tadi subuh. Alih-alih pulang ke rumah dulu, Kirana langsung ke kantor. Rambutnya diikat asal, sweater abu-abu menutupi blouse putih yang belum sempat disetrika. Tapi laptop-nya sudah terbuka, data outlet Surabaya mulai ditransfer ke dashboard utama.Ares datang lima belas menit kemudian. Masih jetlag, tapi entah kenapa semangatnya tetap utuh. Entah alasannya adalah memang Ares suka bekerja atau ada alasan lain dibaliknya. “Gue pikir lo bakal tidur dulu,ternyata udah disini” ujar Ares sambil meletakkan kopernya di pojok ruangan.“Kalau data gak update hari ini, mood Senin gue bakal rusak, gue gak suka timeline kerja gue terganggu atau mundur karena kemalasan gue sendiri” jawab Kirana datar.Dimas masuk dengan dua gelas kopi. Satu diberikan ke Ares, satunya ke Kirana.“Sari izin cuti hari ini, ya. Katanya butuh healing,” kata Dimas.Kirana mengangguk, tidak menanggapi karena dia sudah punya semua data dan masukan dari Sari ya
Kamis, 09.00 – Outlet Ketiga, Surabaya BaratTim yang totalnya empat orang tersebut sudah bergerak cepat sejak pagi. Kali ini mereka mengunjungi salah satu outlet yang jadi kandidat ekspansi untuk produk baru. Kirana memimpin dengan gaya tenangnya, mencatat setiap detail visual dan perilaku pelanggan yang masuk.Dimas di sisi lain sibuk wawancara ringan dengan kasir dan floor staff. Sari, sebagai wakil dari tim produk, fokus pada layout display dan kesiapan logistik.Ares, seperti biasanya, berada di tengah semua itu—mengimbangi gaya Kirana yang metodikal dan Dimas yang cerewet.“Untuk design shelf-nya yang sekarang ini bikin produk utama malah terlihat seperti tenggelam,” komentar Ares sambil foto-foto.“Sama positioning-nya terlalu ke kiri,sudutnya juga kurang sesuai sama mata ” tambah Kirana tanpa menoleh.“Berarti kita sepakat. Butuh perubahan layout.”“Tapi layout itu wilayah Sari,” celetuk Dimas.“Gue denger, woy,” sahut Sari dari belakang gondola. “Makanya kita perlu insight ya
Rabu, 06.00 – Bandara Soekarno-HattaEmpat orang berdiri di gate keberangkatan, semua tampak belum sepenuhnya sadar. Hari ini memang sudah dijadwalkan mereka harus melaksanakan survey di beberapa outlet di Surabaya. Dan mereka di utus sebagai perwakilan dari divisi strategi. “Buset.. pagi-pagi banget nih pesawatnya…siapa sih yang mesen” keluh Sari sambil menarik koper cabin.“Pantesan lo gak sempet catokan,” celetuk Dimas.Kirana hanya senyum tipis sambil mengecek boarding pass-nya. berbeda dengan Sari, tentu Kirana sudah segar dan siap di jam segitu. Memang tipikal Kirana yang selalu ready. Penampilan Kirana masih agak casual tidak seperti setelan kantor biasanya. Ares berdiri tak jauh dari sana, mengenakan hoodie dan jogger, beda dari biasanya yang formal.“Gue kira lo gak bisa tampil santai, Res,” ucap Kirana tanpa menoleh.“Gue kira lo bakal puji penampilan gue, karena gue lebih ganteng kalau tampil santai” balas Ares cepat.Kirana hanya mengangkat alis, tidak memberi respons le
Selasa, 10.00 – Sebuah Kafe Lokal, KemangKirana dan Ares duduk berseberangan di pojok ruangan. Di depan mereka, beberapa hasil wawancara ringan dan hasil observasi dari audiens target sedang dikaji ulang.“Jadi intinya mereka lebih suka campaign yang relatable, bukan yang sok eksklusif,” ujar Kirana sambil mencatat poin penting di iPad-nya.Ares mengangguk, matanya menatap Kirana lebih lama dari seharusnya.“Relatable kayak... kita?”Dia tersenyum.Kirana mendongak, menahan ekspresi.“Lo tuh ya, bisa gak sih sehari aja gak nyelipin jokes aneh kayak gitu?”“Itu bukan jokes. Itu... analogi kerja.”Ares menyandarkan tubuh ke kursi, santai.Kirana geleng pelan, tapi diam-diam... merasa hangat. Dia tahu Ares sedang mencoba. Dan dia juga tahu... dia mulai tidak keberatan. dan mungkin juga sedikit demi sedikit tanpa dia sadari mulai merespon. 11.45 – Jalan Kaki Menuju Spot Observasi KeduaMereka berjalan berdampingan. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak menjaga jarak seperti dulu. “Lo se
Senin, 08.45 – Kantor Pusat Kirana melangkah masuk dengan outfit kerjanya yang biasa: rapi, chic, sedikit bold. Wajahnya bersih tanpa ekspresi tambahan, seperti biasanya. Namun langkahnya terasa sedikit lebih tenang dari biasanya. Dia masuk keruangannya. Menyalakan layar monitornya, membuka spreadsheet penuh data, dan melanjutkan review insight untuk Q2. Namun tiba tiba di dalam kepalanya, terlintas satu pikiran sederhana: “Ares udah di kantor belum?” Dia geleng pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Nah kan. Mulai mikirin yang gak penting, Kir fokus fokus." Lantai 15 – Meja Tim Strategy Ares baru saja tiba, membawa kopi takeaway dan sedikit senyum di wajah. Dia menyapa beberapa rekan dengan santai, lalu menaruh kopinya di meja. Dari sudut mata, dia tahu Kirana sudah datang. Dia tidak langsung menyapa. Dia tahu, timing adalah segalanya. Tapi pagi ini... dia ingin lebih dari sekadar laporan atau diskusi project. Setelah kemajuannya sabtu malam, tentu saja cara pandang masing
Minggu, 08.45 – Apartemen KiranaSunlight tumpah ke dinding kamar yang tenang. Tidak ada suara notifikasi, tidak ada alarm yang memaksa Kirana bangun.Dia membuka mata perlahan. Menyentuh pelipisnya, merenggangkan tubuh dengan malas.“Minggu. Hari di mana dunia dan segala isinya gak ada yang boleh ganggu gue.”Kirana bangun hanya untuk menyiapkan teh hangat, lalu menyalakan playlist lo-fi. Tidak ada makeup, tidak ada notifikasi kerja. Hanya dia dan tubuhnya yang menentukan mau jadi apa hari ini.Dia memutuskan untuk yoga ringan di balkon, lalu kembali ke dalam, menyender di sofa. Tidak membuka chat. Tidak membuka Instagram. Dunia boleh sibuk, tapi dia tidak ikut.“Satu hari buat recharge. Supaya Senin gak terasa menyiksa ."Namun diam-diam, ada satu adegan yang menyelip di kegiatannya minggu ini yaitu adegan dari Sabtu malam yang berputar ulang di benaknya.Kalimat pembuka itu. Tatapan itu. Catatan itu. Jarak yang dia buat.Dan bagaimana Ares akhirnya meninggalkannya untuk kembali ke
Sabtu, 21.15 – GigsMusik sudah menghentak sejak pukul delapan. Lampu-lampu strobo menari di antara kepulan asap tipis, menyapu wajah-wajah muda yang haus euforia.Kirana datang lebih awal malam ini. Outfit-nya lebih santai dari semalam, tapi tetap punya statement—celana kulit hitam, crop blazer dan boots tinggi. Rambutnya dikuncir setengah, dengan anting hoop besar yang memantulkan cahaya ruangan.Dia berdansa sebentar dengan teman-temannya, lalu mundur ke pinggiran bar. Mengambil napas, memesan gin tonic. Matanya menyapu ruangan.“Gigs selalu padat sabtu malam. Tapi malam ini terasa agak... menunggu sesuatu.”Di sisi lain...Ares melangkah masuk dengan tenang. Hoodie hitam, jeans gelap, dan pandangan lurus. Ini bukan tempat asing, tapi bukan juga tempat biasanya dia datangi dua malam berturut-turut.Namun entah kenapa… Dia tahu Kirana akan di sana.Dan benar saja.Di antara dentuman musik dan crowd yang menari, Ares melihat sosoknya. Sedang berdiri sendiri, menyentuh gelasnya sambi