Share

Tidur di mana

Maudi melepas cekalan tangan Dona cepat-cepat ketika Satria sudah berada cukup dekat darinya. Berlari dengan hak tinggi kepayahan sebelum akhirnya berhasil bersembunyi di belakang tubuh lelaki tinggi berkemeja formal itu.

Maudi mencengkram ujung kemeja Satria.

“Maudi kamu ngapain disini?” tanya Satria pada anak tetangganya itu, matanya tak menyembunyikan keterkejutan, ia tidak tau kalau Maudi di Jakarta, setaunya anak tetangga itu tak pernah keluar kota. Satria menoleh pada Maudi yang terlihat berbeda dengan Maudi yang ia kenal, pakaiannya, dandanannya. “Trus kenapa pake baju begini? Casting? Ikut audisi acara dangdut Indonesia?”

Sebenarnya Maudi sangsi ditanyai hal sedemikian rupa, namun bagaimana lagi, ia sedang tidak dalam posisi yang boleh untuk berdecak sebal atau sekedar melempar protes pada anak tetangganya ini.

“Jangan tanya-tanya itu dulu, Mas. Selametin aku dulu,” kata Maudi kemudian, sumpah demi apapun matanya berat sekali karena bulu mata palsu yang ditempelkan Dona terlampau tebal.

Satria pun kian menyirit namuan tak urung menuruti apa yang dikatakan Maudi, lelaki itu menatap ke arah depan lagi, pada rombongan orang-orang yang memakai kostum panggung lomba menyanyi.

“Mereka siapa? Kancamu? Mau berangkat iktu lomba sama-sama?” tanya Satria lagi, sedikit bingung. Lalu sebelum Maudi sempat menjawab kakak dari musuh bebuyutan Maudi itu menyeletuk lagi. “Megan mana? Kamu kemari sama Megan apa Mario?”

Ditanyai begitu, bukannya menjawab Maudi malah terdiam. Matanya mengedip lambat, pelan-pelan bibirnya melengkung ke bawah, dan kemudian menangis.

Satria jelas bertambah bingung.

Kedatangannya ke hotel ini murni untuk mendatangi acara seminar buku dari salah satu penulis dari perusahaan penerbit tempatnya bekerja. Dan ia malah harus menghadapi fakta bahwa anak tetangganya, adik dari teman sekolahnya dulu- si Megan, justru ada didepan mata dan memberi wajah seperti manusia yang butuh pertolongan.

Satria tidak berbakat untuk menenangkan anak-anak- em, maksudnya, ia tak berbakat menenangkan seorang gadis menangis. Jadi dengan bingung Satria bertanya Maudi kenapa. Ditanyai demikian, tangis Maudi justru bertambah kencang.

“Eh eh! Kok makin nangis. Dy, kenapa malah nangis sih? Udah berhenti nangisnya, jelasin, aku nggak bisa bantu kalo nggak ngerti masalahnya.”

Dasar perempuan.

Satria panic, tentu, namun ditengah kebingungannya, ia dapat menemukan titik terang. Memang benar kalau Satria tidak mengerti apapun, ia hanya tau satu hal. Maudi kesulitan lepas dari rombongan orang-orang yang tadi bersamanya.

Dalam satu kali lihat saja Satria bisa tau kalau orang-orang ini bukanlah orang baik yang bisa dipegang omongannya.

Satria menoleh pada Maudi dengan pandangan tak percaya. Suudzon kalau adik perempuan Megan ini datang ke Jakarta untuk menjadi wanita malam.

"Kamu?!" sebut Satria dengan mata membulat tak percaya.

Sedangkan Maudi sibuk menarik ingus dan menyeka air matanya, ia bahkan sudah tak peduli dengan fakta bahwa riasannya longsor. Masa bodoh.

Maudi menggeleng keras-keras, terisak kecil. Ia tak tau seberapa buruk perkiraan Satria tentang dirinya namun, yang jelas semua itu tidak benar.

"Enggak, bukan. Mas tolongin dulu, ntar aku jelasin. Ambilin tasku dari mereka. Udah itu tok."

Tak berapa lama, teman Satria yang tadi sedang berdiskusi dengan lelaki itu pun mendekat. Bertanya apa perlu bantuan, dan Satria berkata tidak, menyuruh rekan kerjanya untuk pergi ke dalam forum lebih dulu.

Dan setelah itu tanpa kata apapun, Satria melangkah, menuruti permintaan Maudi dengan berbicara kepada Dona.

Maudi tak tau apa tepatnya yang mereka bicarakan karena Maudi tak ikut mendekat, namun intinya, ia bisa melihat Dona yang menyangkal, lalu setelah diberi beberapa kalimat oleh Satria wanita itu kemudian menghela napas dengan gelisah, tak lama kemudian wanita itu mengangguk, mengeluarkan tas Maudi dari dalam bagasi dan menyerahkannya pada Satria.

Dona dan rombongannya pun pergi, tersisa Satria dan juga Maudi saja.

Satria menyuruh Maudi mengikutinya, langkah pria itu tegap memasuki dalam hotel. Dan Maudi pun tak ada pilihan, gadis itu langsung mengikuti lelaki yang membawa tas travel miliknya itu.

Saat Satria berhenti di ruang tunggu. Maudi pun ikut berhenti. Disuruh duduk. Maudi menurut.

Lalu Satria mengibarkan pandangan menilai. Menghembuskan napas. Tangan lelaki itu bertaut layaknya orang berpikir.

“Jadi ceritanya lagi kabur dari rumah?” tanya Satria setelah beberapa lama.

Maudi terdiam lagi. Gadis itu menggerakan kaki yang pegal karena memakai heels tinggi.

Maudi menggeleng. “Enggak kabur,”

“Terus?” tanya Satria lagi. Tidak untuk dijawab. Sarkas. “Pergi tapi bohong?”

Mendengarnya Maudi makin menundukkan kepala. Kok bisa langsung tau sih ini orang, punya mata batin apa bagaimana!

Atau memang wajah Maudi sudah sangat ketara hingga Satria bisa tau alasannya tanpa banyak kata.

Helaan napas diberikan oleh Satria. Lelaki dewasa itu berkata dengan suara bijaksana, menasihati.

“Wes gede lho kamu, Dy.” Satria mengingatkan. Usia Maudi sudah seperempat abad. Tentu bukan lagi usia yang muda. Saat Maudi makin menunduk Satria melanjutkan kalimatnya lagi. “Sera aja udah mau nikah. Masa kamu pikirannya masih kayak bocah begini main pergi dari rumah tanpa tujuan, nggak pake plan pula.”

Maudi takut-takut melirik. "Kan orang bilang boleh sesekali berlayar tanpa peta, aku—,"

"Jangan jawab," potong Satria. Maudi menurut, diam. Gadis itu terlihat menelan kembali kata-katanya.

"Kamu lagi enggak ada di posisi yang bisa jawab nasihat orang," lanjut Satria lagi. "Denger dan pikirin, nggak usah ngeyel."

Tipikal orang sok dewasa yang selalu ingin didengarkan. Tidak boleh dibantah atau mendapat saran.

Meski yang dikatakan Maudi bukan saran sama sekali. Maudi cuma mau cari alasan itu saja.

“Bang,” panggil Maudi, gadis itu memegangi lengannya sendiri karena merasa dingin.

“Jangan panggil Bang," larang Satria lagi. Tajam.“Tek balikin ke orang-orang itu mau kamu?”

Kebanyakan jangan ini orang!

Oke mungkin perkataan Maudi saat pertama kali ia memanggil Satria tadi terlalu membekas di hati. Bang Satria.

Bang S—,

“Terus sekarang kamu mau kemana?” tanya Satria tiba-tiba. Lelaki itu terlihat melirik jam tangan, teringat tak bisa meninggalkan seminar terlalu lama. Karena pekerjaannya masih harus berjalan.

“Nggak tau,” jawab Maudi tak punya clue.

Mendengar jawaban Maudi membuat semuanya cukup jelas. Satria pun mengangguk, kemudian meraih ponselnya dari dalam saku celana.

“Eh, mas mau ngapain?” tanya Maudi curiga besar.

Satria dengan jujur membalas. “Mau telfon Megan.”

Mata Maudi melebar. Apalagi saat Satria menempelkan ponsel di telinganya.

“Jangan!” teriak Maudi.

Ia melompat dan merebut ponsel pintar keluaran terbaru milik Satria. Menyembunyikan benda elektronik itu kebelakang tubuhnya sendiri.

Maudi menggeleng, sedangkan Satria memberi tatapan mengancam karena gadis itu sudah lancang merebut ponselnya tanpa ijin.

“Bisa-bisa aku dibuang ke kali Serayu kalo ibuku tau alasanku kesini itu bohong," ujar Maudi kemudian, wajahnya risau.

Melihatnya pria berkemeja itu pun menghembuskan napas berat. Anak tetangga bisa semerepotkan ini ternyata.

“Ya udah, kamu ngekos dimana? Ayuk tek anterin.”

Maudi mengedip lagi.

Bagaimana ya jawabnya?

Ini adalah hari kedua Maudi di Jakarta. Dan is baru menghabiskan satu malam di kota ini, malam kemarin Maudi tidur di mes milik Dona.

Dan sekarang? Maudi jelas tak punya tujuan untuk pulang.

“Nggak ada,” jawab Maudi setelah beberapa detik diam.

Satria mengerutkan kening. “Selama disini tidur dimana?”

“Belum dimana-mana, baru dua hari, sama si tukang tip itu,” sahut Maudi cepat-cepat, nada suaranya sedikit sebal. "Gak usah tanya-tanya dulu ngapa sih! Kayak wartawan aja!"

Oke. Baiklah. Memang Satria itu niatnya baik, pria itu juga satu-satunya yang bisa bisa menyelamatkan Maudi saat ini, jadi Maudi harus bersikap sebaik mungkin padanya.

Tapi, Maudi juga capek, dia lelah karena dua hari ini pikirannya terbang kemana-mana, khawatir juga, risau hidupnya akan baik-baik saja atau malah berakhir dengan kematian oleh tangan si penipu di kota orang.

Setelah semua hal melelahkan itu, rasanya Maudi tak ingin ditanyai apa-apa dulu. Karena Maudi juga bingung jawabnya.

Maudi menghembuskan napas setelah melihat Satria tak membalas ucapannya. Hanya diam dengan alis terangkat.

Dasar bego! Maudi bego! Bego! Bego!

Sama saja cari mati. Menyahuti kalimat Satria dengan kata-kata yang kekanakan tentu bisa menimbulkan potensi dirinya dibuang ke jalanan, Satria bisa-bisa tidak mau menolongnya kalau pria itu mau.

“Nginep dirumahmu dulu—,”

Satria memotong. “Nggak.”

Maudi pun mengalihkan pandangannya, dia memainkan jemari diatas paha.

"Di rumah temen cewekmu," cicit Maudi lagi, melirik Satria takut-takut.

"Nggak ada temen cewek," tolak Satria lagi.

Maudi mendongak. Tadi wanita yang terlihat berdiskusi dengan Satria jelas-jelas perempuan.

"Yang tadi?" tanya Maudi.

"Udah nikah," sahut Satria.

Haduh! Gimana ini!

Maudi pun melebarkan mata ketika satu pikiran menyentuh isi kepalanya. "Nginep dirumah mantan istrimu boleh mas?"

Satria tak sungkan menautkan alis. Tak menjawab.

Dan ketika itu, setelah beberapa detik, barulah Maudi sadar kesalahan apa yang ia lakukan. Kenapa harus menyinggung mantan istri didepan lelaki yang nampaknya gamon ini sih!

Maudi goblok!

Maudi melirik Satria. Melipat bibir ke dalam. Takut.

"Ma-maaf," kata Maudi kemudian. Ia tidak benar-benar berniat menyinggung hal pribadi Satria. Tapi mulutnya ini seakan tak bisa di rem. Maudi berpikir. "Kalo gitu nginep dirumah—,'

Perkataannya dipotong lagi.

Mungkin hobby Satria memang memotong kalimat orang.

“Sehari tok,” potong Satria.

Maudi tidak benar-benar mengerti apa maksudnya, sampai akhirnya Satria melanjutkan lagi.

“Kalo lebih, Megan tek telfon buat ambil kamu dari kosanku.”

--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status