LOGINSeorang perempuan muda terpaksa menikah dan mengubur cita-citanya untuk melanjutkan sekolah. Era namanya. Perempuan itu dilamar oleh lelaki kota, kemudian dibawa jauh meninggalkan keluarga. Bukannya bahagia, hidup Era di kota sangat menderita. Dia harus berjuang melewati hari-hari yang kering dari cinta kasih sang suami. Sampai suaminya mati dengan cara mengenaskan, hidup Era tetap tak tenang. Ketika di ujung senja hidupnya, datang dua orang lelaki yang menghadap cintanya, mampukah Era memilih?
View MoreProlog
Pukul dua belas malam, dan lelaki itu belum pulang juga. Aku lelah mondar-mandir seperti orang gila. Menunggu tanpa kepastian entah kapan dia datang.
Sudah tiga ratus enam puluh lima malam aku habiskan dengan menunggu. Berharap dia sudi menghabiskan malam bersamaku, bercerita tentang apa saja, menebus siang yang kuhabiskan dalam kesunyian.
Pintu rumah terdengar dibuka dari luar. Aku berlari mengejarnya. Ah, rasanya aku sangat haus kasih sayang. Menikah pada usia sangat muda, dan langsung diboyong pindah ke ibu kota, hanya dia tempatku bercerita. Namun, ujungnya selalu sama, ketika dia datang, dia hanya mencari ranjang untuk merebahkan badan, seolah tidak menginginkan aku di sisinya.
“Belum tidur kau, Ra?” tanyanya ketika aku keluar kamar.
“Era tunggu Abang.”
“Jangan tunggu aku.”
“Era bosan, Bang, di rumah terus. Abang kerja sampai malam, Era ingin kuliah tak boleh, ingin kerja pun tak diizinkan,” keluhku.
“Kau ngapa? Mau ngajak bertengkar tengah malam buta ni? Duduk baik-baik di rumah, duit aku kasih. Semua aku penuhi. Tak cukup?”
Air mataku tumpah. Susah payah aku menelusup masuk ke dalam hati lelaki itu. Menumbuhkan cinta yang sama sekali tak ada dari awal.
Bukannya berusaha membuat hatiku mekar, dia malah membunuh rasaku perlahan.
“Asman, mengapa kau sangat ingin menikahiku? Ujung-ujungnya kau malah menyakitiku?” Aku memuntahkan segala sakit yang setahun ini kupendam.
“Kau gila, Ra?” Bang Asman mundur selangkah melihat sikapku.
Aku memang belum pernah menunjukkan perlawanan selama ini. Setahun aku pendam semua, aku tahan semua lara. Kali ini, aku tak sanggup lagi.
“Kau membuat aku gila! Kau renggut habis masa mudaku, kau paksa aku pindah dari tempat kelahiranku. Aku menerimanya, bahkan ketika Bah mati, kau sama sekali tak peduli!” Telanjur, sekalian saja aku katakan semua. “Aku berusaha mencintaimu, Asman, demi rumah tangga yang baru seumur jagung ini! Apa balasanmu? Jangankan membalas perhatianku, bersikap baik pun kau tak pernah!”
“Jaga mulutmu!” desis Asman.
“Setahun aku menjaga mulut, aku sudah tak sanggup. Ceraikan aku!”
“Sampai mati, aku takkan pernah menceraikanmu!”
“Rumah tangga ini seperti neraka bagiku, Asman.”
“Biarlah aku menjalani rumah tangga bagai neraka ini. Biar kita hangus terbakar berdua di dalamnya, asal tak pernah ada kata pisah. Tak ada sejarahnya dalam keluarga besarku, ada rumah tangga yang hancur.”
“Egois!”
“Terserah!”
“Ceraikan aku, Asman!” pekikku pilu.
***
Aku tak bisa tidur semalaman. Ah, bukan, aku tidur sejak pukul dua belas hingga pukul dua malam. Setelah itu, aku tidak dapat memejamkan mata. Usai Salat Tahajud, aku duduk di depan meja rias, memandang pantulan wajahku di cermin. Aku terkejut saat pintu kamar terbuka. Kak Ainun masuk sambil tersenyum. “Tadi Akak dengo suara keran hidup di kamar mandi engkau, makonyo Akak berani masuk.” “Kakak tak dapat tidur ke? Pasti tak nyaman tidur di lantai,” ujarku dengan rasa tak enak. Para tamu yang harusnya dilayani dengan baik itu malah tidur berimpitan di ruang tengah. Termasuk Mega dan Latifah. “Bukanlah. Kakak senang sangat Fahmi akhirnya menikah dengan engkau.” Kak Ainun duduk di tempat tidurku. Aku menyusul sebab tak enak rasanya duduk berjauhan dari Kak Ainun. “Engkau tahu tak.” Dia memegang tanganku. “Malam itu, di malam pernikahan engkau dan Asman, Fahmi bersujud di k
Menjelang hari H, aku memilih tetap bekerja. Tentu saja ke Lolita. Bagiku Lolita adalah tempat kerja sekaligus rumah kedua. Aku sudah terbiasa dengan suasana dan orang-orang yang ada di dalamnya. Malah kadang aku lebih betah di salon daripada di rumah.“Lu kapan mulai perawatan?” Meri mulai bertingkah seperti ibu-ibu yang akan melepas anak gadisnya menikah. Dia sangat nyinyir mengomentari wajahku, kulitku, bahkan area V-ku pun dikomentarinya. Aku jadi ingat saat akan menikah dulu, Emak sampai memanggil bidan pengantin paling hits di kampung agar aku manglingi saat pernikahan. Ah, cepat aku tepis bayangan kelam itu. Hari pernikahanku identik dengan hari terakhir Bah ada di dunia, dan aku benci mengingat itu.“Mulai hari ini, ya? Fahmi tiga hari lagi udah datang, kan? Lu enggak bakal sempat gue apa-apain lagi, Ra.” Nada suara Meri terdengar gemas.“Males, ah. Mahal.” Ak
Hari-hari berlalu seperti peluru. Siang malam berganti layaknya seorang pelari. Hidupku tergerus oleh kesibukan di rumah dan Lolita. Ah, tepatnya aku yang sangat-sangat menyibukkan diri demi melupakan keraguan yang bermegah-megah dalam hati. Waktu tak memberiku jeda, ia melaju, meninggalkanku dan segala keraguan dalam dada. Aku tahu, aku tak boleh bersikap mencla-mencle begini. Namun, ketiadaan Fahmi di sisi membuatku semakin merasa tak pasti. Aku ingin mundur dari pernikahan yang rasanya semakin tak mampu aku jalani. Aku takut dengan banyak kemungkinan yang bercokol dalam otakku. Hatiku penuh tanya, bisakah aku bahagia? Atau pernikahan kedua ini malah mengikat kakiku lebih rapat? Membuat luka dalam hati semakin berkarat? Entahlah, semua terasa tak pasti. Aku menghabiskan waktu dengan membereskan pekerjaan rumah di lagi hari, saat matahari beranjak naik, aku berangkat ke Lolita. Menyibukkan diri demi mengusir gundah gulana. Seperti saat
Semakin dekat hari H pernikahan bukannya semakin tenang, aku malah semakin gelisah. Rasanya aku tak siap harus mengikat diri lagi dalam sebuah kehidupan rumah tangga. Terlebih Bang Asman baru setahun pergi. Apa kata orang kalau mereka tahu bulan depan aku akan menikah untuk kedua kalinya? Perempuan berumur 47 tahun yang baru setahun menjanda, menikah lagi. Pasti semua orang menyangka aku yang kegenitan. Aku ingin berkeluh kesah dengan Meri, tetapi sahabatku itu pun tengah sibuk menyiapkan pesta pernikahan putri pertamanya yang akan dilangsungkan Minggu depan. Kata Meri, Lingga berpacu denganku. Aku hanya tertawa mendengar kelakar itu. Mana bisa anak gadis seperti Lingga dibandingkan denganku. Aku ingin bercerita kepada Fahmi, tetapi lelaki itu tampaknya sangat sibuk mempersiapkan kepindahan ke sini. Beberapa barangnya sudah dipaketkan terlebih dahulu. Bah Arham? Sama saja. Dia terlalu bahagia karena tahu aku akan menikah lagi
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
reviewsMore