Share

Bab 5

Judul: Undangan pernikahan suamiku

Part: 5

***

Ketika hari semakin gelap. Aku dan Mas Arifin naik ke atas ranjang untuk tidur, setelah usai makan malam.

Cukup lama aku memperhatiakan wajah Mas Arifin. Suamiku ini memang mudah terlelap ketika kepalanya menemukan bantal.

Akhirnya aku pun ikut memejamkan mata.

.

Beberapa jam kemudian aku terbangun karena hendak buang air kecil. Namun, Mas Arifin tak ada di sampingku.

Kutatap jam dinding yang ada di dalam kamar. Ternyata baru pukul 01:25. 

Kemana perginya Mas Arifin?

Aku melangkah ke dalam kamar mandi, setelah selesai. Aku pun keluar mencari keberadaan Mas Arifin.

Ruang pertama yang aku datangi, adalah dapur. Mungkin Mas Arifin haus, karena biasanya aku selalu menyiapkan segelas air putih di kamar. Namun, malam ini aku lupa.

Nihil.

Mas Arifin tak ada di dapur. Hatiku mulai gelisah. Pikiran burukku mulai meracuni isi kepala.

Jangan-jangan ....

Aku langkahkan kakiku menuju kamar Salman, kubuka perlahan. Tak ada juga di sana.

Tidak salah lagi, pasti Mas Arifin sedang berada di kamar Nia.

Langkahku gemetar, perlahan kuhampiri kamar Nia yang berada paling ujung.

Sampai di depan kamar itu, kutempelkan telingaku ke pintu. Tak ada suara apa-apa. Atau mungkin mereka sudah tidur?

"Lita." 

Degh!

Aku berlonjak karena terkejut. Saat aku menoleh ke belakang, ternyata Mas Arifin sudah berdiri dengan tatapan heran.

"Ngapain di sini?" tanya-nya pula.

"Eh, a-anu Mas ...."

"Hem, pasti kamu pikir, Mas ada di dalam kan?" Mengambang senyum suamiku tampak menggoda.

"Mas dari mana?"

"Dari ruang tengah, tadi Mas terbangun. Jadi Mas duduk di sana."

Masa iya?

Aku tak melihat tadi. 

Apa mungkin karena aku berjalan setengah ngantuk, jadi tak jelas melihat keberadaan Mas Arifin.

"Oh, ya sudah. Ayo tidur lagi!" ajakku.

***

Pagi harinya ....

Ada yang tak biasa pagi ini. Nia bangun lebih awal dariku. Bahkan semua sarapan sudah tersedia, serta rona wajahnya berseri-seri seperti sedang bahagia.

Aku tak ingin memikirkan perkara Nia dulu. Karena hari ini aku dapat orderan kue lumayan banyak.

Mumpung Nia sudah menyiapkan sarapan, jadi aku bisa langsung mengerjakan pekerjaanku.

"Lit, kok nasi goreng ini rasanya beda ya?" tanya Mas Arifin.

"Istri muda Mas yang masak," sahutku datar.

"Oh, bisa masak juga kamu, Nia."

Kucuri pandang ke arah Mas Arifin saat ia bicara. Entah kenapa, aku merasa Mas Arifin sedang memberi isyarat padanya.

"Salman, nanti kita jalan-jalan ke mall. Setiap hari libur, Bapak tidak pernah mengajak Salman jalan, jadi hari ini, Bapak akan menuruti semua permintaan Salman."

"Hore!" teriak Salman.

"Tumben," sambungku.

"Sesekali, Lit."

.

Setelah sarapan selesai. Aku kembali membuat kue. Sedangkan Salman sudah pergi dengan Mas Arifin.

"Mbak, semalam tidurnya nyenyak?" tanya Nia.

"Kenapa memangnya?" 

"Nanya doang kok. Eh, aku kebelet." 

Nia berlari ke toilet. Ponselnya tergeletak di atas meja dapur. 

Mungkin lupa, atau senagaja. Entahlah ....

Bergetar-getar ponsel itu, membuatku hilang konsentrasi ketika menghias kue.

Penasaran juga aku akhirnya, tapi tetap aku tak mau menyentuh benda itu. 

Namun, terus bergetar, ada notif dari sebuah nama. 'Suamiku'

Aku mengerutkan dahi ketika melihat tulisan di ponsel Nia. 

Siapa suamiku?

Mas Arifin?

Ya, tentu saja. 

Panas sudah hatiku, akhirnya aku meraih ponsel Nia itu.

Alangkah cerobohnya dia, karena ponsel pribadi tak dikunci sama sekali.

Aku membuka isi pesan dari aplikasi hijau itu.

Terima kasih, semalam Mas puas.

Membeliak mataku membaca pesan Mas Arifin.

Ternyata semalam ....

Tapi bagaimana bisa?

Aku semakin penasaran dengan permainan sandiwara suamiku itu.

Baiklah, aku akan pura-pura tak tahu saja dulu.

Tak lama Nia kembali. Aku langsung ber-akting.

"Nia, tadi handphone-mu bergetar, itu mengganggu pekerjaanku. Jadi aku tekan dan tak sengaja terbuka. Tapi tenang saja, aku tidak membaca isinya," ujarku.

"Benarkah, Mbak tidak membaca isi pesannya?" tanya Nia.

Aku mengangguk, sebisa mungkin aku coba untuk terlihat tenang agar Nia tak curiga.

"Oh, baguslah." 

Nia pergi menjauh. Sesekali ia menoleh ke belakang untuk melihat ke arahku. Cepat-cepat aku palingkan wajah ke arah kue-kue agar Nia yakin bahwa aku benar-benar tak melihat pesan dari Mas Arifin.

Seperginya Nia. Debar di dadaku mulai tak beraturan. Hatiku sakit, tubuhku lemas ketika menerima kenyataan, kalau Mas Arifin sengaja membodohiku.

Apa aku harus pergi dan menggugat cerai?

Tidak!

Aku tak akan pergi begitu saja sebelum menuntut balas untuk kecurangannya.

Aku juga akan membalas seluruh keluarga Nia.

Akan kubuat mereka lebih hancur dariku.

Bersambung.

Setuju gak setelah ini dihadirkan POV Arifin?

Biar tahu gimana bisa Arifin berada di luar kamar saat Lita ingin memergoki.

Mga Comments (1)
goodnovel comment avatar
Susi Munsiah
setuju buat hancur keluarga nia
Tignan lahat ng Komento

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status