Share

Penawaran Elen

    Rehan menurut, memang ia saat ini sungguh membutuhkan sandaran, dirinya rapuh dan merasa sangat tak berguna. Menabrak seseorang, bahkan hingga tulangnya patah bukan masalah yang sepele.

    "Mas, jangan khawatir ya, kalau misalkan Elen beneran perempuan perantauan, selama masa pemulihan biar dia sama aku aja. Aku enggak keberatan kok kalau harus ngurus dia." Elen berkata seperti itu dengan sangat yakin.

    "Sayang? Kamu serius bilang kayak gitu? Apa kamu enggak bakalan repot kalau harus ngurusin dia?" Rehan melepas pelukannya dari sang istri.

    Menatap kedua mata teduh milik Elen, menanti jawaban yang akan dilontarkan lagi oleh sang istri.

    Kepala Elen mengangguk dengan sangat mantap, seraya tangan kanannya yang bergerak untuk mencubit pelan kedua pipi milik Rehan.

    "Enggak apa-apa, Mas. Aku yakin banget kalau aku enggak bakalan kerepotan kok, apalagi kita juga kan belum punya anak, ngurus perempuan itu enggak bakalan jadi masalah buat aku."

    Sekali lagi, Rehan memeluk sangat erat tubuh Elen. Mengutarakan kata terima kasih lewat pelukan. 

    Berterima kasih pada Tuhan dan juga takdir yang sudah mempertemukan dirinya dengan perempuan yang sangat baik, Rehan sama sekali tidak menyangka jika ia akan mendapat jawaban seperti itu.

    Sejak tadi, Rehan hanya khawatir tentang bagaimana tanggapan dari Elen. Bahkan, yang ada di pikirannya Elen akan marah sangat besar, karena tidak mengemudikan mobil dengan hati-hati.

    Pelukan itu perlahan mengendur, Rehan tersenyum dengan kedua mata yang tetap menatap wajah cantik sang istri di depannya ini.

    Beberapa detik kemudian, mulut Regan akhirnya berkata, "Sayang, makasih banyak ya, kamu udah mau ngelakuin itu. Bahkan kamu sama sekali enggak marah ke aku."

    "Padahal, aku dari tadi udah ngerasa takut banget kalau kamu tau ini dan kamu pasti bakalan marah banget, tapi ternyata kamu enggak kayak gitu."

    Elen tersenyum, cantik sekali, lalu menjawab, "Enggak akan aku marah ke kamu karena masalah ini, Mas."

    "Ini murni kecelakaan, kamu juga pasti tadinya enggak ada niat buat nabrak dia, kan? Tapi takdir udah berkehendak, kita sebagai manusia bisa apa?"

    "Aww!" Suara rintihan yang terdengar dari dalam ruangan, membuat Elen dan juga Rehan langsung saling beradu pandang, lalu sedetik kemudian mereka berdua buru-buru masuk ke dalam ruangan tersebut.

    "Sakit ...." Suara rintihan kembali terdengar, kala kedua kaki pasangan suami istri memasuki ruangan tersebut.

    Elen tetap memberanikan diri untuk tetap mendekat ke arah perempuan yang tengah merintih itu, tentu saja dengan Rehan yang mendahului.

    "Saya minta maaf ya." Rehan terlebih dulu mengutarakan permintaan maafnya pada perempuan yang sedari tadi merintih kesakitan itu.

    Rehan hanya fokus dengan wajah perempuan itu saja, tanpa berani untuk melihat ke arah lengan yang sudah diperban oleh pihak rumah sakit.

    Hatinya saat ini sagat tidak tenang, kala perempuan yang tengah terbaring itu tak kunjung memberikan jawaban. Hanya menatap wajah Rehan saja, tanpa kata apa pun.

    Elen, istri dari Rehan langsung menyadari jika ada yang tidak beres dari tatapan perempuan tersebut, langsung ambil alih dengan berdeham pelan.

    "Ini suami saya, namanya Rehan. Beliau tidak sengaja menabrak kamu dan mengakibatkan kamu menjadi seperti ini," ucap Elen, seraya menatap wajah perempuan tersebut.

    "Saya ... Naura." Hanya itu saja kalimat yang dikeluarkan dari mulut perempuan tersebut.

    Ya, namanya Naura. Perempuan perantauan yang sudah bekerja di salah satu perusahaan di bagian staff accounting. Karirnya cukup bagus, itu semua berkat kerja keras Naura sendiri yang gigih dalam meraup ilmu.

    Mendapat balasan kata dari Naura, meskipun sedikit, membuat hati Elen lega. Segera saja Elen mengambil posisi duduk di dekat Naura, seraya menatap penuh kasihan.

    "Maafkan suami saya ya, udah buat kondisi kamu seperti ini, suami saya benar-benar tidak sengaja. Kamu jangan khawatir, ada saya yang akan merawat kamu sampai kamu sembuh nanti," ucap Elen, penuh harap.

    "Saya mendapat tekanan dari atasan, di saat saya tengah mengendarai kendaraan. Hal itu yang membuat saya kehilangan rasa fokus dan tidak tahu jika di depan saya sudah ada kamu. Sekali lagi saya minta maaf." Penuh rasa bersalah Rehan mengutarakan kalimat itu.

    Masih belum ada tanggapan yang diutarakan dari mulut Naura. Perempuan itu hanya diam saja dengan kedua mata yang menatap langit-langit rumah sakit.

    Sedetik kemudian, Naura meneteskan air mata. Hatinya sakit, perasaannya kacau, ditambah lagi dengan tangan kanan ya

ng tak bisa digerakkan. Rasa sakitnya semakin bertambah.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status