Hari sudah gelap saat mereka tiba di kediaman keluarga Berbardo. Pemandangan megahnya rumah itu membuat Thalia melupakan sejenak ketidakhadiran keluarga besar Berbardo di pernikahannya dengan Jose yang digelar dengan sederhana.
Tidak ada satu pun dari keluarga Berbardo yang menghadiri pernikahan sederhana mereka karena mereka semua harus menghadiri pernikahan Fernando dan Gabriella yang diselenggarakan di gedung hotel bintang lima termewah di kota mereka.
Jose tidak mengatakan apa-apa tentang hal itu. Pun Thalia tidak berkomentar. Dia tidak mau ambil pusing. Toh, dia menikah dengan Jose Antonio semata-mata hanya karena memenuhi keinginan ayahnya. Hanya senyum di wajah ayahnya-lah yang dia pedulikan.
“Kita sudah sampai,” ucap Jose saat mobil berhenti tepat di depan tangga putih yang mengarah ke teras depan dengan pintu utama yang berwarna putih berkilau.
Thalia turun dari mobil dan dengan segera langkah kakinya terasa berat memasuki rumah itu. Tuntunan tangan Jose yang mantap di pinggang belakangnya menyadarkannya. Tetapi tanpa sadar, Thalia menepisnya. Dia benci semua sandiwara Jose ini.
Mereka akhirnya tiba di lantai 3. Tangan kokoh Jose membukakan pintu kamar. Thalia melangkah masuk dengan perlahan sembari melayangkan pandangannya ke sekeliling. Dia terus masuk hingga tiba di ranjang mereka, yang bertaburan mawar berbentuk hati. Thalia berdecak kesal dalam hatinya melihat hiasan konyol itu. Pernikahan mereka tanpa cinta, untuk apa dihias-hias seperti itu?
“Mulai detik ini, inilah kamar kita. Kamarku, dan kamarmu.” Suara Jose menggelegar rendah dan renyah. Pria itu berdiri di samping ranjang, menjulang tinggi, sedang melepas jasnya kemudian melepas kancing-kancing yang ada di ujung lengan panjang kemeja putihnya. Namun, tatapannya masih tajam dan terarah hanya pada Thalia. Mungkin, pria itu masih marah dengan tepisan tangan Thalia tadi.
Thalia mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar, mencoba mengabaikan tatapan tajam Jose padanya. Suasana di dalam kamar sangat kontras dengan nuansa di seluruh penjuru rumah. Jika rumah secara keseluruhan berdinding putih dengan seluruh perabot yang juga berwarna putih, krem, atau gold, maka nuansa kamar didominasi warna cokelat muda dan gelap, serta abu-abu dan hitam.
‘Sangat maskulin,’ pikir Thalia. ‘Atau malah monoton dan suram, seperti pernikahannya yang akan menjadi suram? Entahlah!’
Setelah selesai mengedarkan pandangannya, tatapan Thalia kembali terpaku pada tatapan Jose yang menelisiknya tajam. Napas Thalia kembali tercekat di tenggorokan. Kenapa pria yang baru dinikahinya itu menatapnya setajam itu? Apakah dia sudah hendak menerkamnya?
Tidak! Tidak! Dia tidak akan memberikan diri seutuhnya pada pria itu. Jose boleh memilikinya di atas kertas, tapi tidak di atas ranjang. Thalia bersumpah dia takkan menyerahkan tubuhnya pada pria itu.
“Di ruangan kecil itu berisikan semua barang-barangmu. Sedangkan lemari yang di sini berisikan pakaian dan semua barangku.” Suara rendah nan gersang itu terdengar lagi, menyentak kesadaran Thalia sekali lagi.
Secercah kelegaan dirasakan Thalia karena pria itu hanya menunjukkan tempat pakaiannya, bukan menyuruhnya melayani nafsunya. Namun, dia tetap waspada saat menuju walk in closet yang ditunjuk jose. Pria berbadan besar itu bisa menerkamnya kapan saja.
Sesampainya di sana, Thalia cukup terpukau karena ada banyak sekali pakaian perempuan di sana. Dari gaun tidur yang selembut sutera, sampai gaun pesta yang terlihat begitu elegan. Thalia seakan tak percaya melihatnya. Semua ini untuknya? Siapa yang menyiapkannya?
“Ini semua … untukku?” tak tahan dia untuk berdiam mulut.
“Iya. Kenapa? Kurang?” Tatapan Jose yang menatapnya dari tempat yang lebih tinggi membuat keangkuhan pria itu semakin menjadi-jadi.
Keingintahuan Thalia sirna seketika. Yang ada tinggallah amarah Thalia kembali membara. “Kau pikir dengan kau memberi semua ini aku akan terkesan?”
Jose menatapnya tajam mendengar pertanyaan Thalia yang begitu sinis. “Aku bukan hendak membuatmu tekesan. Aku hanya hendak menjaga agar kau tidak merasa kekurangan.”
“Aku tidak pernah kekurangan. Apalagi kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?”
Entah mengapa, amarah Thalia membuat lidahnya menjadi lebih tajam dari pisau, padahal dia sendiri tidak tahu dengan tepat sejarah hidup Jose. Yang dia tahu hanyalah sebatas yang didengarnya dari orang-orang.
Tanpa dia mengerti, ucapannya itu sangat menusuk hati Jose. Rahang pria itu sampai berkedut cepat serta tatapannya langsung menggelap bagai awan hitam menaungi dirinya.
Karena memang benar, Jose Antonio, anak tiri di keluarga baru Berbardo tidak diperlakukan secara layak. Dia bahkan terpaksa harus kehilangan ibunya dengan cara yang menyedihkan. Ketika ayahnya ingin menikahi Milly, ibunya Fernando, ibunya Jose pun diceraikan dan diusir dari rumah mereka.
Jose yang masih kanak-kanak ingin mengikuti ibunya. Tetapi sang ibu menyuruhnya untuk tetap tinggal di samping ayahnya. Biar bagaimanapun, rumah dan perusahaan mereka yang di tangan ayahnya adalah warisan keluarga ibunya. Dan ibunya tidak ingin Jose kehilangan semua hak itu jika dia ikut pergi dari rumah mereka. Dengan terpaksa, Jose tetap bertahan di rumah ini, meskipun muak menyaksikan kelakuan ayahnya dengan keluarga baru yang tak tahu malu itu.
Kebencian dan sakit hatinya kini tertayang jelas dalam manik matanya. Akan tetapi, pria itu dengan cepat menyembunyikan semuanya dari sana.
“Gantilah pakaianmu, sebentar lagi kita makan malam.” Suaranya bergetar rendah dan serak, seakan sesuatu menyangkut di tenggorokannya. Dan tatapannya pun kini tak terbaca.
Melihat itu semua, entah kenapa Thalia mulai menyesali ucapannya yang begitu kasar pada Jose.
Akan tetapi, tembok di antara mereka sudah terlanjur terbentang lebar dan kokoh. Penyesalan kecil Thalia tidak akan mampu mengguncang tembok itu, apalagi sampai meruntuhkannya.
“Kasih sayang dan cinta. Dua hal itu yang sangat kurang dalam hidupmu, bukan?” Ucapan Thalia itu jelas menyinggungnya. Meskipun Jose tidak merasa terlalu sakit hati, tapi itu jelas menyinggungnya. Thalia benar, mereka tidak saling mengenal, tapi kenyataan bahwa gadis itu tahu sedikit banyak tentang dirinya, pastilah kalau bukan karena mendengarkan rumor yang beredar, dia pasti mendengar dari Fernando sialan. Jose menarik napas dalam-dalam, mengisi paru-parunya dengan oksigen, agar tubuhnya tidak mendidihkan amarah. Entah kenapa, dia merasa istrinya itu tidak akan menjadi sosok yang mudah, yang penurut. Padahal, dua hal itu adalah yang paling dia inginkan agar tidak terjadi percekcokan yang membuatnya mengeluarkan keberingasannya. Dia sangat mengetahui dirinya sendiri. Terpicu amarah sedikit saja, keinginan untuk membuat lawannya babak belur sangatlah besar. “Gantilah pakaianmu, sebentar lagi makan malam,” kata Jose pada akhirnya, setelah d
‘Fiuuuuh! Ya ampun!’ seru Thalia di dalam hatinya sendiri. Gadis itu juga mengerjap-ngerjapkan matanya yang masih tak mampu menepis bayangan akan otot-otot bisep yang terawat dengan baik di tubuh suami di atas kertasnya tadi. Hampir seluruh tubuh Jose yang tertutupi oleh baju, dipenuhi dengan tato. Tato naga di punggungnya, tato wajah ibunya di lengan kanannya, serta tato bergambar pedang samurai di lengan kirinya. Tato! Ya, tentu saja! Jose Antonio sangat bertolak belakang dengan Fernando. Jika Fernando bertubuh ideal dengan wajah yang selalu ramah, Jose bertubuh besar, berotot, bertato, dan memancarkan aura liar yang mengerikan. Masalahnya, tato-tato itu juga… memesona. Seperti penggabungan seni dan pemberontakan. Dan itu semua ada di tubuh Jose. Thalia menepis kuat semua pemikirannya itu. Bagaimana bisa dia menyebut makhluk itu memesona? Tidak! Dia tidak boleh mengubah pendapatnya tentang suami di atas kertasnya itu. Jose Antonio adalah pri
“Kita tetap tidur satu ranjang setiap hari!”Kata-kata Jose itu terus bergema dalam benak Thalia meskipun dia sudah memejamkan kedua matanya selama lebih dari satu jam. Rasa frustrasi sudah menderanya karena dia tak kunjung jatuh tertidur, sedangkan malam sudah semakin larut. Terlebih lagi, besok adalah hari di mana ayahnya akan dioperasi. Dan operasinya dijadwalkan besok pagi.Bagi Thalia, sungguh konyol syarat yang diminta suami di atas kertasnya itu. Baginya, Jose sama dengan meminta ‘minyak’ di saat Thalia melarang ‘api’.Lagipula, bukan hal yang nyaman tidur satu ranjang dengan makhluk satu itu. Sekalipun ranjang ini berukuran king size, tapi tubuh Jose sendiri sudah memakan tempat lebih dari separuh ranjangnya. Thalia bagai anak kucing yang bergelung di tepian ranjang mereka, tidur memunggungi Jose, tanpa bergerak sedikitpun.Thalia kesal sampai ke ubun-ubunnya. Dan semua itu membuatnya tak mampu ber
Selama setengah jam terakhir, Thalia hanya mondar mandir gelisah di koridor depan ruangan operasi. Ayahnya sudah berada di dalam sana selama lima jam dan belum ada tanda-tanda dokter keluar dari sana. Semua yang menunggu semakin diliputi kekalutan. Terlebih lagi Thalia, yang benak dan hatinya masih terngiang-ngiang segala ucapan Jose tadi. Meskipun beberapa jam telah berlalu, tetapi darahnya masih meletupkan didihan amarah yang diakibatkan kata-kata pria itu. “Bagaimana operasinya, Dok?” seru Camila saat dilihatnya pintu ruangan operasi dibuka dan dokter baru melangkah keluar dari sana. Thalia dan Ramona, reflex ikut berdiri dengan jantung berdebar-debar menanti kabar dari sang dokter. “Operasinya sukses,” kata sang dokter. “Ayah kalian bertahan dengan penuh semangat. Sebentar lagi akan dipindahkan ke ruang recovery. Saya rasa, untuk saat ini, satu orang saja yang menjaganya. Karena beliau masih belum bisa bangun terlalu lama. Beberapa hari lagi, saat kondisinya mulai stabil barula
Penerangan di dalam ruangan tidak terlalu banyak. Juga meja dan kursi yang tersedia tidaklah banyak. Hanya beberapa saja ala kadarnya untuk pengunjung yang ingin minum meredakan ketegangan. Hanya saja, suara hiruk pikuk, yang awalnya samar-samar, terdengar semakin jelas seiring dengan langkah kaki Jose yang semakin jauh masuk ke dalam. Hanya ada beberapa orang yang hilir mudik di sana. Tak menggubris semua itu, dengan langkah lebarnya, Jose menuju tangga dan turun ke bawah, ke ruang bawah tanah. Suara hiruk pikuk –teriakan, makian, sorakan, serta tepuk tangan- membahana semakin jelas dari sana. Begitu kakinya menjejak lantai di bawah sana, beberapa orang yang berdiri di dekat sana langsung menyapanya. “Hei, Jose! Kenapa kau tidak datang kemarin malam?” Adriano, teman yang selalu ada baginya saat berada di area club ini, menghampirinya. Entah pria itu mempunyai radar atau antenna, setiap kali Jose datang, seramai apapun situasi club, pria berusia 28 tahun ini selalu tahu, dan selal
“Oh my God! Kau yang jadi istrinya Jose?” Tawa Maritza menggelegar seketika. Maritza adalah adik kelasnya, dua tahun di bawahnya. Thalia pernah bertemu Maritza sewaktu dulu dia masih bersama Fernando. Gadis itu baik terhadapnya … dulu. Sekarang, gadis berambut blonde itu terlihat terkejut mendapati fakta bahwa Thalia-lah yang menikah dengan kakak tirinya. Tawanya menggelegar seketika. “Hahaha … kau yang jadi istrinya si monster itu? Hahaha.” Thalia terkesiap mendengar kata ‘monster’ yang merujuk pada Jose. Kenapa kata julukannya sama dengan yang dia gunakan? Pantas saja suami di atas kertasnya tadi mendeliknya tajam saat mendengarnya menyebutnya monster. Rasa bersalah menyelinap di hatinya, sedikit. Tapi Thalia tidak punya waktu untuk memikirkan perasaan Jose saat itu. Dia terkejut akan tawa yang menggelegar dari mulut Maritza, adik iparnya itu. Kenapa dia tertawa sih? Dari sudut ruangan, terlihat wanita paruh baya yang wajahny
Sepanjang umur hidupnya, tak pernah sekalipun Thalia dihina seperti tadi. Tak pernah sekalipun ucapan kasar penuh sindirian dilayangkan padanya. Satu-satunya pelecehan yang pernah dirasakan gadis itu adalah saat lelaki yang berjalan selangkah di depannya ini menciumnya dalam keadaan mabuk 8 tahun silam. Dan satu-satunya pengkhianatan yang didapat Thalia adalah dari Fernando dan Gabriella. Hanya itu. Selebihnya, orang-orang di sekitar Thalia adalah orang-orang yang supportif, tulus, dan apa adanya. Tidak ada kata-kata dan sikap yang sengaja dilakukan orang di sekitarnya untuk melukai hatinya. Apa yang terjadi barusan cukup mengguncang hati dan pikirannya yang sudah tersulut emosi karena ucapan Jose di mobil tadi. Karenanya, saat mereka telah memasuki kamar dan Jose malah berkata padanya untuk tidak menggubris mereka, Thalia menjawabnya sengit, “Aku tidak peduli dengan mereka. Jangan karena aku membiarkanmu menuntunku tadi, lalu k
Pagi itu, Thalia bangun agak terlambat. Matahari sudah bersinar cukup tinggi meski belum tepat di atas kepala. Masih seperti hari-hari sebelumnya, Jose sudah tidak terlihat di kamar itu setiap kali dia terbangun. Entah ke mana dan kenapa, Thalia tidak ingin memikirkannya. Biarkan saja. Begini lebih baik. Thalia bergegas menuju kamar mandi dan bersiap. Hari ini dia akan ke rumah sakit lagi untuk menjaga ayahnya. Sayangnya, tidak seperti hari-hari sebelumnya, saat gadis itu melewati ruang utama di lantai bawah, Mr. Maximillio melihatnya. “Thalia, ayo bergabung dengan kami untuk sarapan,” sapa pria yang setengah rambutnya sudah memutih itu dengan tersenyum ramah. “Selamat pagi, Mr. Maximillio. Tapi aku hendak ke rumah sakit. Ayahku akan pulang ke rumah hari ini,” tolak Thalia sopan. Mrs. Milly muncul dari pintu ruang makan. “Tetap saja kau perlu sarapan, Sayang. Jangan sampai nanti kami dibilang menelantarkanmu. Ayo, gabung