Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan.
Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku.
Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Gimana akhir kisah cinta Era? Pantengin terus Ujung Senja💜💜
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
PrologPukul dua belas malam, dan lelaki itu belum pulang juga. Aku lelah mondar-mandir seperti orang gila. Menunggu tanpa kepastian entah kapan dia datang.Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku habiskan dengan menunggu. Berharap dia sudi menghabiskan malam bersamaku, bercerita tentang apa saja, menebus siang yang kuhabiskan dalam kesunyian.Pintu rumah terdengar dibuka dari luar. Aku berlari mengejarnya. Ah, rasanya aku sangat haus kasih sayang. Menikah pada usia sangat muda, dan langsung diboyong pindah ke ibu kota, hanya dia tempatku bercerita. Namun, ujungnya selalu sama, ketika dia datang, dia hanya mencari ranjang untuk merebahkan badan, seolah tidak menginginkan aku di sisinya.“Belum tidur kau, Ra?” tanyanya ketika aku keluar kamar.“Era tunggu Abang.”“Jangan tunggu aku.”“Era bosan,
Siak Sri Indrapura, 1990Aku berjalan cepat, melewati sekelompok pemuda yang sedang nongkrong di halaman rumah Emak. Mereka yang sebagian besar adalah kawan abang-abangku, suka sekali menghabiskan waktu sambil bermain gitar di bawah pohon rambutan, yang tumbuh subur di halaman rumah Emak.Aku baru saja pulang dari rumah Amoy, sahabatku. Biasanya, aku bertandang ke rumah Amoy bersama Iin, tetanggaku, tapi Iin yang akan menikah hari minggu ini, sudah tidak diizinkan kedua orang tuanya keluar dari rumah.Jadinya, aku sendirian melewati kerumunan lelaki berusia dua puluhan itu. Sedikit gugup tapi aku memberanikan diri. Kehadiran abang-abangku di sana, tidak menghilangkan rasa gugupku.“Suit, suit.” Entah siapa di antara belasan pemuda itu yang menyuitiku.“Heh, ngapo ni, miang (genit) betul. Usah engkau ganggu Era. Dio adik perempuan aku satu-satunyo, tu.”
Aku duduk di atas pelaminan rumah Iin. Pelaminan khas Melayu yang didominasi warna kuning ini sudah hampir selesai seluruhnya. Tradisi di kampung kami, jika ada seorang gadis yang hendak menikah, maka pemuda-pemudi akan berkumpul selama tiga malam berturut-turut untuk menghias rumah pengantin.“Ra, engkau dipanggil Heri. Dio nak minta tolong buat janur. Cumo engkau yang bisa buat janur.” Bibah-temanku memberi tahu. Aku mengangguk dan meninggalkan hamparan kain yang akan digunakan untuk menghias dinding rumah Iin.Aku mendekati Heri yang sedang duduk di teras rumah Iin. Dia sibuk merangkai janur yang akan dipasang di simpang jalan sebelum masuk gang rumah kami.“Kenapo, Her?” Aku duduk di sebelahnya.“Payah betul, Ra. Tolonglah. Cepat selesai, cepat balek. Aku dah penat ni.” Heri memasang wajah memelas.Aku mengangguk dan membantunya merangkai j
Aku mengupas bawang merah yang akan digiling bersama cabe. Pukul sepuluh pagi, aku sudah harus menyiapkan makan siang. Biasanya, ada Emak yang menemaniku, tapi sejak pagi, aku belum melihat Emak sama sekali.Di rumah ini, Emak membagi pekerjaan rumah dengan adil dan merata. Aku kebagian tugas memasak. Menurut Emak, anak perempuan harus pandai masak, agar bisa membuat perut suami kenyang, dengan tujuan agar suami betah di rumah. Aku manut saja. Tak ada ruginya belajar memasak.Abang-abangku pun sudah ada tugasnya masing-masing. Ada yang mencuci, menyetrika, membersihkan rumah, dan sebagainya.Aku membuka pintu belakang dapur yang menghadap langsung ke jalan samping rumah. Memasak sambil melihat orang lalu lalang adalah kesenanganku. Sesekali aku menyapa tetangga yang lewat.Aku menghidupkan kompor dengan korek api. Tak lupa sebelumnya, aku mengecek minyak tanah yang tersimpan di dalam ko
Hari ini Emak membebaskanku dari segala tugas memasak. Seharian aku hanya disuruh berkurung di kamar dengan makcik Nur, bidan pengantin paling terkenal di kampung.Makcik Nur membalur seluruh tubuhku dengan butiran halus berwarna putih. Kemudian, ia menggosok kuat seluruh tubuhku.“Makcik, sakit betullah. Apo bendo ni namonyo?” Aku meringis menahan sakit saat makcik Nur menggosok kulitku sekuat tenaga.“Lulur, Ra. Bio bekilau badan kau.”“Bekilau? Untuk apo pulak kulit aku dibuat bekilau? Aku di rumah ajo, masak ke masak, tak ado kejo lain.” Aku tertawa menanggapi perkataan makcik Nur.“Diam ajolah kau. Jangan banyak cakap.”Aku pun diam. Menikmati setiap urutan tangan makcik Nur di tubuhku.Setelah selesai, makcik menyuruhku minum air yang rasanya sangat tidak enak.&ld