Bu Ratih
Siang ini, aku, Ayu dan anak-anaknya pergi keluar untuk makan-makan. Seperti biasa, aku nikmati uang hasil jerih payah anakku Deni.
Kepindahan kerja Deni menjadi berkah tersendiri buatku. Aku jadi lebih leluasa mengendalikan Niar.
Namun, aku harus sembunyi-sembunyi dari Icha, dia tak boleh melihat saat aku bicara dengan mamanya. Makanya ku minta Farrel dan Ayesa mengajak main Icha saat aku menemui Niar.
Ketika sampai rumah, aku terkejut Deni sudah sampai. Biasanya dia sampai larut malam, makanya aku dan Ayu makan-makan dulu, karena tau hal itu.
Deni malah bertepuk tangan saat kami datang.
"Luar biasa nih ibu sama kak Ayu, habis makan-makan di luar, nggak ajak-ajak kami," sindir Deni.
Langsung dijawab oleh Ayu kalau kami habis daftar sekolah Farrel.
"Benar itu, Bu?" Deni memastikan kebenaran jawaban Ayu padaku.
"Be-benar, Den!" Aku gugup saat menjawabnya.
Deni tak banyak bicara, ia meninggalkan kami. Lalu
Aku melihat dua hari ini, mereka aman-aman saja. Tapi ketika ku pantau malam ini, kamera pengawasku mati.Apa mungkin ibu dan kakakku tau tentang ini? Mereka mencabutnya sehingga aku tak bisa melihat aktivitas mereka.Apa yang harus kulakukan yaa Allah? Apa sebaiknya aku mengambil cuti untuk besok?Mmm ... Baiklah kuputuskan untuk mengambil cuti esok hari. Aku harus segera hubungi pihak HRD agar cuti dadakanku ini di ACC."Den, kamu kok resah begitu?""Iya aku sepertinya ingin pulang. Ada sesuatu yang terjadi dengan istriku sih kemungkinan besar!" Aku menjawab pertanyaan Rio."Jika dengan pulang, kamu semakin tenang, maka lakukanlah!" Nasehat Rio membuatku tenang."Terima kasih ya, Rio!"Selanjutnya aku menghubungi Bram, aku menanyakan perihal kamera pengawas yang ku pakai malah mati saat ini."Bisa jadi karena ketahuan, lalu dimatikan sambungannya.""Baiklah, Bram. Aku mengerti." Tekadku untuk pulang
Pagi ini keadaan Niar sudah lebih baik. Dahinya sudah tidak panas, demamnya sembuh. Pagi ini aku belikan bubur ayam untuk kami sarapan. Ku belikan sekalian sepuluh bungkus. Takutnya ibu dan kak Ayu mau. Sedangkan aku tak mau ada keributan pagi ini gara-gara belum ada sarapan pagi. "Sayang, makan dulu, yuk! Aku udah beli bubur ayam," kataku sembari membimbingnya ke dapur. "Duduk di sini, ya!" Ku dekatkan kursiku di sebelahnya. Niar melihatku menuangkan bubur ayamnya. Lalu, aku mencoba menyuapinya. Tapi dia tak mau aku suapi. Diambilnya sendok dariku. Dia lebih baik makan sendiri. Aku pun mengambil piringku. Satu bungkus lagi ku tuang di piring, lalu aku menyendoknya. "Habiskan, Dek! Sayang kalau nggak habis. Soalnya aku rasa porsinya nggak terlalu banyak," kataku. Niar terus memakannya. Ia menyukai bubur ayam itu, lalu berhenti setelah piringnya kosong. Aku berikan segelas air putih untuk diminumnya. "Silahkan minum yang
Pemeriksaan psikiater akan dilakukan hari ini. Aku dan Niar sudah berangkat pagi-pagi setelah menitipkan anak-anak pada Mak Elin.Sesampainya di rumah sakit, kami haru daftar poli, yang dituju adalah poli kesehatan jiwa. Beruntungnya mendapatkan antrian nomor dua.Sambil menunggu dokter datang, aku menggenggam tangan Niar. Aku harap dia bisa tenang dan menceritakan semua yang dirasakannya."Bagaimana, Sayang? Bisakah kamu nanti melakukannya?"Niar mengangguk tanda setuju.Tak lama, nama istriku dipanggil. Kami gegas masuk ke ruangan dokter. Dokter jiwa tersebut bernama Saptadji."Permisi, Pak Dokter, istri saya mau konsultasi dengan dokter," kataku."Baik, Pak. Silahkan masuk," katanya.Dokter menyambut kami dengan ramah. Ia juga mengapresiasi kami yang berani datang ke psikiater. Walau banyak tanggapan miring mengenai konsultasi ke psikiater. Padahal ada saatnya pertolongan psikiater dibutuhkan oleh seseorang.Set
Sebelum pulang, aku memperhatikan aplikasi CCTV-ku. Kulihat ibu tengah memarahi Icha.Ibu sedang memainkan gawainya, lalu Icha datang membawa sesuatu, Icha bertanya tentang barang yang dibawanya.Ibu bukannya menjawab, malah memarahinya. Lalu tak segan mengusir Icha untuk menjauhinya.'Ibu lupa kalau tingkah lakunya dipantau olehku sekarang,' batinku.Aku tak memperlihatkan kejadian ini pada Niar. Takutnya akan menambah rasa khawatirnya semakin besar.Lalu kulihat Mak Elin kesulitan mengerjakan pekerjaan rumah karena sambil mengasuh Farhan. Ibu dan Kak Ayu sama-sama tak mau direpotkan mengasuh anak-anak.Karena takut terlalu lama, kami langsung pulang.Sesampainya di rumah, ibuku menatap kami sembari melihat jam yang terpasang di dinding ruang tamu, seolah memberi kode kalau kami pulang terlambat."Kenapa, Bu?" tanyaku padanya."Kalian bawa jam, kan? Lihatlah sekarang sudah jam berapa?" tanya ibu ketus."Nggak baw
Aku menunggu Kak Aldo datang karena kami janjian akan melihat-lihat rumah. Rencana aku akan pindah ke sana bersama keluargaku.Setelah aku memeriksa rekening koran tabungan Niar, aku menemui Kak Ayu menanyakan keberadaan Kak Aldo. Kak Ayu juga tidak begitu tau dimana suaminya berada."Coba saja kamu telepon, Den!""Sudah, tapi nggak diangkat.""Ya sudah, kita tunggu saja.""Baik, Kak."Aku menunggu Kak Aldo sembari bermain dengan Icha. Dia sangat senang memiliki mainan baru. Sebuah topi bulu berkarakter kelinci dengan telinganya yang dapat digerakkan seperti menari dengan menekan cakarnya. Terdapat pula hiasan lampu kelap-kelip didalam topi tersebut."Makasih ya, Papa. Aku punya buni het," kata Icha."Sama-sama, Icha. Papa juga seneng kalau kamu seneng, Cha!"Icha menyunggingkan senyumnya. Ia bermain masak-masakan sembari memakai topi karakter yang baru kubelikan tadi.Tak lama Bang Aldo datang."Hi, Bro. M
Seusai membalas pesan dari Bang Aldo, tiba-tiba ibu telepon.'Siap-siap disemprot oleh ibu,' gumamku.Aku mengangkat telepon ibu."Halo, Deni. Kamu kok diem-diem pindah dari sini? Siapa yang ajarin bersikap seperti itu?""Memangnya salah kalau aku pindah ingin mandiri bersama keluargaku? Anak dan istriku butuh tempat yang nyaman, Bu.""Memangnya di rumah ibu nggak nyaman? Kamu aja hidup bersama ibu hampir tiga puluh tahun, nggak nyaman di mana coba?""Itu berbeda, Bu, kondisinya. Aku nyaman karena aku anak ibu. Sementara istriku dan anakku, ibu menganggap mereka orang lain. Betulkan apa yang aku katakan?""Nggak begitu, Den. Cepat kalian pulang lagi. Ibu harap kalian bisa tinggal di rumah ini lagi. Ibu kangen sama Icha," katanya."Maaf, Bu. Aku belum bisa menuruti kata Ibu. Biarkan kami tenang di tempat yang baru. Ibu doakan kami saja, ya!"Aku menutup telepon dari Ibu. Wanita itu memang yang melahirkanku, tapi aku tak b
Selama di jalan perasaanku tak enak, tapi kulapangkan hati ini agar tetap berpikiran positif. Sampai tiba di kantor, aku langsung menghubungi gawai istriku.Panggilan awal, seperti biasa Niar jarang memegang gawainya. Lalu aku panggil lagi, kemudian dia angkat."Halo, Dek. Kenapa baru diangkat? Ini panggilan kedua loh, Dek!" Aku berbicara dengan oktaf lebih tinggi dari biasanya."Maaf, Bang. Aku lagi nyuapin Farhan.""Eh ... Maaf, Dek. Aku hanya khawatir aja. Lain kali panggilan pertama harus diangkat ya!""Iya, Bang.""Ya sudah, kalian baik-baik saja kan?" tanyaku."Iya, baik.""Kamu minta Bibik nginep aja, Dek. Selama aku di sini," usulku."Mmm ... Iya.""Kamu minta langsung saja sama Bik Surti untuk nginep juga. Nanti gajinya ditambah.""Ya.""Dek?""Iya, Bang.""Oke, udah dulu ya. Aku mau kerja dulu.""Baik, Bang. Udah ya, Bang!" Niar menutup teleponnya.Sebenarn
Sore ini jadwalku untuk pulang. Sambil menunggu sore, saat jam istirahat, aku melepon rumah. Entah kali ke berapa aku khawatir dengan keadaan mereka.Saat suara panggilan, Niar biasanya tak langsung mengangkat, aku harus menunggu sampai nada ke sekian, lalu diangkatlah telepon itu."Assalamualaikum. Dek, gimana kabarnya? Nanti sore aku pulang ya!""Waalaikumsalam. Baik, Bang.""Semua baik-baik saja?""Ya. Bram datang pasang kamera.""Oh iya, kamera CCTV. Alhamdulillah kalau sudah terpasang. Bibik masuk hari ini?""Ada, Bang.""Okey. Aku kangen sama kamu, Sayang. Kamu jangan lupa minum obatnya. Besok kita kembali ke dokter, ya!""Iya, Bang. Udah ya, Bang!"Ok Niar. Sampai jumpa nanti malam ya!""Iya."Setelah itu aku seperti biasa pergi makan siang bersama Rio. Kami saling bercerita mengenai keluarga. Dia orang yang sangat kurindukan, kalau aku jadi pindah nanti.***Keputusan mutasiku s