Takumi pikir ada tempat selanjutnya yang akan mereka berdua kunjungi, tapi ternyata hanya Kuil. Ia mendesah berkali-kali mengingat betapa bodohnya mengharapkan dan membayangkan tempat-tempat yang menyenangkan yang akan mereka datangi ketika di Kyoto.
Takumi mengacak-acak rambutnya, kesal dengan pemikiran tidak jelasnya itu.
"Ehh, benarkah? Jadi berita itu tidak bohong ya."
Telinga Takumi tak sengaja mendengar teman kantornya sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius.
Tapi ia tak peduli sama sekali, selama itu tak menyangkut dirinya.
"Pantas saja dia tidak bisa dihubungi."
"Hmm. Tapi keputusan bunuh diri itu benar-benar keputusan yang terlalu berlebihan."
"Benar, benar."
Tunggu. Bunuh diri? Siapa?
"Siapa yang bunuh diri?" Takumi bertanya kepada mereka yang sedang bergosip itu.
"Ehh,... Masato-san tidak tahu? Bukankah kalian berteman?" Masaki yang menjawab pertanyaan Takumi.
"Iya, bukankah kalian berteman." Yuki menambahi.
"Siapa?" Takumi makin bingung, siapa yang disebut teman-nya itu.
"Masato-san itu loh, Mitsuhashi Naoto," ujar Masaki.
Deg...
Waktu seakan berhenti ketika nama Naoto di sebutkan. Mulut Takumi terbuka begitupula dengan matanya yang terbelalak mendengar itu. Naoto bunuh diri? Itu pasti bohong, kan.
"Takumi kau tidak apa-apa?" seru Yuki yang menyadari bahwa Takumi hanya diam disana karena mendengar berita itu.
"Kalian pasti berbohong kan. Kalian semua pasti bohong," seru Takumi. Ia tak mungkin percaya pada berita semacam itu. Ia tak percaya sebelum membuktikan sendiri dengan mata kepalanya.
Setelah mengucapkan itu Takumi bangkit dari duduknya, meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan segera berlari sekencang mungkin ke luar gedung, menuju rumah Naoto. Ia dengan tidak sabar menunggu taksi yang lewat.
Setelah berhasil mendapatkan taksi, Takumi bergegas menuju rumah Naoto yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantornya.
Berbagai macam pikiran mulai bermunculan di kepala Takumi. Perasaannya campur aduk. Tapi ia masih percaya bahwa berita itu adalah bohong.
Setelah sampai di tempat tujuan, Takumi berlari kencang masuk ke halaman rumah Naoto.
Disana Ia melihat banyak orang berpakaian serba hitam dan ada juga yang sedang menangis.
Ini pasti bohong, kan? Pemikiran itu selalu tertanam dikapalanya. Semua yang ada di depannya ini pasti sebuah halusinasi. Naoto tidak mungkin meninggal.
"Takumi-san?" seorang wanita mendekatinya, yang ternyata itu adalah Miko, istri dari Naoto.
"Miko, ada apa ini?" tanya Takumi. Ia tak mampu lagi memikirkan kata-kata yang tepat untuk sekedar bertanya.
"Kami kemarin saling adu mulut. Aku memutuskan untuk bercerai dari Naoto, tapi dia menolak dengan tegas padahal percuma saja kita mempertahankan rumah tangga ini. Aku sudah tak mau bersamanya lagi. Dia bilang akan mempertahankan bagaimanapun caranya agar aku tetap bersamanya dan Miho," kata Miko menjelaskan.
Raut wajah wanita itu tidak menunjukkan rasa sedih sama sekali. Itu membuat Takumi jadi semakin yakin bahwa Miko sebenarnya menginginkan Naoto untuk tersingkir dari hidupnya.
"Dan tadi pagi aku mendapat kabar dari ibunya Naoto. Bahwa Naoto gantung diri di kamarnya. Aku sangat shock mendengar itu, begitupula dengan Miho. Dia tak berhenti menangis dari pagi," lanjutnya lagi.
Takumi meminta ijin untuk melihat jenazah Naoto. Dan disetujui oleh Miko.
Kedua tangan Takumi terkepal, ia marah kepada dirinya sendiri karena tidak bisa sedikitpun membantu temannya yang sedang kesusahan. Dirinya memang bodoh tak mendengarkan dengan jelas apa yang ingin coba Naoto sampaikan padanya. Takumi hanya bisa menyesal sekarang. Teman yang ia kenal sejak mulai bekerja di perusahaan. Orang yang pertama kali mengajaknya minum dan teman yang selalu ada untuknya sekarang sudah tiada, meninggalkan dunia ini. Meninggalkan dirinya.
Perasaan Takumi menjadi kalut. Coba saja ia tak berteriak seperti itu pada Naoto semua ini tidak akan pernah terjadi. Coba saja kemarin ia mencoba mendengarkan dengan baik apa keluhan yang ingin di ungkapkan oleh pria berumur satu tahun dibawahnya itu. Takumi merasa sangat bersalah sekarang, sangat bersalah.
"Naoto, gomennasai. Semoga kau baik-baik saja disana. Sayōnara, Mitsuhashi Naoto," ucapnya pada Naoto yang terlihat damai diatas peti.
___
Sudah sekitar satu minggu berlalu sejak Naoto meninggal dunia. Berita tentang dirinya yang mati karena bunuh diri sedikit demi sedikit mulai meredup di kantor.
Begitulah manusia, mereka hanya mengingat tentang keburukanmu. Kebaikanmu yang selalu kau lakukan akan di lupakan begitu saja. Sungguh ironis bukan.
Dan sekarang Takumi sedang berada di sebuah kafe bersama dengan Junko di depannya. Gadis itu juga sudah tahu tentang teman Takumi yang bunuh diri. Tentu saja Takumi yang memberitahunya. Karena ia tak tahu harus bercerita kepada siapa, jadi Takumi putuskan untuk bercerita pada Junko.
"Paman, jangan membuat wajah sedih seperti itu terus. Aku jadi ikut bersedih jika wajah tampanmu begitu," kata Junko, matanya yang bulat menatap Takumi. "Bukankah teman paman akan bersedih juga jika paman murung seperti ini. Hmm?"
Takumi memandang Junko, kemudian seulas senyuman Takumi berikan kepadanya. Gadis itu tersenyum lebar. Kemudian Junko menyuruh Takumi untuk minum cokelat miliknya. Gadis itu mengatakan, meminum cokelat akan memperbaiki suasana hati yang sedang bersedih.
"Manis sekali," Takumi hampir menyemburkan cokelat yang terasa sangat manis itu di mulutnya.
"Kalau tidak suka bilang saja," gerutu Junko.
Takumi meminta maaf pada gadis itu, ia tak terbiasa meminum minuman manis jadi reaksinya mungkin berlebihan dimata Junko.
"Nakamura-san bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Takumi.
Junko menggeleng, "Membosankan, sangat-sangat membosankan," kata gadis itu sambil menekan kalimatnya agar Takumi tahu seberapa 'membosankan'-nya kehidupan SMA Junko.
"Hehh,... tapi jika kau punya seseorang yang kau sukai mungkin kehidupan SMA mu lebih menyenangkan, bukan?" ujar Takumi yang malah dijawab dengan tatapan tajam milik gadis itu. "Maaf, aku tak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu. Maafkan aku."
"Aku sudah memiliki orang yang aku suka," katanya, "Lagipula laki-laki di sekolah tidak ada satupun yang menarik perhatianku. Semuanya membosankan."
Junko kali ini mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya tentang kenapa Takumi bisa kenal dengan ayah dari Yuka. Takumi hanya menjawab bahwa ada banyak hal yang terjadi, karena itu ia bisa mengenal Yatsumura Hiroomi -ayah Yuka-.
"Paman, kapan-kapan kita bersepeda bersama ya. Aku ingin menaiki sepeda bersamamu. Mau, ya?" ajak Junko. Gadis itu menautkan jari-jari tangannya dan meletakkannya didepan dada. Membuat permohonan pada Takumi.
Takumi yang melihat itu tentu saja tidak bisa menolak. Junko memang selalu berhasil membuatnya tidak berkutik ketika meminta sesuatu. Dan Takumi juga tipe orang yang tidak bisa mengabaikan permintaan orang lain.
___
Akhir pekan yang ditunggu akhirnya tiba. Takumi yang sudah memakai pakaian santainya - kemeja tipis yang dibalut sweater serta celana training- saat ini sedang duduk di atas sebuah sofa sambil menikmati segelas kopi. Masih ada waktu sekitar 1 jam lagi sebelum ia dan Junko bertemu.
Ya, mereka sudah berjanji akan bersepeda akhir pekan ini. Tapi yang membuat Takumi bertanya-tanya bukankah ia tak memiliki sepeda, bagaimana ia mau bersepeda jika tidak memiliki benda beroda dua itu?
Takumi meletakkan tangannya di dagu, apakah ia harus pergi ke tempat peminjaman sepeda terlebih dahulu untuk menyewanya, atau nanti saja ketika gadis itu datang? Mana yang harus Takumi lakukan, ia bingung.
Terlalu menghayati dalam berpikir sampai-sampai Takumi tak menyadari bel pintu rumahnya sudah bunyi beberapa kali. Dan bunyi berikutnya menyadarkan Takumi dari lamunan. Ia segera bangkit menuju pintu untuk mengetahui siapa yang datang ke rumahnya.
"Nakamura-san?" Ia terkejut mendapati Junko berada disana.
"Paman sedang apa sih, aku sudah memencet puluhan kali bel ini, tapi tidak ada respon sama sekali. Aku kira paman tidak ada dirumah." Junko menggerutu kesal karena Takumi lama sekali membukakannya pintu.
"Maafkan aku, tadi aku sedang-"
"Aku sudah menyiapkan sepeda untuk kita, lihatlah ke bawah!" Junko dengan sengaja memotong perkataan Takumi.
Takumi mendesah, bocah ini benar-benar membuatnya harus banyak-banyak bersabar.
"Iya baiklah."
Ia melihat ke bawah. Takumi heran, kenapa sepedanya hanya ada satu?
"Kenapa sepedanya hanya satu. Bukankah kita ini berdua?" tanya Takumi pada Junko.
"Tidak apa-apa. Nanti paman yang menyetir aku yang membonceng di belakang. Sudah ayo, nanti keburu hujan."
Hari ini langit Tokyo memang sedikit mendung, mungkin nanti akan turun hujan.
"Nakamura-san itu terlalu aneh." Tangan Takumi langsung di tarik paksa oleh Junko.
"Oi, kau mendengarkanku tidak?! Cih." Takumi berdecak, bisa-bisanya dia hanya diam saja diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang lebih muda darinya.
Tanpa di ketahui, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka berdua.
"Aku selalu menantikan ini sepanjang hidupku. Menaiki sepeda bersama dengan orang spesial. Rasanya benar-benar membahagiakan," kata Junko saat mereka mulai menyusuri jalanan bebatuan yang dekat dengan sungai
Takumi terus mengayuh, menghiraukan ucapan Junko. Tapi ia merasakan hal yang sama dengan gadis itu. Rasanya menyenangkan bisa bersepeda seperti ini.
Junko yang duduk menghadap belakang menempelkan punggung kecilnya pada punggung Takumi yang lebar. Kemudian mereka sama-sama tersenyum dalam diam sambil menikmati hembusan angin yang menerpa wajah.
Junko merasakan kepalanya semakin pusing ketika ia berjalan untuk menaiki tangga, menuju atap sekolah. Ia belum sarapan sama sekali pagi ini. Padahal dirinya sedang sakit. Junko dengan susah payah membawa dirinya ke sebuah kursi yang sering ia gunakan untuk menenangkan diri. Kemudian Ia mengerjapkan matanya beberapa kali supaya rasa sakit di kepalanya sedikit berkurang. "Konnichiwa, Jun-chan!" Seseorang yang tak asing mendekati Junko, menyapanya, kemudian ikut duduk di sebelahnya. "Kau kenapa, wajahmu kelihatan pucat. Kau sakit?" Junko sama sekali tidak menjawab pertanyaan dari kakak kelasnya itu, ia malah menghela napas ringan. Kenapa Kanna selalu saja muncul saat dirinya benar-benar ingin sendiri. Jika bukan karena ia malas berada di rumah, Junko sama sekali tidak akan berangkat ke sekolah dengan keadaannya sekarang. Telapak tangan Kanna di tempelkan ke dahi Junko, lalu bertanya, "Kau sakit. Kita ke UKS ya?" Junko menggeleng
"Kau yakin ingin pulang sendirian, Junko-chan?" Kanna bertanya untuk yang ketiga kalinya pada Junko, apakah Junko yakin pulang sendirian dengan keadaan yang terlihat agak mengkhawatirkan."Aku baik-baik saja. Tidak apa-apa, Kanna-san tidak perlu cemas." Junko meyakinkanKanna bahwa ia bisa pulang sendiri tanpa di antar. Apalagi jarak stasiun dengan sekolah tak terlalu jauh, jadi ia akan baik-baik saja."Tapi kau kelihatan masih lemas, nanti jika pingsan di jalan, bagaimana?" Kanna masih berusaha membujuk, agar Junko mau menerima tawaran untuk di antar saja oleh dirinya."Tenang saja." Junko menepuk pundak Kanna dan tersenyum tipis.Kanna membuang nafas dan akhirnya menyerah. Junko memang lebih keras kepala, Kanna akui. "Baiklah, hati-hati," katanya ketus.Junko menanggapi kelakuan kakak kelasnya itu dengan tertawa kecil.Hari ini Junko tidak berniat langsung pulang kerumah. Ia memutuskan untuk pergi ke taman tempat ia be
Kemarin adalah hari yang paling membahagiakan bagi Takumi. Saling mengungkapkan isi hati dan perasaan satu sama lain adalah hal tersulit bagi semua orang, termasuk dirinya. Meskipun Takumi dan Junko tahu, bahwa kebahagian itu pasti akan ada rintangannya. Tapi mereka berdua percaya, setiap masalah pasti akan ada solusi. Bahkan jika sesuatu yang mungkin akan membuat salah satu dari mereka terluka. Takumi siap dengan resiko itu.Takumi sekerang sedang mengumpulkan beberapa informasi yang ia dapat dari Junko. Gadis itu mengatakan padanya, bahwa semenjak Junko kecil tidak pernah sekalipun bertemu dengan ayahnya dan sampai sekarang Junko tak tahu siapa nama ayahnya dan dimana pria itu berada sekarang. Kalaupun Junko bertanya pada ibunya, Mayumi selalu mengalihkan pembicaraan atau tidak menjawab sama sekali.Takumi menopang dagu. Menggigit bibir bawahnya, kemudian tiba-tiba ia teringat suatu hal. Ia pernah satu kali memergoki Mayumi bersama dengan seorang pria saat m
Junko tak bisa menahan rasa bahagianya ketika mendapat pesan singkat dari Takumi. Pria itu mengajaknya untuk pergi ke Festival Hanabi. Festival yang di adakan setahun sekali setiap musim panas. Jarak tempat untuk menyaksikan kembang api pun sepertinya tidak terlalu jauh dari rumahnya.Junko belum pernah sekalipun pergi ke Festival semacam itu sejak kecil, karena ia selalu di kurung di rumah dan tidak di ijinkan untuk keluar oleh ibunya.Untuk pertama kali dalam hidupnya Junko mendapat tawaran untuk melihat kumpulan kembang api yang meledak-ledak di langit itu dari seseorang yang spesial.Takumi mengatakan akan menjemputnya jam 8 malam nanti. Betapa senangnya Junko hari ini dan sampai ia hampir meneteskan air mata.Junko menepuk-nepuk pipinya. "Yosh!! Mungkin ini adalah kesempatan bagus untuk aku bisa lebih dekat dengannya." Kepercayaan diri Junko semakin bertambah sekarang. Semoga saja malam ini akan menjadi malam panjang yang membahagiakan.
"Junko?"Meski jarak mereka berjauhan, Junko masih bisa membaca gerak bibir Takumi yang mengucapkan namanya. Junko masih mematung disana, melihat pria yang ia sukai bersama ibunya. Mungkin lebih baik ia pulang dan melupakan segalanya malam ini. Iya, itu adalah pilihan terbaik untuknya.Dengan enggan Junko memutar tubuhnya, menghembuskan napasnya sebentar lalu mulai menggerakkan kakinya. Malam ini dan seterusnya, Junko tak akan lagi berharap pada apapun dan siapapun. Karena percuma saja, kepercayaannya selalu di runtuhkan oleh takdir. Yang Junko rasakan saat ini adalah rasa kecewa yang dalam, bukan terhadap Takumi tetapi terhadap dirinya sendiri.Baru beberapa langkah Junko bergerak dari tempatnya tadi, tiba-tiba pergelangan tangannya digenggam oleh seseorang. Seseorang itu menarik tubuh kecilnya sampai Junko hampir terjatuh. Dia kemudian menempatkan dirinya berdiri di depan Junko. Napas orang itu memburu, mungkin dia tadi berlari mengejarnya."Junko! Tunggu!" Sa
"Jun-chan, Ohayou!" Kanna muncul dari balik pintu dan menyapa Junko dengan ceria, seperti biasa."Oh, Kanna-san," Junko menoleh kearah kakak kelasnya itu, "Ohayou."Mata Kanna menyipit sambil berjalan kearah Junko, kemudian dia mendekatkan wajahnya ke wajah Junko. Dia menilik-nilik dengan alis terangkat lalu mengernyit heran."Ada...apa, Kanna-san?" Junko menjadi gugup karena di perlakukan seperti itu.Setelah beberapa saat menatap, Kanna akhirnya menjauhkan wajahnya, dia melipat tangannya di dada dan berkata , "Kau terlihat lebih ceria hari ini."Junko kebingungan, ia tidak mengerti apa yang coba Kanna bicarakan. "Apa maksudmu? Aku tidak paham.""Wajahmu terlihat lebih cantik jika kau tidak murung. Lihat!" Kanna mengarahkan sebuah kaca ke wajah Junko, "Tetaplah seperti ini agar kau terlihat lebih dan lebih cantik lagi Jun-chan."Junko mengulas senyuman tipis. Dia berpikir, apakah ia boleh merasa seperti ini. Merasakan kebahagiaan seperti orang lain.
"Paman!"Suara yang Familiar menyapa gendang telinga Takumi. Disana, Junko melambai sambil tersenyum padanya. Ia selalu heran pada dirinya sendiri yang selalu merasa tenang jika melihat wajah cantik milik Junko. Iya, hanya dengan melihat wajah gadis itu, perasaan Takumi langsung membaik."Maaf aku sedikit terlambat. Kau pasti sudah lama menunggu, kan?"Takumi menggeleng, "Tidak. Aku baru saja sampai," katanya.Junko membawa tubuhnya untuk duduk disebelah Takumi."Wahh.. aku baru tahu kalau pemandangan taman ini bisa sebagus itu pada malam hari," ujar Junko, gadis itu memandang keatas langit yang dipenuhi oleh bintang-bintang dengan cahaya terangnya."Hmmm.." Takumi bergumam sambil melirik wajah Junko. Wajah yang ternyata mirip sekali dengan Mayumi. Tapi kenapa ibunya itu bisa memperlakukan Junko begitu kejam, padahal semua itu bukanlah kesalahan yang gadis ini buat"Paman, aku sangat-sangat bahagia mendengar bahwa aku bukanlah anakmu," ucap Junko dis
Takumi meletakkan tangannya di atas kening untuk menghalangi cahaya matahari yang terasa menyilaukan matanya. Ia baru saja membuka toko. Dan sekarang ia hanya menunggu para pembali buku itu berdatangan.Toko buku milik Tosaka menyediakan berbagai macam buku. Disini juga menyediakan koleksi manga untuk para anak muda yang menggemarinya. Biasanya yang buku komik yang laris itu, dari genre Shoujo. Genre percintaan antara lawan jenis ataupun sesama jenis."Ohayou..." sapa Tosaka yang baru sampai di toko."Ah, ohayou gozaimasu," sahut Takumi. Ia baru teringat sesuatu, dia harus meminta ijin pada Tosaka kalau hari ini Takumi akan menemui Junko."Ano... Tosaka-san. Bolehkan kalau jam istirahat siang aku gunakan untuk bertemu Junko?" tanyanya.Pria dengan senyuman khas itu menoleh, "Boleh, tidak masalah.""Arigatou," ucap Takumi lalu membungkuk.___"Kau mau?" Junko menawarkan dan menyodorkan parfait cokelat kesukaannya pada Takumi."Jarang sekali ka