Share

Delapan - One day with Elvan

Baru saja berbunyi, sebuah bel kebahagiaan yang selalu dinantikan oleh setiap murid di seluruh penjuru dunia. Para tenaga didik berjalan keluar terlebih dahulu dari dalam kelas, menandakan bahwa kegiatan belajar-mengajar telah selesai dilaksanakan. DI belakangnya, puluhan murid berbondong-bondong keluar dari dalam ruangan kelas. Wajah mereka semua terlihat begitu sumringah, bagaikan telah terbebas dari penjara kesengsaraan. 

“Kia, mau pulang bareng Karen gak? Kebetulan hari ini Karen bawa motor nih.” Kia menimang sebentar ajakan Karen, beberapa detik kemudian gadis itu menggeleng. Kia baru teringat dengan janji Elvan yang akan mengantarnya ke tempat teman lelaki itu untuk memperbaiki kameranya. 

“Oh, kalau begitu, Karen pulang duluan ya. Kia nanti hati-hati pulangnya.” 

“Iya, Karen. Hati-hati.”

Kia segera membereskan buku-bukunya ke dalam tas ranselnya. Tak lupa gadis itu mengambil tas berisikan kamera yang berada di laci mejanya. Setelah merasa tidak ada yang tertinggal, gadis itu berjalan keluar dari dalam kelasnya. Kia juga menutup pintu kelasnya, mengingat dialah orang terakhir yang keluar dari kelas. 

Sebenarnya,  tidak terlalu banyak hal yang dipelajari oleh Kia hari ini. Gadis itu bersama dengan teman-temannya yang mengikuti kegiatan ekstrakurikuler fotografi lainnya, diberi izin untuk mengikuti pembukaan kegiatan ekstrakurikuler yang sempat tertunda tersebut. Hal tersebut membuat Kia tertinggal beberapa materi pelajaran yang seharusnya sudah bisa masuk di otaknya. Sepertinya, nanti gadis itu akan menghubungi Karen untuk menanyai pelajaran apa yang sudah tertinggal oleh dirinya. 

“Hai, Kia.” Panggilan itu membuat Kia hampir terpekik karena rasa kejutnya. 

“Elvan? Astaga, kejutin aja.”

“Oh kamu terkejut? Maaf, gak bermaksud.”

“Iya gak apa-apa kok.”

“Yuk, pulang,” ajak Elvan. Kia hanya mengangguk kecil. Gadis itu berjalan mengekori Elvan sembari menunduk. Gadis itu tengah menyalurkan rasa gugupnya, dengan menjadikan rok abu-abunya sebagai pelampiasan. 

Kia yang terlalu asyik menunduk, tidak menyadari bahwa Elvan yang berjalan di depannya itu berhenti, sehingga gadis itu menabrak dada bidang lelaki di depannya itu. 

“Maaf, Van. Aku gak sengaja,” tuturnya. 

“Iya, gak apa-apa. Lain kali, kalau jalan itu jangan nunduk. Masih mending kalau kamu nabrak aku, coba nabrak tembok. Kasihan muka kamu jadinya.” Elvan terkekeh mengakhiri ucapannya. Lelaki itu mengambil helm berwarna merah muda yang tergantung di motornya dan menyerahkannya kepada Kia. 

“Dipakai helmnya.”

“Ini helm siapa? Helm kamu?” tanya Kia. Gadis itu terheran, ketika Elvan mempunyai helm berwarna merah muda. Setaunya, lelaki itu menyukai warna hitam dan bukan warna merah muda. 

“Ya, bukanlah. Ini punya sepupu aku, tadi pagi dia berangkat ke sekolah dengan aku. Helm nya ditinggal, karena pulangnya bareng temannya pakai mobil,” jelas Elvan. Kia hanya mengangguk menanggapi penjelasan Elvan. Gadis itu dengan segera menggunakan helm yang diberikan oleh Elvan. 

‘Duh, hati. Jangan berdegup kencang dong. Nanti kedengaran sama Elvan.’ 

***

Kia melangkahkan kakinya, berusaha menyambangi langkah cepat milik Elvan, lelaki dambaannya. Sembari melangkah, pandangan  gadis itu tidak berhenti bergerak. Kia menjelajahi setiap inci tempat yang sekarang ia datangi. Menurut yang dikatakan oleh Elvan tadi, ia akan membawa Kia ke tempat service kamera. Akan tetapi, yang sekarang mereka datangi, bukanlah seperti tempat yang ada di pikiran Kia. Tempat ini begitu megah untuk dijadikan sebagai tempat memperbaiki sesuatu. 

“Woi, bro. Tumben ke sini. Ada perlu apa, nih?” Kia langsung menghentikan pandangannya, dan menoleh ke sumber suara. 

“Iya, nih bawa teman, mau perbaiki kamera,” ucap Elvan. 

“Teman atau teman nih?” ledek temannya Elvan yang masih belum Kia ketahui siapa namanya. 

“Teman doang kok.”

Kia tersenyum miris, ketika mendengar jawaban Elvan. Di detik berikutnya, gadis itu tersadar. Memangnya siapa Kia di kehidupan Elvan? Bukan siapa-siapa. 

“Salam kenal, bang. Aku Kiavara, biasa dipanggil Kia,” ujar Kia memperkenalkan diri. 

“Jangan panggil abang, umur kita sepantaran kok. Ohiya, aku Raedika, biasa dipanggil Dika sama teman-teman.”

Kia tersenyum kecil. 

“Kameranya rusak? Sini coba aku lihat.”

Kia memberikan kameranya kepada Dika. Lelaki itu meneliti sebentar bagian dari kamera tersebut. 

“Ini bekas jatuh ya?” tanyanya. Kia mengangguk. 

“Ini kameranya disimpan di sini dulu ya. Aku mesti cek lebih lanjut mengenai kerusakan kameranya, nanti kalau udah selesai, aku bakal kabari lewat Elvan.” 

“Oh begitu, terima kasih ya Dika.”

“Sama-sama.”

“Kalau gitu, aku dan Kia pamit ya, Dik. Sukses selalu buat kafenya.” Elvan menepuk bahu Dika, kemudian mengajak Kia untuk pulang. 

“Van, itu teman kamu bisa perbaiki kamera?” tanya Kia. 

“Iya, bisa. Memangnya kenapa? Kamu gak percaya karena ngelihat tempatnya kayak begini ya?” Tebakan Elvan seratus persen benar. 

“Raedika itu memang pemilik kafe ini. Dia merintis kafe ini dengan jerih payahnya sendiri. Urusan kamera, Dika itu memang bukan bekerja dalam bidang itu, namun berhubung dia menyukai dunia fotografi. Dia pelan-pelan mulai mempelajari cara memperbaiki kamera. Dia tipe orang yang ceroboh, jadi kameranya suka jatuh dan rusak. Kalau minta orang perbaiki kan mahal, jadi dia mencoba memperbaiki sendiri kameranya.” 

Kia mengangguk tanda ia paham akan penjelasan dari Elvan. 

“Dika itu orangnya hebat ya,” puji Kia. Elvan hanya tersenyum kecil. Tanpa Kia sadari, pujiannya terhadap Dika membuat hati Elvan bergemuruh dengan kuat. 

***

Kia merebahkan tubuhnya di atas kasur. Perasaan bahagia menyelimuti seisi hatinya. Lagipula, siapa yang tidak akan merasa bahagia jika hari ini terus-terusan berada di samping sang dambaan hati? Sepulang dari kafe Dika, Elvan tidak langsung mengantarnya pulang, melainkan lelaki itu mengajak Kia berkeliling kota sejenak. 

“Terima kasih, Elvan. Meski hari ini aku harus bersedih karena kamera aku yang rusak. Akan tetapi kamu hadir dan menggantikan kesedihan aku dengan kebahagiaan yang tak terhingga.” 

Kia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas ranselnya. Gadis itu membuka galeri fotonya, dan menekan salah satu album yang diberi emoticon love. Ketika album itu terbuka, Kia mengembangkan senyumnya. Dipandangnya lekat-lekat wajah seseorang yang fotonya berada di album tersebut. 

“Elvan, selama ini aku hanya berani mengagumi kamu secara jauh.  Bahkan, gak pernah terbayang di otak aku, bahwa hari ini akan datang. Hari dimana rasanya bahagia tak mampu aku definisikan dengan kata-kata lagi.” 

Ucapan Kia terhenti, ketika mendengar suara ribut dari lantai bawah rumahnya. 

“Ada apa ya? Kok ribut-ribut di bawah?” Kia bertanya kepada dirinya sendiri. 

Karena rasa penasaran, Kia berjalan ke bawah untuk mengecek keadaan rumahnya. Tidak ia temui siapa-siapa di lantai bawah selain Bi Tari yang tengah berada di dapur. 

“Bi, tadi ada apa ya? Kok ribut-ribut sih?” tanya Kia. 

“Itu, Non. Tuan dan nyonya berantem tadi.”

Kia mengerutkan dahinya ketika mendengar jawaban Bi Tari. “Papa dan mama berantem lagi? Kenapa bisa? Trus, sekarang mereka dimana?”

“Iya, Non. Bibi gak tau alasan mereka berantem, tapi yang jelas kayaknya urusan kerjaan deh.  Sekarang, nyonya ada di dalam kamar sih, kalau tuan sepertinya sedang keluar, Non.” 

“Oh gitu ya, Bi. Ya udah, Kia ke kamar lagi ya.” 

***

Bahagia menurutku itu sederhana. Sesederhana kamu datang menghampiriku, kemudian kita berbincang bersama.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status