Rabu, 06.00 – Bandara Soekarno-HattaEmpat orang berdiri di gate keberangkatan, semua tampak belum sepenuhnya sadar. Hari ini memang sudah dijadwalkan mereka harus melaksanakan survey di beberapa outlet di Surabaya. Dan mereka di utus sebagai perwakilan dari divisi strategi. “Buset.. pagi-pagi banget nih pesawatnya…siapa sih yang mesen” keluh Sari sambil menarik koper cabin.“Pantesan lo gak sempet catokan,” celetuk Dimas.Kirana hanya senyum tipis sambil mengecek boarding pass-nya. berbeda dengan Sari, tentu Kirana sudah segar dan siap di jam segitu. Memang tipikal Kirana yang selalu ready. Penampilan Kirana masih agak casual tidak seperti setelan kantor biasanya. Ares berdiri tak jauh dari sana, mengenakan hoodie dan jogger, beda dari biasanya yang formal.“Gue kira lo gak bisa tampil santai, Res,” ucap Kirana tanpa menoleh.“Gue kira lo bakal puji penampilan gue, karena gue lebih ganteng kalau tampil santai” balas Ares cepat.Kirana hanya mengangkat alis, tidak memberi respons le
Kamis, 09.00 – Outlet Ketiga, Surabaya BaratTim yang totalnya empat orang tersebut sudah bergerak cepat sejak pagi. Kali ini mereka mengunjungi salah satu outlet yang jadi kandidat ekspansi untuk produk baru. Kirana memimpin dengan gaya tenangnya, mencatat setiap detail visual dan perilaku pelanggan yang masuk.Dimas di sisi lain sibuk wawancara ringan dengan kasir dan floor staff. Sari, sebagai wakil dari tim produk, fokus pada layout display dan kesiapan logistik.Ares, seperti biasanya, berada di tengah semua itu—mengimbangi gaya Kirana yang metodikal dan Dimas yang cerewet.“Untuk design shelf-nya yang sekarang ini bikin produk utama malah terlihat seperti tenggelam,” komentar Ares sambil foto-foto.“Sama positioning-nya terlalu ke kiri,sudutnya juga kurang sesuai sama mata ” tambah Kirana tanpa menoleh.“Berarti kita sepakat. Butuh perubahan layout.”“Tapi layout itu wilayah Sari,” celetuk Dimas.“Gue denger, woy,” sahut Sari dari belakang gondola. “Makanya kita perlu insight ya
Jumat, 09.20 – Kantor Pusat, JakartaPesawat mereka mendarat tadi subuh. Alih-alih pulang ke rumah dulu, Kirana langsung ke kantor. Rambutnya diikat asal, sweater abu-abu menutupi blouse putih yang belum sempat disetrika. Tapi laptop-nya sudah terbuka, data outlet Surabaya mulai ditransfer ke dashboard utama.Ares datang lima belas menit kemudian. Masih jetlag, tapi entah kenapa semangatnya tetap utuh. Entah alasannya adalah memang Ares suka bekerja atau ada alasan lain dibaliknya. “Gue pikir lo bakal tidur dulu,ternyata udah disini” ujar Ares sambil meletakkan kopernya di pojok ruangan.“Kalau data gak update hari ini, mood Senin gue bakal rusak, gue gak suka timeline kerja gue terganggu atau mundur karena kemalasan gue sendiri” jawab Kirana datar.Dimas masuk dengan dua gelas kopi. Satu diberikan ke Ares, satunya ke Kirana.“Sari izin cuti hari ini, ya. Katanya butuh healing,” kata Dimas.Kirana mengangguk, tidak menanggapi karena dia sudah punya semua data dan masukan dari Sari ya
Jumat, 22.45 – Sebuah Lounge di Selatan JakartaTempat itu bukan tempat baru bagi Kirana. Dia tahu di mana harus berdiri, ke mana harus melangkah agar tetap di tengah keramaian tapi tak terlalu jadi pusat perhatian. Sepatu hak pendeknya mantap menapak lantai, sementara dress hitam selututnya membungkus tubuh rampingnya dengan pas—elegan, tidak berlebihan, tapi jelas tidak untuk jam kantor.Malam itu Kirana tidak datang dengan teman-temannya. Dia butuh waktu sendiri dan dia tidak merasa keberatan dengan hal itu. Atau setidaknya begitu niat awalnya.Tapi seseorang sudah ada di sana lebih dulu. Duduk di sofa samping bar, dengan kemeja gelap yang digulung hingga siku, Ares memperhatikan lantai dansa dengan gelas berembun di tangannya.Matanya tak perlu lama mencari. Begitu Kirana muncul dari balik crowd, dia tahu.“Gila. Dia memang beda.” kata Ares sambil tersenyum Ares tidak menargetkan bertemu dengannya malam ini, tapi takdir berkata lain. Malam ini mereka tetap bertemu bahkan tidak di
23.25 – Area BarAres memperhatikan Kirana berjalan perlahan ke bar. Langkahnya tenang, tapi teratur. Dress hitam itu memantulkan sedikit cahaya dari lampu langit-langit, membuat siluet tubuhnya terlihat begitu... tak terbantah.Biasanya, Ares akan melihat Kirana dengan beberapa perempuan lain—kadang tertawa, kadang ngobrol sambil main HP. Tapi malam ini, tidak satu pun dari wajah yang dikenalnya tampak. Sejak tadi Ares memperhatikan dia pikir Kirana datang lebih dulu dari pada teman - temannya yang lain. Namun sudah hampir tengah malam dia tetap sendirian. “Dia datang sendiri?” batin AresAres sempat berdiri dari sofa bar, tapi belum melangkah. Masih memastikan. Matanya masih fokus mengamati dari kejauhan. Tangannya menggenggam gelas berembunnya, tapi tak lagi meminum isinya. Matanya masih ke arah yang sama. Kirana. Beberapa detik kemudian, seorang pria dengan jas tipis mulai mendekati Kirana. Gaya jalannya terlalu percaya diri, dan senyumnya menyiratkan niat lebih dari sekadar bas
Senin 08:30 Pagi ini seharusnya berjalan biasa. Kirana sudah tiba di kantor jam delapan kurang lima, seperti biasa. Dengan kopi hitam tanpa gula di tangan, blazer rapih, dan rambut digerai sebahu. Dia tipe perempuan yang tak pernah datang terlambat, bahkan saat hujan badai. Tapi hari ini… mood-nya rusak. Bukan karena tumpukan pekerjaan. Tapi karena HR baru saja mengirim email—mengabarkan bahwa ia akan kedatangan asisten manajer baru. Kirana menghela napas panjang. Kenapa baru dikabarin sekarang sih? Apalagi yang dia tahu anak baru ini adalah anak komisaris perusahaan. Tentu saja Kirana keberatan jika ada timnya yang malah hanya menjadi beban bagi divisi. Ia baru saja akan mengangkat cangkir kopinya saat pintu ruangannya diketuk. Tok tok tok. "Permisi bu Manager " ucap Ares “Masuk,” sahutnya singkat, sambil tetap menatap layar laptop. Pintu terbuka pelan. Dan saat suara itu terdengar, Kirana langsung menoleh. “Pagi, Bu Manager. Saya Ares Mahadewa, asisten manajer yang katanya
Setelah sesi 'wawancara singkat' dengan Kirana yang terasa lebih seperti interogasi militer, Ares akhirnya keluar dari ruangan dengan santai. Dia sempat melirik Kirana sebelum menutup pintu.Senyumnya masih sama: menggoda, menyebalkan, dan penuh rahasia.Sementara itu, Kirana hanya bisa menghembuskan napas panjang.Seharusnya Areas adalah lulusan luar yang cukup punya pengalaman, tapi kenapa tingkah lakunya seperti fresh graduate yang belum tau cara bersikap. Kenapa dia harus semenyebalkan itu, sih?Beberapa menit kemudian, Kirana keluar dari ruangannya dan langsung menuju ruang kerja tim yang terdiri dari 33 orang. Di sana, beberapa staf sedang mengetik serius, sebagian lagi sibuk berdiskusi pelan.Kirana berdiri di tengah ruangan. Hendak memperkenalkan Ares sebagai tim barunya. “Morning, semuanya. Perhatian sebentar saya mau kenalin anggota baru di tim kita.”Ares masuk tepat setelah itu, berdiri di samping Kirana. Posturnya tinggi, wajahnya terlalu mencolok untuk tidak diperhatika
Hari pertama belum berakhir, tapi Ares sudah merasa seperti lagi main catur. Lawannya? Seorang manajer dingin bernama Kirana Larasati yang bahkan belum mau tersenyum sejak tadi pagi.Baru kali ini Ares sulit membuat lawan bicaranya tersenyum, dari history Ares dia sangat mudah membuat lawan bicaranya cair atau tersenyum apalagi jika itu seorang mahluk bernama wanita. Setelah perkenalan dengan tim selesai, Kirana langsung mengajaknya ke ruang meeting kecil di sebelah ruang kerjanya. “Duduk,” ucap Kirana tanpa basa-basi. Ares duduk dengan santai, lalu membuka buku catatannya—yang sebenarnya kosong. Ia lebih suka mengingat daripada menulis. Tapi demi atasan perfeksionis ini, dia pura-pura siap mencatat. Dia tidak mau terlihat seperti bermain-main, walaupun dia tau dia punya ingatan yang baik tanpa menulis. Kirana berdiri di depan layar presentasi kecil dan mulai menjelaskan dengan pointer di tangannya. “Jadi gini. Divisi kita megang strategic growth—artinya semua hal yang berkait
23.25 – Area BarAres memperhatikan Kirana berjalan perlahan ke bar. Langkahnya tenang, tapi teratur. Dress hitam itu memantulkan sedikit cahaya dari lampu langit-langit, membuat siluet tubuhnya terlihat begitu... tak terbantah.Biasanya, Ares akan melihat Kirana dengan beberapa perempuan lain—kadang tertawa, kadang ngobrol sambil main HP. Tapi malam ini, tidak satu pun dari wajah yang dikenalnya tampak. Sejak tadi Ares memperhatikan dia pikir Kirana datang lebih dulu dari pada teman - temannya yang lain. Namun sudah hampir tengah malam dia tetap sendirian. “Dia datang sendiri?” batin AresAres sempat berdiri dari sofa bar, tapi belum melangkah. Masih memastikan. Matanya masih fokus mengamati dari kejauhan. Tangannya menggenggam gelas berembunnya, tapi tak lagi meminum isinya. Matanya masih ke arah yang sama. Kirana. Beberapa detik kemudian, seorang pria dengan jas tipis mulai mendekati Kirana. Gaya jalannya terlalu percaya diri, dan senyumnya menyiratkan niat lebih dari sekadar bas
Jumat, 22.45 – Sebuah Lounge di Selatan JakartaTempat itu bukan tempat baru bagi Kirana. Dia tahu di mana harus berdiri, ke mana harus melangkah agar tetap di tengah keramaian tapi tak terlalu jadi pusat perhatian. Sepatu hak pendeknya mantap menapak lantai, sementara dress hitam selututnya membungkus tubuh rampingnya dengan pas—elegan, tidak berlebihan, tapi jelas tidak untuk jam kantor.Malam itu Kirana tidak datang dengan teman-temannya. Dia butuh waktu sendiri dan dia tidak merasa keberatan dengan hal itu. Atau setidaknya begitu niat awalnya.Tapi seseorang sudah ada di sana lebih dulu. Duduk di sofa samping bar, dengan kemeja gelap yang digulung hingga siku, Ares memperhatikan lantai dansa dengan gelas berembun di tangannya.Matanya tak perlu lama mencari. Begitu Kirana muncul dari balik crowd, dia tahu.“Gila. Dia memang beda.” kata Ares sambil tersenyum Ares tidak menargetkan bertemu dengannya malam ini, tapi takdir berkata lain. Malam ini mereka tetap bertemu bahkan tidak di
Jumat, 09.20 – Kantor Pusat, JakartaPesawat mereka mendarat tadi subuh. Alih-alih pulang ke rumah dulu, Kirana langsung ke kantor. Rambutnya diikat asal, sweater abu-abu menutupi blouse putih yang belum sempat disetrika. Tapi laptop-nya sudah terbuka, data outlet Surabaya mulai ditransfer ke dashboard utama.Ares datang lima belas menit kemudian. Masih jetlag, tapi entah kenapa semangatnya tetap utuh. Entah alasannya adalah memang Ares suka bekerja atau ada alasan lain dibaliknya. “Gue pikir lo bakal tidur dulu,ternyata udah disini” ujar Ares sambil meletakkan kopernya di pojok ruangan.“Kalau data gak update hari ini, mood Senin gue bakal rusak, gue gak suka timeline kerja gue terganggu atau mundur karena kemalasan gue sendiri” jawab Kirana datar.Dimas masuk dengan dua gelas kopi. Satu diberikan ke Ares, satunya ke Kirana.“Sari izin cuti hari ini, ya. Katanya butuh healing,” kata Dimas.Kirana mengangguk, tidak menanggapi karena dia sudah punya semua data dan masukan dari Sari ya
Kamis, 09.00 – Outlet Ketiga, Surabaya BaratTim yang totalnya empat orang tersebut sudah bergerak cepat sejak pagi. Kali ini mereka mengunjungi salah satu outlet yang jadi kandidat ekspansi untuk produk baru. Kirana memimpin dengan gaya tenangnya, mencatat setiap detail visual dan perilaku pelanggan yang masuk.Dimas di sisi lain sibuk wawancara ringan dengan kasir dan floor staff. Sari, sebagai wakil dari tim produk, fokus pada layout display dan kesiapan logistik.Ares, seperti biasanya, berada di tengah semua itu—mengimbangi gaya Kirana yang metodikal dan Dimas yang cerewet.“Untuk design shelf-nya yang sekarang ini bikin produk utama malah terlihat seperti tenggelam,” komentar Ares sambil foto-foto.“Sama positioning-nya terlalu ke kiri,sudutnya juga kurang sesuai sama mata ” tambah Kirana tanpa menoleh.“Berarti kita sepakat. Butuh perubahan layout.”“Tapi layout itu wilayah Sari,” celetuk Dimas.“Gue denger, woy,” sahut Sari dari belakang gondola. “Makanya kita perlu insight ya
Rabu, 06.00 – Bandara Soekarno-HattaEmpat orang berdiri di gate keberangkatan, semua tampak belum sepenuhnya sadar. Hari ini memang sudah dijadwalkan mereka harus melaksanakan survey di beberapa outlet di Surabaya. Dan mereka di utus sebagai perwakilan dari divisi strategi. “Buset.. pagi-pagi banget nih pesawatnya…siapa sih yang mesen” keluh Sari sambil menarik koper cabin.“Pantesan lo gak sempet catokan,” celetuk Dimas.Kirana hanya senyum tipis sambil mengecek boarding pass-nya. berbeda dengan Sari, tentu Kirana sudah segar dan siap di jam segitu. Memang tipikal Kirana yang selalu ready. Penampilan Kirana masih agak casual tidak seperti setelan kantor biasanya. Ares berdiri tak jauh dari sana, mengenakan hoodie dan jogger, beda dari biasanya yang formal.“Gue kira lo gak bisa tampil santai, Res,” ucap Kirana tanpa menoleh.“Gue kira lo bakal puji penampilan gue, karena gue lebih ganteng kalau tampil santai” balas Ares cepat.Kirana hanya mengangkat alis, tidak memberi respons le
Selasa, 10.00 – Sebuah Kafe Lokal, KemangKirana dan Ares duduk berseberangan di pojok ruangan. Di depan mereka, beberapa hasil wawancara ringan dan hasil observasi dari audiens target sedang dikaji ulang.“Jadi intinya mereka lebih suka campaign yang relatable, bukan yang sok eksklusif,” ujar Kirana sambil mencatat poin penting di iPad-nya.Ares mengangguk, matanya menatap Kirana lebih lama dari seharusnya.“Relatable kayak... kita?”Dia tersenyum.Kirana mendongak, menahan ekspresi.“Lo tuh ya, bisa gak sih sehari aja gak nyelipin jokes aneh kayak gitu?”“Itu bukan jokes. Itu... analogi kerja.”Ares menyandarkan tubuh ke kursi, santai.Kirana geleng pelan, tapi diam-diam... merasa hangat. Dia tahu Ares sedang mencoba. Dan dia juga tahu... dia mulai tidak keberatan. dan mungkin juga sedikit demi sedikit tanpa dia sadari mulai merespon. 11.45 – Jalan Kaki Menuju Spot Observasi KeduaMereka berjalan berdampingan. Tidak terlalu dekat, tapi juga tidak menjaga jarak seperti dulu. “Lo se
Senin, 08.45 – Kantor Pusat Kirana melangkah masuk dengan outfit kerjanya yang biasa: rapi, chic, sedikit bold. Wajahnya bersih tanpa ekspresi tambahan, seperti biasanya. Namun langkahnya terasa sedikit lebih tenang dari biasanya. Dia masuk keruangannya. Menyalakan layar monitornya, membuka spreadsheet penuh data, dan melanjutkan review insight untuk Q2. Namun tiba tiba di dalam kepalanya, terlintas satu pikiran sederhana: “Ares udah di kantor belum?” Dia geleng pelan. Menertawakan dirinya sendiri. “Nah kan. Mulai mikirin yang gak penting, Kir fokus fokus." Lantai 15 – Meja Tim Strategy Ares baru saja tiba, membawa kopi takeaway dan sedikit senyum di wajah. Dia menyapa beberapa rekan dengan santai, lalu menaruh kopinya di meja. Dari sudut mata, dia tahu Kirana sudah datang. Dia tidak langsung menyapa. Dia tahu, timing adalah segalanya. Tapi pagi ini... dia ingin lebih dari sekadar laporan atau diskusi project. Setelah kemajuannya sabtu malam, tentu saja cara pandang masing
Minggu, 08.45 – Apartemen KiranaSunlight tumpah ke dinding kamar yang tenang. Tidak ada suara notifikasi, tidak ada alarm yang memaksa Kirana bangun.Dia membuka mata perlahan. Menyentuh pelipisnya, merenggangkan tubuh dengan malas.“Minggu. Hari di mana dunia dan segala isinya gak ada yang boleh ganggu gue.”Kirana bangun hanya untuk menyiapkan teh hangat, lalu menyalakan playlist lo-fi. Tidak ada makeup, tidak ada notifikasi kerja. Hanya dia dan tubuhnya yang menentukan mau jadi apa hari ini.Dia memutuskan untuk yoga ringan di balkon, lalu kembali ke dalam, menyender di sofa. Tidak membuka chat. Tidak membuka Instagram. Dunia boleh sibuk, tapi dia tidak ikut.“Satu hari buat recharge. Supaya Senin gak terasa menyiksa ."Namun diam-diam, ada satu adegan yang menyelip di kegiatannya minggu ini yaitu adegan dari Sabtu malam yang berputar ulang di benaknya.Kalimat pembuka itu. Tatapan itu. Catatan itu. Jarak yang dia buat.Dan bagaimana Ares akhirnya meninggalkannya untuk kembali ke
Sabtu, 21.15 – GigsMusik sudah menghentak sejak pukul delapan. Lampu-lampu strobo menari di antara kepulan asap tipis, menyapu wajah-wajah muda yang haus euforia.Kirana datang lebih awal malam ini. Outfit-nya lebih santai dari semalam, tapi tetap punya statement—celana kulit hitam, crop blazer dan boots tinggi. Rambutnya dikuncir setengah, dengan anting hoop besar yang memantulkan cahaya ruangan.Dia berdansa sebentar dengan teman-temannya, lalu mundur ke pinggiran bar. Mengambil napas, memesan gin tonic. Matanya menyapu ruangan.“Gigs selalu padat sabtu malam. Tapi malam ini terasa agak... menunggu sesuatu.”Di sisi lain...Ares melangkah masuk dengan tenang. Hoodie hitam, jeans gelap, dan pandangan lurus. Ini bukan tempat asing, tapi bukan juga tempat biasanya dia datangi dua malam berturut-turut.Namun entah kenapa… Dia tahu Kirana akan di sana.Dan benar saja.Di antara dentuman musik dan crowd yang menari, Ares melihat sosoknya. Sedang berdiri sendiri, menyentuh gelasnya sambi