Share

Empat

     Takumi pikir ada tempat selanjutnya yang akan mereka berdua kunjungi, tapi ternyata hanya Kuil. Ia mendesah berkali-kali mengingat betapa bodohnya mengharapkan dan membayangkan tempat-tempat yang menyenangkan yang akan mereka datangi ketika di Kyoto.

     Takumi mengacak-acak rambutnya, kesal dengan pemikiran tidak jelasnya itu.

     "Ehh, benarkah? Jadi berita itu tidak bohong ya."

Telinga Takumi tak sengaja mendengar teman kantornya sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius.

     Tapi ia tak peduli sama sekali, selama itu tak menyangkut dirinya.

     "Pantas saja dia tidak bisa dihubungi."

     "Hmm. Tapi keputusan bunuh diri itu benar-benar keputusan yang terlalu berlebihan."

     "Benar, benar."

     Tunggu. Bunuh diri? Siapa?

     "Siapa yang bunuh diri?" Takumi bertanya kepada mereka yang sedang bergosip itu.

     "Ehh,... Masato-san tidak tahu? Bukankah kalian berteman?" Masaki yang menjawab pertanyaan Takumi.

     "Iya, bukankah kalian berteman." Yuki menambahi.

     "Siapa?" Takumi makin bingung, siapa yang disebut teman-nya itu.

     "Masato-san itu loh, Mitsuhashi Naoto," ujar Masaki.

Deg... 

     Waktu seakan berhenti ketika nama Naoto di sebutkan. Mulut Takumi terbuka begitupula dengan matanya yang terbelalak mendengar itu. Naoto bunuh diri? Itu pasti bohong, kan.

     "Takumi kau tidak apa-apa?" seru Yuki yang menyadari bahwa Takumi hanya diam disana karena mendengar berita itu.

     "Kalian pasti berbohong kan. Kalian semua pasti bohong," seru Takumi. Ia tak mungkin percaya pada berita semacam itu. Ia tak percaya sebelum membuktikan sendiri dengan mata kepalanya.

     Setelah mengucapkan itu Takumi bangkit dari duduknya, meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan segera berlari sekencang mungkin ke luar gedung, menuju rumah Naoto. Ia dengan tidak sabar menunggu taksi yang lewat.

     Setelah berhasil mendapatkan taksi, Takumi bergegas menuju rumah Naoto yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantornya.

     Berbagai macam pikiran mulai bermunculan di kepala Takumi. Perasaannya campur aduk. Tapi ia masih percaya bahwa berita itu adalah bohong. 

     Setelah sampai di tempat tujuan, Takumi berlari kencang masuk ke halaman rumah Naoto.

     Disana Ia melihat banyak orang berpakaian serba hitam dan ada juga yang sedang menangis. 

     Ini pasti bohong, kan? Pemikiran itu selalu tertanam dikapalanya. Semua yang ada di depannya ini pasti sebuah halusinasi. Naoto tidak mungkin meninggal.

     "Takumi-san?" seorang wanita mendekatinya, yang ternyata itu adalah Miko, istri dari Naoto.

     "Miko, ada apa ini?" tanya Takumi. Ia tak mampu lagi memikirkan kata-kata yang tepat untuk sekedar bertanya.

     "Kami kemarin saling adu mulut. Aku memutuskan untuk bercerai dari Naoto, tapi dia menolak dengan tegas padahal percuma saja kita mempertahankan rumah tangga ini. Aku sudah tak mau bersamanya lagi. Dia bilang akan mempertahankan bagaimanapun caranya agar aku tetap bersamanya dan Miho," kata Miko menjelaskan.

     Raut wajah wanita itu tidak menunjukkan rasa sedih sama sekali. Itu membuat Takumi jadi semakin yakin bahwa Miko sebenarnya menginginkan Naoto untuk tersingkir dari hidupnya.

     "Dan tadi pagi aku mendapat kabar dari ibunya Naoto. Bahwa Naoto gantung diri di kamarnya. Aku sangat shock mendengar itu, begitupula dengan Miho. Dia tak berhenti menangis dari pagi," lanjutnya lagi.

     Takumi meminta ijin untuk melihat jenazah Naoto. Dan disetujui oleh Miko.

     Kedua tangan Takumi terkepal, ia marah kepada dirinya sendiri karena tidak bisa sedikitpun membantu temannya yang sedang kesusahan. Dirinya memang bodoh tak mendengarkan dengan jelas apa yang ingin coba Naoto sampaikan padanya. Takumi hanya bisa menyesal sekarang. Teman yang ia kenal sejak mulai bekerja di perusahaan. Orang yang pertama kali mengajaknya minum dan teman yang selalu ada untuknya sekarang sudah tiada, meninggalkan dunia ini. Meninggalkan dirinya.

     Perasaan Takumi menjadi kalut. Coba saja ia tak berteriak seperti itu pada Naoto semua ini tidak akan pernah terjadi. Coba saja kemarin ia mencoba mendengarkan dengan baik apa keluhan yang ingin di ungkapkan oleh pria berumur satu tahun dibawahnya itu. Takumi merasa sangat bersalah sekarang, sangat bersalah.

     "Naoto, gomennasai. Semoga kau baik-baik saja disana. Sayōnara, Mitsuhashi Naoto," ucapnya pada Naoto yang terlihat damai diatas peti.

___ 

     Sudah sekitar satu minggu berlalu sejak Naoto meninggal dunia. Berita tentang dirinya yang mati karena bunuh diri sedikit demi sedikit mulai meredup di kantor.

     Begitulah manusia, mereka hanya mengingat tentang keburukanmu. Kebaikanmu yang selalu kau lakukan akan di lupakan begitu saja. Sungguh ironis bukan.

     Dan sekarang Takumi sedang berada di sebuah kafe bersama dengan Junko di depannya. Gadis itu juga sudah tahu tentang teman Takumi yang bunuh diri. Tentu saja Takumi yang memberitahunya. Karena ia tak tahu harus bercerita kepada siapa, jadi Takumi putuskan untuk bercerita pada Junko.

    "Paman, jangan membuat wajah sedih seperti itu terus. Aku jadi ikut bersedih jika wajah tampanmu begitu," kata Junko, matanya yang bulat menatap Takumi. "Bukankah teman paman akan bersedih juga jika paman murung seperti ini. Hmm?"

    Takumi memandang Junko, kemudian seulas senyuman Takumi berikan kepadanya. Gadis itu tersenyum lebar. Kemudian Junko menyuruh Takumi untuk minum cokelat miliknya. Gadis itu mengatakan, meminum cokelat akan memperbaiki suasana hati yang sedang bersedih.

     "Manis sekali," Takumi hampir menyemburkan cokelat yang terasa sangat manis itu di mulutnya.

     "Kalau tidak suka bilang saja," gerutu Junko.

     Takumi meminta maaf pada gadis itu, ia tak terbiasa meminum minuman manis jadi reaksinya mungkin berlebihan dimata Junko.

     "Nakamura-san bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Takumi.

     Junko menggeleng, "Membosankan, sangat-sangat membosankan," kata gadis itu sambil menekan kalimatnya agar Takumi tahu seberapa 'membosankan'-nya kehidupan SMA Junko.

     "Hehh,... tapi jika kau punya seseorang yang kau sukai mungkin kehidupan SMA mu lebih menyenangkan, bukan?" ujar Takumi yang malah dijawab dengan tatapan tajam milik gadis itu. "Maaf, aku tak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu. Maafkan aku."

     "Aku sudah memiliki orang yang aku suka," katanya, "Lagipula laki-laki di sekolah tidak ada satupun yang menarik perhatianku. Semuanya membosankan."

     Junko kali ini mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya tentang kenapa Takumi bisa kenal dengan ayah dari Yuka. Takumi hanya menjawab bahwa ada banyak hal yang terjadi, karena itu ia bisa mengenal Yatsumura Hiroomi -ayah Yuka-.

     "Paman, kapan-kapan kita bersepeda bersama ya. Aku ingin menaiki sepeda bersamamu. Mau, ya?" ajak Junko. Gadis itu menautkan jari-jari tangannya dan meletakkannya didepan dada. Membuat permohonan pada Takumi.

     Takumi yang melihat itu tentu saja tidak bisa menolak. Junko memang selalu berhasil membuatnya tidak berkutik ketika meminta sesuatu. Dan Takumi juga tipe orang yang tidak bisa mengabaikan permintaan orang lain.

___ 

     Akhir pekan yang ditunggu akhirnya tiba. Takumi yang sudah memakai pakaian santainya - kemeja tipis yang dibalut sweater serta celana training- saat ini sedang duduk di atas sebuah sofa sambil menikmati segelas kopi. Masih ada waktu sekitar 1 jam lagi sebelum ia dan Junko bertemu.

    Ya, mereka sudah berjanji akan bersepeda akhir pekan ini. Tapi yang membuat Takumi bertanya-tanya bukankah ia tak memiliki sepeda, bagaimana ia mau bersepeda jika tidak memiliki benda beroda dua itu?

     Takumi meletakkan tangannya di dagu, apakah ia harus pergi ke tempat peminjaman sepeda terlebih dahulu untuk menyewanya, atau nanti saja ketika gadis itu datang? Mana yang harus Takumi lakukan, ia bingung.

     Terlalu menghayati dalam berpikir sampai-sampai Takumi tak menyadari bel pintu rumahnya sudah bunyi beberapa kali. Dan bunyi berikutnya menyadarkan Takumi dari lamunan. Ia segera bangkit menuju pintu untuk mengetahui siapa yang datang ke rumahnya.

     "Nakamura-san?" Ia terkejut mendapati Junko berada disana.

     "Paman sedang apa sih, aku sudah memencet puluhan kali bel ini, tapi tidak ada respon sama sekali. Aku kira paman tidak ada dirumah." Junko menggerutu kesal karena Takumi lama sekali membukakannya pintu.

     "Maafkan aku, tadi aku sedang-"

     "Aku sudah menyiapkan sepeda untuk kita, lihatlah ke bawah!" Junko dengan sengaja memotong perkataan Takumi.

     Takumi mendesah, bocah ini benar-benar membuatnya harus banyak-banyak bersabar.

     "Iya baiklah."

     Ia melihat ke bawah. Takumi heran, kenapa sepedanya hanya ada satu?

     "Kenapa sepedanya hanya satu. Bukankah kita ini berdua?" tanya Takumi pada Junko.

    "Tidak apa-apa. Nanti paman yang menyetir aku yang membonceng di belakang. Sudah ayo, nanti keburu hujan."

     Hari ini langit Tokyo memang sedikit mendung, mungkin nanti akan turun hujan.

    "Nakamura-san itu terlalu aneh." Tangan Takumi langsung di tarik paksa oleh Junko.

     "Oi, kau mendengarkanku tidak?! Cih." Takumi berdecak, bisa-bisanya dia hanya diam saja diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang lebih muda darinya.

     Tanpa di ketahui, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka berdua.

     "Aku selalu menantikan ini sepanjang hidupku. Menaiki sepeda bersama dengan orang spesial. Rasanya benar-benar membahagiakan," kata Junko saat mereka mulai menyusuri jalanan bebatuan yang dekat dengan sungai

    Takumi terus mengayuh, menghiraukan ucapan Junko. Tapi ia  merasakan hal yang sama dengan gadis itu. Rasanya menyenangkan bisa bersepeda seperti ini.

     Junko yang duduk menghadap belakang menempelkan punggung kecilnya pada punggung Takumi yang lebar. Kemudian mereka sama-sama tersenyum dalam diam sambil menikmati hembusan angin yang menerpa wajah.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status