Dion Aryasatya, pewaris tunggal kerajaan bisnis raksasa terbesar di dunia, tumbuh liar dan tak terkendali—malam-malam penuh pesta, kenakalan remaja, dan sikap arogan yang membuat ia terjerumus dalam kasus kenakalan remaja hingga keluarganya menyerah. Sebagai jalan terakhir, ayahnya mengirim Dion ke barak militer sesuai dengan kebijakan pemerintah saat itu, Dion sang pewaris akhirnya harus dikirim ke barak militer—bukan barak elite, tapi barak keras tempat mental ditempa . Namun siapa sangka, justru di tempat keras itulah Dion menemukan jati dirinya. Bakat strategi, kekuatan fisik, dan kepemimpinannya berkembang pesat. Dalam waktu singkat, ia menjadi legenda medan perang—Sang Dewa Perang, jenderal muda dengan bintang lima yang disegani musuh dan ditakuti sekutu yang iri. Tapi setelah perang usai dan tanah air damai, keluarga Aryasatya membutuhkan DION sebagai pewaris tunggal untukmemegang tumpu perusahaansehinggDion memilih jalan sunyi umtuk meninggalkan barakdankembali ke kota namun hanya sebagai penjual bakso keliling, menutupi masa lalunya yang megah. Tak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Ia pun kini dilecehkan, direndahkan, bahkan oleh istri dan mertuanya sendiri yang hanya melihatnya sebagai pria gagal. Namun sejarah tak bisa ditutup rapat selamanya. Ketika negara kembali terancam dan dkerajaan bisnis Aryasatya membutuhkan sosok yang bisa memimpin kerajaan bisnissekali lagi, saakah yang akan terjadi saat Dion melepaskan kedamaian dan kembali menjadi Dewa Perangsekaligus sebagai pengusaha nomor satu di negeri ini? COVERby: Gill boy Desain Art.
View MoreBeberapa orang memandangi Dion dengan tatapan jijik.
Dion Aryasatya,jenderal bintang lima dan sekaligus pewaris tunggal kerajaan bisnis Aryasatya, kini hanya dikenal sebagai tukang bakso keliling. Tak ada jejak kemewahan dalam penampilannya. Rambutnya sedikit gondrong, wajahnya tirus karena kelelahan, dan gerobak baksonya sudah mulai berkarat. Di balik semua itu, tersimpan luka yang lebih dalam daripada sekadar kehilangan status sosial.
Sore itu, Dion mendorong gerobaknya memasuki perumahan elit yang dulunya menjadi tempat tinggalnya bersama Vania, istrinya. Hujan baru saja reda, menyisakan genangan di sepanjang trotoar. Bau tanah basah bercampur aroma kuah bakso menguar dari gerobaknya.
"Tuh kan, tukang bakso kampung masuk komplek elit lagi. Gak tahu malu," bisik seorang wanita yang sedang menyiram tanaman.
"Eh, itu suami Vania, kan ya? Ya Tuhan, dulu katanya anak konglomerat, tapi sekarang cuma dorong gerobak? Hahaha, berarti semua itu hanya omong kosong" timpal tetangganya.
Dion hanya menunduk. Langkahnya pelan tapi pasti menuju rumah besar di ujung jalan. Rumah mertuanya. 12 tahun di barak tentu ia sangat merindukan istrinya, Vania.hasrat kelelakiannya pun sudah bergejolak karena semenjak menikah ia belum sempat sekali pun bercinta dengan Vania layaknya suami istri.
Ketika ia sampai di depan pagar, suara yang sangat ia kenal langsungmenyambutnya.
"Kau lagi?! Beraninya datang ke sini!"
Pak Tarman, ayah Vania, keluar dengan wajah penuh amarah.
"Sudah jatuh, masih juga bawa-bawa gerobak ke rumah ini? Dasar laki-laki gagal! kukira barak militer akan mengubah hidupmu jadi lebih baik. Sekurang-kurangnya kau kembali sebagai tentara meski tanpa bintang di pundakmu, bukan srebagai tukang bakso seperti ini, dasar memalukan! " Ucap Pak Tarman dengan bengis sambil menunjuk-nunjuk wajah DION yang hanya tertunduk.dulu ia membanggakan Dion tapi sekarang terlihat sangat kecewa pada keadaan Dionyang hanya berjualan bakso keliling.
Dion mencoba tersenyum tipis. "Saya hanya ingin mengantar pesanan Vania..."
"Pesanan? Sudahlah! Istrimu itu sudah tak butuh kamu lagi! Cih, istri? Hanya status di atas kertas. Kau pikir dia masih menganggapmu suami?"
Pintu rumah terbuka. Vania muncul, mengenakan gaun mahal, rambut disanggul rapi. Di belakangnya, muncul sosok lelaki muda dengan jas elegan dan tangan yang merangkul pinggangnya.
Dion tercekat.
"Reno..." gumamnya lirih. Dion mengenali lelaki itu.
Vania tersenyum, tapi sinis. "Ya, Dion. Ini Reno. Lelaki sejati. Bukan seperti kamu, yang ngaku-ngaku sebagaianak orang kaya tapi nakal hingga dimasukkan ke barak militer dan gagal,hingga kini kau cuma bisa hidup dari gerobak."
Reno mencibir. "Enak, ya, Vania? Dulu sama berandalan nakal, sekarang sama direkturseperti aku.sungguh Peningkatan kualitas."
Dion mengepal tangannya. Tapi ia tidak mengatakan apa pun. Ia hanya menatap mata Vania yang dulu penuh cinta, kini dingin seperti es batu.
"Kau lihat gerobak bututmu itu? Mirip hidupmu sekarang. Roda rusak, kuah tumpah, tak ada arah. Aku muak hidup susah, Dion. Aku pantas dapat lebih dari sekadar bau kuah bakso tiap malam."
Pak Tarman mendekat, menunjuk gerobak Dion. "Lihat ini! Memalukan! Anakku yang cantik danlulusan luar negeri kau biarkan hidup dengan aroma pentol dan saos cabai?"
Tiba-tiba,tanpa diduga Reno melesat mengambil mangkuk bakso yang masih panas dari gerobak dan menyiramkannya ke dada Dion.
"Ini tidak enak, coba rasain sendiri, dasar tukang bakso miskin!" sentak Reno dengan kasar
Air panas menyentuh kulit Dion, tapi yang lebihpanas dan membakar bukan kuahnya melainkan penghinaan yang diterimanya. Ia tetap diam. Badannya gemetar, bukan karena panas, tapi karena sakit yang tak bisa terlihat.
Air hujan kembali turun. Pelan, lalu deras. Seolah langit ikut menangis bersamanya.
Vania menatap Dion lekat seakan tatapan itu dilayangkan untuk yang terakhir kalinya. "Kau tahu kenapa aku belum minta cerai? Karena aku ingin kau lihat sendiri betapa rendahnya kau sekarang. Aku ingin kau rasakan tiap hari, bahwa kau bukan apa-apa dan bukan siapa-siapa."
Dion hanya menatap mereka satu per satu. Tak satu pun dari mereka tahu bahwa pria yang mereka hina adalah sosokpewaris tunggal kerajaan bisnis Aryasatya grup.tak ada yang tau pula jika Dion adalah Jendral perang yang pernah memimpin ribuan pasukan dalam operasi paling berbahaya, yang menyelamatkan sandera danmenyelamatkan batas negara, bahkan menolak penghargaan negara demi hidup tenang.
Dion hanyamenunduk, menghela napas panjang.
"Kalian benar. Aku memang bukan siapa-siapa lagi."
Ia lantasmendorong gerobaknya menjauh dari rumah itu. Hujan mengguyur tubuhnya, membasahi luka yang tak terlihat. Jalanan licin, tapi langkah Dion tak goyah. Di balik kelembutan sikapnya, ada badai besar yang sedang brrgemuruh dan mencobabangkit.
Saat sampai di perempatan, ponselnya berdering. Sebuah pesan anonim masuk.
"Jenderal Dion. Negara memanggil. Waktumu telah tiba."
Ia membaca pesan itu lama. Tangannya menggenggam erat ponsel, lalu menatap langit gelap di atasnya. Angin meniup kuat dari arah timur. Hujan masih turun, tapi kali ini, ia tak merasa dingin lagi.
Dion Aryasatya belum habis.
Dan dunia akan segera mengetahuinya.
keesokan harinya...
Panas terik matahari menyengat kulit, membuat keringat mengucur deras dari pelipis Dion Aryasatya. Gerobak bakso tuanya berderit setiap kali roda kayu itu berputar, menyusuri gang-gang sempit di pinggiran kota. Di pundaknya tergantung handuk kecil lusuh untuk menyeka peluh, dan di wajahnya tersungging senyum pahit yang ia paksa tampilkan.
"Bakso… bakso… panas… gurih…" serunya dengan nada lelah namun tetap tegar.
Warga sekitar mengenalnya sebagai Dion, si tukang bakso keliling. Tak ada yang tahu bahwa pria yang mereka pandang sebelah mata itu dulunya adalah jenderal bintang lima, panglima medan perang yang pernah memimpin ribuan pasukan di zona konflik. Tak ada yang tahu bahwa darah konglomerat mengalir deras di tubuhnya. Semua masa lalunya ia kubur, menyatu dengan uap kuah kaldu dan gerobak reyot yang kini menjadi dunianya.
"Bang Dion! Gerobaknya bikin macet! Geser dong!" teriak seorang ibu muda dari balik pagar rumah.
Dion tersenyum sabar. "Maaf, Bu. Saya geser sekarang."
Baru saja ia memutar gerobak, dua remaja tanggung melintas di depannya, tertawa sambil menunjuk-nunjuk.
"Itu mantan preman kan? Katanya dulu bos gede! Sekarang jadi tukang bakso, haha!"
"Ciee… jualan bakso sambil bawa gengsi ya bang? Nggak malu tuh?"
Dion hanya menunduk, mendorong gerobaknya lebih cepat. Hatinya perih, tapi wajahnya tetap tenang. Bukan karena tak sakit, tapi karena ia sudah terlalu terbiasa dengan rasa itu.
Ia berhenti di ujung gang, di depan sebuah rumah berlantai dua dengan pagar besi elegan. Rumah milik mertuanya. Di sanalah Vania tinggal—istrinya, wanita yang dulu ia cintai sepenuh hati. Wanita yang kini bahkan tak mau mengakui keberadaannya.
Baru saja ia hendak membuka tutup panci bakso, suara cempreng Vania terdengar dari balik pagar.
"Lho, kamu ngapain ke sini? Mau malu-maluin aku lagi?"
Dion terdiam, menatap wanita yang dulu dengan tulus ia perjuangkan. Vania berdiri angkuh dengan gaun tidur mewah, wajah penuh riasan, dan tatapan merendahkan.
"Aku cuma lewat. Ada pelanggan di ujung jalan, aku berhenti sebentar."
"Lewat? Lewat sambil bawa gerobak jelek itu? Apa kamu nggak bisa cari kerjaan yang lebih… bermartabat? Setidaknya jadi ojek online, jangan jualan makanan murah kayak gini."
Dari dalam rumah, muncul Reno, pria tinggi berbadan tegap, dengan rambut klimis dan kemeja mahal. Ia menggandeng pundak Vania seperti sengaja menunjukkan siapa yang kini menguasai tempat itu.
"Sayang, jangan buang-buang waktu ngomong sama dia. Dia kan cuma mantan suami gagal yang hidupnya nyangkut di kuah bakso," kata Reno dengan senyum sinis.
Dion mengepalkan tangan. Urat di lehernya menegang, tapi ia tetap diam.
"Sudah, pergi sana! Jangan bawa-bawa aib ke depan rumah orang. Kamu tuh bukan siapa-siapa!" seru Vania lagi.
Dengan napas berat, Dion mendorong gerobaknya menjauh. Setiap langkah terasa seperti beban berton-ton menghimpit dadanya.
Hari mulai gelap ketika Dion berhenti di sebuah lapak kecil dekat taman kota. Ia duduk di bangku plastik, melepaskan napas panjang sambil menatap langit yang perlahan berubah warna.
"Loe lagi?"
Suara berat menyapa. Seorang lelaki tua dengan janggut putih dan tatapan tajam duduk di sebelahnya.
"Pak Wiryo," Dion mengangguk hormat. Dulu, Pak Wiryo adalah guru bela dirinya sekaligus pelatih disiplin keras semasa pelatihan militer.
"Gue denger lo dihina di rumah istri lo lagi."
Dion tak menjawab.
"Lo itu jenderal, Dion. Lo punya otak, punya kekuatan, punya warisan yang kalau lo klaim sekarang juga, lo bisa beli satu kota ini. Tapi lo malah jualan bakso kayak orang buangan."
"Saya cuma ingin hidup tenang, Pak. Tanpa kekuasaan, tanpa pertumpahan darah, tanpa beban nama besar."
Pak Wiryo tertawa pahit. "Lo pikir dunia akan membiarkan lo tenang? Lihat sekeliling lo. Istri lo ninggalin lo buat pengusaha baru, mertuanya nganggep lo sampah, orang-orang nginjek harga diri lo tiap hari. Lo kira itu kedamaian?"
Dion menggigit bibir bawahnya. Ia tahu, semua yang dikatakan Pak Wiryo benar.
"Lo boleh ngalah, tapi jangan terus diinjak. Ingat, lo bukan cuma Dion si tukang bakso. Lo itu Dion Aryasatya. Darah bangsawan bisnis dan medan perang mengalir di tubuh lo. Bangkit!"
Malam itu, di kos-kosan sempit yang hanya berisi kasur tipis dan lemari plastik, Dion duduk termenung. Di tangannya tergenggam sebuah foto lama—ia dalam balutan seragam jenderal, berdiri tegak di atas tank tempur, dikelilingi pasukan yang memberikan hormat.
Air mata mengalir perlahan. Ia tak pernah ingin kembali. Tapi dunia terus memaksanya.
Pagi harinya, Dion bangun lebih awal dari biasanya. Ia membersihkan gerobaknya dengan teliti, mengganti banner lusuh dengan yang baru. Di ujung banner itu, tertulis satu kalimat kecil:
"Bakso Bintang Lima — Rasa dari Hati Seorang Pejuang."
Hari itu, ia mendorong gerobaknya bukan lagi sebagai pria kalah, tapi sebagai seseorang yang mulai menerima bahwa mungkin, waktunya untuk bangkit telah tiba.
Hujan belum juga reda. Jalanan basah memantulkan cahaya lampu jalan yang temaram. Dion mendorong gerobaknya pelan, tanpa arah. Di dada, masih terasa panas—bukan karena kuah bakso yang tadi disiramkan oleh Renoke tubuhnya, tapi karena kata-kata istrinya... dan tangan pria lain yang melingkar di pinggang wanita yang pernah ia cintai mati-matian.
Langkah Dion terhenti di bawah halte kosong. Ia duduk di bangku besi dingin, tubuhnya basah kuyup. Ia menunduk, menatap tangannya yang gemetar. Bukan karena dingin, tapi karena amarah dan kecewa yang menumpuk jadi satu.
Ponselnya bergetar.
Sebuah pesan masuk dari nomor yang tak dikenal.
“Jenderal Dion, identitasmu telah diketahui. Waktunya kembali. Negara memanggil.”
Pagi itu, Dion kembali mendorong gerobak baksonya meski showroom Reno kini telah resmi menjadi miliknya. Baginya, gerobak itu bukan simbol kemiskinan, tapi simbol kesederhanaan yang menenangkan. Ia belum ingin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya ke dunia luar. Masih banyak yang perlu ia urai dan rencanakan.Di jalanan, beberapa pelanggan setia menyapanya."Baksonya yang pedas, Bang Dion!" seru seorang tukang parkir."Pagi, Pak Dion! Satu mangkok biasa, ya?" ujar ibu penjaga warung sembako.Dion tersenyum ramah, seperti biasa. Tak ada yang tahu bahwa pria itu kini pemilik baru showroom mewah di seberang jalan, atau bahwa ia adalah jenderal perang legendaris yang pernah ditakuti di medan tempur.Namun ketenangan itu tak berlangsung lama. Dari kejauhan, sebuah mobil sport berhenti. Seorang wanita cantik keluar—Vania. Dengan sepatu hak tinggi dan kacamata hitam, ia berjalan mendekat. Beberapa orang yang makan bakso terdiam."Kita perlu bicara," kata Vania dingin."Kalau soal bakso,
Malam masih pekat ketika Dion terbangun dari tidurnya. Keringat dingin membasahi tubuhnya. Mimpi buruk kembali mengusiknya—tentang suara dentuman meriam, jeritan prajurit, dan wajah-wajah yang gugur dalam komandonya. Ia duduk di ranjang sambil menatap dinding, hening. Di kamar sempit itu, hanya suara detik jam yang terdengar.Namun bukan mimpi buruk itu yang paling menghantuinya. Yang paling menyakitkan adalah kenyataan bahwa Vania—istrinya, wanita yang dulu ia pertaruhkan hidup dan mati—kini membencinya, menjauhinya, bahkan berselingkuh dengan lelaki lain. Dan yang lebih ironis, lelaki itu adalah Reno, orang yang pernah ia bantu bangkit secara finansial bertahun lalu.Saat mentari mulai naik, Dion bersiap mendorong gerobaknya seperti biasa. Namun langkahnya terhenti saat ponselnya berbunyi. Sebuah pesan masuk dari nomor tak dikenal:"Showroom Reno. Sekarang. Kamu harus lihat ini. -V"Dion terdiam. Nama pengirim hanya huruf "V". Ia tak yakin. Tapi hatinya bergetar. Nalurinya berkata:
Pagi itu, matahari menyembul malu-malu dari balik gedung-gedung tinggi Jakarta. Langit mendung, seolah menyatu dengan suasana hati Dion yang masih kelabu. Meski showroom mobil mewah milik Reno sudah resmi menjadi bagian dari Aryasatya Grup—dan secara hukum sah menjadi miliknya—Dion belum merasa puas.Harga diri yang terinjak selama bertahun-tahun tidak bisa ditebus hanya dengan satu pembalasan. Luka batin, pengkhianatan Vania, dan segala hinaan dari masyarakat belum sepenuhnya terhapus.Maka pagi itu, Dion tetap mendorong gerobaknya. Bukan karena ia terpaksa. Tapi karena ini adalah pilihannya. Ia ingin menyelesaikan luka itu dengan caranya sendiri—bukan dengan kemewahan, tapi dengan kerja keras dan ketulusan.Di sebuah sudut sekolah dasar di daerah Tebet, Dion berhenti. Ia biasa mangkal di sana setiap Senin pagi, menyambut anak-anak sekolah yang suka dengan baksonya. Ia membuka tutup panci, membiarkan uap kaldu yang harum itu menguar ke udara."Bang Dion! Baksonya lima ya, kayak biasa
Hari-hari setelah kejadian di showroom Reno Auto Prestige membawa perubahan besar dalam hidup Dion. Seolah-olah dunia mulai berputar ke arah yang benar setelah sekian lama membiarkannya terpuruk.Namun, kemenangan kecil itu bukanlah akhir, melainkan awal dari perjalanan panjang yang jauh lebih besar.Dion kini berdiri di atas pusaran kekuatan yang telah diwariskan oleh ayahnya. Aryasatya Group bukan hanya sebuah kerajaan bisnis, melainkan sebuah raksasa ekonomi yang menggenggam berbagai lini usaha: properti, otomotif, perbankan, farmasi, hingga teknologi. Dan Dion, sang pewaris tunggal yang selama ini disangka mati suri, kini mulai membuka mata dan menggenggam kendali.Pagi itu, Dion melangkah masuk ke kantor pusat Aryasatya Group yang menjulang di jantung kota Jakarta. Bangunan 88 lantai itu berdiri seperti simbol keabadian, dilapisi kaca hitam dengan desain arsitektur modern yang anggun. Para karyawan yang melihat Dion hanya bisa saling bertukar bisik, belum percaya bahwa pria berpa
Malam itu sunyi. Kota sudah lelah dengan hiruk-pikuk siang hari, lampu-lampu jalan bersinar seperti kunang-kunang di tengah aspal basah sisa hujan. Dion mengendarai motor tuanya melintasi pusat kota, sekadar melepas penat setelah rapat yang menguras energi dan emosi. Ia mengenakan helm lusuh, jaket kulit yang mulai pudar warnanya, dan raut wajah penuh pikiran.Dion memilih menunda pulang ke rumah besarnya dan memilih berjalan-jalan dengan motor tuanya sekedar untuk menenangkan pikiran dan hatinya.Namun sebuah pemandangan membuatnya berhenti mendadak di pinggir jalan.Di seberang jalan, berdiri sebuah showroom mobil mewah berlampu terang. Logo "Reno Auto Prestige" terpampang besar di atas bangunan kaca modern itu. Tapi yang menarik perhatian Dion bukanlah mobil-mobil mewah yang dipajang... melainkan sosok seorang wanita.Vania.Istrinya.Ia berdiri di dekat salah satu mobil sport, mengenakan gaun elegan berwarna merah marun dan sepatu hak tinggi. Di sampingnya, Reno—pria muda berpenam
Ruang rapat itu dingin dan mencekam. Dinding marmer putih memantulkan cahaya lampu gantung kristal yang menggantung angkuh di tengah langit-langit. Di bawahnya, meja bundar kayu jati tua berdiri megah, dikelilingi oleh orang-orang yang mengenakan setelan mahal dan wajah dingin tanpa senyum. Mereka adalah keluarga Aryasatya—kerabat darah dan pengurus kerajaan bisnis yang kini sedang menunggu satu sosok yang selama ini hilang dari peta keluarga: Dion Aryasatya.Pintu terbuka perlahan. Semua mata menoleh serempak.Dion melangkah masuk. Ia mengenakan kemeja hitam sederhana dan celana panjang abu-abu. Tak ada jas, tak ada dasi, bahkan sepatunya bukan kulit mahal. Tapi sorot matanya... tajam seperti bilah pedang yang baru diasah. Ia berjalan mantap menuju kursi di tengah ruangan, lalu duduk tanpa banyak bicara.Beberapa orang langsung terlihat tidak senang."Jadi ini dia? Si tukang bakso yang katanya pewaris?" gumam seorang pria paruh baya, paman dari pihak ayahnya."Jangan bercanda! Kita b
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments