Share

Empat

Penulis: Mika Senpai
last update Terakhir Diperbarui: 2022-02-19 13:13:16

     Takumi pikir ada tempat selanjutnya yang akan mereka berdua kunjungi, tapi ternyata hanya Kuil. Ia mendesah berkali-kali mengingat betapa bodohnya mengharapkan dan membayangkan tempat-tempat yang menyenangkan yang akan mereka datangi ketika di Kyoto.

     Takumi mengacak-acak rambutnya, kesal dengan pemikiran tidak jelasnya itu.

     "Ehh, benarkah? Jadi berita itu tidak bohong ya."

Telinga Takumi tak sengaja mendengar teman kantornya sedang membicarakan sesuatu yang sepertinya serius.

     Tapi ia tak peduli sama sekali, selama itu tak menyangkut dirinya.

     "Pantas saja dia tidak bisa dihubungi."

     "Hmm. Tapi keputusan bunuh diri itu benar-benar keputusan yang terlalu berlebihan."

     "Benar, benar."

     Tunggu. Bunuh diri? Siapa?

     "Siapa yang bunuh diri?" Takumi bertanya kepada mereka yang sedang bergosip itu.

     "Ehh,... Masato-san tidak tahu? Bukankah kalian berteman?" Masaki yang menjawab pertanyaan Takumi.

     "Iya, bukankah kalian berteman." Yuki menambahi.

     "Siapa?" Takumi makin bingung, siapa yang disebut teman-nya itu.

     "Masato-san itu loh, Mitsuhashi Naoto," ujar Masaki.

Deg... 

     Waktu seakan berhenti ketika nama Naoto di sebutkan. Mulut Takumi terbuka begitupula dengan matanya yang terbelalak mendengar itu. Naoto bunuh diri? Itu pasti bohong, kan.

     "Takumi kau tidak apa-apa?" seru Yuki yang menyadari bahwa Takumi hanya diam disana karena mendengar berita itu.

     "Kalian pasti berbohong kan. Kalian semua pasti bohong," seru Takumi. Ia tak mungkin percaya pada berita semacam itu. Ia tak percaya sebelum membuktikan sendiri dengan mata kepalanya.

     Setelah mengucapkan itu Takumi bangkit dari duduknya, meninggalkan pekerjaannya begitu saja dan segera berlari sekencang mungkin ke luar gedung, menuju rumah Naoto. Ia dengan tidak sabar menunggu taksi yang lewat.

     Setelah berhasil mendapatkan taksi, Takumi bergegas menuju rumah Naoto yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kantornya.

     Berbagai macam pikiran mulai bermunculan di kepala Takumi. Perasaannya campur aduk. Tapi ia masih percaya bahwa berita itu adalah bohong. 

     Setelah sampai di tempat tujuan, Takumi berlari kencang masuk ke halaman rumah Naoto.

     Disana Ia melihat banyak orang berpakaian serba hitam dan ada juga yang sedang menangis. 

     Ini pasti bohong, kan? Pemikiran itu selalu tertanam dikapalanya. Semua yang ada di depannya ini pasti sebuah halusinasi. Naoto tidak mungkin meninggal.

     "Takumi-san?" seorang wanita mendekatinya, yang ternyata itu adalah Miko, istri dari Naoto.

     "Miko, ada apa ini?" tanya Takumi. Ia tak mampu lagi memikirkan kata-kata yang tepat untuk sekedar bertanya.

     "Kami kemarin saling adu mulut. Aku memutuskan untuk bercerai dari Naoto, tapi dia menolak dengan tegas padahal percuma saja kita mempertahankan rumah tangga ini. Aku sudah tak mau bersamanya lagi. Dia bilang akan mempertahankan bagaimanapun caranya agar aku tetap bersamanya dan Miho," kata Miko menjelaskan.

     Raut wajah wanita itu tidak menunjukkan rasa sedih sama sekali. Itu membuat Takumi jadi semakin yakin bahwa Miko sebenarnya menginginkan Naoto untuk tersingkir dari hidupnya.

     "Dan tadi pagi aku mendapat kabar dari ibunya Naoto. Bahwa Naoto gantung diri di kamarnya. Aku sangat shock mendengar itu, begitupula dengan Miho. Dia tak berhenti menangis dari pagi," lanjutnya lagi.

     Takumi meminta ijin untuk melihat jenazah Naoto. Dan disetujui oleh Miko.

     Kedua tangan Takumi terkepal, ia marah kepada dirinya sendiri karena tidak bisa sedikitpun membantu temannya yang sedang kesusahan. Dirinya memang bodoh tak mendengarkan dengan jelas apa yang ingin coba Naoto sampaikan padanya. Takumi hanya bisa menyesal sekarang. Teman yang ia kenal sejak mulai bekerja di perusahaan. Orang yang pertama kali mengajaknya minum dan teman yang selalu ada untuknya sekarang sudah tiada, meninggalkan dunia ini. Meninggalkan dirinya.

     Perasaan Takumi menjadi kalut. Coba saja ia tak berteriak seperti itu pada Naoto semua ini tidak akan pernah terjadi. Coba saja kemarin ia mencoba mendengarkan dengan baik apa keluhan yang ingin di ungkapkan oleh pria berumur satu tahun dibawahnya itu. Takumi merasa sangat bersalah sekarang, sangat bersalah.

     "Naoto, gomennasai. Semoga kau baik-baik saja disana. Sayōnara, Mitsuhashi Naoto," ucapnya pada Naoto yang terlihat damai diatas peti.

___ 

     Sudah sekitar satu minggu berlalu sejak Naoto meninggal dunia. Berita tentang dirinya yang mati karena bunuh diri sedikit demi sedikit mulai meredup di kantor.

     Begitulah manusia, mereka hanya mengingat tentang keburukanmu. Kebaikanmu yang selalu kau lakukan akan di lupakan begitu saja. Sungguh ironis bukan.

     Dan sekarang Takumi sedang berada di sebuah kafe bersama dengan Junko di depannya. Gadis itu juga sudah tahu tentang teman Takumi yang bunuh diri. Tentu saja Takumi yang memberitahunya. Karena ia tak tahu harus bercerita kepada siapa, jadi Takumi putuskan untuk bercerita pada Junko.

    "Paman, jangan membuat wajah sedih seperti itu terus. Aku jadi ikut bersedih jika wajah tampanmu begitu," kata Junko, matanya yang bulat menatap Takumi. "Bukankah teman paman akan bersedih juga jika paman murung seperti ini. Hmm?"

    Takumi memandang Junko, kemudian seulas senyuman Takumi berikan kepadanya. Gadis itu tersenyum lebar. Kemudian Junko menyuruh Takumi untuk minum cokelat miliknya. Gadis itu mengatakan, meminum cokelat akan memperbaiki suasana hati yang sedang bersedih.

     "Manis sekali," Takumi hampir menyemburkan cokelat yang terasa sangat manis itu di mulutnya.

     "Kalau tidak suka bilang saja," gerutu Junko.

     Takumi meminta maaf pada gadis itu, ia tak terbiasa meminum minuman manis jadi reaksinya mungkin berlebihan dimata Junko.

     "Nakamura-san bagaimana dengan sekolahmu?" tanya Takumi.

     Junko menggeleng, "Membosankan, sangat-sangat membosankan," kata gadis itu sambil menekan kalimatnya agar Takumi tahu seberapa 'membosankan'-nya kehidupan SMA Junko.

     "Hehh,... tapi jika kau punya seseorang yang kau sukai mungkin kehidupan SMA mu lebih menyenangkan, bukan?" ujar Takumi yang malah dijawab dengan tatapan tajam milik gadis itu. "Maaf, aku tak bermaksud untuk mencampuri urusan pribadimu. Maafkan aku."

     "Aku sudah memiliki orang yang aku suka," katanya, "Lagipula laki-laki di sekolah tidak ada satupun yang menarik perhatianku. Semuanya membosankan."

     Junko kali ini mengalihkan topik pembicaraan dengan bertanya tentang kenapa Takumi bisa kenal dengan ayah dari Yuka. Takumi hanya menjawab bahwa ada banyak hal yang terjadi, karena itu ia bisa mengenal Yatsumura Hiroomi -ayah Yuka-.

     "Paman, kapan-kapan kita bersepeda bersama ya. Aku ingin menaiki sepeda bersamamu. Mau, ya?" ajak Junko. Gadis itu menautkan jari-jari tangannya dan meletakkannya didepan dada. Membuat permohonan pada Takumi.

     Takumi yang melihat itu tentu saja tidak bisa menolak. Junko memang selalu berhasil membuatnya tidak berkutik ketika meminta sesuatu. Dan Takumi juga tipe orang yang tidak bisa mengabaikan permintaan orang lain.

___ 

     Akhir pekan yang ditunggu akhirnya tiba. Takumi yang sudah memakai pakaian santainya - kemeja tipis yang dibalut sweater serta celana training- saat ini sedang duduk di atas sebuah sofa sambil menikmati segelas kopi. Masih ada waktu sekitar 1 jam lagi sebelum ia dan Junko bertemu.

    Ya, mereka sudah berjanji akan bersepeda akhir pekan ini. Tapi yang membuat Takumi bertanya-tanya bukankah ia tak memiliki sepeda, bagaimana ia mau bersepeda jika tidak memiliki benda beroda dua itu?

     Takumi meletakkan tangannya di dagu, apakah ia harus pergi ke tempat peminjaman sepeda terlebih dahulu untuk menyewanya, atau nanti saja ketika gadis itu datang? Mana yang harus Takumi lakukan, ia bingung.

     Terlalu menghayati dalam berpikir sampai-sampai Takumi tak menyadari bel pintu rumahnya sudah bunyi beberapa kali. Dan bunyi berikutnya menyadarkan Takumi dari lamunan. Ia segera bangkit menuju pintu untuk mengetahui siapa yang datang ke rumahnya.

     "Nakamura-san?" Ia terkejut mendapati Junko berada disana.

     "Paman sedang apa sih, aku sudah memencet puluhan kali bel ini, tapi tidak ada respon sama sekali. Aku kira paman tidak ada dirumah." Junko menggerutu kesal karena Takumi lama sekali membukakannya pintu.

     "Maafkan aku, tadi aku sedang-"

     "Aku sudah menyiapkan sepeda untuk kita, lihatlah ke bawah!" Junko dengan sengaja memotong perkataan Takumi.

     Takumi mendesah, bocah ini benar-benar membuatnya harus banyak-banyak bersabar.

     "Iya baiklah."

     Ia melihat ke bawah. Takumi heran, kenapa sepedanya hanya ada satu?

     "Kenapa sepedanya hanya satu. Bukankah kita ini berdua?" tanya Takumi pada Junko.

    "Tidak apa-apa. Nanti paman yang menyetir aku yang membonceng di belakang. Sudah ayo, nanti keburu hujan."

     Hari ini langit Tokyo memang sedikit mendung, mungkin nanti akan turun hujan.

    "Nakamura-san itu terlalu aneh." Tangan Takumi langsung di tarik paksa oleh Junko.

     "Oi, kau mendengarkanku tidak?! Cih." Takumi berdecak, bisa-bisanya dia hanya diam saja diperlakukan seperti ini oleh seseorang yang lebih muda darinya.

     Tanpa di ketahui, ada sepasang mata yang memperhatikan mereka berdua.

     "Aku selalu menantikan ini sepanjang hidupku. Menaiki sepeda bersama dengan orang spesial. Rasanya benar-benar membahagiakan," kata Junko saat mereka mulai menyusuri jalanan bebatuan yang dekat dengan sungai

    Takumi terus mengayuh, menghiraukan ucapan Junko. Tapi ia  merasakan hal yang sama dengan gadis itu. Rasanya menyenangkan bisa bersepeda seperti ini.

     Junko yang duduk menghadap belakang menempelkan punggung kecilnya pada punggung Takumi yang lebar. Kemudian mereka sama-sama tersenyum dalam diam sambil menikmati hembusan angin yang menerpa wajah.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Two Sides Of The Same Coin   Empat Puluh Lima

    "Okaa-san tak seharusnya melakukan itu!"Napas Takumi terengah-engah saat ini. Ia benar-benar marah dengan ibunya yang selalu saja mencampuri urusannya."Aku hanya ingin melihatmu bahagia lagi bersama dengan Sakurai, Takumi. Mengapa kau menganggapku sebagai wanita pengganggu di hidupmu?" ucap ibu Takumi, wajahnya terlihat sedih, namun Takumi yakin semua itu hanya akting saja."Kau harus lihat ini! Agar kau tak menyangka Sakurai adalah wanita yang baik!" Takumi mengeluarkan ponselnya dari saku celananya dan memperlihatkan foto Hashimoto Sakurai bersama dengan pria lain. Mereka sedang bermesraan disana. "Kau lihat, kan?! Kau lihat kelakuan Sakurai selama ini di belakangmu?"Ibunya terlihat sangat terkejut, dia sampai menutup mulutnya sendiri dengan tangan dan kehilangan kata-kata untuk menjawab pertanyaan Takumi."Sekarang kau sudah lihat bagaimana kelakuannya. Dia juga sebelumnya sama seperti itu Okaa-san, saat kita masih menjadi suami istri. Apa kau tidak kasihan

  • Two Sides Of The Same Coin   Empat Puluh Empat

    Junko, Kanna dan juga Ryota sedang makan di kedai ramen dekat sekolah.Mereka mengobrol santai seperti biasa, sampai Kanna membahas masalah itu kembali kepasa keduanya."Aku akan menginap lagi malam ini di rumah Jun-chan. Bagaimana denganmu Ryo-kun?" tanya Kanna pada Ryota yang tengah menyeruput mie-nya."Maafkan aku, tapi malam ini aku ada latihan sampai malam. Jadi aku tak bisa ikut," kata Ryota."Baiklah kalau begitu," ujar Kanna."Nanti hubungi sana aku jika kalian membutuhkan sesuatu. Aku pasti akan datang," kata Ryota sambil mengulas senyumannya.Kanna mengangguk dan kembali melakukan kegiatannya memakan ramen yang masih panas itu."Ngomong-ngomong terima kasih atas traktirannya!" ucap Kanna.Ryota mengangguk sambil tersenyum.Selesai makan mereka kembali ke sekolah untuk mengambil tas mereka masing-masing. Tapi berbeda dengan Ryota, dia akan ada latihan sampai malam jadi tidak bisa pulang.Junko dan Kanna pulang ke rumah Junko. Mereka b

  • Two Sides Of The Same Coin   Empat Puluh Tiga

    Junko memandang kosong jauh ke depan. Entah apa yang sedang ia lihat, karena hanya bayangan putih dari salju yang menyelimuti gedung-gedung dibawah sana.Sesekali Junko menghela napas dengan mulutnya, siapa tahu beban di pikirannya perlahan menghilang, seperti asap yang ditimbulkan dari ia menghela napas.Perlahan tangan Junko bergerak ke arah lehernya yang terbungkus syal tebal, kemudian ia menghela napas lagi dan mulai menangis dalam diam.Junko tak menangisi dirinya yang selalu ditimpa kemalangan, tapi ia menangis untuk orang-orang yang ada disekitarnya karena mereka juga ikut terkena masalah karena berbuat baik kepadanya.Tak masalah jika hanya ia yang terluka, tapi jika orang-orang disekitarnya yang terluka, Junko tak tahu harus bagaimana lagi.Ia takut, takut jika harus kehilangan mereka lagi. "Jun-chan?" Suara Kanna dari belakang menginterupsinya.Junko berbalik dan menatap Kanna sambil tersenyum tipis, menyapanya."Disini sangat dingin, kenap

  • Two Sides Of The Same Coin   Empat Puluh Dua

    "Jadi, hal apa yang ingin kau bicarakan?" Akihiko Ryota memulai percakapannya dengan sebuah pertanyaan.Sebelum menjawab, kedua tangan Takumi di masukkan ke dalam saku celananya. Ia menatap Ryota lekat sampai anak laki-laki itu mengerutkan keningnya. "Kenapa kau ada di rumah Junko selarut ini?" tanya Takumi."Hm?" Ryota juga membawa tangannya untuk di masukkan ke kantung celananya. "Yah, aku, Kanna-san dan juga Nakamura-san sedang ada tugas sekolah. Jadi kami mengerjakannya bersama. Di rumah Nakamura-san," sambungnya."Sampai selarut ini?" tanya Takumi lagi. Ia tak percaya dengan omongan anak laki-laki ini."Iya, memangnya kenapa? Kau saja kemari selarut ini, apa tujuanmu ke rumah Nakamura-san?" tanya Ryota, dia membalikkan pertanyaannya kepada Takumi.Takumi mendengus mendengar pertanyaan itu dari Ryota. "Kau melihatnya sendiri kan? Aku membawakan Junko makanan untuknya," jawabnya."Tumben sekali." Celetukan Ryota membuat Takumi memandangnya tajam."Dan

  • Two Sides Of The Same Coin   Empat Puluh Satu

    "Rubah? Anak anjing? Apa maksudnya ini?" kata Kanna yang baru saja diberi tahu oleh Junko tentang kertas itu."Dari mana kau mendapatkannya Nakamura-san?" Kali ini Ryota yang bertanya kepada Junko."Aku mendapatkannya tadi malam. Ada seseorang yang melempar batu ke rumahku sampai kaca rumahku pecah. Dan ada kertas itu yang di selotip disana," kata Junko menjelaskan semuanya, bagaimana ia bisa mendapatkan kertas itu."APA?!!" Kanna sangat terkejut mendengar perkataan Junko."Kenapa?" tanya Junko yang ikut terkejut karena seruan Kanna tadi."Ada seseorang yang menerormu?" tanya Kanna. Wajahnya sengaja di dekatkan ke arah Junko, entah apa maksudnya.Junko menggeleng. "Aku tidak tahu. Tapi itu agak membuatku takut Kanna-san.""Kita harus mencari tahu siapa pelakunya!" seru Kanna. "Jika kau hanya diam saja diperlakukan seperti itu, maka dia akan terus memberimu teror Jun-chan." Kanna berdiri dari duduknya dan menunjuk Junko dengan serius."Itu benar N

  • Two Sides Of The Same Coin   Empat Puluh

    Memikirkan itu membuat kepalanya sakit, lebih baik ia menghubungi Nakamura Junko agar perasaannya jadi membaik. "Oh, hai, moshimoshi?" ucap Takumi ketika teleponnya diangkat oleh gadis itu. "Selamat malam Takumi-san. Ada apa kau menelpon?" sahut Nakamura Junko di seberang sana. Takumi berdeham. "Yah, aku hanya ingin menelponmu dan mengetahui kabarmu," katanya. Sungguh Takumi malu sekali saat mengatakan itu, meskipun ia sekarang menjalin sebuah hubungan spesial dengan gadis itu. "Aku baik-baik saja Takumi-san dan bagaimana denganmu?" Gadis itu balik bertanya. "Aku?... Hmmm... aku juga baik-baik saja kok," sahut Takumi, senyumannya mengembang kala gadis itu juga mengkhawatirkannya. "Bagaimana dengan sekolahmu? Apakah mereka masih membicarakan mu?" "Aku sudah baik-baik saja Takumi-san," tambahnya. "Ah, syukurlah. Aku ikut senang mendengarnya," kata Takumi. Ia ingin memberitahu gadis itu siapa pelakunya, tapi ia merasa kalau Junko akan khawatir te

  • Two Sides Of The Same Coin   Tiga Puluh Sembilan

    Akihiko Ryota duduk dihadapan Junko dan Kanna, memakai jaket abu-abu tebal membuat tubuh lelaki itu menjadi terlihat gemuk dan lucu."Hmm.. bolehkan aku bertanya soal kelanjutan masalahmu Nakamura-san?" tanya Ryota dengan hati-hati.Junko mengangguk. "Ini sudah mulai membaik Akihiko-san. Aku sudah tidak terlalu memikirkan perkataan mereka," jawabnya. "Kau tidak perlu khawatir tentang itu.""Yah syukurlah aku lega mendengarnya. Mereka hanya menyimpulkan omong kosong yang belum tentu faktanya. Menghakimimu seperti kau seorang penjahat, hah manusia memang seperti itu," ujar Ryota diakhir kalimat dia menghela nafasnya."Iya, mereka jahat seperti biasanya jika menyangkut permasalahn orang lain. Tanpa mengetahui fakta sebenarnya terlebih dahulu, mereka seenaknya menghakimi orang lain dengan sangat kejam," Kanna ikut berkomentar tentang masalah Junko.Junko merasa hatinya sangat penuh sekarang. Memiliki orang-orang baik seperti mereka berdua membuatnya sa

  • Two Sides Of The Same Coin   Tiga Puluh Delapan

    Takumi membuang nafasnya perlahan saat ia melihat Hashimoto Sakurai sedang berada di teras rumahnya. Tapi yang membuat Takumi mendesah adalah Sakurai, wanita itu sedang bersama seorang pria dan mereka seperti sangat akrab, serta... mesra?Sakurai tidak mungkin bisa melihat keberadaan Takumi, tapi Takumi bisa dengan jelas melihat wanita itu. Sungguh menjijikan, dia berkata kepada ibunya bahwa wanita itu hanya mencintai Takumi tapi sebenarnya dia hanya ingin memiliki harta keluarga Takumi."Dari dulu sampai sekarang, wanita itu tidak pernah berubah sedikit pun. Dan jika dibandingkan dengan Mayumi, dia lebih berhati iblis," ucap Takumi dengan suara pelan.Tak ada lagi yang harus di bicarakan, semuanya sudah jelas bukan. Hashimoto Sakurai adalah wanira rubah yang menginginkan segalanya dan untuk ke untungannya sendiri. Setelah Takumi mengambil foto Sakurai bersama pria lain itu, ia langsung pergi untuk kembali ke toko buku milik Tosaka.***Jika diband

  • Two Sides Of The Same Coin   Tiga Puluh Tujuh

    "Aku harus pergi," ujar Junko kepada Kanna dan Ryota."Baiklah kalau begitu hati-hati ya. Dan jangan terlalu memikirkan masalah ini nanti kau sakit," sahut Kanna sambil menepuk pundak Junko.Junko tersenyum lembut dan mengusap tangan Kanna yang masih bertengger di pundaknya. "Aku akan selalu ingat pesanmu Kanna-san. Baiklah aku harus pergi!"Setelah melambaikan tangan, Junko menghilang dibalik pintu, ia kemudian menuruni tangga dan dengan cepat menuju kearah gerbang untuk menemui seseorang. Ia sudah tidak peduli dengan omongan orang-orang di sekolah ini, mereka hanya bisa menghakimi seseorang tanpa melihat terlebih dahulu fakta yang ada."Takumi-san?" Junko berseru kearah Takumi saat pria itu menengok kesana kemari, mungkin sedang mencari dirinya."Ah Junko!" seru pria itu, dia terlihat senang saat mengetahui Junko ada dihadapannya.Junko menghampiri Takumi. "Takumi-san mari bicara ditempat lain. Disini terlalu ramai," ujarnya memberi alasan

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status