Share

Fault Line

Bukti kekacauan tadi malam berserakan di sana-sini. Tempat tidurnya belum diturunkan dan ada gaun merah terhampar di lantainya. Teriris hatinya, Vika melempar baju itu ke tempat sampah.

“Vikaaa!”

Terlonjak Vika sewaktu panggilan itu mendarat di gendang telinganya. Dia membalikkan badan. Di sana, berdiri satu sosok berperawakan kutilang darat alias kurus tinggi langsing dada rata. Bagian terakhir tak bisa disangkal karena jenis kelamin orang itu adalah laki-laki.

“Hei, wanita,” lalu berhenti sejenak karena matanya melayang ke seluruh penjuru kamar Vika yang berantakan. “Wanita musuhnya Marie Kondo.”

Terbit cengiran samar di wajah Vika. Mau tidak mau. Pasalnya, dia tahu betul Marie Kondo adalah pakar kerapian asal Jepang yang pasti akan pusing kepala menyaksikan kamarnya yang jauh dari kata terorganisir.

“Arman? Jauh-jauh ke sini?”

“Mirah Delima.”

Vika mengerutkan jidat. Berpikir keras-keras kenapa merek kosmetik itu yang jadi jawaban si teman kutilang. Apa laki-laki itu bermaksud meminjam koleksi riasan wajahnya yang bermerek tersebut?

“Bener, deh. Lo kudu minum Ginko Biloba.”

“Apa?” tanya Vika menyerah.

Sale, hari ini doang. Lima puluh persen ke atas.”

“Aaah.” Setelah mengaduk-aduk memorinya, barulah Vika mengingat rencana yang telah mereka buat seminggu lalu. “Belum mandi,” jelasnya karena penampilannya saat itu bertolak belakang dengan temannya. Arman memakai kemeja toska berkerah tinggi dilapisi sweater tipis dan scarf cokelat muda yang diikat dengan simpulnya menjuntai ke dada. Celana laki-laki itu berwarna cokelat gelap bergaya pensil yang menyempit ke mata kaki. Semua itu disempurnakan dengan alas kaki berjenis loafers dengan warna senada celana.

“Harus cepat-cepat, Vika. Tahu kan kalau sale gitu ngantrinya udah kayak ular?”

Dia tahu sudah berjanji. Hanya saja, suasana hatinya sangat buruk. Dia tidak enak hati karena temannya sudah di sini alih-alih berjumpa di tempat penjualan langsung.

“Gosok gigi aja dan kita cus,” kata Arman.

Vika mendesah sebelum berkata, “Arman, begini….” Vika kerepotan cara menjelaskan situasinya saat itu. Tapi, tetap dia coba, “Maaf banget, tapi gue nggak mau ke mana-mana. Gue mau mengakhiri hari di rumah aja.”

Biasanya laki-laki itu akan cerewet menyela omongannya. Namun, entah kenapa kali itu Arman hanya menguncupkan mulut. Dari tepi pintu, seraya menyilangkan tangan di dada, laki-laki itu memelototi Vika dari rambut ke ujung kaki.

Nonsense, nggak ada kata berakhir sebelum lo ikut gue. Sekarang! Dan, gue nggak akan pergi dari sini.”

Vika menemukan kekeraskepalaan pada mata laki-laki itu. Dia pun mematuhi dan beranjak ke kamar mandi tanpa mengetahui kalau diam-diam Arman menyimpan gaun merah yang dibuangnya tadi.

***

“Tuh kan, ngantrinya panjang gilaaa,” protes Arman sebaik mereka sampai di Grha Mirah Delima, kantor produsen kosmetik lokal terbesar di Indonesia. Bukan cuma itu, sudah lima tahun perusahaan itu berkiprah di pasar Asia. Jadi, tentu saja reputasinya tidak main-main.

“Maaf,” ucap Vika mengakui keterlambatan mereka karena ulah dirinya.

It’s okay, dear,” respons laki-laki yang mengantri di belakangnya itu menenangkan. Selanjutnya, Arman berceloteh, “Lo tahu nggak? Kemarin gue pemotretan fashion spread majalah, makeup-nya pakai MD. Modelnya pada suka, lho.” MD sebenarnya salah satu lini produk keluaran Mirah Delima yang disesuaikan untuk pasar internasional. Tapi lambat-laun menjadi sebutan pula bagi nama perusahaan kosmetik itu.

Vika mengangguk-angguk saja mendengar cerita Arman. Dia sendiri sudah memakai produk Mirah Delima sejak pertama kali mengenal makeup. Dulu, banyak yang meremehkan kualitasnya. Kalau menurut Vika, kemasan bernuansa jadul yang membuat orang sudah antipati duluan untuk mencoba. Apalagi produk riasan wajah dari luar negeri juga menjamur dan mudah didapatkan di Indonesia. Otomatis, Mirah Delima waktu itu kalah saing dengan produk sejenis yang mengandalkan promosi dan bentuk luar yang jauh lebih menarik.

“Lo gimana, Vik?”

“Heh?”

“Kerjaan lo yang kemarin? Ada yang gangguin?”

Arman pasti mengacu kepada profesinya sebagai perias jenazah. Sudah berulang kali dia menjelaskan bahwa dia tidak pernah mengalami hal-hal mistis selama menjalankan pekerjaannya. Jenazah yang dia makeup, sudah dalam keadaan bersih dan dibalsam. Selain itu, meskipun terkadang menangani sendirian, akan tetapi tidak jarang pihak keluarga ikut menemaninya dalam satu ruangan.

Vika pun hanya mengedikkan bahu. “Yang ada setan yang kabur ngeliat gue.” Nada suaranya bergetar sewaktu menemukan kehampaan pada kalimatnya. Bisa jadi itu benar. Saking jeleknya dia, makhluk halus pun memilih menghindarinya.

“Dari GKI, kan? Enak ya lo, dapat honornya gede pasti.”

Arman tidak salah. Profesi ini masih belum membanjiri laksana pegawai negeri sipil di negara ini, sedangkan marketnya ada. Orang-orang pasti sudah takut duluan akan kemungkinan-kemungkinan diganggu roh halus. Oleh sebab itu, ditinjau dari sisi honor, untuk perias jenazah kelas menengah sepertinya bisa mengantongi minimal dua juta setiap order dari keluarga kaya. Ya, tapi yang meninggal bukan hanya yang mampu membayar jutaan. Dan, Vika tidak mengesampingkan fakta tersebut. Makanya, tidak jarang pula dia memberikan jasa rias dengan harga yang miring bahkan gratis bagi yang membutuhkan tapi tidak punya bujet lebih.

“Gue cuma dapat 500 ribu, Vik. Terus, taksinya dipesanin online pula.”

Vika tersenyum simpul mendapati ironi tersebut. Bayaran makeup artist dalam pemotretan untuk halaman fesyen sebuah majalah terkenal yang glamor kalau jauh dibandingkan perias jenazah.

“Aduuuh, Vik. Antriannya masih lama nggak ya?”

Vika pun memanjangkan lehernya ke depan. Dengan ukuran tubuhnya yang tinggi saja, dia dapat melihat bahwa posisi mereka masih jauh dari depan. Tidak hanya mereka berdua yang tertarik membelanjakan uang untuk demi diskon gila-gilaan produk Mirah Delima. Sampai-sampai banyak yang rela antri demi mendapatkan jatah antrian masuk toko. Ya, oleh karena peminat yang membludak, produsen makeup itu memutuskan membatasi hanya sepuluh orang yang boleh masuk setiap 30 menit. Jadi kalau waktu yang diperbolehkan sudah habis, orang-orang itu wajib keluar untuk digantikan sepuluh pengantri berikutnya.

Untuk pertama kalinya sejak mereka tiba, Vika menengok sekeliling. Banyak pengunjung antrian yang berusaha ekstra keras hari ini dengan memoles wajah mereka menor-menor. Terintimidasi dengan gerombolon cewek-cewek keren dalam antrian, Vika mengadu, “Man, yang datang pada stylish banget, ya?”

“Pasti semua MUA berebutan datanglah, Vik.”

Dia menyesal datang ke sana dengan muka polos dan rambut yang diuntel-untel seadanya. Refleks, Vika menarik hoodie agar menutupi kepalanya serta menunduk dan mengecilkan tubuhnya agar lolos dari pusat perhatian orang-orang.

“Gue ke depan, deh.”

“Jangan motong antrian. Bisa-bisa kita diserang nanti.” Vika tidak salah untuk waspada karena hari yang semakin sore dapat mengurangi kesabaran seseorang.

“Cuma mau nanya barangnya masih banyak, nggak? Kalau kehabisan, ngapain capek-capek ngantri.”

Ide bagus, pikir Vika dalam hati sehingga dia menganggukkan kepala tanda setuju dengan laki-laki itu.

Arman keluar dari antrian yang mengakibatkan orang lain lagi yang akan mengisi posisi di belakang gadis gendut itu. Namun, tiba-tiba punggungnya terantuk sesuatu. Belum sempat Vika melayangkan teguran, sudah ada teriakan “Hei, jangan dorong-dorong,” entah dari siapa. Setelahnya ruangan riuh oleh jeritan khas ala cewek-cewek dan omelan dari sana-sini.

Untungnya, lima sekuriti dikerahkan untuk menengahi keributan. Kali ini mereka memberikan tiga stop point untuk memisahkan antrian. “Isi yang kosong, ya,” perintah salah satu sekuriti lewat pengeras suara.

“Mbak!” Sekuriti yang ada di dekatnya menghardik Vika seraya menunjuk tempat kosong di sebelah.

Vika mengikuti arahan Sang Sekuriti. Dia tersenyum basa-basi kepada pengantri di depannya yang riasannya mengalahkan artis Hollywood pada saat di karpet merah. Pada muka perempuan yang sudah cantik itu terpulas eye shadow emas bergaya smokey, blush on jambon, dan bibir merah cabai. Sebagai perias jenazah, spontan saja Vika berpikir bahwa sebaiknya pilih satu bagian sebagai fokus, dari pada tiga fitur wajah berebutan mencari perhatian.

Tak disangka-sangka, antrian Vika sekarang cepat berjalan. Bukannya senang, dia justru panik karena Arman belum kembali ke tempatnya berdiri. Pasalnya, laki-laki itu bukan yang tadi begitu semangat memborong barang-barang sale hari ini?

Next!”

Vika sedang mengedarkan tatapan sewaktu punggungnya didorong pengantri di belakangnya. Barulah dia menyadari kalau sudah sampai di paling depan antrian.

“Nggak salah?” celetuk kru yang ditugaskan menjaga pintu masuk toko.

“Heh?” Jelas-jelas Vika menunggu persetujuan petugas tersebut untuk menjelajah toko. Tapi kenapa dibiarkan berdiri saja.

“Mbaknya daftar Puteri Nusantara?” tanya petugas itu lagi.

“Heh?”

“Ini antrian buat ikut beauty pageant, Mbak,” kata kru tersebut seraya memelototinya dari jidat, berhenti di perut Vika yang membuncit, kemudian kepada pahanya yang terbungkus celana jeans dan berhimpitan satu sama lain.

Aduh. Apa ini bukan bazar diskon Mirah Delima? Apa Arman menipu dan bermaksud mengerjainya? Dia melongok sekeliling mencari teman seprofesinya itu. Tidak ada. Vika jengah. Apalagi sekarang bukan hanya petugas yang mengamatinya keheranan. Menoleh ke kanan, ada pengantri di depannya tadi yang mencibir dan memutar bola matanya. Tidak butuh seorang ilmuwan untuk mengartikan bahwa perempuan itu menertawakannya. Vika tidak menyalahkannya. Dalam waktu seribu tahun sekalipun, tidak mungkin wanita sepertinya ikut kontes kecantikan. Dia jelek. Dia buruk rupa. Dia tidak pantas. Dia sama sekali tidak berharga. Begitu kata hati Vika memborbardir. Diserang oleh sisi jahat dan visual dalam otaknya sewaktu kopi daratnya dengan Bhari, matanya mulai tergenang.

“Silakan Mbak isi formulir ini.”

Sebuah dokumen bersampul merah jambu tersodor di bawah dagu Vika. Tulisan “Data Peserta Puteri Nusantara” tertera di atasnya. Gadis itu mengangkat kepala. Bayangan seorang laki-laki berambut cepak ala militer dan berhidung mancung memenuhi pupil matanya. Senyum pria itu membekaskan lesung pada pipi. Ada kenangan tersembunyi dari senyum tersebut. Vika meraba-raba labirin otaknya.

“Pak Revat. Antriannya nggak maju-maju,” sela petugas yang bertanggung jawab di meja registrasi.

Vika yang membisu menghalangi proses pendaftaran.

Mengingat Vika tidak menyentuh amplop sama sekali, pria itu menariknya kembali. “Ayo, saya antar ke ruangan registrasi, Mbak,” ajak laki-laki itu sambil tersenyum.

Pegangan di tangan kiri Vika itu sebabkan nyeri. Tapi dia tahan saja karena tidak mau dihujani dengan perhatian orang-orang. Apa kata dunia kalau mengetahui apa yang dia sembunyikan? Dengan cengiran menahan sakit, dia ikuti langkah pria yang dipanggil sebagai ‘Pak Revat’ itu.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status