Share

Bab 3

Tajam Pak Kusno menatap kami, telunjuknya mengacung di depan wajah Ratna.

"Kau ... sudah terjamah iblis!" serunya dengan netra melotot pada istriku, semburat serupa benang merah nan bercabang memenuhi mata putihnya. Ratna meraba tanganku, sementara tangan yang lain membekap mulut sendiri, wajahnya pias.

"Maaf, Pak. Maksud Pak Kusno terjamah iblis bagaimana?" tanyaku mengalihkan tatapan tajam pria paruh baya itu, semata agar Ratna tak terlalu tertekan dan semakin takut.

"Dalam tubuhnya telah bersemayam iblis berupa ular betina, dia ingin kalian fana!" terangnya dengan netra menyalang, aku menggeleng, menoleh pada istriku yang kini wajahnya basah dengan air mata.

"Pak, apakah Andini istri Senopati dulu mengalami hal yang sama?" tanyaku menyelidik. Pak Kusno mengangguk cepat, tegas dan tampak begitu yakin.

"Tapi ... Nak Anggara tak perlu risau, bapak tau sakit istrimu masih baru, iya 'kan?" tanyanya menatap Ratna dan aku bergantian.

"Sebenarnya, sudah dua bulan, Pak." Aku menunduk, merasa bersalah karena lalai dan menganggap sepele masalah ini, aku berpikir bahwa itu hanya halusinasi semata, dan semua akan baik-baik saja.

"Celaka! Kenapa tak kau bawa saat itu?" bentaknya dengan suara menggelegar, aku mengangkat wajah.

"Saya tidak tahu semua akan berakhir begini, Pak."

"Tapi, apa istri saya bisa sembuh, Pak?" tanyaku penuh harap, bibir keriput Pak Kusno terulas senyum lebar.

"Tentu saja ... tapi ada syaratnya!"

☆☆☆

Sepanjang perjalanan pulang aku terus merenung, bahkan beberapa kali motorku oleng, beruntung aku masih bisa menguasai keseimbangannya.

Ya Tuhan, berilah petunjukmu. Semoga istriku lekas pulih seperti sedia kala, batinku memanjatkan doa.

"Bawakan padaku ayam kampung berbulu putih tujuh ekor malam rabu lusa, kita akan mulai mengobati istrimu." 

Ucapan Pak Kusno kembali terngiang, aku tekan rem begitu tiba di depan rumah, Ratna turun dari motor, ia melenggang masuk, tetapi saat tiba di depan pagar istriku itu kembali menoleh.

"Abang nggak masuk?" tanyanya.

"Abang mau ke rumah Bik Surti dulu, Sayang. Cuma beliau yang paling banyak melihara ayam, abang mau berburu pesanan Pak Kusno, kamu baik-baik di rumah ya!" seruku kembali menstarter motor, dia mendekat.

"Hati-hati, Bang! Cepat pulang," lirihnya mencium tangan ini.

Gegas kulajukan kendaraan roda duaku menuju rumah Bik Surti, tak perlu waktu lama aku tiba di sana, beruntung wanita sepuh itu sedang di rumah saat aku datang, kami berbincang sejenak, lalu aku mulai menyampaikan tujuanku mendatanginya.

"Ada, Nak Angga, yuk ikut bibik!" ajaknya melangkah ke arah kandang ayam di belakang rumah, begitu dibukanya tampak olehku banyak sekali ayam. Dengan lincah netraku memindai seluruh isi kandang, mencari pejantan yang berbulu putih.

Tak perlu waktu lama, kami berhasil mengumpulkan lima ayam, kurang dua ekor lagi, tidak ada lagi yang serupa pada Bik Surti. Kukeluarkan lembar merah sebanyak enam lembar.

"Banyak sekali ini, Nak Angga!" serunya seraya menyodorkan kembali selembar uang merah itu padaku. Aku menggeleng pelan, menolak halus kembaliannya.

"Buat Bibik saja, doakan Ratna cepat sembuh ya, Bi! Dan tolong rahasiakan masalah ini, jangan sampai orang lain tau," ucapku pada wanita sepuh tersebut yang dibalas anggukan pelan.

Gegas aku membawa lima ayam itu dan pulang ke rumah, malam rabu akan datang lusa, aku masih punya waktu besok untuk berkeliling mencari dua ekor pejantan putih lagi.

Setelah memastikan ayam-ayam itu tidak lepas, aku berlalu masuk ke rumah, tumben Ratna tidak keluar, biasanya dia akan segera menyambutku saat deru motor memasuki halaman rumah kami.

Mencoba berpikir positif aku mengetuk pintu seraya memberi salam, hati rasa tak tenang saat tidak ada sahutan dari istriku.

Tergesa aku mendorong daun pintu, memeriksa ruang tamu 4×5 rumah kami, kosong. Aku melangkah cepat memeriksa dua kamar yang lain, tetapi nihil, Ratna tidak ada di mana pun.

Tak putus asa aku berlari ke belakang, dia juga tidak ada di dapur. Napasku terengah, berbagai praduga dan bayangan buruk menghantui, ke mana Ratna? Tak biasanya dia pergi tanpa memberi tahuku.

Aku periksa ponsel, siapa tahu dia menelepon tadi, itu juga nihil, tak ada satu pun pesan atau panggilan tak terjawab darinya.

"Kamar mandi!" gumamku teringat dengan satu tempat yang belum kuperiksa. Secepat yang aku bisa melangkah ke kamar tamu, memeriksa ruang 2×2 itu, tetap tidak ada. 

Berlari seperti orang kesetanan aku memasuki kamar kami, sontak hawa dingin menyelimuti, bulu kuduk terasa meremang.

"Haa ha haa haaa ...." telingaku menegang saat mendengar sayup suara kidung wanita, lampu menyala di kamar kecil itu, suara air jatuh terdengar jelas, seolah aku berada dalam ruang hampa, tak ada suara lain selain kidung dan gemericik air.

Perlahan kudekati pintu yang masih tertutup rapat, semakin langkah ini mendekat, semakin jelas lah nyanyian itu, terdengar merdu sekali, tetapi seakan menusuk gendang telinga, terbawa angin kesakitan menyapu indra pendengaran.

"Ratna ...." panggilku seraya mengetuk pintu, sontak suasana berubah sunyi, tak ada sahutan maupun gemericik air dan nyanyian lagi. 

"Ratna! Kamu di dalam?" Suaraku naik satu oktaf, tetap saja, tak ada sahutan, tetapi sejurus kemudian pintu terbuka, Ratna berdiri menjulang tanpa sehelai benang.

Dia tersenyum padaku, semakin lama bertambah lebar, sangat lebar hingga seluruh barisan giginya kelihatan.

"Temani aku mandi, Bang!" ucapnya mendayu, belum sempat aku berkata, tangannya yang dingin menarikku masuk.

Bersambung.

*****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status