Share

Bagian 7 : Unspoken Pain

Yang Adora ingat, Harry selalu lembut padanya. Jarang sekali laki-laki itu membentak dirinya. Dan kali ini, Adora tak mau Harry muka padanya. Walau bagaimanapun Harry, Adora masih membutuhkan Harry. Laki-laki itulah tempatnya bergantung selama ini.

Rasanya benci, tapi Adora membutuhkan Harry. Jadi, memang Adora tak bisa memendam lama-lama perasaan itu. Walau ada rasa kesal yang membuatnya ingin mengeluh, ingin mengadu, atau ingin berteriak sekuat yang ia bisa atas hidup yang ia terima.

Adora langsung naik ojek pulang, khawatir Harry mengetahui dirinya. Bahkan Adora meminta tukang ojek untuk terbang saja.

Adora tahu, Harry pasti tahu bagaimana penampilan Adora sekarang dan Harry pasti curiga karena Adora beralasan mereka kerja kelompok. Kerja kelompok di mana sampai larut malam? Makanan mahal yang masuk dalam perutnya rasanya mau dimuntahkan semuanya.

"Pak please pak! Cepat!" Adora mendesak tukang ojek. Syden mengikuti dari belakang, tapi sepertinya laki-laki itu kehilangan jejak. Adora memegang kuat-kuat pengangan di belakang, saat merasakan tukang ojek langsung terbang ketika mereka bertemu dengan polisi tidur, dan langsung meloncat ketika ada jalanan yang berlubang karena sekarang mereka melewati jalan tikus yang sempit.

Adora berdoa dalam hati, semoga Harry tak marah. Karena ini bisa berakibat Harry takkan mengizinkan dirinya memegang ponsel selamanya. Harry boleh mengurung dirinya di rumah, tapi tidak dengan ponsel. Adora butuh ponsel untuk kegiatan kuliah dan juga bagaimana ia menghubungi Syden.

Benar saja. Harry masih berdiri di pintu dengan ponsel yang terus ditempelkan di telinga dan bolak-balik seperti kerbau membajak sawah.

Adora langsung menunduk. Kalaupun kerja kelompok ia tak membawa laptop dan penampilannya meyakinkan jika ia pergi berkencan.

Adora tahu Harry memang menunggu dirinya. Karena tanpa menunggu Adora laki-laki itu punya kunci sendiri dan bisa masuk ke dalam dan beristirahat. Tapi, Harry memang lebih suka menyusahkan dirinya.

"Darimana?" Adora mengepalkan tangannya yang berada di belakang. Jangan takut! Kamu nggak salah!

"Kerja kelompok."

"Kerja kelompok atau kerja berdua?" tanya Harry seperti tahu jika Adora mempunyai kekasih. Semoga ponselnya tidak disita. Demi Tuhan, Adora bukan anak kecil.

"K-kerja kelompok! Tapi pakai laptop kawan."

"Oh ya? Trus kenapa nggak bilang?" Adora melihat keadaan sekeliling. Mereka masih berada di luar dan nampaknya Harry tak ada niatan untuk masuk sebelum ia tahu semuanya.

"Lupa! Abang pasti sibuk." Adora beralasan, walau Harry takkan sebodoh itu untuk menerima alasan konyol tersebut.

"Abang memang sibuk. Dan demi kamu, abang langsung pulang, karena nggak mau kamu sendirian." Harusnya Adora terharu dengan semua ucapan Harry. Tapi sayangnya, semuanya terasa memuakkan.

"Okay."

"Bukan okay Dora. Tapi dari mana kamu sebenarnya?" Adora hanya menunduk. Padahal ia sudah berjanji jangan sampai ia bertingkah seperti ini karena akan membuat Harry semakin curiga dan menambah masa pengurungan di rumah.

"Kerja kelompok bang."

Adora tetap pada pendiriannya. Gadis itu melirik tas Harry yang masih tergeletak di lantai. Gadis itu mengambil kunci, dan ingin membuka pintu.

"Bukan kayak gin penampilan kerja kelompok. Tapi ini penampilan orang mau kencan!"

"Dora kerja kelompok bang." Suara Adora bergertar. Sebentar lagi tangisannya pecah. Kenapa Harry tak biarkan dirinya untuk beristirahat? Alih-alih menanyakan hal-hal yang tak penting seperti ini.

"Itu nggak kerja kelompok! Saya lebih duluan kuliah, dan tahu apa itu kerja kelompok dan pergi jalan-jalan seperti berkencan."

"Terserah!"

Adora langsung melewati Harry dan membuka pintu, walau tubuhnya merasa gemetaran. Adora takut pada Harry, jika laki-laki itu emosi dan bermain tangan. Walau selama ini Harry tak pernah memukulnya. Tapi ketakutan tak beralasan ini terus menghantui dirinya. Apapun yang berhubungan dengan Harry, Adora selalu berpikiran buruk. Seperti semua hal positif yang Harry lakukan padanya selama ini sia-sia, karena hanya rasa benci dan dendam yang Adora rasakan setiap melihat Harry. Walau ia tak bisa menyimpan perasaan itu lama-lama.

"Dora duduk dulu. Kita perlu bicara." Adora berbalik dan menahan semua gejolak emosinya. Rasanya mau meledak, tapi masih ia tahan sejauh mana Harry menguji kesabarannya.

"Kamu harus jujur." Harry berbicara lembut. Laki-laki itu masuk, membuka sepatunya mengunci pintu dan meletakan tas di atas meja. Harry langsung merebahkan tubuhnya di atas sofa, penat sudah pasti dan sekarang Adora lagi. Harry benar-benar tak bisa membiarkan Adora keluar malam karena itu sangat tak bagus untuk keselamatan dirinya. Apalagi Adora punya pacar, Harry takkan mengizinkan hal itu terjadi.

Katakanlah Harry kolot, tapi ia takkan mengizinkan Adora pacaran sekarang, karena itu akan berdampak ke akademik Adora dan membawa pengaruh buruk bagi kehidupan Adora. Pokoknya, Adora harus sekolah benar-benar, berprestasi dan akhirnya laki-laki sendiri yang mengajarnya hal ini yang mendasari Harry melarang keras Adora berteman dekat dengan Adora apalagi sampai pacaran.

Adora muak. Akhirnya ia langsung berlari ke kamarnya. Katakanlah ia kekanakan dan egois, tapi hal ini rasanya tak perlu diperpanjang, karena Harry capek dan bawaan pasti emosi begitu juga dirinya yang dilanda panik hingga ia bisa keceplosan.

"Adora!" Suara Harry menggelegar di seluruh ruangan, bahkan Adora bisa merasakan rumah itu ikut bergetar. Harry tak pernah meninggikan suaranya, berarti Harry benar-benar marah.

"Apalagi?" Adora berbalik dengan suara yang tak kalah keras. Emosinya memuncak, dan ia tak bisa menahan lagi. Air matanya mengalir deras, bagaimana dengan rasa getir Adora menahan semua kepahitan hidup yang ia simpan sendiri.

"Sampai kapan aku terus dibuat seperti ini? Aku bukan anak kecil! Aku benci diperlakukan seperti anak kecil cacat yang nggak bisa apa-apa! Abang egois!"

Entah kekuatan dari mana, Adora langsung menuruni tangga dan menghampiri Harry. Bahkan ia tak peduli, jika tangan laki-laki ini naik ke wajahnya. Terlihat, Harry mengepalkan tangannya. Napas keduanya memburu dengan tatapan rasa saling mendendam, bukan abang-adek yang selalu mendukung.

"Abang egois!" teriak Adora. 

Plak!

Bunyi tamparan mengema di ruangan. Membuat semuanya senyap, bahkan jangkrik ikut mengheningkan cipta karena bunyi tamparan yang seolah membuat bumi bergetar.

Dengan air mata yang berderai. Adora berlari ke kamarnya.

Ia benci Harry, selamanya benci laki-laki itu!

๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ

Croptop dengan belakang sedikit menjuntai setengah lengan, rok pinslet pendek, tas selempang kecil dan sneakers berwarna pink.

Ilana melihat penampilannya di cermin. Sempurna. Dan hanya ada sedikit polesan di wajah, karena hari ini ia hanya ingin menghibur dirinya. Me time setelah psikopat Barry hijrah dari unitnya. Ilana senang bukan main, saat laki-laki itu akhirnya pergi dan terlihat baik-baik saja. Jadi, Ilana tak perlu merasa bersalah terus-menerus karena mengetahui jika Barry sakit karena dirinya.

Ilana keluar dari kamar dan melihat Melati yang sudah resmi ia hire jadi pendamping untuk mengurus endorsment yang bejibun. Mungkin pulang, Ilana akan mengurus lagi. Karena masih banyak brand-brand yang ingin bekerja sama dengan dirinya.

"Aku mau pergi, jadi kalau mau makan lihat aja di kulkas. Nggak lama kok." Melati mengangguk, dan mulai memisahkan barang-barang yang akan diendors besok. Hari ini, Ilana ingin menenangkan dirinya.

๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ

Sebenarnya Ilana refleks membawa mobilnya menuju cafe Barry. Untung wanita itu langsung sadar, dan memilih berjalan tak tentu arah. Sudah malam, dan Ilana memang ingin menghirup udara di luar, setelah hampir satu minggu ia harus berbagi udara dengan psikopat Barry, walau Ilana seperti sudah terbiasa dengan kehadiran Barry di sekitarnya. Walau Ilana takkan membiarkan Barry lancang pada dirinya. Ilana tak mau hubungan pertemanan bersama Alena kandas karena seorang laki-laki yang ia anggap tak punya otak!

Walau Harry rasanya sialan, tapi Harry masih menjadi tumpuan Ilana bagaimana ia masih mengharapkan laki-laki itu tiba-tiba melamar dirinya dan akhirnya mereka menikah dan hidup bahagia seperti abangnya. Ilana ingin hidup sederhana seperti abangnya yang hidup nyaman dan bahagia bersama keluarga kecilnya dan anak semata wayang mereka.

Memikirkan Dennis, Ilana berjalan lurus ke rumah abangnya tepatnya. Sudah lama mereka tak saling berkunjung karena kesibukan masing-masing. Abangnya yang sibuk kerja dari pagi sampai sore, dan saat hari libur mereka sibuk masing-masing dengan kehidupan.

Pasangan bagi Ilana tidak muluk-muluk, tapi entah kenapa Harry seolah membuat semuanya terasa rumit. Ilana bukan gadis yang melarang pacarnya tak boleh kenal perempuan lain, atau harus jadi pacar yang mengabari setiap detik, jika tak ada laporan maka ia akan mengamuk. Ilana malah memberi waktu yang sebebasnya karena mereka juga sudah sangat dewasa dan memang sibuk masing-masing.

Tapi kebebasan yang Ilana beri seperti disia-siakan oleh Harry bahkan rasanya seperti overdosis. Karena Harry bebas tak peduli padanya, padahal kalau tak sempat Harry bisa mengabari dua hari atau tiga hari, atau ada waktu sempatkan bertanya agar hubungan mereka tak terasa hambar. Harry bukan anak kecil yang tidak mengerti apa itu komitmen. Terkadang sampai putus asa, Ilana merasa mungkin dirinya akan lebih dihargai ketika berpacaran sama anak SMA.

Ilana belok kanan masuk ke pekarangan rumah Dennis,.  Walau harus melewati beberapa gang lagi karena rumah Dennis persis di atas bukit.

Ilana melihat mobil abangnya yang ada di rumah, berarti memang abangnya di rumah. Kalau boleh tukar, Ilana tak mau jadi adiknya Dennis tapi jadi istri Dennis bagaimana ia begitu disayang, diperhatikan, dicintai begitu besar, dihargai. Rasa-rasanya Ilana tak pernah mengalami kisah percintaan yang manis sejak ia masih sekolah. Mungkin untuk masalah percintaan Ilana sedikit sial.

"Danish!" teriak Ilana. Harusnya Dennis tak perlu heran jika semua keturunannya adalah tukang teriak seperti preman pasar.

Azyan yang membuka pintu, melihat adik ipar yang begitu seksi. Dari dulu Azyan selalu merasa minder jika melihat saudara Dennis yang satu ini, karena ia pandai memadukan fashion dan memang selalu cantik.  Ilana memang sangat mirip ibunya, hingga begitu cantik, berbeda dengan Ilene yang lebih mirip kaum lelaki.

"Hi kak."

"Kalian ngapain?" tanya Ilana menghempaskan tubuhnya ke sofa. Rumah abangnya dan rumah bundanya adalah tempat terbaik untuk menenangkan diri.

"Kok dia belum tidur?" tanya Ilana menunjuk keponakannya yang sedang bermain. Bocah 3 tahun yang terlibat makin mengemaskan. Diam-diam, rasa iri menyelip dalam dada Ilana, ingin punya anak juga dan ia bisa mendidik seperti Azyan mendidik anaknya hingga mengemaskan dan cerdas seperti sekarang.

"Iya kak. Tadi siang tidurnya kelamaan, jadi memang gitu. Tapi bentar lagi mau kasih susu biar tidur." Ilana hanya mengangguk, saat melihat Azyan menjamunya dengan minuman kaleng. Ilana sudah menganggap rumah abangnya seperti rumah sendiri, jadi ia tak perlu segan untuk berbaring sekarang.

"Abang mana?"

"Sedikit sibuk, jadi lagi kerjain deadline di kamar." Ilana hanya diam dan melihat keadaan rumah abangnya yang tak banyak berubah kecuali banyak mainan anak-anak yang terlihat di mana-mana atau tempelan khusus anak-anak.

"Main terus dia." Ilana menunjuk pada Danish yang tak peduli pada lingkungannya, bocah itu terus bermain padahal ia sudah memakai piyama bergambar dinosaurus.

"Biasanya main nanti capek, jadinya tidur dia." Ilana memperhatikan Azyan yang tersenyum bangga melihat anak semata wayangnya bermain. Kentara sekali, senyuman babgga seorang ibu pada anaknya seperti senyuman bundanya saat melihat semua anak-anaknya. Ada rasa tergilitik dalam perut Ilana untuk memiliki anak. Walau ia masih mempertanyakan Harry. Kapan laki-laki itu melamarnya? Walau terkadang rasanya seperti pungguk merindukan bulan.

Ilana melihat abangnya yang baru turun dari tangga sambil menguap dan menggaruk rambutnya.

"Yaya."

"Kenapa belum tidur?" Dennis langsung menciuminya Danish dan mengangkat anaknya.

"Kayaknya butuh kopi mommy. Masih banyak yang belum beres kerjaan." Azyan langsung berdiri dan pergi ke belakang. Ilana hanya memperhatikan Dennis yang begitu memanjakan anaknya, bagaimana Danish juga terlihat begitu manja pada ayahnya seperti induk koala dan anaknya.

"Sibuk bangat bang?"

"Kejar target. Biar bisa liburan." Dennis jelas punya tujuan libur untuk keluarga kecilnya. Walau Ilana punya tabungan yang cukup untuk liburan tapi rasanya takkan sama seperti Dennis pergi berlibur bersama keluarga kecilnya.

Ponsel Ilana berdering. Wanita cantik itu langsung melihat dan akan memaki-maki seandainya itu Barry. Tapi itu Harry. Tumben sekali, rasanya Harry menelpon duluan itu seperti menang lotre 1 diantara 1000 kemungkinan dan malam ini Ilana sedang menang.

"Hm. Oh di mana? Okay aku kesana sekarang."

Ilana langsung mematikan ponselnya.

"Pergi dulu bang. Bella, pulang dulu!" teriak Ilana keluar dari rumah abangnya. Danish hanya memperhatikan tantenya yang teriak-teriak seperti orang utan. Walau Danish seperti terbiasa ketika ia pergi rumah neneknya, neneknya yang suka teriak-teriak juga.

๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ

Ilana langsung tancap gas menuju tempat permintaan Harry. Sebuah jembatan yang menjorok ke laut, jembatan itu malam biasanya ramai karena banyak muda-mudi berpacaran di sana apalagi malam minggu seolah tak ada tempat sekedar duduk.

Sudah lama Harry tak menghubungi dirinya dan sekarang laki-laki itu menelpon dirinya dan mengajak ketemuan. Suatu kebetulan yang sangat langka ibaratnya kelapa berbuah kembar.

Jembatan masih ramai karena memang malam tempat orang-orang berkumpul dan melihat banyak kapal di laut dengan lampu warna-warni. Banyak penjual sepanjang jalan bahkan sekarang sudah macet.

Setelah mendapatkan tempat parkir yang pas Ilana naik ke atas jembatan. Ia mencari Harry di antara ratusan orang yang berdiri di pinggiran jembatan dengan pasangan masing-masing. Di ujung jembatan, ada rumah bulat yang konon mau dibangun mall di atas laut walau hal itu belum terealisasi sampai sekarang.

Ilana tak perlu susah mencari Harry di antara kerumunan karena ia hafal sileut laki-laki itu. Bagaimana tubuh Harry termasuk tinggi di antara orang-orang normal.

"Ada apa?" tanya Ilana tak perlu berbasa-basi  seperti Alena yang begitu memuja kekasihnya walau nyatanya Barry brengsek. Terkadang Ilana sadar mungkin alasan dirinya yang begitu jutek dan sinis membuat laki-laki tak bisa bersimpati padanya. Walau Ilana memang tak mau bergantung pada laki-laki.

"Aku kangen kamu." Suara Harry terdengar lembut dan rendah, seperti ia beneran rindu Ilana. Angin malam semakin menyapa Ilana yang memakai pakaian serba pendek dan basa-basi Harry yang membuat tubuh Ilana mendadak merinding.

"Oh yeah. Kurasa basa-basi yang cukup. Setelah berminggu-minggu kamu mati dan sekarang hadir tiba-tiba bilang rindu, bahkan aku minta kamu cari orang sampai sekarang nggak ada."

"Aku bisa cari—"

"Tidak perlu!" potong Ilana cepat.

Ilana dengan gaya tangan di depan dada tiba-tiba ia merasakan tangan Harry menggengam rasa hangat langsung menyusup dari tangan hingga dadanya.

"Aku serius kangen kamu. Dan aku memang sibuk ngumpulin uang, dan aku memang lagi ada proyek besar setelah ini mungkin aku bisa melamar kamu."

"Mungkin?" tanya Ilana. Wanita itu ingin bertanya lagi tapi laki-laki bisa kabur jika ia bersikap seperti ini. Harusnya Ilana bisa menahan dirinya,  dan bersikap seperti Alena agar laki-laki juga bersimpati padanya.

"Ya. Beberapa bulan ke depan aku pastikan itu. Kita akan bertunangan dan bisa rencana ke depan lagi." Ilana diam walau ia sedikit tersentuh, sebelum Harry benar-benar menunjukan keseriusan dan berubah Ilana takkan mau luluh secepat ini. Ia punya prinsip laki-laki harus bertekuk lutut padanya. Ilana tak pernah suka mengemis-ngemis cinta pada laki-laki. Ia wanita yang mandiri!

"Aku serius. Tapi memang dua atau tiga bulan ke depan memang hectic parah setelah waktu luang kita memang akan bertunangan. Dan kamu bisa merancang sendiri pernikahan impian kamu." Ilana pandangi wajah Harry. Walau di bawah sinar bulan, Ilana bisa melihat senyum ketulusan yang terpancar dari wajah Harry.

Hatinya mengatakan ragu, tapi Ilana mencoba meyakinkan hatinya jika laki-laki ini memang adalah pasangan yang Tuhan pilihkan untuknya.

Harry tak benar-benar memeluk dirinya dan malam ini Harry memeluk Ilana. Jantung keduanya terdengar bergerak seirama. Ilana berharap hatinya dan hati Harry direkatkan dan pada akhirnya laki-laki inilah yang menjadi pelabuhan terkahir untuk dirinya.

๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ๐Ÿ’ธ

Hello jumpa lagi.

Aku rindu pasangan sebelah jadi numpang dulu hehehe. Maklum pasangan favorit ๐Ÿ˜€๐Ÿค—๐Ÿค—๐Ÿค—. Yg belum baca kisah Dennis dan keluarganya baca di Nanny to Mommy.

Kalian yg heran dan bertanya kenapa Adora muncul terus padahal Ilana main character. Sesuai judulnya. Unspoken Pain, rasa sakit yang tak bisa disebutkan atau rasa sakit yang tak terlihat, bagaimana masing-masing dari mereka menyimpan rasa sakit, luka yang mereka pendam masing-masing.

Semuanya akan terbongkar satu-satu karena semuanya saling berhubungan.

See you๐Ÿ’‹๐Ÿ’‹๐Ÿ’‹๐Ÿ’‹๐Ÿ’‹

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rizka Ahmed Syukri
dan saya selalu sabar menanti,,, asekkkk tarek manggg
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status