Tok, tok, tok!Aku terkaget mendengar suara ketukan pintu, berjeda, dan diulang tiga kali, siapa yang bertamu magrib-magrib begini? Dengan langkah ragu aku berjalan pelan menuju pintu.Ketukan pintu terus terdengar, semakin dekat kian keras, ruang tengah yang kini kupijaki rasanya begitu sunyi dan mencekam, tanganku terulur hendak menyentuh hendel pintu.Namun keraguan melanda saat besi nan dingin itu menyentuh pergelangan tangan, hingga pintu pun urung aku buka."Assalaa ... mualaikum ...." Telingaku menegang dengan netra terbeliak, bulu kuduk tiba-tiba saja meremang, suhu ruangan berubah dingin seketika, suara salam. Siapa yang memberi salam serupa bisikan halus itu? Rasa penasaran siapa yang kiranya datang mendesak, kuberanikan diri mengintip dari lubang kunci, penglihatanku hanya menangkap kibaran kain hitam mengkilap diterpa desau angin senja, lalu tiba-tiba bau amis tercium begitu tajam merebak memenuhi indra penciuman.Aku bangkit lantas berbalik hendak kembali ke kamar, teta
Malam ini begitu dingin, rintik gerimis membasahi jendela kamar, sedang tiupan angin yang masuk dari ventilasi jendela menerbangkan tirai, mengirim kebekuan hingga ke tulang-tulang.Ratna beringsut memelukku begitu erat, tangan putihnya melingkar di pinggang, tiba-tiba aku merasakan gejolak gairah yang sudah lama padam membara dalam dada, sesuatu yang harusnya terkubur saat ini bangkit, mendesak ingin dilepaskan.Seiring gerimis yang tadinya mengirimkan hawa sejuk, kini tak lagi berlaku, napasku memburu, badanku memanas oleh gelora, aku lirik Ratna yang mulai setengah terpejam, dia hampir lelap.Pandanganku menatapnya penuh damba, bibir ranumnya yang setengah terbuka begitu menggoda dipandang mata. Hiper kah aku? Ini bulan kelima kami tidak saling bersentuhan dalam artian suami dan istri.Bukankah wajar jika aku menginginkannya? Apa lagi setiap malam kami tidur dalam posisi yang cukup intim, munafik jika aku tidak tergoda dengan istri sendiri. Namun, kemarin aku masih bisa mengontrol
"Bang!""Bang! Bangun!"Sayup aku mendengar suara familier menyapa rungu, perlahan aku mengerjap, pertama kali yang tampak di mataku adalah wajah cemas Ratna."Sudah sadar!" "Syukurlah, ayo bapak-bapak kita pulang!" Suara ramai nan riuh rendah menyusul setelahnya, membuatku mengedarkan pandangan, aku tau itu adalah warga desa, kenapa mereka di sini? "Terima kasih sudah menolong suami saya, Bapak-bapak sekalian," ucap Ratna, mereka mengangguk lantas beranjak keluar dari kamar kami, satu per satu punggung mereka menghilang dari pandangan.Aku beringsut bangun, duduk bersandar di kepala ranjang sembari terus mengingat-ingat, apa yang sudah terjadi sebelum ini.Blash!Bayangan ular hitam melata lewat di pelupuk mata, seketika aku meringis, tangan tergerak meraba pelipis yang berdenyut nyeri. Di sampingku, Ratna menyodorkan gelas minuman."Minum dulu, Bang!" serunya, aku mengambil gelas berisi air putih itu, menenggaknya hingga tandas separuh gelas."Terima kasih, Dek," ucapku menyeka m
Bang Angga ...." Aku menoleh ke belakang, seketika jantung berpacu dua kali lebih cepat, Ratna berdiri mematung, cangkir kopi di tangannya terlepas, lalu minuman itu tumpah seiring beradunya wadah dengan lantai keramik yang dipijaki istriku.Ya Tuhan.Dalam kegamangan yang belum pulih, Ratna memutar tubuhnya, setengah berlari dia memasuki rumah, sempat kulihat ia menyeka sudut matanya sebelum akhirnya menghilang di balik pintu. "Kau masih menggenggam tanganku bahkan setelah istrimu marah melihat kita," ucapnya dengan nada mengejek, aku menyentak kasar tangan perempuan licik itu, dia malah tersenyum sinis. "Awas kamu, Raya! Saya tidak akan tinggal diam atas semua yang sudah kamu sebabkan pada keluarga saya!" Hardikku seraya menudingnya penuh amarah, wanita berkelakuan bak iblis, itu tertawa penuh kemenangan. Sial! Aku berlari ke rumah, seperti kesetanan aku menerjang pintu, tujuanku adalah kamar utama, kamar kami berdua."Sayang! Ratna ... bukan pintunya!" seruku seraya mengetuk pin
Selamat membaca!*****Setelah cek-cok ringan hari itu, hubunganku dan Ratna kembali membaik, istriku itu tak segan minta maaf, pribadi yang sedari dulu aku suka darinya.Hari ini kami berencana menyambangi kediaman Ustaz Yusuf, anjuran Yanto. Namun kami harus menundanya karena salah satu warga desa sedang ditimpa musibah.Bu Siti yang tinggal di tempat paling ujung desa kami meninggal dunia subuh tadi, aku dan Ratna bersiap melayat ke rumahnya.Setiba di rumah penuh suasana duka tersebut, kami langsung masuk, Pak Ali selaku lurah dan kerabat Almarhumah menyambut kedatangan kami.Ratna berbaur bersama para ibu-ibu, ia turut mengambil Yasin dan membacanya di dekat si mayit, sedang aku dengan Pak Ali duduk lesehan di dekat pintu, wajahnya menyiratkan kesedihan, wajar, siapa pun akan merasa iba, mengingat almarhumah tinggal seorang diri tanpa sesiapa mengurusi.Bahkan, aku mendengar kabar, beliau ditemukan tak bernyawa subuh tadi, tetapi sudah tiada entah sejak kapan, kasihan sekali."As
Selamat membaca!*****Rhaam! Bulu kudukku merinding melihat Ratna. Hijab istriku sudah tertanggal, rambut panjangnya yang tergerai menyentuh pinggang, kini berantakan menutupi sebagian wajahnya. Bertambah dingin ujung-ujung jemariku saat tatapan kami bertemu, dia menatapku dengan seringai lebar, dari sela-sela rambutnya.Kakiku terpaku di tempat, Ratna melangkah santai menghampiriku, seringai itu masih tak lekang di bibirnya, "Suamiku sudah kembali rupanya?" tanya dia dengan suara berbeda."Apa yang kamu lakukan, Ratna? Pakai kembali hijabmu!" seruku penuh penekanan, di sekeliling kami para warga yang entah datang sejak kapan sudah berkerumun, menjadikan kita sebagai objek tontonan."Hahahah ... untuk apa aku menutupnya, bukankah rambut ini begitu indah, hem? Hahahaha ...." tawanya melengking dengan kedua tangan terus menyusuri rambut panjangnya."Ratna! Apa yang terjadi denganmu?" Dia terdiam, lantas melihatku dengan tatapan penuh amarah."Ratna, Ratna! Istrimu itu sudah mati! Dan
Selamat membaca!*****Dua hari berlalu, selama itu pula aku mencari tahu tentang ustaz usulan Yanto, punya koneksi dengan beberapa teman di sana, membuat urusanku lebih mudah tentunya.Menurut penuturan mereka, ustaz yang katanya bernama Yusuf itu memang kesehariannya menjalankan praktik rukiah, beliau sudah berumur lima puluh tahun, mempunyai sebuah pondok pesantren yang terbilang cukup dikenal di sana.Setelah sama-sama memantapkan hati bersama Ratna, akhirnya kita berdua memutuskan untuk menyambangi kediaman Ustaz Yusuf tersebut. Bermodalkan tekad dan nekat, hari ini kami berangkat ke sana.Dua jam menempuh perjalanan, akhirnya tiba di tempat tujuan, sebuah pondok pesantren dengan halaman yang begitu asri, seorang santriwan menyambut kedatangan kami, pemuda itu mengantar kami ke rumah yang ditinggali Ustaz Yusuf.Aku terkesima melihat rumah sederhana yang begitu teduh, tidak ada tembok, hanya dinding berbahan papan yang menjadi tabirnya, jendela dan pintunya pun terkesan kuno, tid
Selamat membaca!*****"Argh! B*jingan! Belum puas juga kau membakarku kemarin! Aaaaargh, panaaaas!"Teriakan Ratna menggema, sedangkan Ustaz Yusuf tak menghentikan aksinya, beliau terus membacakan ayat-ayat ruqyah tanpa henti, malah lebih melantang."Hentikaaaan! Tua bangka! Hentikaaaaan, argh!"Ratna berteriak murka, kedua tangannya bergetar, kakinya juga menyentak-nyentak ke lantai, ia mengesot, berusaha menggapai Ustaz Yusuf, tetapi aku lebih sigap menangkap tubuhnya.Dia terus meronta minta dilepaskan, aku lihat banyak peluh mengucur membasahi wajah dan bagian depan hijabnya. Ustaz Yusuf mendekat, beliau memberiku isyarat agar mengunci pergerakan Ratna.Dengan samadahnya pria paruh baya itu melapis telapak tangan, lalu dihulurkan hingga menyentuh kening istriku yang sejak tadi terus meronta."Huhuhu ... uughh, huhuhu ... hentikaaaaaan!" teriaknya melengking, aku sempat terenyuh melihat betapa dia kesakitan. Namun lekas kutepis rasa itu saat mengingat kalau itu bukan Ratna istriku