Share

Tujuh - Kamera

Di pojokan ruangan nan besar itu, terlihat Kia tengah sibuk mengatur lensa kameranya. Gadis itu juga beberapa kali meniup lensa kameranya yang terkena debu. Kamera yang diberikan oleh mendiang neneknya itu akan menemaninya dalam ekskul fotografi hari ini. 

Setelah sekian lama ekskul ini diliburkan karena sang kakak pengajar fotografi tengah di luar kota, akhirnya pada hari ini ekskul itu kembali dibuka. Kia merasa begitu antusias ketika ekskul yang dipilihnya itu akhirnya kembali dapat berjalan. Kia melihat kamera yang berada di tangannya lalu tersenyum. 

“Akhirnya, setelah sekian lama gak ekskul, hari ini mulai ekskul lagi. Aku senang banget, akhirnya bisa ditemani sama kamu lagi dalam ekskul ini,” ucap Kia kepada kamera kesayangannya. Selama ekskul ditiadakan, selama itu pula Kia menyimpan kameranya dengan baik. Ia tidak mau sembarang menggunakannya, jika bukan untuk ekskul dan memotret senja. 

Ngomong-ngomong perihal senja, gadis dengan bando berwarna pink muda itu teramat mengagumi keindahan senja. Baginya, senja adalah warna baru yang bisa ia tambahkan di kehidupannya yang segelap malam. Baginya, senja memberikannya makna hidup yang baru, dengan jingga yang senantiasa menghiasi. 

Kia menaruh kameranya di atas meja, kemudian gadis itu mencari ponselnya di dalam tas. 

“Eh, akhirnya kita bisa ketemu lagi ya, dalam ekskul fotografi tercinta ini.” 

Ucapan itu sontak membuat Kia menoleh. Seperti yang dapat Kia duga, itu ialah suara Angeli—teman seangkatannya yang berada di kelas sebelah. 

“Iya, betul banget. Aku rindu banget loh sama kamu, Kia. Kamu enggak rindu memangnya sama aku?” Kini giliran Resty yang bersuara. Kia hanya terdiam mendengar pertanyaan Resty. Ia tahu, maksud “rindu” yang tengah dibicarakan oleh Resty bukan dalam artian rindu yang sesungguhnya. Gadis itu dan tentunya bersama dengan beberapa temannya rindu untuk mengganggu Kia. 

“Kia, ya ampun, kameranya masih dijaga aja. Pasti ini berharga banget ya.” Carla berucap. Kia membulatkan matanya ketika kamera kesayangannya kini berpindah ke tangan Carla. 

“Carla, balikin sini kameranya Kia,” ucap Kia. 

“Elah, pinjam bentar lah, Kia. Jangan pelit jadi orang.”

“Kia mau pakai kameranya, sini.” Kia berusaha mengambil kameranya dari tangan Carla. Namun nahasnya, tinggi tubuhnya yang tidak setinggi Carla, membuat Kia kesusahan dalam mengambil kameranya. 

“Ih, Kia. Sabar dong, kan Carla lagi pinjam. Nanti juga dibalikin,” ucap Resty. 

“Tau nih si Kia, lagian aku kan cuma pengen lihat-lihat kameranya.” Carla mengarahkan kamera milik Kia setinggi mungkin untuk menjangkau semua dari mereka. 

“Ayo gengs, kita foto dulu yuk. Say cheese.” 

Prangg… 

Bukannya suara pengambilan foto yang terdengar, melainkan suara benda terjatuh. 

Benda itu, kamera Kia!

Kia membelalakkan matanya, melihat kameranya terjatuh dan beberapa pecahan terletak di sekitarnya. 

“Aaa,” teriak Kia. “Kamera aku.”

Kia segera berlutut, melihat kameranya yang terpecah. Air matanya dengan cepat mengalir turun. 

“Kenapa kalian jahat banget sih? Apa salah aku sampai kalian pecahin kamera aku?!” marah Kia. Sementara, sang pelaku yang memecahkan kamera itu mendadak terdiam, tak lagi bersua. 

***

Suara pecahan benda terdengar begitu jelas di telinga Elvan. Tak lama kemudian, terdengar suara pekikan dari seorang gadis. Elvan menoleh ke sumber suar dan mendapati seorang gadis tengah berlutut di depan sebuah benda sambil menangis. Di depan gadis itu, ada 3 orang gadis lainnya yang berdiri di sana. 

“Ada apa ya itu?” 

Elvan segera menaruh kamera yang berada di tangannya ke atas meja, lalu berjalan menuju pojokan ruangan. 

“Ada apa ini?” tanya Elvan. 

“El—Elvan?” Tampak sekali pucat terlihat di wajah Angeli, Resty, dan Carla kala melihat kehadiran Elvan. 

“Kamu kenapa nangis?” tanya Elvan kepada Kia. Lelaki itu ikut berlutut di sebelah Kia. Lelaki itu melihat Kia yang tengah memegang kameranya yang pecah. Sekarang, Elvan dapat mengetahui apa yang telah terjadi dengan gadis itu. 

“Siapa yang pecahin kamera dia?” tanya Elvan kepada 3 gadis yang berdiri di depannya itu. Akan tetapi, nihil. Tak ada sedikitpun jawaban yang Elvan dapatkan. 

“Sekali lagi aku tanya, siapa yang pecahin kamera dia?” tanya Elvan dengan intonasi meninggi. Kia yang berada di sebelahnya ikut terkejut, mendengar intonasi yang digunakan oleh Elvan. 

“Oke, kalau kalian gak ada yang mau jawab. Aku bakal tanya langsung ke dia.” Elvan beralih menatap Kia. “Kia, jawab dengan jujur, siapa yang pecahin kamera kamu?”

Kia terkejut mendengar namanya disebut oleh Elvan. Gadis itu lalu menundukkan kepalanya, telunjuknya di arahkan kepada Carla. 

“Loh, Kia. Bukan aku yang pecahin kamera kamu, itu cuma kecelakaan.” Carla berusaha membela dirinya. 

“Iya, nih. Bukan salah Carla.” Resty ikut membela Carla.  

Elvan yang mengetahui pelakunya, segera berdiri kemudian menatap tajam Carla. “Udah tahu salah, masih aja nyolot? Sekarang juga, kamu harus minta maaf dan ganti rugi kameranya Kia.” 

Carla menggeleng. “Gak mau ah, ngapain minta maaf sama Kia? Toh, aku kan memang gak salah. Cuma kecelakaan biasa aja itu, lagian itu juga bisa diperbaiki. Jadi, aku rasa, aku gak perlu buat ganti rugi lah.” 

Elvan semakin tersulut emosi, ketika mendengar ucapan Carla yang sama sekali tidak mau mengakui kesalahannya. Melihat Elvan yang sepertinya semakin marah, Carla memberikan kode kepada 2 temannya untuk pergi dari sana. 

“Mau kemana?” Elvan mencengkram erat tangan Carla. 

“Aww, sakit,” ringis gadis itu. Kia yang melihatnya menjadi tidak tega. 

“Elvan, lepasin Carla, kasihan dia.” Dengan ajaibnya, Elvan melepas cengkraman tangannya pada Carla. Tidak mau menyia-nyiakan kesempatan, Carla dengan cepat berlari pergi. 

“Carla, urusan kita belum selesai!” teriak Elvan. Elvan menghela napasnya melihat Carla yang tetap tidak mau kembali. Elvan berusaha menetralkan emosinya, sebelum akhirnya lelaki itu menatap Kia. 

“Coba aku lihat kameranya.” Kia yang masih dalam keadaan terisak, memberikan kamera itu kepada Elvan. 

“Kayaknya bisa diperbaiki kameranya, nanti kita bawa ke tempat service kamera ya. Kebetulan aku punya teman yang buka jasa service kamera.” 

Kia hanya mengangguk mendengar ucapan Elvan. 

“Udah, jangan nangis lagi ya. Percaya sama aku, kamera kamu pasti bisa diperbaiki,” ucap Elvan berusaha menenangkan hati Kia. 

Kia tersenyum singkat kepada Elvan, lalu menatap nanar kameranya. Mengapa Carla dan teman-temannya begitu tega kepada dirinya? Terlebih, kamera peninggalan mendiang neneknya harus menjadi imbas dari kejahatan mereka. 

“Mana tas kameranya? Dimasukin dulu ke dalam tas.” Kia mengambil tas kameranya yang berada di atas meja, kemudian menyerahkannya kepada Elvan. Elvan dengan perlahan memasukkan kamera milik Kia ke dalam tas. 

“Kalau kamera aku rusak, gimana aku mau ekskul nanti?” tanya Kia. 

“Kamu bisa pakai kamera aku.” 

“Lalu, kamu gimana?” 

“Aku gampanglah, bisa minjam punya teman. Udah ya, kamu tenang aja.” Elvan melemparkan senyumnya kepada Kia. 

“Terima kasih banyak ya.”

“Sama-sama.” 

“Nanti sepulang sekolah, kamu jangan pulang dulu. Kita pulang bareng, nanti sekalian aku antar kamu ke tempat teman aku service kamera,” lanjut Elvan. 

“Terima kasih, sekali lagi.” 

Dalam hatinya, Kia merasa begitu tersentuh dengan kebaikan Elvan. Jika tidak dalam keadaan bersedih seperti ini, sudah dapat dipastikan bila Kia akan merasa bahagia yang tak terdefinisikan. 

***

Jangan bersenang bila berhasil melakukan sesuatu kejahatan. Di kehidupan ini kita mengenal yang namanya karma. Segala sesuatu yang kamu perbuat di masa yang sekarang, tentunya akan terbalaskan dengan setimpal di masa yang akan datang.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status