Tak sulit menemukan Mega di antara ratusan siswi berseragam putih abu-abu yang berkerumun di gerbang sekolah. Aku bukan sombong, tetapi Mega memang menonjol. Dia cantik sekali. Kulitnya kuning Langsat persis Bang Asman. Wajahnya oval dengan hidung mancung dan bibir tipis merah. Bentuk tubuhnya mengundang. Karena itu aku tak pernah lalai mengantar jemput Mega. Dunia sudah gila. Penjahat kelamin berkeliaran di mana-mana. Tak hanya teknologi saja yang semakin canggih, tetapi para penjahat pun upgrade skill kriminal berkali-kali lipat.
Aku pernah mengetahui perbuatan kriminal seorang paman yang memerkosa keponakannya. Mungkin aku tidak akan mengumpat panjang jika keponakannya itu bukan bayi perempuan yang baru berumur tiga bulan. Bayangkan! Tiga bulan? Apa yang ada pada tubuh anak berusia tiga bulan? Saat menonton berita itu di salah satu tayangan kriminal di stasiun televisi berlogo burung biru, aku melihat wajah si kriminal babak belur. Sungguh, itu tidak cukup
Vote dan dukung terus perjuangan Era, ya. Sayang semua 💜💜
DKI Jakarta, 2021 Bang Asman berjalan ke panggung, tubuh tegap dan wajah tampannya tampak memukau semua orang. Aku mencibir dalam hati, kekaguman mereka hanya sebatas tampilan luar saja. Andai mereka tahu, bagaimana Bang Asman di rumah, pasti semua tidak akan sama lagi. Bang Asman mengucapkan sumpah jabatan dengan pasti. Setiap ucapan yang keluar dari mulutnya seperti sebuah kesungguhan. Lagi-lagi aku mencibir, kali ini terlepas cibiran itu di bibirku. Akad nikah saja dia pungkiri, apalagi hanya sumpah seperti ini. Aku yakin, Bang Asman tak segan mengingkarinya. Setelah sah dengan jabatan barunya, Bang Asman menyongsongku. Dia bersikap seolah rumah tangga kami penuh kebahagiaan. Bang Asman memelukku, mencium pucuk kepalaku, dan memandangku dengan hangat. Tentu saja, aku pun berbuat sama. Jangan sampai, sandiwara kolosal yang sedang diperankan Bang Asman gagal total. “Selamat, Pak Kadis.” Seseo
Jam tujuh malam, aku tiba di rumah. Garasi masih kosong, artinya Bang Asman belum pulang. Sesekali, aku ingin pulang lebih lambat darinya. Melihat dia menungguku hingga ketiduran di depan televisi, dan saat aku tiba di rumah, dia memelukku dari belakang. Berbisik bahwa dia rindu aku, bahwa dia telah lama menungguku, bahwa dia ingin tidur di sebelahku, bahwa dia tak sabar memelukku. Aku menepis bayangan itu. Semuanya tak ‘kan pernah menjadi kenyataan. Aku membuka pintu yang menghubungkan garasi dengan ruang makan. Perasaan hampa semakin kuat merajai hatiku. Aku pun bingung, mengapa Tuhan masih membiarkanku hidup hingga sekarang. “Ma.” Aku terkejut melihat Mega duduk sendiri di ruang makan. Aku tahu sekarang, dialah alasan kenapa Tuhan masih membiarkanku bernapas. “Belum tidur, Meg?” Senyumku langsung terukir saat melihatnya s
Usai salat Subuh, aku keluar kamar seperti biasa. Sepagi ini, Bang Asman sudah meninggalkan rumah. Baginya, weekend itu tidak ada. Aku menghidupkan televisi besar di ruang tengah. Ini kebiasaanku setiap hari. Lagu Melayu lawas menemaniku sepanjang pagi hingga nanti aku ke Lolita siang hari.Lagu Eddy Silitonga berjudul Ambang Sore, bergema di udara. Mulutku bernyanyi mengikuti suara merdu penyanyi aslinya. Anganku melayang ke kampung halaman yang sudah tiga puluh tahun aku tinggalkan. Pun mendengarkan lagu ini selalu membuatku merindukanFahmi. Apa kabar lelaki itu? Masihkah dia ingat padaku? Setelah semua luka yang aku gores di hatinya?“Tiap sore, kunantikan, di simpang tiga titian. Dengan debar pengharapan, namun dikau tiada datang.”“Mama.”Suara Mega menghentikan senandungku. Aku menatap wajah bangun tidur Mega, anak itu kelihatan sangat kelelahan.“Kamu begadan
Aku menghabiskan malam dengan gelisah. Di kamar berukuran besar, dengan dinding bermotif hitam putih, aku membolak-balikkan badanku di atas ranjang.Cuaca sejuk dari pendingin udara, sama sekali tak membantu. Biasanya, aku mudah ngantuk jika terkena udara dingin. Malam ini berbeda, entah mengapa. Akhirnya, aku memilih duduk di depan cermin. Menatap wajahku yang sudah menua.Tak ada lagi Era muda yang pemalu. Pantulan di depanku sekarang adalah Era yang telah banyak menelan pil pahit kehidupan. Era yang pandai menyembunyikan luka. Era yang ahli menukar ekspresi wajah. Era yang sudah membeku. Benakku penuh tanya, mengapa hidupku seperti ini. Padahal, aku sudah berusaha untuk mencintai Bang Asman. Membuka hati seluas-luasnya, tapi, setitik kasih sayang pun tak ada dia berikan.Mungkin, Tuhan menganggap aku sangat kuat, sehingga menuliskan semua takdir ini untukku. Aku menghela napas. Sesak memenuhi dadaku. Kebahagiaan yang
Aku bukan tak ingin menemani Mega pulang ke Jakarta, tetapi aku tahu persis isi kepala orang-orang di sini. Janda yang ditinggal mati itu tak pantas menunjukkan diri sebelum kering kuburan suaminya. Tak peduli, seberapa berat hidup yang dijalaninya. Kadang aku berpikir, bagaimana seorang perempuan bekerja menghadapi pikiran buruk masyarakat, sebab dia harus keluar rumah untuk bekerja walaupun kuburan suaminya belum kering. Jika tidak, maka dapurnya tidak ngebul. Di Jakarta adalah hal biasa bagi perempuan yang kehilangan suami untuk bekerja kembali. Paling tidak tujuh hari setelah berkabung. Jika ada yang nyinyir paling hanya sekelompok kecil yang kurang kerjaan, dan akan reda dengan sendirinya seiring berjalannya waktu.Aku jadi sedikit malu. Dulu, waktu aku masih sekolah, aku pernah menyindir Hayati, teman sekelasku yang ibunya bekerja. Saat itu, Hayati baru saja kehilangan ayahnya. Belum lagi empat puluh hari, ibu Hayati yang bekerja di pabrik kembali mondar-m
Hari masih muda, matahari belum lagi menampakkan diri sepenuhnya saat aku menjemur kain di halaman samping rumah Bang Arham. Dulu, kegiatan ini menjadi tugas Bang Azlan, abang sulungku. Di rumah Emak, kami terbiasa membagi tugas secara adil, dan tugasku adalah memasak. Aku mengelap tangan basah ke bagian bawah baju. Mataku memindai seluruh bagian halaman ini yang masih sama dengan kondisi tiga puluh tahun lalu. Bang Arham tak melakukan banyak renovasi pada rumah ini, hanya lantainya saja yang sudah keramik dan atapnya ditukar menjadi model baru, selebihnya sama saja. Bukannya masuk ke rumah, aku malah duduk di bawah pohon rambutan besar. Sebuah kursi kayu panjang terletak di bawahnya. Dulu aku sangat terampil memanjat pohon ini. Mengambil rambutan dan membagikannya untuk teman-teman dekatku. Kursi kayu ini bukan kursi yang sama dengan yang Bah buat dulu. Namun, sudah diperbarui. Lebih bagus dan kokoh. Pasti nyaman sekali duduk di sini so
“Ra, sarapan.” Pintu kamarku diketuk saat aku baru saja memasukkan sebagian pakaian ke dalam koper. Nanti malam acara kenduri empat puluh hari meninggalnya Bang Asman, berarti tak lama lagi aku bisa pulang ke Jakarta. Rasanya tak sabar meninggalkan tempat yang mengingatkanku kepada almarhum suamiku. Lebih menyakitkan ketika aku berjumpa dengan Kak Unai—salah satu kakak Bang Asman—tatapannya seolah ingin menenggelamkanku ke laut mati.Entah bualan apa yang diceritakan Bang Asman kepada keluarganya sehingga mereka membenciku. Padahal mereka tahu Bang Asman meninggal bersama seorang perempuan di dalam mobil. Kadang kuasa dan harta memang membuat seseorang lupa dengan hati nurani.“Ra.” Sekali lagi Kak Hanum mengetuk pintu. “Akak buat pulut dengan pisang goreng. Sedap.”“Iyo, Kak. Kejab.” Aku bergegas membuka pintu, tak ingin membiarkan Kak Hanum m
Pagi ini aku terbangun dengan kondisi hati yang masih buruk. Penghinaan keluarga Bang Asman tadi malam masih terngiang-ngiang di telingaku. Tuduhan yang sangat jahat mereka lontarkan. Ya Tuhan, rasanya penderitaanku selama tiga puluh tahun ini ingin aku katakan kepada mereka. Agar mereka tahu Bang Asman tak pernah mencecahkan sedikit pun kebahagiaan ke dalam hidupku. Aku keluar kamar, hendak mencari Kak Hanum. Mengobrol dengannya mungkin bisa menenangkan perasaanku. Aku menemukan kakak iparku itu di dapur. “Eraa nak balek, Kak,” kataku pada Kak Hanum.” “Ngapo cepat betul? Belum puas Akak bercerita samo Era.” Kak Hanum adalah perempuan yang luar biasa baiknya. Saat ia menikah dengan Bang Arham, aku tidak pulang. Saat aku datang, dia menyambutku dengan tangan terbuka, bersikap ramah dan rajin mengajakku bercakap-cakap. “Era tak sedap hati, Kak. Kakak tau sendiri macam man